Senin, 26 Desember 2011





aku bermimpi u melakukan hal-hal kecil.....


menginspirasi dunia....

dan mengembalikan peradaban emas manusia...

Sabtu, 03 Desember 2011



“Aku ingin agar mahasiswa-mahasiswa ini menyadari bahwa mereka adalah “the happy selected few” yang dapat kuliah dan karena itu mereka harus juga menyadari dan melibatkan diri dalam perjuangan bangsanya.” (Soe Hok Gie, Cacatan Seorang Demonstran)
Setiap momentum perubahan di berbagai belahan dunia selalu menempatkan mahasiswa sebagai sumber energi, pelaku dan pendukung utama. Sebut saja, Revolusi Rusia tahun 1905 dan 1917, Revolusi Jerman 1918-1923, Revolusi Spanyol 1936, Revolusi Hongaria 1919 dan 1956, Revolusi China 1925-1927, Revolusi Aljazair 1954, Revolusi Turki 1960, Revolusi Korea Selatan 1960, Revolusi Yunani 1965, Revolusi Portugal 1974, hingga Revolusi Islam Iran 1979, semuanya melibatkan partisipasi aktif mahasiswa, baik sebagai penggagas, perekayasa, aktor atau sekadar penyokongnya.
Begitu pula momentum kebangkitan di Indonesia, seperti kelahiran Budi Utomo 20 Mei 1908 sebagai fundamen pertama kebangkitan nasional, Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, kemunculan Orde Baru 1966, serta Reformasi Mei 1998, semuanya dimotori oleh mahasiswa. Fakta sejarah inilah yang menjadikan mahasiswa sering dijuluki sebagai agent of change.
Menjadi mahasiswa adalah sebuah tanggungjawab. Kepada rakyat dan jatidiri mahasiswalah tanggungjawab itu dipertaruhkan. “Bukan mengatakan yang benar kepada kekuasaan.” (Edward W. Said, Peran Intelektual, 1998.) Paling tidak, posisi mahasiswa dan intelektual nantinya menjadi bagian penting dari perubahan peradaban yang “benar” (kata benar dimaksudkan menjadi kelompok kritis perubahan yang melawan bentuk-bentuk otoritas). Identitas mahasiswa, jika boleh digampangkan adalah jiwa perlawanan dan alternatif (lain daripada yang lain). Sebuah identitas yang sebenarnya patut dipertanyakan kepada pemiliknya, apakah jiwa perlawanan, kritis, pemberontakan, kritis terhadap kekuasaan dan kemapanan sudah tumbuh dan menjadi jiwa dan nurani mahasiswa? Jangan-jangan mereka hanya menjadi budak dan mesin-mesin pemikir langgengnya kekuasaan.
Ketika mengetahui kawan-kawannya berkhianat dan berselingkuh dengan kekuasaan, Hok Gie pernah mengatakan, “Pejuang sejati itu adalah pejuang yang kesepian.” (Soe Hok Gie, Cacatan Seorang Demonstran, 1997). Hok Gie mungkin salah ketika menyebut telah lahir “Generasi Kemerdekaan Indonesia” setelah perjuangan melawan kolonialisme berakhir tahun 1945. Suatu lapisan baru intelektual (mahasiswa), kata Hok Gie, seterusnya akan menghadapi kekuasaan dan bentuk-bentuk pembungkaman baru, yang tanpa kita akui, banyak intelektual telah berkubang dalam lumpur yang telah mengkhianati nilai keintelektualannya. Sekali lagi, mungkin tanpa kita sadari dan akui sebagai mahasiswa (intelektual atau kelas menengah terpelajar). Mahasiswa adalah kelompok yang mampu untuk benar-benar mengarahkan perubahan sesuai dengan keinginan rakyat. Mahasiswa seharusnya mampu membongkar semua maksud-maksud besar hegemoni yang terus dilancarkan kelompok kekuasaan.
Hegemoni, meminjam istilah Antonio Gramsci, seorang marxis Italia, mengatakan bahwa proses hegemoni terjadi apabila cara hidup, cara berfikir dan pandangan pemikiran masyarakat bawah terutama kaum proletariat telah meniru dan menerima cara berfikir dan gaya hidup dari kelompok elite yang mendominasi dan mengakses mereka. Dengan kata lain, jika ideologi dari golongan yang mendominasi telah diambil alih secara sukarela oleh yang didominasi (Roger Simon, Gagasan-gagasan Politik Gramsci, 1999)

Reposisi Gerakan

Gerakan mahasiswa untuk perubahan senantiasa mengidentifikasikan diri sebagai gerakan moral (moral force). Sebuah istilah yang justru akan menjebak gerakan mahasiswa pada kemandekan (stagnasi) proses perubahan sendiri. Perubahan sesungguhnya adalah proses berkelanjutan, bukan proses pemanfaatan momentum belaka (termasuk untuk revolusi sekalipun), karena masyarakat akan sangat lebih membutuhkan perubahan yang terarah dan riil membawa perubahan sosial padanya.
Pengalaman 66, 74 dan 98 menunjukkan ‘kegagalan’ perubahan itu sendiri. Ketika generasi 66 menjadi lambang status quo pada Orde Baru, dan ketika generasi 74 pun terhenti dan terdiam. Mereka akhirnya terperangkap pada jebakan-jebakan politik yang menjadikan mereka sebagai kendaraan politik kekuasaan belaka. Termasuk 98 yang kini pun ‘agak’ terdiam dan membiarkan proses reformasi tergagalkan….
Reposisi peran mahasiswa dalam proses perubahan adalah tema terbesar gerakan mahasiswa sekarang. Bahwa mahasiswa bukan lagi sekedar pendorong proses perubahan, tetapi pelaku perubahan itu sendiri. Keterbatasan wacana dan intelektual masyarakat Indonesia menunjukkan bahwa mereka masih sangat membutuhkan pendampingan mahasiswa di dalamnya.
Tuntutan besar tersebut yang akan menambah kerja (atau meletakkan pada porsinya) mahasiswa ke depan. Pengulangan sejarah 66 dan 74 bukanlah pilihan yang baik. Tuntutan itu ter-representasikan dalam bentuk pendidikan politik berkelanjutan (bukan sekedar pembentukan opini massa), dalam bentuk pembangunan kesadaran yang terstruktur, dalam bentuk langkah-langkah riil di masyarakat, dan pemenuhan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Hal yang akan membutuhkan analisis mendalam kondisi sosial masyarakat dan kerja sama yang rapi.
Sebagai pelaku perubahan, maka mahasiswa secara individu maupun kolektif (organis), harus menempatkan diri dalam arus besar perubahan secara bijak. Basis kompetensi keilmuan menjadi suatu yang signifikan untuk membangun masyarakat. “Ketika penurunan Soeharto adalah praktikumnya mahasiswa sospol. Ketika krisis moneter adalah praktikumnya mahasiswa ekonomi. Sekarang saatnyalah mahasiswa teknik bergerak berpraktikum,” demikian kata seorang kawan saya yang mahasiswa Teknik. Distribusi peran gerakan mahasiswa ke seluruh lini masyarakat merupakan keniscayaan ketika perubahan masyarakat sudah melalui proses transisi demokrasi.

Memahami Perubahan

Menurut Edward Said dan Ali Syari’ati, untuk mengukur apakah seseorang itu masuk kategori intelektual atau bukan dengan mudah dapat dilihat pada peran dan kesadarannya untuk menyampaikan sebuah kebenaran. Tujuan intelektualitas menurut Edward Said adalah meningkatkan kebebasan dan pengetahuan manusia. Ia hendaknya tidak menerima sebuah kebenaran sebagai sebuah kepastian yang tidak perlu dikritisi dan ditafsir ulang.
Uraian di atas dapat mengumpulkan beberapa hal yang harus dipahami oleh gerakan mahasiswa dalam membawa proses perubahan masyarakat (dan pemberdayaan masyarakat) :
C Pilihan proses perubahan akan sangat tergantung pada kondisi sosiologis masyarakat, sehingga analisis mendalam berbagai aspek sosiologis dan historis masyarakat akan mempermudan perubahan, dan meminimalkan penentangan masyarakat sendiri. Penentangan masyarakat ternyata salah satu faktor penggagalan perubahan
C Perubahan adalah proses berkelanjutan, bukan sekedar pemanfaatan momentum belaka. Pendidikan dan pemberdayaan masyarakat adalah bagaian dari proses perubahan. Dan bahwa momentum dapat diciptakan.
C Pendidikan masyarakat membutuhkan kerja-kerja terstruktur bukan kerja insidental yang reaktif. Pendidikan masyarakat bukan sekedar pembentukan opini tetapi juga kerja-kerja riil yang manfaatnya diterima secara langsung oleh masyarakat.
C Hambatan intern adalah masalah gerakan mahasiswa dan bukanlah jatah masyarakat untuk menerima ekses kondisi tersebut. Jadi pecahin dong…., tetapi proses pendidikan tetap berlanjut.
C Analisa historis kisah gerakan untuk perubahan adalah referensi gerakan perubahan yang cukup penting.
Menegakkan dan meneguhkan idealisme memang sebuah langkah yang sangat berat di saat atmosfer pragmatisme menjadi udara yang kita hirup setiap saat. Untuk itu, gerakan mahasiswa sebagai bagian dari “kaum idealis” harus terus berdiri dan menantang segala tirani—baik yang nyata maupun abstrak.
Hambatan jelas selalu menghadang. Terpecahnya gerakan mahasiswa karena tiadanya musuh bersama (common enemy) dan egoisme ideologi, terbatasnya stamina mahasiswa, kegagalan penransferan gerak (bukan lagi sekedar ideologi) dan lain-lain (juga adanya ‘provokator’). Sebuah kondisi empuk bagi negara (dan elit politik) untuk mengendarai gerakan mahasiswa. Seluruh hambatan itu harus disadari sebagai sebuah evaluasi internal. Sehingga, tidak ada yang terjadi di seluruh pelosok republik ini selain perubahan menuju hal yang positif—demokratis, egaliter dan berkeadilan.
***


Konsep, Fungsi dan Peran

Amin Sudarsono

“Aku ingin agar mahasiswa-mahasiswa ini menyadari bahwa mereka adalah “the happy selected few” yang dapat kuliah dan karena itu mereka harus juga menyadari dan melibatkan diri dalam perjuangan bangsanya.”
(Soe Hok Gie, Cacatan Seorang Demonstran)
Menjadi mahasiswa adalah sebuah tanggungjawab. Kepada rakyat dan jatidiri mahasiswalah tanggungjawab itu dipertaruhkan. “Bukan mengatakan yang benar kepada kekuasaan.” (Edward W. Said, Peran Intelektual, 1998.) Paling tidak, posisi mahasiswa dan intelektual nantinya menjadi bagian penting dari perubahan peradaban yang “benar” (kata benar dimaksudkan menjadi kelompok kritis perubahan yang melawan bentuk-bentuk otoritas). Identitas mahasiswa, jika boleh digampangkan adalah jiwa perlawanan dan alternatif (lain daripada yang lain). Sebuah identitas yang sebenarnya patut dipertanyakan kepada pemiliknya, apakah jiwa perlawanan, kritis, pemberontakan, kritis terhadap kekuasaan dan kemapanan sudah tumbuh dan menjadi jiwa dan nurani mahasiswa? Jangan-jangan mereka hanya menjadi budak dan mesin-mesin pemikir langgengnya kekuasaan.
Ketika mengetahui kawan-kawannya berkhianat dan berselingkuh dengan kekuasaan, Hok Gie pernah mengatakan, “Pejuang sejati itu adalah pejuang yang kesepian.” (Soe Hok Gie, Cacatan Seorang Demonstran, 1997). Hok Gie mungkin salah ketika menyebut telah lahir “Generasi Kemerdekaan Indonesia” setelah perjuangan melawan kolonialisme berakhir tahun 1945. Suatu lapisan baru intelektual (mahasiswa), kata Hok Gie, seterusnya akan menghadapi kekuasaan dan bentuk-bentuk pembungkaman baru, yang tanpa kita akui, banyak intelektual telah berkubang dalam lumpur yang telah mengkhianati nilai keintelektualannya. Sekali lagi, mungkin tanpa kita sadari dan akui sebagai mahasiswa (intelektual atau kelas menengah terpelajar). Mahasiswa adalah kelompok yang mampu untuk benar-benar mengarahkan perubahan sesuai dengan keinginan rakyat. Mahasiswa seharusnya mampu membongkar semua maksud-maksud besar hegemoni yang terus dilancarkan kelompok kekuasaan.
Hegemoni, meminjam istilah Antonio Gramsci, seorang marxis Italia, mengatakan bahwa proses hegemoni terjadi apabila cara hidup, cara berfikir dan pandangan pemikiran masyarakat bawah terutama kaum proletariat telah meniru dan menerima cara berfikir dan gaya hidup dari kelompok elite yang mendominasi dan mengakses mereka. Dengan kata lain, jika ideologi dari golongan yang mendominasi telah diambil alih secara sukarela oleh yang didominasi (Roger Simon, Gagasan-gagasan Politik Gramsci, 1999).
Proses hegemoni negara terhadap mahasiswa sudah saatnya dilawan. Walaupun PP No. 61 tahun 1999, tentang Otonomi Kampus telah dikeluarkan, secara umum masih terlalu banyak cacat yang dapat dilihat. Pemerintah memang tidak serepresif masa NKK/BKK dulu. Kini, gerakan organisasi kemahasiswaan kembali marak. Kampus-kampus seperti menemukan kembali roh perjuangannya yang lama hilang sejak Doed Yoesoef—menteri P dan K saat itu—mendepolitisi kehidupan kampus lewat NKK/BKK pada 1978.
Dalam konsep NKK/BKK, kegiatan kemahasiswaan diarahkan pada pengembangan diri msahasiswa sebagai bagian masyarakat ilmiah. Sehingga dunia mahasiswa pada kurun masa itu terasa jauh dari denyut nadi persoalan riil masyarakat sekitarnya. Awalnya, aktivitas mahasiswa dikatakan sebagai kegiatan politik praktis yang tidak sesuai iklim masyarakat ilmiah. Kekuatan mahasiswa kemudian “dipagari” pada wilayah minat dan bakat, kerohanian, dan penalaran. Disusul kemudian dengan kebijakan sistem kredit semester, mahasiswa digiring menjadi insan akademis yang hanya berkutat dengan pelajaran dan berlomba menyelesaikan kuliah.
Setelah pembubaran DEMA (Dewan Mahasiswa) yang mempunyai pengaruh strategis politik, maka peranan gerakan intra kampus pasca 1998 diambilalih BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa. Peran BEM cukup signifikan, baik untuk lingkup nasional, regional, maupun untuk internal kampus itu sendiri. Di era sekarang, aliansi BEM yang mengemuka adalah BEM Jabotabek, BEM Joglosemar juga FKMJ. Walau dengan agenda yang berbeda namun semuanya berpijak dari parameter yang sama yaitu reformasi. Ke depan, peran strategis politis ini seharusnya juga dimainkan oleh lembaga-lembaga formal kampus lainnya seperti pers mahasiswa, atau kelompok studi profesi.
Depolitisasi dan pengkarantinaan kehidupan kemahasiswaan pasca NKK/BKK era 70-an sampai 90-an telah menjadi cambuk bagi mahasiswa untuk bangkit, melakukan revalisasi dalam merebut kedaulatan. Atas dasar inilah kemurnian hati, kedaulatan, dan kebersamaan mahasiswa serta kebebasan akademis dan intelektualitas yang berkesusilaan dan berkemanusiaan, maka mahasiswa sebagai bagian dari student world harus melakukan revitalisasi lembaga mahasiswa, salah satunya melalui pemilu kampus.
Wacana Student Government
Menarik sekali jika mencermati pergerakan mahasiswa sekarang ini. Ide-ide revolusi sistemik, pemerintahan rakyat miskin, pemerintahan kaum muda (junta pemuda) dan lain-lain, ini merupakan tawaran segar yang tentu saja memerlukan telaah yang cukup mendalam. Salah satu di antara yang menarik adalah pra wacana atas student government (pemerintahan mahasiswa/negara mahasiswa). Ia diartikan sebagai pelembagaan kepentingan politik mahasiswa dalam format negara mahasiswa, namun tidak sama dengan negara, dimana konsepnya tidak terlepas dari teori negara. Kalau boleh disederhanakan maka student government adalah gerakan mahasiswa yang dilembagakan.
Agaknya perlu diambil kesepakatan bersama seperti apakah format negara mahasiswa itu. Ada beberapa variasi yang bisa disampaikan mengenai hal ini. Pertama, student government merupakan bentuk pemerintahan yang mengambilalih kekuasaan sehingga unsur-unsur kekuasaan dan kekuatan negara akan dikuasai mahasiswa, hal ini tak lepas dari keprihatinan semakin tidak jelasnya reformasi. Kemudian yang kedua student government diberi kesempatan untuk menentukan kebijakan negara dengan masuk ke dalam sistem kekuasaan namun tidak seluruhnya. Sedangkan yang ketiga student government merupakan wadah gerakan mahasiswa itu sendiri yang di dalamnya mempunyai bentuk sama atau mirip dengan bentuk negara. Yang terakhir inilah yang barang kali menjadi entry point student government dalam patron reformasi. Selain dari bentuk lembaga tersebut, juga perlu dipikirkan bentuk materiil, substansi dan prinsip dasarnya.
Student government mempunyai paling sedikit 5 prinsip dasar, yakni moralitas, intelektualitas, politis, independen dan sejajar. Masing-masing perlu dikritisi untuk memperoleh gambaran yang ideal tentang konsep yang sedang dibahas ini.
1. Student government berpatron pada gerakan moral.
Sebelum ide gerakan mahasiswa ini kita kembangkan lebih jauh, agaknya kita perlu lebih bijaksana untuk becermin pada diri kita sendiri dahulu. Gerakan mahasiswa, terlepas dari ideologinya, dilahirkan dan dibesarkan oleh mahasiswa itu sendiri yang sedikit banyak terpengaruh oleh suasana lingkungan dan latar belakang akademis. Dengan kata lain, mahasiswa adalah unsur dari gerakan mahasiswa.
Secara umum masyarakat memandang mahasiswa sebagai bagian kecil dari komunitas terdidik dari bangsa ini. Tapi yang menggelikan tidak semua mahasiswa, namun mungkin cukup banyak, yang kurang menyadari anugerah yang telah disandangnya.
Sebuah ironi ketika mahasiswa meneriakkan slogan-slogan moralitas tatkala mahasiswa yang lain kelakuannya tidak bermoral. Sex bebas, aborsi, pergaulan tanpa batas, narkoba, ayam kampus dan tindak pidana adalah fenomena yang tidak bisa begitu saja dihilangkan dari ingatan. Jika mahasiswa seperti ini yang diberi kesempatan memegang kendali, apa jadinya?
2. Student government berpatron pada gerakan intelektual.
Gerakan mahasiswa yang berkarakter intelektual memang diharapkan menghasilkan rumusan dan solusi konkret permasalahan bangsa sesuai dengan kapasitas keilmuan yang dimiliki. Jika harapan ini terlaksana maka sebuah kebahagiaan bagi masyarakat. Mahasiswa menjadi bagian komunitas yang peduli terhadap rakyat yang miskin dan tertindas.
Konsepsi intelektual yang perlu dikembangkan adalah konsep intelektual profetik. Konsep ini dapat didefinisikan, (1). Gerakan Intelektual Profetik adalah gerakan yang meletakkan keimanan sebagai ruh atas penjelajahan nalar akal, (2). Gerakan Intelektual Profetik merupakan gerakan yang mengembalikan secara tulus dialektika wacana pada prinsip-prinsip kemanusiaan yang universal (3). Gerakan Intelektual Profetik adalah gerakan yang mempertemukan nalar akal dan nalar wahyu pada usaha perjuangan perlawanan, pembebasan, pencerahan, dan pemberdayaan manusia secara organik.
Dengan konsep ini, maka gerakan mahasiswa akan menjadi patron bagi masyarakat untuk melakukan pencerahan dan penyadaran. Namun celakanya, konsep pendidikan yang ditawarkan saat ini lebih mementingkan kebutuhan pragmatis. Hasilnya adalah mahasiswa berlomba-lomba untuk menyelesaikan studinya sebelum batas akhir yang seringkali membawa dampak pada keengganan mahasiswa untuk ikut dalam pergumulan membicarakan masyarakat yang teraniaya, apalagi, berorganisasi.
3. Student government merupakan gerakan politik.
Sebagai gerakan politik mempunyai arti menjalankan fungsi kontrol (oposisi) terhadap kebijakan, baik kampus maupun negara. Hal ini lebih berarti jika ada jalinan antar gerakan mahasiswa, paling tidak jika ada isu/musuh bersama, biasanya mahasiswa bersatu. Turunnya $oeharto pada tahun 1998 merupakan salah satu contoh betapa kuatnya gerakan mahasiswa tatkala bersatu. Namun pasca lengsernya $oeharto, gerakan mahasiswa tidak lagi mempunyai kesamaan terutama dalam hal strategi apa yang akan digunakan dalam melaksanakan agenda reformasi.
Untuk mengokohkan peran politik ekstra parlementer, student governement bisa menggunakan strategi: (1). Mempengaruhi dan berupaya berpartisipasi dalam pengambilan kebijakan publik. (2). Mengawasi dan memantau pelaksanaan kebijakan publik (3). Memberikan penilaian dan advokasi terhadap pelaksanaan kebijakan publik.
4. Student government bersifat independen.
Independen mempunyai arti tidak terpengaruh kepentingan kelompok tertentu terutama di luar mahasiswa. sejarah Orde Lama memberikan pelajaran kepada kita bahwa partai politik pun ternyata mempunyai kepentingan dengan menggarap mahasiswa. tidak heran jika pada masa itu ada anggapan jika HMI adalah alat perjuangan Masyumi, NU dengan PMII-nya, PNI dengan GMNI-nya, PKI dengan CGMI-nya.
Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa ekspresi gerakan mahasiswa adalah ekspresi moral yang berdimensi politik, dan ekspresi politik yang berdasar pada prinsip moral dan intelektual. Sebagai gerakan politik yang berbasis moral, gerakan mahasiswa tidaklah berpolitik pragmatis yang berorientasi kekuasaan baik bagi gerakan maupun kadernya.
Masa-masa awal Orde Baru pasca tumbangnya Presiden Soekarno di beberapa lembaga formal intra kampus, seperti di Universitas Indonesia telah terjadi pertentangan yang cukup hebat antara aktivis-aktivis mahasiswa yang berhaluan independen dengan mereka yang berafilisasi kepada lembvaga ekstra kampus. Hal ini baraangkali menjadi perdebatan yang terus menerus mengenai peran dari lembaga-lembaga ekstra kampus ini.
5. Student government sejajar dengan pihak manapun.
Hal ini adalah sebuah keberanian dari gerakan mahasiswa yang akan menjadi bahasa perjuangannya. Sehingga dengan pihak manapun gerakan mahasiswa mempunyai hak dan kesempatan yang sama. Hal ini membutuhkan keterlibatan mahasiswa secara luas. Namun, apa dikata, jika ternyata mahasiswa—bahkan secara umum—bersikap apatis, masa bodoh terhadap kondisi kampusnya. Perlu energi yang besar untuk merubah paradigma berfikir. Sehingga untuk menghadapi pihak-pihak di luar maka mahasiswa harus mengatasi kondisi internal mereka sendiri. Jadi membutuhkan energi dua kali.
Lima rinsip dasar ini merupakan basis bagi pengembangan student governement di sebuah kampus, maupun jaringan antar kampus. Dengan adanya proses internalisasi lima prinsip dasar ini, maka gerakan mahasiswa dengan seluruh elemen yang dimilikinya, akan menjadi kekuatan pressure group yang efektif terhadap decision maker, baik di kampus maupun negara. Selain itu, kinerja lembaga di student government tersebut akan mendapat arah yang jelas.

Penutup

Fase-fase perubahan masyarakat Indonesia selalu saja mengikutkan mahasiswa di dalamnya. Mahasiswa yang happy selected few dari masyarakat Indonesia, selalu saja (dan harus) ‘menerima’ tugas sejarah perubahan peradaban yang meskipun kebanyakan nantinya akan ‘gagal’.
Dalam kesejarahan Indonesia (dan sebagian negara di dunia) intelektualitas tampaknya menjadi standar ide-ide perubahan dan menjadi parameter bagi masyarakat untuk menentukan pemimpin perubahan. Bahwa kampus adalah pabrik-pabrik perubah (evolutor, revolutor maupun agent of change), telah menjadi trade mark umum bagi masyarakat, meski kemudian sempat menghilang di era represi negara terhadap kampus pada masa Orde Baru. Hal yang menjadi tuntutan besar bagi mahasiswa untuk selalu berada pada garda terdepan perubahan dan yang kemudian akan memposisikan dirinya sebagai watch dog ataupun oposisi abadi negara (representasi status quo).
Sejarah anak-anak muda adalah sejarah perlawanan dan pembelaan. Sebelum kemerdekaan anak-anak muda Indonesia bangkit menyatukan bangsa dan melawan penjajah serta merebut kemerdekaan. Tapi setelah merdeka mereka bangkit melawan penguasa tiran dan diktator serta membela rakyat dari penindasan sosial, ekonomi dan politik.
Adalah bagian dari keunikan abad ini, Allah swt menakdirkan para penguasa tiran dan diktator lahir pada waktu yang hampir bersamaan. Ketika tirani Soekarno merajalela di Indonesia, maka di Yugoslavia ada Tito dan di Mesir ada Nasser. Ketika kediktatoran Soeharto membungkam rakyat Indonesia, maka di Libya ada Khadafi, di Irak ada Saddam, di Syiria ada Asad, dan di Iran ada Pahlevi. Di abad ini pula lahir Hitler, Stalin dan Mossoulini. Jangan lupa, di abad ini pula dunia terlibat dalam dua kali perang akbar, Dunia I dan II, pada 1914 dan 1942.
Perlawanan dan pembelaan adalah energi peradaban. Dan energi itu lahir dari kegelisahan. Tapi dari manakah kegelisahan itu tercipta? Dari idealisme yang terpasung di alam kenyataan. Maka setiap kali janji kemakmuran terpasung dalam krisis ekonomi yang menyengsarakan rakyat, atau suara keadilan terbungkam dalam tirani kekuasaan, atau kebebasan ditindas oleh kediktatoran, setiap kali itu pula ada kegelisahan yang meresahkan jiwa anak-anak muda dan mencaut semua kenyamanan hidup mereka. Maka mereka bergerak dan segera berdiri di garis depan menyambut penggilan sejarah.
Tapi anak muda macam manakah mereka? “Mereka adalah anak-anak muda yang telah beriman kepada Tuhan mereka, lalu Kami tambahkan petunjuk kepada mereka.” (QS. Al-Kahfi:13)***
*) Ditulis dan disusun sebagai konsumsi awal Diskusi Publik Elemen Gerakan Mahasiswa dengan tema “Student Government: Pencerahan Moral dan Politik Mahasiswa” di Universitas Wangsa Manggala pada hari Jum’at, 25 Februari 2005.
**) Ketua Departemen Kajian Strategis KAMMI Daerah Istimewa Yogyakarta; saat ini masih tercatat sebagai mahasiswa di jurusan Sejarah Peradaban Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Kamis, 17 November 2011






Selain itu, masalah persampahan disebabkan beberapa hal diantaranya, (1) pertambahan penduduk dan arus urbanisasi yang pesat telah menyebabkan timbunan sampah pada perkotaan semakin tinggi, (2) kendaraan pengangkut sampah yang jumlah maupun kondisinya kurang memadai, (3) sistem pengelolaan TPA yang kurang tepat dan tidak ramah lingkungan, dan (4) belum diterapkannya pendekatan reduce, reuse, recycle dan replace dan participation (4 R + P). Besarnya timbunan sampah yang tidak dapat ditangani tersebut akan menyebabkan berbagai permasalahan baik langsung maupun tidak langsung bagi penduduk kota. Dampak langsung dari penanganan sampah yang kurang bijaksana diantaranya adalah timbulnya berbagai penyakit menular, penyakit kulit, dan gangguan yang disebabkan terhambatnya arus air di drainase dan sungai karena terhalang timbunan sampah yang dibuang ke drainase dan sungai sehingga mengakibatkan banjir (Wibowo dan Djajawinata, 2003).

Pesatnya pertambahan penduduk yang disertai derasnya arus urbanisasi di Kota Bandar Lampung telah meningkatkan jumlah sampah padat di perkotaan dari hari ke hari. Keterbatasan kemampuan Dinas Kebersihan dan Pertamanan, Dinas Pengelolaan Pasar, Dinas Perhubungan, Dinas Pekerjaan Umum serta pihak kecamatan di wilayah Kota Bandar Lampung dalam menangani permasalahan sampah menjadi tanda awal dari semakin menurunnya sistem penanganan dan pengelolaan permasalahan sampah tersebut. Hal ini terasa semakin sulit untuk diselesaikan dalam jangka pendek karena adanya keterbatasan lahan untuk Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah di Kelurahan Bakung Kecamatan Teluk Betung Barat, dan terkendala dengan jumlah kendaraan yang masih terbatas serta kondisi peralatan yang telah tua. Belum lagi pengelolaan TPA Bakung yang sampai saat ini belum sesuai dengan kaidah-kaidah pengelolaan sampah yang ramah lingkungan.

Undang-undang Republik Indonesia No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah menegaskan bahwa pertambahan penduduk dan perubahan pola konsumsi masyarakat akan menimbulkan bertambahnya volume, jenis, dan perubahan karakteristik sampah. Saat ini, pengelolaan sampah belum sesuai dengan metode dan teknik pengelolaan sampah yang berwawasan lingkungan sehingga dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan. Saat ini juga sampah telah menjadi permasalahan nasional sehingga pengelolaannya perlu dilakukan secara komprehensif dan terpadu dari hulu ke hilir agar dapat memberikan manfaat secara ekonomi, peningkatan kesehatan masyarakat, aman bagi lingkungan, serta dapat mengubah perilaku masyarakat. Lebih lanjut juga disebutkan bahwa dalam pengelolaan sampah diperlukan kepastian hukum, kejelasan tanggung jawab dan kewenangan pemerintah pusat, pemerintah daerah, serta peran masyarakat dan dunia usaha sehingga pengelolaan sampah dapat berjalan secara proporsional, efektif, dan efisien.

Berbicara fakta, penanganan sampah yang dilakukan saat ini belum sampai pada tahap memikirkan proses daur ulang atau menggunakan ulang sampah tersebut menjadi bahan yang bermanfaat (produktif). Penanganan sampah yang dilakukan hanya mengangkutnya dari tempat sampah di permukiman penduduk, pasar, terminal dan tempat penimbunan sementara dan membuangnya ke tempat pembuangan sampah akhir. Cara seperti ini kurang bisa mengatasi masalah sampah karena masih dapat menimbulkan pencemaran lingkungan. Pencemaran lingkungan berhubungan erat dengan sampah karena sampah merupakan sumber pencemaran dan dapat memicu peningkatan pemanasan global. Permasalahan sampah timbul karena tidak seimbangnya produksi sampah dengan pengolahannya dan semakin menurun daya dukung alam sebagai tempat pembuangan sampah. Hal ini, saat ini menjadi problematika mendasar dalam manajemen terpadu sampah termasuk di Kota Bandar Lampung. Di satu pihak, jumlah sampah terus bertambah dengan laju yang cukup cepat, sedangkan di lain pihak kemampuan pengolahan dan pengelolaan sampah di Kota Bandar Lampung diakui masih belum memadai.
  1. Sampah yang tercecer dan masuk ke dalam selokan/saluran drainase akan menyumbat saluran dan mengakibatkan banjir pada musim hujan. Keadaan seperti ini sudah sering terjadi di beberapa kota di Indonesia termasuk Kota Bandar Lampung.
  2. Peningkatan jumlah sampah akan menimbulkan masalah dalam mencari tempat pembuangan sampah yang baru. Tempat yang dijadikan lokasi penimbunan sampah akan menjadi tempat berkembangnya organisme patogen yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Tempat ini juga akan menjadi sarang hewan liar atau lalat. Padahal, hewan liar ini dapat mempercepat penyebaran bibit penyakit.
  3. Sampah yang terlalu lama ditimbun akan menghasilkan bau yang tidak enak dan akan mengganggu kesehatan orang yang tinggal di sekitarnya. Air yang dikeluarkan dari timbunan sampah juga dapat mencemari air sungai, air sumur, dan air tanah di sekitar tempat timbunan sampah tersebut.

Secara administratif, saat ini Kota Bandar Lampung terdiri atas 13 kecamatan dan 98 kelurahan dengan luas sebesar 19.722 hektar. Selama ini, pengelolaan sampah dikelola secara bertahap. Pihak kelurahan bertanggung jawab atas pengumpulan sampah dari rumah tangga ke lokasi TPS melalui sistem Satuan Organisasi Kebersihan Lingkungan (Sokli), dan pihak kecamatan bertanggung jawab dalam pengangkutan dari TPS ke TPA. Sistem ini ternyata sangat terbatas karena hanya terdapat 86 TPS untuk melayani 98 kelurahan tersebut, demikian juga kapasitas institusional dalam pengumpulan sampah yang terbatas yang masih terdapat pembagian tanggung jawab yang beragam. Penanganan sampah di jalan raya berada di bawah kendali Dinas Kebersihan dan Pertamanan, sampah di pasar berada di bawah kendali Dinas Pengelolaan Pasar, sedangkan sampah di terminal menjadi tanggung jawab Dinas Perhubungan.

Berdasarkan beberapa latar belakang tersebut, maka bagian strategi penting dalam rangka menajemen sampah padat di Kota Bandar Lampung adalah perlunya segera menyusun suatu dokumen kerangka kebijakan dalam sebuah Master Plan Manajemen Sampah Padat Perkotaan sebagai dasar bagi seluruh stakeholders di Kota Bandar Lampung melakukan pengelolaan sekaligus pengolahan sampah. Melalui implementasi Master Plan tersebut diharapkan jumlah sampah padat di wilayah Kota Bandar Lampung (baik di permukiman, saluran drainase, dan bantaran sungai dan pesisir laut) dapat dikurangi secara signifikan. Hal tersebut akan berkontribusi untuk mengurangi resiko banjir yang saat ini sudah dihadapi kota akibat penumpukan sampah yang tidak terkontrol, dan untuk mengantisipasi meningkatnya dampak dari perubahan iklim yang semakin ekstrim.



Beberapa tahun yang lalu saya dibuat miris oleh pelayanan kesehatan sebuah RS di Lampung yang notabene RS terbesar kala itu. Masih teringat dimana saat itu teman saya terkena kangker darah dan divonis di RS Hasan Sadikin Bandung, karena saat itu dirasa pihak dokter Hasan sadikin sudah menyerah, maka teman saya dipulangkan ke Lampung dengan saran menjalani pengobatan herbal. Namun beberapa hari di Lampung, teman saya merasakan sakit yang amat sangat, dan akibatnya dilarikan ke salah satu RS di pringsewu, karena beberapa hari tidak juga menemui diagnose yang tepat, maka dirujuklah ke salah satu rumah sakit di Bandar Lampung. Satu hal yang sangat miris, teman saya divonis sakit paru-paru dan dicampur dibangsal dengan penderita paru-paru lain. Saya pun terbelalak dan bertanya kepada pihak keluarga, mengapa tidak memberikan berkas yang dari Hasan Sadikin ?? dan saat itu saya beru tersadar bahwa nama teman say bukan lagi anna amalia, namun sudah berganti jayanti, karena ia berobat dengan askes pinjaman.
***
Teringat juga kisah seorang teman ketika menunggui saudaranya dibangsal salah satu RS di Lampung juga. Saat itu, ketika sang perawat masuk hendak mengecek pasien, si perawat salah periksa, karena yang tidur di ranjang RS bukanlah si pasien, namun ibu si pasien yang sudah cukup tua, dan si pasien tidur diatas tikar dilantai, mungkin karena si pasien tidak tega dengan ibunya. Lain cerita dengan pasien disebelahnya, masih dibangsal yang sama, pasien dan anaknya yang masih kecil sama-sama duduk dilantai. Begitu juga ketika wabah DBD menyerang dan salah satu teman saya terjangkit, dimana posisi rumah sakit saat itu sudah penuh, namun teman saya tetap saja diterima dan dirawat di lorong RS.
***
Kejadian-kejadian sederhana itu cukup menggelitik nurani saya, kenapa jaminan kesehatan untuk orang miskin begitu rendah, dan lebih tepat lagi dikatakan bahwa “orang miskin dilarang sakit”. Hingga beberapa bulan lalu, teman-teman saya yang ada di Badan Eksekuti Mahasiswa Universitas sibuk dengan kegiatan survey masyarakat tidak mampunya, dan sesaat terlontar pertanyaan, mengapa harus BEM-U yang mensurvei ? dan jawaban konyol yang saat itu hadir adalah BPS provinsi Lampung tidak akurat dalam melakukan surveinya, tanda Tanya keduapun muncul kala itu, mengapa wali kota Bandar Lampung justru melakukan survey ulang dengan biaya ulang dan menggunakan para mahasiswa ? mengapa tidak menegur BPS saja jika terbukti BPS yang tidak professional ?? dan semua itu terjawab, ketika masa pembagian jamkesda tiba, ada foto sang walikota di kartu jamkesda (jaminan kesehatan daerah) itu. Dan masyaallah mengapa segala sesuatu syarat dengan muatan politik, dan kebutuhan untuk menang ditahun depan? Tidakkah hati mereka sedikit tergugah melihat pasien-pasien yang terkapar, atau prosentase kesehatan ibu dan anak yang relative kecil?
***
Ada lagi satu kisah yang bisa pembaca jadikan kesimpulan dari pengalaman-pengalaman saya diatas, saat saya soan ke dinas kesehatan Bandar Lampung dan berbincang dengan kepala bidang kesehatan masyarakat. Saat itu beliau memaparkan bahwa kebijakan kita sungguh unik, dimana kebijakan kesehatan yang seharusnya mengalah ke pola preventif, justru menuju kearah penanggulangan. Yang tentu saja itu memakan biaya yang lebih besar. Kita cenderung menunggu DBD mewabah diabanding mencegahnya, dll.
***
Kisah-kisah sederhana diatas mampu mewakili kita untuk meneropong secara penuh jaminan kesehatan dan kemudahan memperoleh akses kesehatan dilampung, kisah pertama dan kedua menjadi sudut pandang orang kecil, kisah ketiga menjadi sudut pandang pengambil kebijakan yang dekat dengan nilai politis, apalagi akhir-akhir ini terdengar kabar bahwa kartu jamkesda tersebut tidak mampu digunakan, dan kisah terakhir adalah pengakuan dari pelaksana kebijakan. Lalu bagaiman dengan Lampungku ? saya yakin akan lebih baik ketika pemudanya masih memiliki kepedulian untuk itu. Terus berjuang !

Sabtu, 12 November 2011



Saya punya seorang adik berusia belasan, ya sekitar 12 atau 13 tahun. hobinya survival, baris-berbaris, sandi menyandi, tali-temali, ya hobi anak2 pramuka pada umumnya. hingga pada suatu hari kami berdua pulang kerumah bersamaan, dan sudah menjadi agenda rutin, serta hobi bersama, kami jarang pulang... sekali pulang itupun ndk lama, sehari atau dua hari pergi lagi, atau malah kadang hanya dirumah satu malam. orang tua kamipun menganggap itu wajar, malah kami akan diusir-usir untuk pergi kalau terlihat nganggur-nganggur dirumah. dan seperti biasa, hari itu adekku terburu-buru pulang ke kosnya, ada agenda pramuka katanya, ah.... paling juga hobi tali temalinya itu.. pikirku kala itu... tapi ternyata saya salah, karena agendanya bernama "pramuka berbagi senyum" wuisss.... keren juga... gumamku., ada sebuah inovasi baru...dan tidak sekedar tali temali.., trus saya juga sempat berbincang tentang apa itu pramuka berbagi senyum, pada awalnya ini adalah gerakan sosial yang biasa dilakukan, bakti sosial ke panti, mencari donatur dan disalurkan, namun gagasan selanjutnya yang membuat saya tercengang... pramuka berbagi senyum itu dilanjutkan dengan program menabung, yang juga membantu kawand. disetiap kelas dikoordinir oleh satu orang, untuk menabung minimal 500 rupiah perhari, dan sepuluh persennya diinfakkan yang selanjutnya setelah akhir semester uang yang sudah terkumpul dari 10% itu dipakai untuk membantu kawand mereka yang belum bayar spp, buku lks, seragam, dll. wahh... dasyat... terimakasih adinda, karenamu kini aku bisa memaknai kata "gerakan" didepan kata "pramuka".


diriku sendiri mulai berfikir untuk membangun sebuah gerakan sosial dewasa ini, setelah saya bergabung beberapa saat di KAMMI dan kenal dengan beberapa temen di NGO., namun berawal dari saat itu saya jadi berfikir untuk melakukan hal-hal sederhana yang bisa aku lakukan untuk merubah apa yang tidak enak aku lihat. dan hari ini, bukan hanya adik saya yang memiliki gerakan limaratus itu... karena sayapun mulai membangun gerakan lima ratus saya.

***

keprihatinan ini berangkat ketika saya melamar menjadi guru di salah satu bimbingan belajar, dan sang pemilik lembaga mengatakan, lembaga seperti ini tidak akan terbentuk ketika sekolah mampu mendidik anak-anak mereka dengan maksimal. kata-kata itu ada benarnya, dan semua itu ndk masalah bagi murid-murid kaya, karena mereka bisa mendapat suplemen tambahan kapanpun mereka mau. tapi bagi anak-anak miskin dan pinggiran, sekolahpun karena ada BOS... lalu bagaimana ??? ada dua hal yang perlu disoroti, pertama, sudah saatnya sistim pendidikan kita mengevaluasi diri, karena banyak nilai bergeser dan sekolah hanya sekedar formalitas untuk sebuah title. jangankan menuju pada sebuah pembentukan karakter, ketika anak belajar tentang zat kimia, maka meeka tidak akan mengkonsumsi makanan berpengawet, kemampuan memecahkan soal kimia saja mereka dapatkan dari tempat bimbel. hal kedua yang harus dievaluasi adalah diri kita , karena kita memiliki banyak kemampuan untuk melakukan hal-hal kecil nan sederhana namun penuh makna. akupun tergelitik untuk menggagas "saung belajar". apa itu ???

***
saung belajar, adalh kelompok-kelompok belajar kecil dipinggiran, disana kita belajar bersama, berbagi pelajaran tambahan, skill tambahan, dan pembentukan karakter pribadi. namun alangkah lebih masifnya gerakan kita, ketika kita bergerak bersama... untuk mulai dari hari ini..,

1. mengumpulkan buku-buku dari para donatur untuk saung belajar, karena dari buku kita bisa membuka wawasan generasi muda, kalau merka tidak membaca, siapa yang akan jadi pemimpin negara ???

2. luangkanlah sedikit waktu, untuk sesekali bermain bersama kami, bercengkrama bersama wajah-wajah lugu mereka. dan berbagi skill yang masing-masing kita punya...

3. Bumikan gerakan 500. lima ratus bukanlah angka yang mahal, namun jika itu dikumpulkan, maka itu bisa membantu perbaikan penidikan negeri ini, karena gerakan limaratus inilah yang kedepannya akan membiayai operasional saung belajar kita. untuk sebuah perjuangan pemerataan kesempatan belajar di negeri ini.

so??? tunggu apa lagi??? bergeraklah, seperti WS Rendra pesankan... "kesadaran adalah matahari, kesabaran adalah bumi, keberanian menjadi cakrawala, dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata"