Kamis, 27 Oktober 2011



Pada tahun 2010 silam, kota Bandar lampung memilih pemimpin barunya, saya teringat ketika itu, saya diajak oleh senior-senior saya untuk menggarap sebuah diskusi terkait komitmen calon walikota Bandar lampung terhadap dunia pendidikan. Hampir dipastikan seluruh calon mampu berdialektika dengan begitu indahnya. Mengatakan bahwa pendidikan adalah factor yang sangat penting dalam suatu pemerintahan, karena pendidikan mampu menciptakan masyarakat yang cerdas yang mampu mencari jalan
keluar dari masalahnya. Diskusi tersebut dihadiri oleh ratusan guru honorer yang menaruh jutaan harapan untuk diangkat menjadi guru tetap, banyak yang megadu bahwa gaji mereka terlampau kecil, menagih janji kapan diangkat sebagai pegawai negeri ? dan lain sebagainya. Diakhir diskusi, ada penandatangana sebuah kontrak, salah satunya adalah komitmen walikota untuk menganggarkan 20% anggaran untuk pendidikan diluar gaji guru. Hari itu masih teringat jelas oleh saya bahwa semua calon menandatangani dengan nada pongah.

Hari ini saya mengingat sebuah realitas, ketika melihat anak-anak kecil penjaja asongan dilingkungan kampus, sesekali saya ngobrol dengan mereka, kenapa tidak ada sekolah? Dan dengan pasti jawaban mereka hamper sama, tidak ada biaya mb, dan sayapun penasaran, lho… bukannya ada dana bos??? Merekapun menjawab lagi, dana bos tidak untuk seragam dan pungutan-pungutan lain mb., hmm ada apa ini.

Akuntabilitas

Mulai tahun 2009, pemerintah menganggarkan dana pendidikan 20,1% dari APBN (sekitar 224,4 triliun). Ini perlu disambut baik, meskipun angka 20,1% belum tentu cukup untuk membiayai seluruh kebutuhan pendidikan Indonesia.

Contohnya untuk gaji guru. Presiden SBY dalam pidato nota RAPBN 2009 (15/08) berjanji akan memberikan gaji Rp 2 juta perbulan. Padahal jumlah guru di Indonesia (swasta/negeri) sekitar 2,7 orang. Berarti dalam satu bulan pemerintah harus mengeluarkan dana Rp 54 miliar, dan dalam satu tahun Rp 64,8 triliun. Ini belum menghitung gaji guru agama (jumlahnya ratusan ribu) dan biaya pelatihan guru. Guru negeri/swasta yang belum memenuhi kualifikasi atau tidak layak mengajar, menurut data Balitbang Depdiknas, untuk jenjang SD 49,3%, SMP 36%, SMA 33%, dan SMK 43%. Karena itu pelatihan guru mutlak diperlukan, dan pemerintah harus membiayainya. Padahal angaran untuk gaji guru, sebagaimana dilansir beberapa surat kabar, hanya Rp 89,5 triliun (tidak termasuk pengajuan dana tambahan Rp 14,4 triliun).

Besarnya dana pendidikan juga harus dibarengi akuntabilitas dan transparansi. Transparansi dan akuntabilitas dana Depdiknas masih lemah. Tahun 2007, dari sekitar Rp 44 triliun realisasi penggunaan anggaran, hanya separuh yang dibelanjakan untuk kegiatan pendidikan, selebihnya habis dipakai kegiatan birokrasi. Anggaran 20,1% seharusnya diprioritaskan untuk pengembangan SDM, bukan cuma fisik atau seremonial saja.

Persoalan pendidikan juga tidak melulu berkaitan dengan dana, melainkan juga kebijakan pendidikan, perkembangan anak, peningkatan kualitas dan kesejahteraan guru, relevansi kurikulum dan sistem pengajaran, pemerataan akses pendidikan, pengelolaan manajemen pendidikan, orientasi pendidikan, tingginya angka buta huruf orang dewasa (sekitar 60%) dan tingginya angka putus sekolah (menurut data UNESCO sekitar 64,8% penduduk usia 15 tahun ke atas).

Sekolah dan Guru Swasta


Pendidikan adalah prioritas utama pembangunan Indonesia. Tanpa SDM bermutu, Negara kita tidak punya masa depan. Prioritas pertama pembangunan Indonesia adalah pendidikan, kedua pendidikan, dan ketiga juga pendidikan.

Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 tidak membedakan sekolah swasta dengan sekolah negeri, atau sekolah umum dengan sekolah agama (madrasah dll.), karena keduanya sama-sama membangun bangsa. Dengan anggaran 20,1% pun, Negara mustahil mampu memberikan pendidikan yang berkualitas, merata, dan memadai bagi seluruh anak bangsa. Untungnya masih ada sekolah dan guru swasta, yang banyak membantu pemerintah mendidik anak bangsa.

Sayangnya, perhatian pemerintah terhadap sekolah dan guru swasta sangat minim. Padahal sekolah swasta, khususnya lembaga pendidikan Islam, jauh tertinggal dibandingkan sekolah negeri. Data tahun 2007, Madrasah Ibtida’iyyah 93% milik swasta, dan SD 94% milik pemerintah.

Pemerintah wajib memberi perhatian kepada sekolah dan guru swasta, karena mereka juga aset bangsa. Hak atas pendidikan bukan hanya milik sekolah negeri, tapi juga sekolah swasta, termasuk madrasah dan pesantren.

Apresiasi kepada sekolah dan guru swasta juga bisa datang dari kalangan pengusaha dan perbankan. Pengusaha bisa memberikan santunan rutin bulanan atau menjadi donatur tetap sebuah lembaga pendidikan. Kalangan perbankan bisa memberi kredit lunak kepemilikan rumah maupun kendaraan, atau bahkan memberi kredit dengan bunga nol persen kepada para guru. Hal ini akan mudah terealisasi bila ada perhatian dan dorongan dari pemerintah

Selasa, 18 Oktober 2011









There's a place in your heart
And I know that it is love
And this place could be much
Brighter than tomorrow.
And if you really try
You'll find there's no need to cry
In this place you'll feel
There's no hurt or sorrow.
There are ways to get there
If you care enough for the living
Make a little space, make a better place.


Minggu, 16 Oktober 2011




Pemerintah melalui Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Kementrian Pendidikan Nasional pada tahun 2010 meluncurkan program Bidik Misi untuk memberikan bantuan biaya penyelenggaraan pendidikan dan bantuan biaya hidup kepada 20.000 mahasiswa yang memiliki potensi akademik memadai dan kurang mampu secara ekonomi di 104 perguruan tinggi penyelenggara. Pada tahun 2011 program ini kembali menerima 20.000 calon mahasiswa pada 117 perguruan tinggi penyelenggara. Universitas Lampung sebagai satu-satunya perguruan tinggi di Provinsi Lampung menjadi salah satu universitas penyelenggara Bidik Misi sekaligus pelaksana amanat konstitusi Pasal 31 (1) UUD 1945 bahwa tiap-tiap warga Negara berhak memperoleh pengajaran. Oleh karena itu Universitas Lampung harus memenuhi prinsip 3T (tepat sasaran, tepat jumlah, dan tepat waktu).

Transparansi anggaran

Pada pedoman pelaksanaan bidik misi, poin C Ketentuan Khusus terkait penggunaan dana, dijelaskan bahwa biaya hidup yang diserahkan kepada mahasiswa sekurang-kurangnya sebesar Rp. 600.000,00 per bulan yang ditentukan berdasarkan indeks harga kemahalan daerah lokasi PTP. Sementara bantuan biaya penyelenggaraan pendidikan yang dikelola PTP sebanyak-banyaknya Rp. 2.400.000,00 per semester per siswa. Ini berarti sesuai dengan poin D ketentuan Umum bahwa harga satuan bantuan biaya pendidikan tahun 2011 adalah sebesar Rp. 6.000.000,00. Penerima Bidik Misi angkatan 2010 Universitas Lampung dikenakan potongan sebesar Rp. 550.000,00 dengan alasan untuk biaya pelatihan, dll yang kemudian belum ada transparansi dari pihak universitas lampung terkait pembelajaan pemotongan dana tersebut hingga sekarang. Keunikan juga terjadi pada pengelolaan bidik misi angkatan 2011 dimana setiap penerima bidik misi diwajibkan untuk tinggal di rusunawa, dengan dalih menjaga stabilitas prestasi mahasiswa. Jika memang hal itu menjadi alasan utama, masa mukim di rusunnawa yang hanya satu tahun tidak mampu menjamin seluruhnya, karena ada sisa mukim sepanjang 3 tahun yang diluar control rusunawa. Dan pada persyaratan bidik misi juga sudah jelas dan tegas bahwa penurunan prestasi bisa berakibat pada pemberhentian beasiswa, artinya setiap mahasiswa sudah memahami setiap konsekuensi yang harus ditanggung.

Rusunawa dan Perputaran Uang

Pembelanjaan dana bidik misi tahun 2010 diserahkan kepada setiap mahasiswa, namun tahun 2011 ini putaran dana sudah disiapkan oleh suatu sistim baru untuk berputar pada kas universitas lampung. Setiap mahasiswa diwajibkan untuk tinggal di rusunawa yang pada awalnya satu kamar dihuni oleh 2 orang @ membayar Rp. 1.500.000,00 kini dihuni oleh 4 orang @ Rp. 1.500.000,00. Artinya setiap kamar yang pada awalnya berharga Rp. 3.000.000,00 meningkat menjadi Rp 6.000.000,00. Begitu juga aturan yang sudah didesain sedemikian rupa seperti pelarangan untuk membawa alat elektronik seperti setrika,dll. Setiap mahasiswa dibahasakan bahwa mereka tidak wajib laundry, namun tidak boleh membawa alat elektronik, apa jadinya ?? begitu juga dengan masalah catring makanan yang bersifat sunah namun dilapangan memaksa. Apakah semua itu demi dalih kenyamanan pembelajaran atau hanya suapaya ada perputaran uang pada Universitas Lampung?

Quota Sisa

Penyeleksian Bidik Misi Universitas lampung dilaksanakan dalam 3 gelombang, gelombang 1 melalui SNMPTN Undangan, gelombang 2 setelah penerimaan mahasiswa baru, dan gelombang 3 paska orientasi mahasiswa baru. Pertanyaan yang muncul adalah mengapa harus ada kuota sisa yang menyebabkan penerimaan paska masa orientasi ? hal ini membuka peluang “tawar menawar” antara birokrat dengan penerima beasiswa yang lebih besar dan mengakibatkan “tidak tepat” sasaran dalam penyaluran beasiswa bidik misi.

Dimana program yang digelontorkan dalam rangka seratus hari kerja mendiknas ini harus dikawal dengan baik sesuai dengan amanat konstitusi 1945, UU Sisdiknas No 20 thn 2003, PP 48 tahun 2008 ttg pendanaan pendidikan, PP 66 ttg perubahan atas peraturan pemerintah ttg pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan, Program Kabinet Indonesia II, permen no 34 thn 2006 ttg penghargaan bagi siswa berprestasi, permen no. 34 tahun 2010 ttg pola penerimaan mahasiswa baru program sarjana pd perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh pemerintah, permen no 30 thn 2010 ttg pemberian bantuan biaya pendidikan kepada peserta didik yang orang tua/walinya tidak mampu membiayai pendidikan. Tetap Kritis untuk Unila yang Lebih Baik…!!