Rabu, 25 Januari 2012

Sudah lama ndk nulis blog, akupun mulai menjentikkan jari-jari di keyboard dan terdiam di depan laptop. Sejenak berfikir dan mengingat apa yang hendak kutulis. Tiba-tiba ada suatu rasa yang mengusik, namun bingung mencari kemasan penyampaian.

Kuingatlah sebuah buku kuno warisan orang tuaku, berjudul 30 kisah teladan, ada dua jilid, jilid pertama warna hijau dan jilid kedua warna orange. Disalah satunya mengisahkan seorang istri yang sholehah, hidup bahagia bersama suami dan seorang anak. Suatu hari ketika sang suami bepergian, ditinggalah istri dan anaknya dirumah. Siang harinya, si anak izin untuk pergi bermain kepada si ibu, dan ibu tersebut mengizinkan. Waktu telah sore, senja, dan hampir gelap, tapi si anak tak kunjung pulang kerumah, si ibupun gelisah, sampai datanglah seorang laki-laki dewasa dengan menggotong tubuh anak kecil ditanggannya, betapa terkejutnya si ibu ketika mengetahui anaknya sudah menjadi jasad yang terbujur kaku. Laki-laki tadi menjelaskan bahwa ketika bermain si anak memanjat pohon jambu dan terpeleset hingga jatuh. Betapa sedihnya hati si ibu, tapi ibu itu sadar akan takdir Allah, si ibupun lekas menghapus air matanya dan mengkafani jasad anaknya dengan baik, setelah dikafani pulanglah si suami kerumah. Perempuan itu tak kunjung cerita apa yang terjadi, namun menyambut si suami dengan senyuman terindah dan memasakkan makanan untuknya. Ketika si suami sudah beristirahat dan tenang, si istri pun angkat bicara…. Kurang lebih seperti ini “ a’ bagaimana jika suatu hhari kita meminjam uang pada tetangga dan tetangga itu memintanya ??” si suami menjawab “ya kita harus mengembalikannya…” , si istri kembali bertanya kembali.. “anak, istri, dan harta titipan siapa a’ ?”… si suami jg menjawab lagi “titipan Allah dinda….” Si istri kembali angkat bicara… “bagaimana kalau Allah mengambil titipan itu kembali ?? apakah kita akan mengambilnya ???” si suamipun langsuung berubah rona wajahnya penuh Tanya dan menjelaskan bahwa anak mereka telah kembali kepada yang Maha Menciptakan.

Tak lama setelah itu prosesi pemakamanpun berlangsung, dan bisik-bisik tetangga mulai terdengar, hingga ada seorang tetangga yang mendekati suami tadi, dan menanyakan, bagaimana bias istrinya tidak menangis sama sekali. Padahal itu anak kandungnya, lalu tersebarlah bisikan bahwa yang membunuh si anak adalah istrinya sendiri. Mendengar argument itu luluhlah hati suami, dan amarahnya langsung naik, dicarinya istrinya yang sholehah itu, diambilnya pisau, dan dibunuhnya sang istri dengan penuh amarah. Dan reader…… kabar itu tersiar hingga ke telinga laki-laki yang mengantarkan jasad anak kecil tadi kerumah, laki-laki itu menemui si suami dan menceritakan kejadian yang sebenarnya. Betapa sesak dada si suami tadi, dia telah kehilangan anaknya, dan istrinya yang sholehah… yang begitu taat pada Allah….

Reader…. Kejadian seperti ini sering terjadi di dalam kehidupan kita. Terkadang kita langsung terpancing oleh berita-berita yang dianggap memiliki klaim kebenaran umum, tapi sebenarnya bukan seperti itu kebenarannya. Seorang istri yang begitu sholehah dan ikhlaspun pergi… dan jangan sampai kita memiliki penyesalan yang sama. Bukankah segala aturan bermuara padaNya ?? begitu juga hari ini, ketika saya menyampaikan kebenaran yang sesungguhnya, bias jadi tidak akan didengar karena kalah dengan klaim keebenaran umum… biarlah… toh sesungguhnya ibadahku… solatku… hidup dan matiku hanya untukNya…

25 Jan 2012 10 : 39

***

Dalam sejarah internasional dan nasional, gerakan kaum intelektual (mahasiswa) selalu mendapat porsi besar di hati masyarakat. Kedigdayaan mereka menggulung kediktatoran rezim diiringi dengan gerakan moralnya senantiasa menyejukkan hati rakyat yang haus akan perubahan sosial dan ekonomi. Gerakan mahasiswa bagikan resi yang turun gunung, siap membasmi “hama” masyarakat atau laksana Sheerif membawakan api kehancuran bagi siapa yang mengganggu masyarakat. KAMMI sebagai tempat berproses sekaligus ladang dakwah untuk islam yang kami cintai telah menorehkan pelangi tersendiri dihati. Perjuangan masih panjang, semoga keistiqomahan ini selalu terjaga.

Sabtu, 14 Januari 2012



Dino iki mau dino minggu, tapi meneng ae ora metu-metu, dolan-dolan, opo meneh ngguyu-ngguyu. Omahku brisik tenan, mergane tonggoku isek hajatan, orgenan lan dangdutan.. arep ngerjakne tugas ora konsen, arep metu ora nduwe duit nggo tuku bensin mbo’o gor sak sen. Mumet-mumet aku kelingan kertas bungkus sego, tak lipet-lipet, trus tak lem dadilah tas kertas. Rencanane arep diisi lanting bumbu karo koncoku, truss neng tiap wadahe di wei kejutan-kejuatn edukatif,. Wes jan kreatif tenan… bar ngunu mbuka FB, enek koncoku zaman SMA mbiyen, ngoborol-nngobrol janjian sesuk arep nggawe sawut lan donat sukun. Wes jannnn kreatif pisan. Bar ngunu aku ndelok FBne seniorku neng EC mbiyen… lah… enek seng unik.., lek mbiyen dewe’e keranjingan karo bahasa inggris saiki kok nulis blog karo boso jowo… tak pikir kok kreatif pol-polan… dadine aku ketantang melu-melu… karo boso seng aksarane ho no co ro ko..

Ora gampang nulis blog karo boso jowo, lek ora percoyo yo monggo dicobo. Mbok ndino-ndinone ngomong jowo kok yo pas di tulis-tulis gagap-gagap. Dadi kelingan obrolanku karo kakak tingkatku neng SMA pirang ndino kepungkur, budaya jowo kii budaya sing tuo lan okeh falsafahe seng apik, tapi cah-cah saiki bodo isin lek kon ngomong jowo, gengsi-gengsi. Padahal lek neng ilmu linguistic ki boso jowo luweh tuo timbang boso Indonesia dewe. Boso jowo juga bosone kerajaan majapahit seng patihe jenengee gajah modo. Lan gajah modo kui tau ngucap sumpah, sumpae terkenal karo sumpah palapa. Jerenne gajah modo, dewek’e ora arep mangan buah mojo lek urong nyatokne nusantoro. Ternyata sumpae iku keturutan, daerah kekuasaane majapahit ki tekan pilipina, lek saiki yo wilayah asean. Wes jannn lek di piker kanggo tenanan, boso jowo ki yo tau gengsi koyo boso inggris sing di nggo komunikasi neng asean saiki. Gur ora salah-salah, boso jowo juga tekan amerika, lek ora percoyo luungo’o nang suriname, meh kabeh wong ngomong boso jowo. Trus awak’e dewe seng sebagai wong jowo, ngopo kok yora njajal komunikasi lebih karo boso jowo, neng blog, FB, twitter, utowo google, lek ora percoyo buka’o google, kan enek versi boso jowone.

Enek meneh teori seng keloro, lek boso iku dalan nggo mblebu nang budoyo, jal saiki bayangne, opo wae peninggalan buday jaowo, ko zaman maja pahit sampe wali songo. Mesti okeh falsafah urip lan iso dipelajari. Trus ngopo saiki ditinggal. Dadi…. Mulai saiki sempetno nulis-nulis karo boso jowo ra ketang pisan pindo… piye konco-konco ???

Jumat, 13 Januari 2012

Namanya Suroto, usianya terpaut 22 tahun dariku… kata kawand-kawandku masih muda, dan kata-kata andalannya “kamu itu bukan orang pertama yang bapak kuliahin…. Jadi walaupun tamatan SPG, bapak juga tau gambaran kuliah itu gimana…..” kalau jurus itu dah keluar, mending diiem deh, dan membatin… “iya sie iya.. yang pernah nguliahin ibu…. Huuu..”

Ha.. ha… ayahku sosok yang unik, terkadang bisa sangat bersahabat dan humoris, seperti dia menyebut dirinya ayahanda prabu… yg suka dipakai untuk adikku yang paling kecil ketika merayu untuk mendapatkan sesuatu darinya “ ayah…. Ayahanda pabbuuuu…..” degan nada cedal itu., tp tiba-tiba bisa berubah jd sangat keras..bayangpun, anak kelas satu SMP udah dipaksa tinggal dirumah sendiri dan mengurus segalanya, padahal itu usia remaja yang butuh banyak teman dan tempat meluapkan isi hati… sayapun jadi kesepian.

Masih kuingat, motor favoritnya vespa… katanya seni, unik, de el el… ada dua model yg tren dulu, exel yang jognya ada dua, ituuuu yg jog depannya ky sadel sepeda… sama executive yang jognya nyambung jadi satu ky motor2 lain. Ngakunya sie… suka yang exel.. tapi dengan dalih, anaknya banyak.. kalau boncengan ndk muat jadi beli executive…. Hahay bener banget itu, krn pernah kami pulang dr silaturahmi dirumah saudara., adikku yang bernama Ridho berdiri di posisi yang paling depan, disusul olehku yang duduk dibelakangnya., baru ayahku yang mengendarai… dan tunggu…! dibelakang masih ada ibuku yang menggendong adik bayi… hebat banget ndk tu motor ??? vespa !! yang seumur-umur saya ndk di izinin ngendarain.

Aku bilang… heeeee… ayahku itu pengecut, kawand-kawandnya sudah bangkit jadi orang yang mapan, tp ia ndk berani berspekulasi, kata-kata pembelaannya, “ pas mrk terjerat susah juga milyaran…. Sanggup km hiidup dalam tekanan seperti itu..” huu… yg tertekan kan bukan saaiaaa….. gw mah kagak ngaruh. Tapi jujur, dalam hidup ayahkupun pernah menggores tinta-tinta emas, hingga saat teman-temannya bangkrut.. aku jadi rujukan guru psikologi anak-anak mrk., pertanyaan yg paling umum adalah “bagaimana mengatur uang saku yang kecil ?” jawabanku mudah.. “pertama, ayahku ndk pernah mengizinkanku hidup mewah walaipun ekonomi kami sedang baik, yang kedua…. Klo kurang yg gua cari tambahan di luar……” gampang kan ???

Masih soal ayah yang pengecut.. aku jarrang nelfon minta uang, kalau dikasih ya saya trima, kalau ndk ya… apa kata dunia., tp waktu itu aku benar-benar kepepet… jadi aku SMS “pak.., ada uang ndk ? kl ndk ya ndk papa…” setelah itu aku pergi kuliah. Pulang kuliah kosan heboh !!! Caaannnn… tadi bapakmu kesini.., hahh??? Iya tahhh… “iyaaa….” Disahut mb iik dgn mata berkaca-kaca.., azeeeekkkkkkkk, dapet kiriman… mana tega biarin gw kelaperan… pikirku sesaat, tapi tw ndk yang dibawa apa ??? dua tandan pisang muli….. AAAAA…..ku pengen marah…, masak kesini cm nganterin pisang… tp tess…. Ada air mata haru dihatiku.., bayangin bawa dua tandan pisang dari kampung ke Bandar lampung pake vespanya.., ndk dikardusin lagi, dibawa utuh setandan-tandannya…. Anehhh… anehh… Matakupun berkaca-kaca., nangis ??? gengsi !! hmmm… “ mb iik dengan mata berkaca-kacapun mengeluarkan komentarnya… “Bapaknya candra humoris ya???... tau bagaimana ngelucu saat anaknya lg bokek…” huuu….. lumayan lahh., pesta pisang ma penduduk edelweiss…

Aku tetap memberikan predikat ayah yang pengecut ketika ia memutuskan masuk zona aman, krn aku ingin ada perubahan besar. Aku harap ia berani bespekuasi lebih tinggi, bisnis pupuk, sawit, atau apa tah… ee… malah dirumah buat “doran cangkul” wes… dah., apalagi juga kalau dah keluar pembelaan “gtu-gitu juga cukup buat biayain kalian kuliah…” gmn gk cukup.. wong dicukup-cukupin… ayahku ndk pernah nyuruh kami pergi sholat, tapi kami diajak pergi ke kajian-kajian aqidah… samapai dirumah kami diajak diskusi., alhasil kami sholat lima waktu, adik-adikku sholat di masjid… tanpa ia harus jadi alarm yang nyaingin adzan… hingga suatu hari aku tau satu hal, ayahku jadi pimpinan suatu yayasan… ndk tw dibawah pimpinan umum atau gmn., krn beberapa sebab,. Operasional yayasan kurang.. dan aku juga ndk pernah tau kalau ayahku nutup itu… aku tau secara ndk sengaja.., dan semenjak itu, aku ndk pernah bilang ia pengecut lagi. Krn ia berani, berani berspekulasi untuk hal yang bermanfaat.





Berawal dari gebrakan di Inggris, ekonomi atau industri kreatif kini banyak diadopsi negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Dengan komposisi jumlah penduduk usia muda sekitar 43 persen (sekitar 103 juta orang), Indonesia memiliki basis sumber daya manusia cukup banyak bagi pengembangan ekonomi kreatif.
Industri kreatif memang lahir dari generasi muda. Awalnya dimotori oleh Tony Blair pada tahun 1990. Saat itu ia tengah menjadi calon perdana menteri Inggris. Era 1990-an, kota-kota di Inggris mengalami penurunan produktivitas karena beralihnya pusat-pusat industri dan manufaktur ke negara-negara berkembang.
Negara berkembang menjadi pilihan karena menawarkan bahan baku, harga produksi dan jasa yang lebih murah. Menanggapi kondisi itu, Tony Blair dan New Labour Party mendirikan National Endowment for Science and the Art (NESTA) yang bertujuan untuk mendanai pengembangan bakat-bakat muda di Inggris.
Setelah menang dalam pemilihan umum 1997, Blair yang menjadi PM Inggris membentuk Creative Industries Task Force. Tujuannya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kontribusi industri kreatif terhadap perekonomian Inggris. Lembaga tersebut berada di bawah Department of Culture, Media and Sports (DCMS). Pada tahun 1998, DCMS memublikasikan hasil pemetaan industri kreatif Inggris yang pertama kalinya.
Di Indonesia, industri kreatif didefinisikan sebagai industri yang berasal dari pemanfaatan kreativitas, keterampilan, serta bakat individu. Pemanfaatan untuk menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan dengan menghasilkan dan mengeksploitasi daya kreasi serta daya cipta individu tersebut. Fokus pemerintah terhadap industri kreatif baru dimulai tahun 2006.
Ada 14 subsektor industri kreatif, yakni periklanan; arsitektur; pasar barang seni; kerajinan; desain; fesyen; video, film dan fotografi; permainan interaktif; musik; seni pertunjukan; penerbitan dan percetakan; layanan komputer dan peranti lunak; televisi dan radio; serta riset dan pengembangan. Pertumbuhan ekspor industri kreatif tahun 2006-2009 tercatat 2,9 persen.
Dengan ditunjuknya Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Pariwisata, untuk mengawal ekonomi kreatif, kalangan pelaku industri pun berharap banyak. Pertama, soal kendala pembajakan karya. Rendahnya daya beli masyarakat membuat pembajakan atas karya-karya kreatif kian marak. Akibatnya, ide-ide kreatif sering kali pupus yang pada akhirnya menyebabkan degradasi kreativitas.
Kedua, soal kendala pembiayaan. Masih belum diakuinya aktivitas ekonomi kreatif oleh perbankan membuat mereka tidak didukung bank. Minimnya modal memangkas kreativitas karena mereka hanya bekerja berdasarkan pesanan saja, bukan dari gagasan sendiri.
Ketiga, peningkatan kemampuan sumber daya manusia. Pendidikan di bidang industri kreatif masih sangat kurang. Padahal, kontribusi industri kreatif dalam perekonomian nasional terus naik. Peningkatan itu tentunya membutuhkan tenaga-tenaga kreatif, inovatif, dan andal. Tidak akan mungkin tenaga-tenaga kreatif ini terbentuk tanpa adanya jenjang pendidikan di bidang industri kreatif.











05 : 30 pm

In my room, January 13th 2011

They all say I’m not the same… kid I used to be… don’t go out n play… I just dream n play… they don’t know what’s wrong with me… and I’m to shy to say… (first Love – nikka costa )

Terinspirasi menulis ini setelah membaca blog seorang teman baik ^^ Mei Dianita, cemburu memang bahasan yang menarik… menjadi bumbu tersendiri bagi pasangan muda. Yang jelas cemburu tidak akan terjadi jika tidak ada rasa…. Dan ketika aku jatuh cinta… cemburu itu tak terelakkan lagi…

***

Banyak yang bilang aku berubah… bukan lagi anak rumahan, bukan lagi candra yg nilai matematikannya sepuluh, bukan lagi bintang kelas, bukan lagi anak yg disiplin, bukan lagi pelajar yg berkepribadian menawan dan menyandang gelar teladan, semua itu kisah masalaluku, semua itu prestasi pribadiku. Aku yang kini adalah aku yang baru, yang lahir karena rasa cemburu akan sesuatu.


Kisah sebatang chocolatos…


Dulu…. Kala aku sedang duduk didepan kelasku di SMA., tiba-tiba ada seorang teman yang datang dari kantin dan membawa sebatang chocolatos.. kontan kami langsung berebut.. dan aku ??? sukses,!!! chocolates itu ada di tanganku, tapi saat aku mulai mengupas bungkusnya tiba-tiba ada tangan yang merebut bungkusnya dan aku kaget… yahhh…. Lenyap pikirku….. tapi aku salah, kawandku memotongnya dan membaginya untuk dimakan bersama sambil berkata…”hidup itu berbagi…..” tessss……. Serasa ada air es menetes di relung hatiku..” jlebbbb….. disusul anak panah yang sangat tajam…. Sesaat adegan slow motion… kukunyah chocolates bagianku… pahittt !!! rasa manisnya benar-benar hilang.. anak panah itu membawa racun yang membuat lidahku jadi pahit…

Ya Rabb… selama ini aku dapatkan byk kemenangan., lomba resensi karya sastra, olimpiade matematika, debat bahasa inggris, penobatan siswa teladan, aktif disana-sini… tapi rasa ini tak pernah kumenangkan… rasa pahitnya chocolates dan manisnya sebuah senyuman…. Yg selama ini aku tau chocolates itu manis… dan senyuman itu hanya basa-basi.


Kisah kotak-kotak bekal…


Ini lain lagi.., saat kami duduk di kelas tiga, kami hampir seharian disekolah… krn sorenya harus les.. tak sedikit dari kami yg membawa bekal… kala itu akhir bulan, kiriman dari orang tua benar-benar habis, tiba-tiba kuingat uang lima ribu yg tempo hari dipinjam temanku. Uuyyyy….. balikin duit gw dunkz…, laper nie…!! Dan kontan ia menjjawab… “ndk.., ! gw jg belum gajian….”” Huffftttt… seagok-agok bgt sie nie orang…. Dia lngsung ngeloyor tnpa bilang ma’af kek… ba bi bu basi kek…. Dasarrr…!!! Gk tw perut kruyuk2 pa…. hingga tiba-tiba ada samurai menebas leher.. gk bisa nafassss.., “km gk butuh uang itu., tp butuh iini….” Sambil menyodorkan kotak bekal., teman-teman yg lainpun langsung tersenyum padaku.. sini can… makan bareng., aku Cuma mesem-mesem… mulai dari hari itu tiap buka bekal mrk langsung memanggilku., mulai dari ikan asin, sayur terong, ubi goreng, ayam sambel dicampur jadi satu… akupun ikut heran krn seorang kawand yg terkenal borju dan cukup perlente dengan lahap makan ikan asin dan terong… bahkan ayam yg dia setor ke kita-kita ndk disentuh… gw sie asik2 aja…. Makan noh ikan asin… dah puas gw…

Hingga hari itupun tiba, saat akupun ikut-ikut bw bekal… aku malu-malu mengeluarkannya, krn smw tau aku anak kos yg ndk bisa masak…. Masak nasi jd intip semua.. masak telur meleduk… jannn… jannn… tp seru bgt deh… gw terharu… mereka berebut nyicip bekalku…. Tp ketipu ! itu masakan ibu saiiiaaa….

Tak jarang kami belajar bersama di kosan… kadang kalau bekal mrk sisa di tinggal u kami-kami yg kos… atau kadang mrk ujug-ujug dateng… bw kemplang… jeruk… bubur kacang ijo…. Ssooooo sweeetttt!!! #jangan berpikir kl gw gk kuat beli ??? hheeee… padahal iyaaa….

Ya Rabb… aku cemburu pada mereka yg bisa menciptakan rasa semanis ini… aku jatuh cinta… pada mereka yang sadar bahwa diri ini bbukan milik pribadi… tp milik semua…

Dah… tutup kisah kasih di SMA dgn quote : “genius without confident is ridiculous., ridiculous with plenty confident is genius…”

***

Setelah dikampus lain crita…

Icak-icak jadi aktivis saiaa, ikut KAMMI, LDK, BEM… dikit-dikit kenal temen2 HMI, LMND, PMII, PII, IMM, GMNI, CGMI, ngomongnya dh gk lu gw lagi… tapi ana antum.. kl manggil yg akhwat ukhti… yang ikhwan akhi… duh jan.. lembut nian.. sehari-hari kerjaan aksi, sampe-sampe bolos MKU, katanya membela rakyat. Idealisssssss bgt…. Tiap hari diskusi, pdahal gk jelas isinya apa., bahasannya gerakan., pdahal ntah gerakan itu apa… sombong bgt dah rasanya.. udah ky orang paling baik, mmenganggap yang lain gk bgitu bermanfaat untuk rakyat, hedon, cm bias gaul sana gaul sini… maen n ngabisin duit… qt orang lah yang paling peduli… ma anak-anak putus sekolah., ma koorupsi… ma realitas pendidikan… ma pornografi…. Kepada………………………… KEPADA PARA MAHASISWA YANG MERINDUKAN KEJAYAAN… bahasan pun meninggi… bukan hny tentang penjual Koran dan asongan, tp juga sosialisme dan kapitalisme.., tokoh yg kukenal bkn hny TKI yg jd korban, tp juga MARX..HEIGEL… CONFUSIUS… SAYYID QUTB.. HASAN AL BANA… SOEKARNO…. TAN MALAKA.. HATTA…. SYAHRIR… RENDRA… CHAIRIL ANWAR…

Kuingat kala itu diskusi pendidikan sampai pagi, atau jauh-jauh keluar kota naik bis sehari semalam untuk sidang… semangat empat lima… ikut pelatihan sana-sini.. dari pelatihan yg seharga 20.000 sampai satu juta…. Dari yang dekat sampai harus kejogja sana.. plus jalan kaki ke rowo jombor…!!!

Sampe suatu hari aku kenal yang namanya peta politik, mirip-miirip ky peta lampung, tp yg ini lebih rumit… jd butuh orang bwt bacain… aku kenal jual-jualan… aku kenal deal-dealan… aku kenal transaksi… aku kenal rekening… aku kenal laporan fiktif… aku kenal klaim-klaim dan topeng-topeng untuk menutupi kelicikan… aku patah hati dan bertanya…??? Aku patah hati dan menangis… kasiani aku yg jadi tameng didepan…

Ya Rabb…

Aku koar-koar di jalan membela rakyat…. Besoknya makan uang APBD dan APBN direstoran… dengan alas an rapat untuk umat… jannn… jannn…. Duh Gusti… Paringono pengampunan…. Jauhkanlah aku dari dalih., daripada diambil mrk yg lebih pragmatis…

***

Bosen dengan gerakan elitis aku maen underground,. Sussah euyy… tak kutemui lg ukhti-akhi.. bkn aksi jalanan, tp skateboard’tan… fotografi… drama… film… owww., manarik, aku baru sadar gerakan bisa dibangun dari manapun, perubahan bias dimulai dari underground sekalipun, dr mereka yg kongkow-kongkow sekalipun… anggapanku dulu salah….

Berat uyyyy underground…

Hingga suatu hari aku merasakan setetes air es lagi dihatiku…. Inilah passionku… aku kenal mereka yg merumput… membangun dari desa.. dari komunitas… dari lingkar study., melakukan hal kecil dan menjadi besar… sebut saja penggagas asgar muda… Indonesian future leader… apikri… mereka merangkul semua… menggunakan gerakan akar rumput… gerakan yg sederhana namun mendunia.. memiliki basis yang kuat, dan sesuai dgn jiwa muda…. Inilah anak muda yang buatku cemburu… anak muda yang berjuang dengan gaya muda, anak muda yang tidak tergiur dengan pragmatisme orang tua, anak muda yang dekat dengan masyarakat…dan jangan salah., salahh….. mereka beragam !!! berlatang belakang beragam, dan bersatu untuk memberikan kontribusi positif bagi anak muda… aku kembali cemburu., cemburu pada mereka yang ingin mati sebagai orang bbesar dan mmemiliki usia yg lebih panjang dari usia biologis… cemburu pada mereka yang mampu melahirkan senyum manis…

Cemburu berat pada mereka yang mengartikan berbagi itu semudah memotong chocolates dan makan bekal bersama. Mereka melakukan gerakan-gerakan kecil, mmembuka taman baca, mengumpulkan buku-buku bekas, membina softskill, wirausaha social, membina generasi muda, dikembalikan ke daerah, dan suatu hari nanti menjadi social empowerment yang kuat. Menuju Indonesia yang mandiri, Indonesia dengan ketahanan yang kuat.

Jadi ingat kata-kata panji…. “Negara ini terus terpuruk, bias jadi kkarena pemudanya sibuk meenuntut, bukan membangun.”

Gerakan advokasi itu pasti, karena biar bagaimanapun kebijakan itu antara pemerintah dan rakyat… dimana ada mahasiswa diantara keduanya, namun jangan hidup dan mencari penghidupan dari sana. Kembalilah pada kepentingan orang banyak… pribadimu bukan hanya milikmu… tapi juga milik semua… sebuah prestasi pribadi tdk akan membawa perubahan significant pada bangsa, namun ketika kau mau berbagi hal kecil… maka bangsa ini layak optimis…!!!

Salam,

Komunitas Bunga Rumput.


Aku cemburu pada mahasiswa yang menjadikan pendakian sebagai hiburannya, bukan gedung-gedung pemerintahan yang menjanjikan. Karena alam mendekatkan kita padaNya..dan sebaliknya..

Aku cemburu pada mahasiswa yang memandang islam sebagai aturan yg global, bukan ritual ceremony. mahasiswa ideologis, berprinsip.. dan mandiri atas dirinya.. sehingga orasi di jalanan menjadi deklarasi perjuangan yang menghujam…

Senin, 02 Januari 2012



Oleh: Ernest Mandels

Pengantar

P
ada tahun 1968, seorang Marxist dari Belgia, Ernest Mandel berbicara di depan 33 perguruan tinggi di Amerika Serikat dan Kanada, dari Harvard ke Berkeley dan dari Montreal ke Vancouver. Lebih dari 600 orang memadati Education Auditorium di New York University pada tanggal 21 September 1968 untuk menghadiri “Majelis Internasional Gerakan Mahasiswa Revolusioner”. Presenta­si Mandel di tempat itu dipandang sebagai kejadian yang sangat menonjol oleh majelis dan salah satu saat penting dari seluruh perjalanannya. Pidato dan beberapa kutipan dari diskusi yang mengikutinya menjadi dua bagian pertama dari pamflet ini.
Pidato Mandel adalah polemik yang sangat hebat terhadap kecenderungan “aktivisme” dan “spontanisme”, yang belakangan ini muncul di kalangan kaum radikal di dunia Barat. Ia kemudian berbicara mengenai konsepsi Marxis tentang integrasi yang tidak terpisahkan antara teori dan praktek. Selama diskusi, Mandel menjawab sejumlah pertanyaan yang kontroversial di kalangan kaum radikal dengan argumen panjang lebar. Beberapa di antaranya berbicara tentang azas sosial ekonomi dari Uni Sovyet, “Revolusi Kebudayaan” di Cina, perlunya dibentuk sebuah partai Leninis, dorongan moral lawan dorongan material, dan banyak hal lainnya.
Bagian ketiga pamflet ini adalah pidato yang diberikan Mandel pada Seminar Ilmu dan Kesejahteraan yang diadakan di Universitas Leiden, Negeri Belanda pada tahun 1970, ketika sedang dilakukan perayaan 70 tahun universitas tersebut. Mandel berpen­dapat bahwa kebutuhan kapitalisme saat ini akan tenaga kerja yang terlatih dalam jumlah besar merangsang ekspansi universitas yang cepat dan menghasilkan “proletarianisasi” tenaga intelektual, yang tunduk kepada tuntutan-tuntutan kapitalis dan tidak berhu­bungan dengan bakat perorangan atau kebutuhan manusia.
Makin terasingnya tenaga kerja intelektual ini sedikit banyak menggerakkan perlawanan mahasiswa yang, walaupun tidak menduduki posisi sebagai pelopor kelas buruh, dapat menjadi picu peledak di dalam masyarakat luas. Menurutnya mahasiswa memiliki kewajiban menerjemahkan pengetahuan teoretis, yang mereka peroleh di universitas, ke dalam kritik-kritik yang radikal terhadap keadaan masyarakat sekarang dan tentunya relevan dengan mayoritas penduduk. Mahasiswa harus berjuang di dalam universitas dan di balik itu untuk masyarakat yang menempatkan pendidikan untuk rakyat di depan penumpukan barang.

Gerakan Mahasiswa Revolusioner:Teori dan Praktek

Rudi Dutshcke, pemimpin mahasiswa Berlin dan sejumlah tokoh mahasiswa lainnya di Eropa, telah menjadikan konsep menyatunya teori dan praktek (teori dan praktek yang revolusioner tentunya) sebagai gagasan sentral aktivitas mereka. Ini bukan pilihan yang sewenang-wenang. Persatuan teori dan praktek ini dapat dibilang pelajaran yang paling berharga dari rekaman sejarah yang diukir oleh revolusi-revolusi yang telah berlalu di Eropa, Amerika dan bagian dunia lainnya
Tradisi historis yang mengandung gagasan ini dimulai dari Babeuf melalui Hegel dan sampai ke Marx. Penaklukan ideologis ini berarti bahwa pembebasan manusia harus diarahkan pada usaha yang sadar untuk merombak tatanan masyarakat, untuk mengatasi sebuah keadaan di mana manusia didominasi oleh kekuatan ekonomi pasar yang buta dan mulai menggurat nasib dengan tangannya sendiri. Aksi pembebasan yang sadar ini tidak dapat dijalankan secara efektif, dan tentunya tidak dapat berhasil, jika orang belum menyadari dan mengenal lingkungan sosial tempatnya hidup, mengen­al kekuatan sosial yang harus dihadapinya, dan kondisi sosial ekonomi yang umum dari gerakan pembebasan itu.
Sama seperti persatuan antara teori dan praktek merupakan penuntun yang mendasar bagi setiap gerakan pembebasan saat ini, begitu pula Marxisme mengajarkan bahwa revolusi, revolusi yang sadar, hanya dapat berhasil jika orang mengerti azas masyarakat tempatnya hidup, dan mengerti kekuatan pendorong yang menggerak­kan perkembangan sosial ekonomi masyarakat tersebut. Dengan kata lain, jika ia tidak mengerti kekuatan yang menggerakkan evolusi sosial, ia tidak akan sanggup mengubah evolusi itu menjadi sebuah revolusi. Ini adalah konsepsi utama yang diberikan Marxisme kepada gerakan mahasiswa revolusioner di Eropa.
Kita akan coba melihat bahwa kedua konsep itu, menyatunya teori dan praktek, serta sebuah pemahaman Marxis terhadap kondisi obyektif masyarakat, yang telah ada jauh sebelum gerakan mahasis­wa di Eropa lahir, ditemukan dan disatukan kembali dalam aksi-aksi perjuangan mahasiswa Eropa, sebagai hasil dari pengalamannya sendiri.
Gerakan mahasiswa mulai bermunculan di mana-mana dan di Amerika Serikat pun tidak berbedasebagai perlawanan terhadap kondisi langsung yang dialami mahasiswa di dalam lembaga akademis mereka, di universitas dan sekolah tinggi. Aspek ini sangat jelas di dunia Barat tempat kita hidup, walaupun keadaannya sangat berbeda di negara-negara berkembang. Di sana, banyak kekuatan dan keadaan lain yang mendorong anak muda di universitas atau non-universitas untuk bangkit. Tapi selama dua dekade terakhir, anak muda yang masuk ke universitas di dunia Barat tidak menemukan di lingkungan rumah, kondisi keluarga atau masyarakat lokalnya alasan-alasan yang mendesak untuk melakukan perlawanan sosial.
Tentunya ada beberapa perkecualian. Komunitas kulit hitam di Amerika Serikat termasuk di dalam perkecualian itu; para buruh imigran yang dibayar rendah di Eropa Barat juga termasuk di dalamnya. Bagaimanapun, di kebanyakan negara-negara Barat, maha­siswa yang berasal dari lingkungan proletariat yang miskin masih menjadi minoritas yang sangat kecil. Mayoritas mahasiswa saat ini berasal dari lingkungan borjuis kecil atau menengah atau golongan penerima gaji atau upah yang mendapat bayaran lumayan. Ketika memasuki universitas mereka secara umum tidak disiapkan oleh hidup yang mereka jalani untuk sampai pada titik pemahaman yang jelas dan lengkap tentang alasan-alasan perlunya perlawanan sosial. Mereka baru akan memahaminya ketika berada di dalam kerangka universitas. Di sini aku tidak mengacu kepada sejumlah perkecualian atau golongan kecil elemen-elemen yang memiliki pengetahuan politik yang memadai, tapi kepada massa mahasiswa secara keseluruhan yang berhadapan dengan sejumlah kondisi, yang membimbing mereka pada jalan perlawanan
Singkatnya, ini sudah mencakup organisasi, struktur dan kurikulum universitas yang amat tidak memadai dan serangkaian fakta material, sosial dan politik yang dialami dalam kerangka universitas borjuis, yang semakin tidak dapat ditahan oleh keban­yakan mahasiswa. Menarik untuk dicatat bahwa para teoretisi dan pendidik borjuis yang berusaha memahami perlawanan mahasiswa, harus memasukkan sejumlah pernyataan di dalam analisis mereka terhadap lingkungan mahasiswa, yang telah lama mereka enyahkan dari analisis umum terhadap masyarakat.
Beberapa hari yang lalu, ketika berada di Toronto, salah satu pendidik Kanada yang terkenal memberikan kuliah umum tentang sebab-sebab terjadinya perlawanan mahasiswa. Menurutnya, alasan-alasan perlawanan itu “secara mendasar bersifat material. Bukan berarti bahwa kondisi hidup mereka tidak memuaskan; bukan karena mereka diperlakukan buruh seperti buruh abad XIX. Tapi karena secara sosial kita menciptakan sejenis proletariat di universitas yang tidak berhak berpartisipasi dalam menentukan kurikulum, tidak berhak, setidaknya untuk ikut menentukan kehidupan mereka sendiri selama empat, lima atau enam tahun yang mereka habiskan di universitas.”Sekalipun aku tidak dapat menerima definisi yang non-Marxis tentang proletariat di atas, aku berpikir bahwa pengajar borjuis ini sebagian telah menelusuri salah satu akar dari perlawanan mahasiswa. Struktur universitas borjuis hanyalah cerminan dari struktur hirarki yang umum dalam masyarakat borjuis; keduanya tidak dapat diterima oleh mahasiswa, bahkan oleh tingkat kesadar­an sosial yang sementara ini masih rendah. Kiranya terlalu berle­bihan kalau saat ini juga kita coba membahas akar-akar psikologis dan moral dari gejala itu. Di beberapa negara di Eropa Barat, dan mungkin juga di Amerika Serikat, masyarakat borjuis seperti yang berkembang selama generasi terakhir ini, selama 25 tahun terakhir telah menghantam banyak elemen di dalam keluarga borjuis. Sebagai anak muda, para mahasiswa pembangkang diajarkan pertama-tama oleh pengalaman langsung untuk mempertanyakan semua bentuk wewenang, dimulai dengan wewenang orang tuanya.
Hal ini paling terasa di negara seperti Jerman sekarang ini. Jika kalian tahu sesuatu tentang kehidupan di Jerman, atau mempe­lajari cerminannya di dalam kesusastraan Jerman, maka kalian akan tahu bahwa sampai Perang Dunia II, wewenang paternal paling sedikit dipertanyakan di negara itu. Kepatuhan anak terhadap orang tua telah mendarah daging dalam proses penciptaan masyara­kat (fabric of society). Anak-anak muda Jerman kemudian mengalami rangkaian pengalaman pahit yang dimulai dengan adanya generasi orang tua di Jerman yang menerima Nazisme, mendukung Perang Dingin, dan hidup nyaman dengan asumsi bahwa “kapitalisme rakyat” (disebut juga ekonomi pasar yang sosial), tidak akan menghadapi resesi, krisis dan masalah sosial. Kegagalan yang beruntun dari dua atau tiga generasi orang tua seperti itu kini menghasilkan rasa jijik di kalangan anak muda terhadap wewenang orang tua mereka. Perasaan ini membuat anak-anak tersebut, saat memasuki universitas, tidak menerima setiap bentuk wewenang begitu saja, tanpa perlawanan.
Mereka pertama-tama berhadapan dengan wewenang para dosen dan lembaga-lembaga universitas yang paling tidak dalam bidang ilmu sosialnyata tidak berhubungan dengan realitas. Pelajaran yang mereka peroleh tidak memberikan analisis ilmiah yang obyek­tif tentang apa yang sedang terjadi di dunia atau negara-negara Barat lainnya. Tantangan terhadap wewenang akademis dari lembaga inilah yang kemudian cepat bergeser menjadi tantangan terhadap isi pendidikannya.Sebagai tambahan, di Eropa kondisi material untuk universi­tas masih sangat kurang. Terlalu penuh. Ribuan mahasiswa harus mendengar dosen-dosen berbicara melalui sound system. Mereka tidak dapat berbicara dengan dosen-dosen itu atau sedikitnya berhubungan, bertukar pikiran yang normal atau dialog. Perumahan dan makanan juga buruk. Faktor-faktor pendukung lainnya makin menajamkan kekuatan pemberontakan mahasiswa. Tapi, perlu aku tekanan bahwa dorongan utama untuk melakukan pemberontakan akan tetap ada, sekalipun persoalan-persoalan di atas telah dibenahi. Struktur otoriter dari universitas dan substansi yang sangat lemah dari pendidikan, paling tidak dalam bidang ilmu sosial, lebih menjadi penyebab ketimbang kondisi material di atas.
Inilah alasan mengapa usaha-usaha mengadakan reformasi di universitas, yang disorongkan oleh sayap liberal dalam keadaan-keadaan yang berbeda dalam masyarakat neo-kapitalis barat mungkin menemui kegagalan. Reformasi ini tidak akan mencapai tujuannya karena tidak menyentuh persoalan dasar dari pemberontakan maha­siswa. Mereka tidak berusaha menekan sebab-sebab keterasingan mahasiswa, dan sekalipun melakukannya, mereka hanya akan membuat mahasiswa makin terasing.
Lalu apa tujuan reformasi di universitas seperti yang diaju­kan oleh kaum reformis liberal di dunia barat? Dalam kenyataan, rancangan reformasi itu tidak lain untuk meluruskan organisasi universitas agar sesuai dengan kepentingan ekonomi neo-kapitalis dan masyarakat neo-kapitalis. Tuan-tuan itu mengatakan: tentu sangat disayangkan adanya proletariat akademis; sayang sekali begitu banyak orang yang meninggalkan universitas dan tidak berhasil mendapat pekerjaan. Ini akan menimbulkan ketegangan sosial dan ledakan sosial.
Bagaimana caranya mengatasi persoalan ini? Kita akan membe­nahinya dengan reorganisasi universitas dan membagi-bagi tempat belajar yang ada sesuatu dengan kebutuhan ekonomi neo-kapitalis. Di tempat yang memerlukan 100.000 insinyur akan lebih baik jika dikirim 100.000 insinyur daripada 50.000 orang sosiolog atau 20.000 filsuf yang tidak akan mendapat pekerjaan yang layak. Hal seperti inilah yang akan menghentikan pemberontakan mahasiswa.Di bawah ini adalah suatu usaha menempatkan fungsi universitas pada posisi subordinat terhadap kebutuhan langsung dari ekonomi neo-kapitalis dan masyarakat. Hal ini akan menggerakkan ketera­singan mahasiswa yang makin besar. Jika reformasi-reformasi itu dilakukan maka mahasiswa tidak akan menemukan struktur universi­tas dan pendidikan yang sesuai dengan keinginan mereka. Mereka bahkan tidak diizinkan memilih karir, bidang studi, dan disiplin ilmu yang mereka kehendaki dan berhubungan dengan keahlian dan kebutuhan mereka. Mereka akan dipaksa menerima pekerjaan, disi­plin ilmu dan bidang studi yang berhubungan dengan kepentingan penguasa masyarakat kapitalis, dan tidak berhubungan dengan kebutuhan mereka sebagai manusia. Jadi dengan reformasi di uni­versitas, tingkat alienasi yang lebih tinggi pun akan terjadi. Aku tidak mengatakan bahwa kita harus mengabaikan semua reformasi di dalam universitas. Penting dicari beberapa slogan transisional untuk masalah-masalah universitas, sama seperti kaum Marxis coba mencari slogan-slogan transisional dalam gerakan sosial lain dalam sektor apapun. Misalnya, aku tidak mengerti kenapa slogan “student power” tidak dapat diangkat di dalam lingkup universitas. Dalam masyarakat luas slogan ini memang dihindari karena artinya bahwa sebuah minoritas kecil menempatkan dirinya sebagai pemimpin mayoritas masyarakat. Tapi di dalam universitas slogan “student power” ini, atau slogan lain yang sejurus dengan ide “self-management” oleh massa mahasiswa, jelas punya arti dan valid.
Tapi di sinipun aku akan hati-hati karena banyak persoalan yang membuat universitas berbeda dari pabrik atau komunitas produktif lainnya. Tidak benar, seperti dikatakan sebagian teore­tisi SDS Amerika, bahwa mahasiswa itu sama dengan buruh. Kebanya­kan mahasiswa memang akan menjadi buruh atau sudah setengah buruh. Mereka dapat dibandingkan dengan orang yang magang di pabrik karena kedudukan mereka sama—dari sudut kerja intelektu­al dengan orang magang di pabrik—dari sudut kerja manual. Mereka memiliki peranan sosal dan tempat transisional yang khas dalam masyarakat. Karena itu kita harus hati-hati merumuskan slogan tentang transisi ini.
Bagaimanapun, kita tidak perlu memperpanjang perdebatan ini sekarang. Mari kita terima saja gagasan “student power” atau “student control” sebagai slogan transisional di dalam kerangka universitas borjuis. Tapi sudah jelas bahwa realisasi slogan ini yang tidak akan mungkin bertahan untuk jangka waktu yang lama, tidak akan mengubah akar-akar alienasi mahasiswa karena mereka tidak terletak di dalam universitas itu sendiri, melainkan dalam masyarakat secara keseluruhan. Dan kita tidak akan sanggup mengu­bah sebuah sektor kecil dalam masyarakat borjuis, dalam hal ini universitas borjuis, dan berpikir bahwa masalah sosial dapat diatasi di segmen tertentu tanpa mengubah masalah sosial dalam masyarakat sebagai keseluruhan.Selama kapitalisme masih ada, maka terus akan ada kerja yang terasing, baik itu kerja manual maupun kerja intelektual. Dan karena itu tetap akan ada mahasiswa yang terasing, seperti apapun aksi-aksi kita menghantam kemapanan dalam lingkup universitas.
Sekali lagi, ini bukan observasi teoretis yang jatuh dari langit. Ini adalah pelajaran dari pengalaman praktek. Gerakan mahasiswa Eropa, paling tidak sayap revolusionernya, telah mela­lui pengalaman ini di seluruh negara-negara Eropa. Dalam garis besar, gerakan mahasiswa dimulai dengan isyu-isyu kampus dan dengan cepat mulai bergerak keluar batas-batas universitas. Gerakan itu mulai menanggapi masalah-masalah sosial dan politik yang tidak langsung berhubungan dengan apa yang terjadi di dalam universitas. Apa yang terjadi di Kolumbia di mana masalah penin­dasan komunitas kulit hitam diangkat oleh sejumlah mahasiswa pemberontak mirip dengan apa yang terjadi dalam gerakan mahasiswa Eropa Barat, paling tidak di kalangan elemen yang maju, yang paling peka terhadap masalah-masalah yang dihadapi orang-orang paling tertindas dalam sistem kapitalis dunia.
Mereka terlibat dalam berbagai aksi solidaritas dengan perjuangan pembebasan revolusioner di negara-negara berkembang seperti Kuba, Vietnam dan bagian-bagian tertindas lainnya Dunia Ketiga. Identifikasi bagian-bagian yang paling sadar dalam gerakan mahasiswa di Prancis dengan revolusi Aljazair, dan perjuangan pembebasan Aljazair dari imperialisme Prancis memainkan peranan besar. Ini mungkin kerangka pertama di mana diferensiasi politik yang nyata terjadi di kalangan gerakan mahasiswa kiri. Kalangan mahasiswa yang sama kemudian akan mengambil tempat di depan dalam perjuangan mempertahankan revolusi Vietnamm melawan perang agresi imperialisme Amerika.Di Jerman, simpati kepada orang-orang terjajah dimulai dari titik yang unik. Gerakan protes mahasiswa yang besar dipicu oleh aksi solidaritas dengan buruh, petani dan mahasiswa dari sebuah negara Dunia Ketiga lainnya, yaitu Iran, saat Shah Iran berkun­jung ke Berlin.
Para mahasiswa pelopor tidak sekadar mengidentifikasikan diri mereka dengan perjuangan di Aljazair, Kuba dan Vietnam: mereka memperlihatkan simpati kepada perjuangan pembebabasan dari apa yang disebut Dunia Ketiga secara keseluruhan. Perkembangannya dimulai dari sini. Di Prancis, Jerman, Italia—dan proses yang sama sedang berlangsung di Inggris—tidak akan mungkin memulai aksi yang revolusioner tanpa analisis teori tentang asas dari imperialisme, kolonialisme, dan kekuatan-kekuatan yang mendorong eksploitasi Dunia Ketiga dengan imperialisme, dan di sisi lain, kekuatan yang mendorong perjuangan pembebasan massa yang revolu­sioner menentang imperialisme.Melalui analisis tentang kolonialisme dan imperialisme kekuatan gerakan mahasiswa Eropa yang paling maju dan terorgani­sir kembali kepada titik di mana Marxisme dimulai, yakni analisis tentang masyarakat kapitalis dan sistem kapitalis internasional di mana kita hidup. Jika kita tidak memahami sistem ini, kita tidak akan dapat memahami alasan dilakukannya perang kolonial dan gerakan pembebasan di negeri jajahan. Kita juga tidak akan dapat mengerti kenapa kita harus mengikatkan diri kepada kekuatan-kekuatan ini di tingkat dunia.Di Jerman misalnya, proses ini terjadi dalam waktu kurang dari enam bulan. Gerakan mahasiswa dimulai dengan mempertanyakan struktur universitas yang otoriter, dan terus menuju masalah imperialisme dan keadaan Dunia Ketiga, dan dengan menghubungkan diri dengan gerakan pembebasan maja timbul kebutuhan menganalisis kembali neo-kapitalisme di tingkat dunia dan di negeri di mana mahasiswa-mahasiswa Jerman itu bergerak. Mereka kembali kepada titik awal analisis Marxis tentang masyarakat di mana kita hidup untuk memahami alasan-alasan terdalam dari masalah sosial dan perlawanan.

Kesatuan Teori dan Aksi

Dalam proses keseluruhan kesatuan teori dan aksi yang dina­mis, teori kadang ada di depan aksi dan sewaktu-waktu aksi tampil di depan teori. Bagaimanapun, pada setiap titik keharusan per­juangan mendesak para aktivis untuk memantapkan kesatuan ini pada tingkat yang lebih tinggi.Untuk memahami proses yang dinamis ini kita harus menyadari bahwa mempertentangkan aksi langsung dengan studi yang mendalam itu sepenuhnya keliru. Saya tersentak ketika mengikuti Konferensi Sarjana Sosialis dan pertemuan lainnya yang saya ikuti di Amerika selama dua minggu terakhir, melihat bagaimana pemisahan teori dan praktek terus dipertahankan. Saya seperti sedang mengikuti perde­batan di antara orang-orang tuli, di mana sebagian pengunjung mengatakan, “yang penting aksi! Tidak perlu yang lain, yang penting aksi!” sementara di pihak lain ada yang mengatakan, “Tidak, sebelum bisa aksi, kita harus tahu apa yang dikerjakan. Duduk, belajar, dan tulis buku.” (tepuk tangan)
Jawaban yang jelas dari pengalaman sejarah gerakan revolu­sioner, bukan hanya dari periode Marxis tapi bahkan dari periode pra-Marxis, adalah kenyataan bahwa keduanya tidak dapat dipisah­kan (tepuk tangan) Aksi tanpa teori tidak akan efisien atau tidak akan berhasil melakukan perubahan yang mendasar, atau seperti saya katakan sebelumnya, kita tidak dapat membebaskan manusia tanpa sadar. Di pihak lain, teori tanpa aksi tidak akan mendapat watak ilmiah yang sejati karena tidak ada jalan lain untuk mengu­ji teori kecuali melalui aksi.
Setiap bentuk teori yang tidak diuji melalui aksi bukan teori yang sahih, dan dengan sendirinya menjadi teori yang tidak berguna dari sudut pandang pembebasan manusia. (tepuk tangan) Hanya melalui usaha terus menerus memajukan keduanya pada saat bersamaan, tanpa pemisahan kerja, maka kesatuan teori dan aksi dapat dimantapkan, sehingga gerakan revolusioner tersebut, apapun asal usul maupun tujuan sosialnya, dapat mencapai hasilnya. Dalam hubungannya dengan pemisahan kerja, ada satu hal lain yang membuat saya tersentak, dan benar-benar menyentak karena diajukan dalam satu pertemuan orang-orang sosialis. Pemisahan teori dan aksi yang sudah begitu buruk, kini diberi satu dimensi baru dalam gerakan sosialis ketika dikatakan: di satu pihak ada para aktivis, orang-orang awam yang kerja kasar. Di pihak lain adalah elit yang kerjanya berpikir. Jika elit ini terlibat dalam aksi demonstrasi, maka mereka tidak akan punya waktu berpikir atau menulis buku, dan dengan begitu maka ada elemen berharga dalam perjuangan yang akan hilang.
Saya katakan bahwa setiap pernyataan yang menyebut adanya pemisahan kerja manual dan kerja pikiran di dalam gerakan revolu­sioner, yang memisahkan barisan aksi yang kerja kasar dan elit yang kerja pikiran, secara mendasar bukan pernyataan sosialis. Pernyataan itu bertentangan dengan salah satu tujuan utama dari gerakan sosialis, yang ingin mencapai penghapusan pemisahan kerja manual dan intelektual (tepuk tangan) bukan hanya dalam organisa­si tapi, lebih penting lagi, dalam masyarakat secara keseluruhan. Orang-orang sosialis revolusioner pada 50 atau 100 tahun yang lalu belum dapat melihat hal ini dengan jelas, seperti kita sekarang ini, saat sudah ada kemungkinan obyektif untuk mencapai tujuan itu. Kita sudah memasuki satu proses teknologi dan pendi­dikan yang memungkinkan tercapainya hal itu. Salah satu pelajaran berharga yang harus kita ambil dari kemunduran Revolusi Rusia, adalah jika pemisahan antara kerja manual dan kerja intelektual dipertahankan pada masyarakat yang sedang dalam transisi dari kapitalisme menuju sosialisme dalam bentuk lembaga, maka hasilnya pasti meningkatkan birokrasi dan menciptakan ketimpangan baru dan bentuk-bentuk penindasan manusia yang tidak sesuai dengan kemakmuran sosialis. (tepuk tangan)
Jadi kita harus mulai dengan menghapus sebisa mungkin setiap gagasan tentang pemisahan kerja manual dan kerja pikiran dalam gerakan revolusioner. Kita harus bertahan bahwa tidak akan ada teoretisi yang baik jika tidak terlibat dalam aksi, dan tidak akan ada aktivis yang baik jika tidak dapat menerima, memperkuat dan memajukan teori. (tepuk tangan)
Gerakan mahasiswa Eropa telah mencoba mencapai hal ini sampai tingkat tertentu di Jerman, Prancis dan Italia. Di sana muncul pemimpin-pemimpin mahasiswa agitator yang juga dapat, jika diperlukan, membangun barikade dan bertempur mempertahankannya, dan pada saat yang dapat menulis artikel bahkan buku teoretis dan berdiskusi dengan sosiolog terkemuka, ahli politik dan ekonomi dan mengalahkan mereka dalam bidang ilmu mereka sendiri. (tepuk tangan) Hal ini makin memperkuat keyakinan bukan hanya tentang masa depan gerakan mahasiswa tapi juga tentang masa ketika orang-orang ini sudah berhenti menjadi mahasiswa, dan harus berjuang di bidang lain.

Perlunya Organisasi Revolusioner

Sekarang saya ingin berbicara tentang aspek lain dari kesat­uan teori dan aksi yang sudah menjadi perdebatan dalam gerakan mahasiswa Eropa dan Amerika Utara. Saya secara pribadi yakin bahwa tanpa organisasi yang revolusioner, bukan suatu formasi yang longgar tapi sebuah organisasi yang serius dan permanen sifatnya, maka kesatuan teori dan praktek tidak akan bertahan lama. (tepuk tangan)
Ada dua alasan. Yang pertama berhubungan dengan asas dari mahasiswa sendiri. Status kemahasiswaan, hanya berlaku untuk jangka waktu yang singkat, tidak seperti buruh. Ia bisa menetap di universitas selama empat, lima, enam tahun, dan tidak ada yang dapat memperkirakan apa yang terjadi setelah ia meninggalkan universitas. Pada kesempatan ini saya sekaligus ingin menjawab salah satu argumen demagogis yang telah digunakan sejumlah pemim­pin partai-partai komunis di Eropa yang menentang perlawanan mahasiswa. Dengan nada sinis mereka mengatakan: “Siapa mahasiswa-mahasiswa itu? Hari ini mereka berontak, besok mereka akan menja­di bos yang menindas kita. Kita tidak perlu memperhitungkan aksi-aksi mereka dengan serius.”
Ini adalah argumen yang tolol karena tidak mempertimbangkan transformasi revolusioner dari peranan lulusan universitas sekar­ang ini. Jika mereka melihat angka-angka statistik, maka mereka akan tahu bahwa hanya sebagian kecil dari lulusan universitas yang bisa menjadi kapitalis atau agen-agen langsung dari para kapitalis ini. Apa yang mereka khawatirkan mungkin saja menjadi kenyataan jika jumlah lulusan itu hanya 10.000, 15.000 atau 20.000 orang dalam satu tahun. Tapi sekarang ada satu juta, empat juta, lima juta mahasiswa, dan tidak mungkin kebanyakan dari mereka akan menjadi kapitalis atau manejer perusahaan karena tidak ada lowongan sebanyak itu untuk mereka.
Argumen demagogis ini ada benarnya. Lingkungan akademis memang memiliki konsekuensi tertentu terhadap tingkat kesadaran sosial dan aktivitas politik seorang mahasiswa. Selama ia tetap di universitas, maka lingkungannya mendukung aktivitas politik. Ketika ia meninggalkan universitas, lingkungan ini tidak ada lagi di sekelilingnya, dan ia makin mudah ditekan oleh ideologi dan kepentingan borjuasi atau borjuasi kecil (petty-bourgeoisie). Ada ancaman bahwa ia akan melibatkan dirinya dalam lingkungan sosial yang baru ini, apapun bentuknya. Ada kemungkinan terjadinya proses mundur ke posisi intelektual reformis atau liberal kiri yang tidak lagi berhubungan dengan aktivitas revolusioner.
Penting untuk mempelajari sejarah SDS Jerman, yang dalam hal ini adalah gerakan mahasiswa revolusioner yang paling tua di Eropa. Setelah dikeluarkan dari kalangan Sosial Demokrat Jerman sembilan tahun yang lalu satu generasi mahasiswa SDS yang militan meninggalkan universitas. Setelah beberapa tahun, dengan tidak adanya organisasi revolusioner, kebanyakan orang-orang militan ini, terlepas dari keinginan mereka untuk tetap teguh dan menjadi aktivis sosialis, tidak aktif lagi dalam politik dari sudut pandang revolusioner. Jadi, untuk memelihara kelanjutan aktivitas revolusioner ini, kita harus punya organisasi yang lebih luas jangkauannya dari organisasi mahasiswa biasa, sebuah organisasi di mana mahasiswa dan bukan mahasiswa dapat bekerja sama.Dan ada alasan yang lebih penting lagi, di balik kepentingan kita memiliki satu organisasi partai. Karena tanpa organisasi semacam itu, tidak akan dapat dicapai kesatuan aksi dengan kelas buruh industri, dalam pengertian yang paling umum sekalipun. Sebagai Marxis, saya tetap yakin bahwa tanpa aksi kelas buruh tidak akan mungkin masyarakat borjuis ini ditumbangkan dan itu berarti tidak mungkin juga dibangun masyarakat sosialis. (tepuk tangan)
Di sini sekali lagi kita lihat bagaimana pengalaman gerakan mahasiswa, pertama di Jerman, lalu Prancis dan Italia, sudah berhasil mencapai kesimpulan teoretis tersebut dalam praktek. Diskusi yang sama tentang relevan atau tidaknya kelas buruh industri bagi aksi revolusioner dilakukan setahun atau bahkan enam bulan yang lalu di negara-negara seperti Jerman dan Italia.Masalah ini ditempatkan dalam praktek bukan hanya oleh peristiwa revolusioner selama Mei-Juni 1968 di Prancis, tapi juga oleh aksi bersama mahasiswa di Turin dengan buruh Fiat di Italia. Ini juga diperjelas dengan usaha-usaha sadar dari SDS Jerman untuk melibatkan bagian dari kelas buruh di dalam agitasi mereka di luar universitas menentang perusahaan penerbit Springer dan kampanyenya dalam mencegah diberlakukannya undang-undang darurat yang akan mencegah kebebasan sipil.
Pengalaman seperti ini mengajarkan gerakan mahasiswa di Eropa Barat bahwa mereka harus menemukan jembatan dengan kelas buruh industri. Masalah ini memiliki sejumlah aspek yang berbeda dengan tingkatan yang berbeda pula. Ada masalah programatik yang tidak dapat saya jabarkan sekarang. Hal yang diungkapkan di sini adalah bagaimana mahasiswa dapat mendekati buruh, bukan sebagai guru, karena buruh tentunya menolak hubungan seperti itu, tapi dengan cara masuk ke dalam lapangan kepentingan yang sama. Terutama diuraikan masalah organisasi partai. Selain penga­laman kalah beberapa kali untuk membangun kolaborasi di tingkat rendahan dalam aksi-aksi langsung antara sejumlah kecil mahasiswa dan sejumlah kecil buruh, setelah tiga sampai delapan bulan, persekutuan itu akan hilang. Bahkan jika kalian memulai lagi dari awal, dan saat keseimbangan sudah tercapai, maka sedikit saja yang tersisa.
Kegunaan organisasi revolusioner yang permanen adalah untuk menyediakan integrasi timbal balik antara mahasiswa dan perjuan­gan kelas buruh oleh para pelopornya secara terus menerus. Ini bukan sekadar kesinambungan yang sederhana dalam batas waktu tertentu, tapi sebuah kelanjutan ruang antara kelompok-kelompok sosial yang berbeda yang memiliki tujuan sosialis revolusioner yang sama.Kita harus kritis melihat apakah integrasi seperti ini memang mungkin secara obyektif. Melihat pengalaman di Prancis, Italia, dan sejumlah negara Eropa Barat lainnya, maka dengan mudah kita bisa bilang ya. Dan garis inipun dapat dipertahankan di Amerika Serikat. Dengan alasan-alasan historis yang juga tidak dapat saya uraikan sekarang, sebuah situasi khusus muncul di Amerika Serikat di mana mayoritas kelas buruh, yakni kelas buruh kulit putih, belum menerima gagasan sosialis tentang aksi revolu­sioner. Ini fakta yang tidak dapat ditandingi.
Tentu saja hal ini dengan cepat dapat berubah. Sejumlah orang berpendapat seperti itu di Prancis, hanya beberapa minggu sebelum tanggal 10 Mei 1968. Namun, bahkan di Amerika Serikat, ada minoritas dalam kelas buruh industri yang penting, yaitu buruh kulit hitam. Tak seorangpun bisa mengatakan bahwa setelah dua tahun terakhir mereka tidak dapat menerima gagasan sosialis atau tidak mampu menjalankan aksi revolusioner. Di sini paling tidak ada kemungkinan langsung terjadinya kesatuan antara teori dan praktek di sebagian kalangan kelas buruh.
Sebagai tambahan, kiranya penting untuk menganalisa kecen­derungan sosial dan ekonomi yang dalam jangka panjang akan meng­guncang ketidakpedulian politik yang platen dan konservatisme kelas buruh kulit putih. Pelajaran dari Jerman dengan lingkungan yang sangat mirip membuktikan bahwa hal itu mungkin terjadi. Beberapa tahun lalu di kalangan kelas buruh di Jerman mengendap stabilitas, konservatisme, dan integrasi masyarakat kapitalis yang tidak terguncang, sama seperti Amerika Serikat di mata banyak orang sekarang ini. Hal ini sudah mulai berubah. Kasus ini memperlihatkan bahwa pergeseran kecil di dalam perimbangan kekua­tan, yaitu penurunan tingkat ekonomi, dan serangan dari pengusaha terhadap struktur serikat buruh tradisional dan hak-hak dapat menciptakan ketegangan sosial yang mampu mengubah banyak hal.
Tugas saya di sini tidak lebih dari memberi informasi kepada kalian tentang masalah-masalah perjuangan kelas kalian sementara tugas kalian adalah menyadari bahwa kalian harus bergabung dengan buruh. Saya hanya akan menunjukkan satu di antara sekian banyak saluran tempat kesadaran sosialis dan aktivitas revolusioner dapat menghubungkan mahasiswa dan buruh, seperti ditunjukkan bukan hanya oleh Eropa Barat tapi juga oleh Jepang. Rangkaian penghubung ini adalah pemuda dari kalangan kelas buruh. Sebagai konsekuensi dari perubahan teknologi selama beberapa tahun terak­hir yang mempengaruhi struktur kelas buruh, sistem pendidikan borjuis tidak dapat mempersiapkan buruh-buruh muda, atau sebagian dari buruh muda ini, untuk memainkan peran baru dalam teknologi yang telah berubah bahkan dari sudut pandang para kapitalis sendiri. Amerika Serikat adalah contoh yang jelas tentang kehan­curan total dari pendidikan bagi buruh muda berkulit hitam yang tingkat penganggurannya sama tinggi seperti tingkat rata-rata pengangguran seluruh kelas buruh di masa depresi. Kenyataan ini memperlihatkan apa yang tengah terjadi di kalangan pemuda kulit hitam negeri itu. Ini hanyalah ekspresi dari kecenderungan umum yang mendikte kepekaan ekstrem terhadap segala sesuatu yang terjadi di kalangan muda. Kebusukan dan kemacetan sistem sosial sekarang ini jelas menunjukkan ketidakberpihakan para penguasanya kepada kaum muda. Para penguasa Prancis selama peristiwa Mei tidak membeda-bedakan antara mahasiswa, pegawai dan buruh muda. Mereka memperlakukan semuanya sebagai musuh.Contoh kongkret dari ini adalah insiden di Flins ketika terjadi demonstrasi besar. Setelah seorang anak sekolah dibunuh oleh polisi muncul kegelisahan besar. Polisi bergerak masuk dan mulai memerika para demonstran, memerika kartu identitas orang-orang yang lewat. Setiap orang yang berusia di bawah 30 tahun ditangkap karena dianggap potensial sebagai pemberontak, sebagai orang yang akan bergerak menghantam polisi. (tepuk tangan)
Jika kalian secara seksama membaca buku-buku sekarang, industri film dan bentuk-bentuk refleksi kenyataan sosial yang lain di dalam suprastruktur budaya selama lima atau sepuluh tahun terakhir, kalian akan lihat bahwa di samping semua pembicaraan yang palsu tentang kenakalan remaja, kaum borjuis telah menggam­barkan jenis pemuda yang dihasilkan sistemnya dan juga semangat memberontak dari kaum muda. Ini tidak terbatas bagi mahasiswa atau kelompok minoritas seperti orang kulit hitam di Amerika Serikat. Ini juga berlaku bagi buruh-buruh muda.Kiranya perlu dipelajari apa yang ada lingkungan buruh-buruh muda karena perjuangan memenangkan mereka kepada kesadaran sosia­lis, kepada gagasan-gagasan revolusi sosialis kelihatannya pent­ing bagi negeri-negeri Barat selama sepuluh sampai limabelas tahun mendatang. Jika kita berhasil mengangkat kaum muda yang terbaik menjadi sosialis revolusioner—saya pikir ini sudah mulai dilakukan di negeri-negeri Eropa Barat—kita bisa yakin tentang kemajuan gerakan kita. Jika kemungkinan ini lepas dan kebanyakan orang muda berpihak ke kalangan ekstrem kanan, maka kita akan kalah dalam perjuangan yang menentukan dan akan masuk ke dalam liang kubur bersama sosialis Eropa dan gerakan revolusioner di tahun 1930-an.
Persatuan teori dan praktek juga berarti bahwa serangkaian gagasan kunci dari gerakan sosialis dan tradisi revolusioner telah ditemukan kembali sekarang. Aku tahu bahwa sebagian orang dalam gerakan mahasiswa di Amerika Serikat ingin menciptakan sesuatu yang sama sekali baru. Aku sepenuh hati setuju dengan setiap usulan yang menginginkan sesuatu yang lebih baik, karena apa yang telah dicapai oleh generasi-generasi sebelumnya juga kurang meyakinkan dari sudut pandang pembangunan masyarakat sosialis. Tapi penting juga aku utarakan peringatan. Jika kalian menyangka sedang menciptakan sesuatu yang baru, yang sebenarnya sedang dilakukan adalah mundur ke masa lalu yang jauh lebih terbelakang dari masa lalu Marxisme.
Semua gagasan baru yang dimajukan dalam gerakan mahasiswa di Eropa selama tiga atau empat tahun terakhir, dan menjadi populer di kalangan mahasiswa Amerika Serikat, sebenarnya sudah sangat tua umurnya. Alasannya sangat sederhana. Kecenderungan logis dari evolusi sosial dan kecenderungan kritik sosialis dikembangkan dalam jalur para pemikir besar abad 18 dan 19. Terlepas dari kalian suka atau tidak, hal itu memang benar, dan berlaku bagi ilmu sosial sekaligus ilmu alam yang rangkaian hukumnya dicipta­kan di masa lalu. Jika kalian ingin mengembangkan kecenderungan baru, kalian harus maju dari landasan yang merupakan hasil ter­baik dari generasi-generasi sebelumnya. Keinginan untuk senantiasa menciptakan sesuatu yang baru hanyalah satu aspek awal dari radikalisme mahasiswa. Ketika gerakan sudah berkembang menjadi besar dan bisa memobilisasi massa yang besar maka yang akan terjadi adalah sebaliknya seperti ditunjukkan para sosiologis Prancis ketika melihat kejadian bulan Mei 1968. Saat itu massa mahasiswa revolusioner yang luas ber­juang menemukan kembali tradisi sejarah dan akar-akar historis mereka. Mereka seharusnya sadar bahwa mereka akan lebih kuat jika mengatakan: perjuangan kami adalah perpanjangan dari perjuangan untuk kebebasan yang dimulai 150 tahun lalu, atau bahkan 2.000 tahun lalu ketika budak-budak pertama memberontak terhadap tuannya. Ini akan jauh lebih meyakinkan daripada mengatakan: kami melakukan sesuatu yang sama sekali baru yang terputus dari sejar­ah dan terisolasi dari keseluruhan masa lalu seakan masa lalu tidak pernah mengajarkan apa-apa kepada kita dan tidak ada yang dapat kita pelajari dari itu. (tepuk tangan)
Masalah ini akhirnya akan membawa aktivis mahasiswa kembali pada beberapa konsep historis dasar dari sosialisme dan Marxisme. Kita telah melihat bagaimana gerakan mahasiswa di Prancis, Jer­man, Italia dan sekarang Inggris kembali kepada gagasan-gagasan revolusi sosialis dan demokrasi buruh. Bagi seseorang seperti saya, sangat menggembirakan melihat bagaimana gerakan revolusion­er Prancis mempertahankan hak kebebasan berbicara, dan menghu­bungkannya dengan tradisi terbaik dari sosialisme. Pertemuan kalian sekarang ini juga memperbarui kembali tradisi internasion­alisme dari sosialisme lama dan Marxisme ketika kalian bilang bahwa perlawanan mahasiswa bersifat mendunia dan bahwa gerakan mahasiswa itu bersifat internasional. Ini adalah internasionalisme yang sama, dengan akar-akar dan tujuan yang sama seperti internasionalisme dari sosialisme, sama seperti internasionalisme dari kelas buruh. Masalah-masalah internasional yang dihadapi adalah masalah solidaritas dengan kawan-kawan kita di Meksiko, Argentina dan Brasil yang memimpin perjuangan besar, yang mengangkat revolusi Amerika Latin ke tingkat lebih tinggi setelah menderita kekalahan karena kepemim­pinan yang buruh, reaksi internal dan represi imperialis selama tahun-tahun belakangan ini. Kita harus menyanjung kekuatan maha­siswa-mahasiswa Mexico. (tepuk tangan) Dalam beberapa hari mereka telah mengubah situasi politik secara mendasar di negeri itu dan membuang topeng demokrasi palsu yang dipasang pemerintah Mexico untuk menerima jutaan dolar dari penonton-penonton Olimpiade. Sekarang setiap orang yang menonton Olimpiade akan tahu bahwa ia telah mengunjungi negeri di mana para pemimpin serikat buruh kereta apinya ditahan bertahun-tahun setelah masa tahanan mereka berakhir; negeri di mana banyak pemimpin politik kalangan kiri dipenjara bertahun-tahun tanpa pengadilan, di mana pemimpin mahasiswa dan ribuan milisi mahasiswa ditahan di penjara tanpa landasan hukum. Protes mereka yang heroik memiliki konsekuensi bagi masa depan politik Meksiko dan perjuangan kelas di negeri itu. (tepuk tangan)
Penting juga kiranya mengutarakan beberapa patah kata ten­tang mahasiswa tahanan di negeri-negeri semi kolonial lainnya, yang tidak pernah dibicarakan orang, seperti pemimpin mahasiswa Kongo yang telah ditahan selama hampir satu tahun karena mengor­ganisir sebuah demonstrasi kecil menentang perang Vietnam ketika wakil presiden Humphrey bertandang ke sana. Kita tidak boleh lupa bahwa pemimpin-pemimpin mahasiswa Tunisia yang ditahan selama dua belas tahun dengan alasan yang sama, memimpin sebuah demonstrasi. Duabelas tahun di penjara! Kita harus menyadarkan masyarakat agar kejahatan penindas seperti ini tidak akan terlupakan.
Akhirnya, kita tidak boleh lupa perjuangan melawan intervensi Amerika Serikat di Vietnam, yang tetap menjadi perjuangan utama di dunia sekarang ini. Dengan dimulainya negosiasi itu di Paris, tidak berarti bahwa tidak ada yang dapat kita lakukan untuk membantu perjuangan kawan-kawan kita di Vietnam. Untuk itu, saya mengajak kalian ikut dalam aksi dunia yang dimulai oleh gerakan mahasiswa Jepang, Zengakuren, Federasi Mahasiswa Revolu­sioner Inggris bersama dengan Kampanye Solidaritas Vietnam, dan Komite Mobilisasi Mahasiswa di sini. Ini adalah Minggu Solidaritas untuk revolusi Vietnam, dari tanggal 21 sampai 27 Oktober. Minggu ini ratusan ribu mahasiswa, buruh muda dan revolusioner muda akan turun ke jalan bersamaan untuk mencapai tujuan-tujuan yang diajukan kawan-kawan Vietnam! Perlihatkan pada dunia bahwa di Amerika Serikat ada ratusan ribu orang yang menginginkan penarikan kembali pasukan Amerika dari Vietnam. Itu pasti akan berhasil. (terputus oleh tepuk tangan)[]