Kamis, 31 Mei 2012


Hari sudah sangat larut, bahkan sudah bisa disebut dini hari, namun saya masih terjaga di depan ACER ASPIRE ONE 722 untuk utak-atik ulang blog yang selama ini menjadi tempat bernaung hasil ketikan jemari kecil ini. masih terngiang apa yang dikatakan oleh salah seorang teman, "bulan depan, mb mw ngalahin jumlah visitormu can...." saya hanya menjawab dengan canda, "he he... mb dapet visitor 4000, candra udah dapet 10.000"..

Blogging itu menyenangkan, hanya itu tujuanku, ditengah rutinitas kuliah, organisasi, kerja, saya bisa refresh bareng satu atau dua jam untuk menceritakan hal-hal kecil yang saya dapat hari itu. saya bercerita tentang apa saja, tentang kawan lama, kuliah, aktivitas.. yahh.. itung-itung melatih kelihaian merangkai kata. saya tak peduli ada yang membaca atau tidak, yang penting saya suka.

Malam ini seperti biasa, saya iseng-iseng "nge-tag" link blog saya ke temen-temen yang masih online di FB. tidak banyak respon,... mungkin mereka sudah tidur. Tapi tiba-tiba ada yang membalas "terus semangat can.." dan kontan saya jawab "ayo, blogging... sedikit berbagi dengan yang lain" dan seketika itu ia menjawab "aku tak punya apa-apa untuk dibagi, setidaknya belum ."


huftt... saya menghela nafas sesaat, sebuah angan melayang ke kota metropolitan yang disebut jakarta. dalam hati bergumam, siapalah saya dibanding dirinya, seorang mahasiswi di bumi ruwa jurai dengan segala kekurangannya, bukan kota jakarta yang dekat dengan segala akses... siapalah saya, bukan seorang pimpinan lembaga atau punggawa gerakan, hanya seseorang yang namanya terdaftar di beberapa organisasi dan punya kapasitas yang biasa-biasa saja. namun kenapa saya berani berbagi cerita ???

saya memang bukan aktor di dalam sebuah cerita, bukan inspirator, buka orang yang berkapasitas, tapi apa salahnya jika kita menceritakan tentang orang-orang yang menginspirasi kita? apa salahnya jika kita bercerita tentang pengalaman berjumpa dengan orang-orang yang luar biasa. walau saya bukan orang yang berkapasitas itu, tapi saya orang yang beruntung karena bisa berjumpa dengan orang-orang yang berkapasitas.


Ibarat sebuah pembangkit tenaga listrik, saya bukanlah turbin penghasil energi, tapi saya bisa menjadi konduktor, ya.! penghantar untuk mengalirkan listrik-listrik itu kerumah-rumah, ya, saya hanya menghantarkan aliran listrik, tapi saya tidak pernah tahu, rumah mana yang memiliki televisi, radio, lampu pijar, sehingga bisa merubah energi listrik menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat, atau mungkin ada rumah-rumah tertentu yang punya mesin-mesin produksi, mereka memproduksi pakaian, makanan, perkakas, dll. atau ada yang punya komputer dirumahnya, ia sedang menggerakkan jari-jarinya untuk menulis sebuah buku baru, atau merancang sebuah sofware baru yang siap menggemparkan dunia.... luar biasa.... !!! saya tidak pernah tau berlian jenis apa yang terpendam dalam pribadi setiap manusia, karena tugas saya sederhana, sesederhana menjadi seorang penghantar yang biasa-biasa saja. dan inilah wujud syukur saya pada Sang Pemberi Kesempatan.












Rabu, 30 Mei 2012


Dengan menekankan tugas Media Watch menjaga demokratisasi kebebasan pers, Wakil Pemimpin Umum/Penanggung Jawab Media Watch and Consumer Center (MWCC) Doddy Yudhista membuka diskusi bertajuk "Media Watch dan Urgensinya dalam Peningkatan Kualitas Kemerdekaan Pers" di The Habibie Center pada 15 Juli 2005. Diskusi yang dipandu oleh Afdal M. Putra itu menghadirkan Leo Batubara, Ketua Divisi Pengaduan Dewan Pers; Bambang Harymurti, Pemimpi Redaksi Majalah Tempo dan Koran Tempo; Agus Sudibyo dari ISAI, dan Prof. Muladi, Ketua Dewan Pengurus The Habibie Center. Media Watch THC, kata Yudhista, didirikan tahun 2000 bersamaan dengan peluncuran THC di bawah Media Development Center, dengan kedudukan independen.


 

Membahas kualitas kemerdekaan pers, Leo Batubara menekankan tentang kebebasan dari (freedom from) yakni kemerdekaan dari penindasan dan belenggu penguasa. Sedangkan  kebebasan untuk (freedom for) meliputi kemerdekaan untuk memaknai kebebasan pers antara lain dengan melaksanakan keempat fungsi pers yakni, 1. pendidikan, 2. informasi, 3. hiburan, dan 4. kontrol sosial. Batubara juga antara lain mengutip penelitian Reporter Sans Frontier yang berkedudukan di Paris betapa di masa pemerintahan Preside B.J. Habibie  pers Indonesia digolongkan terbebas di Asia tetapi di tahun 2004 terpuruk ke   posisi ke-117 dari 167 negara yang diteliti. Sebabnya tak lain karena adanya sekian media diancam denda bahkan pelakunya divonis penjara.

Lalu, siapa yang mengontrol pers? Menurut Batubara, hati nurani masing-masinglah pengendalinya. Lalu, kontrol eksternal, dilakukan masyarakat, media watch, organisasi pers, dewan pers, dan jalur hukum. Media watch, katanya, juga perlu diawaki personel yang memiliki pengetahuan dan kompetensi dalam hukum pers serta digaji secara profesional. Di tahun pertama, kedua dan ketiga reformasi ada 20-an media watch, tetapi makin  menyusut sehingga barangkali sekarang tinggal satu atau dua saja. Disayangkan, karena majunya pers sejalan dengan majunya media watch. Di Amerika, film makin maju karena tukang kritiknya banyak, yang siap membantai. "Kita punya tukang kritik, kalau tidak diberdayakan maka pers bisa berkembang keluar koridor," kata Batubara.

Bambang Harymurti memaparkan pentingnya pers yang bermutu untuk membantu masyarakat mengambil keputusan yang makin tinggi kualitasnya dalam menghadapi tantagan-tantangan. Tetapi kalau media penyedia informasi ini sampai dimanipulasi badan-badan tertentu, siapa yang menjadi watch-dog-nya. Inilah peran yang harus diambil oleh media watch. Karena setelah terbebas dari kendali pemerintah, pers menjadi sasaran kekuatan-kekuatan di luar pemerintahan, entah politik, bisnis, atau lainnya. Di Italia seorang konglomerat media bisa menjadi perdana menteri, demikian juga di Amerika Latin. "Ini tentu tak kita inginkan terjadi di Indonesia," kata Harymurti. Ia menekankan bahwa media watch itu "suatu keniscayaan, kalau kita ingin mempunyai media yang sehat."

 
 

Masyarakat perlu lebih awas. Masyarakat sudah  kritis tetapi media watch diperlukan, kata Harymurti,  "justru guna meningkatkan daya kritis itu, untuk memberikan semacam warning, begitu. Media watch juga perlu bagi lembaga konsumen, sebagai alat bantu dalam mengawasi produk-produk konsumsi.

Tantangan bagi media watch, kata Harymurti pula, adalah "bagaimana melakukan fungsinya sehingga media massa yang dipantaunya sehat." Sehat dalam berperan semaksimal mungkin untuk menumbuhkan masyarakat yang berpaham (informed) karena  media massanya memberikan informasi yang credible, akurat dan tepat waktu serta independen. Dengan demikian "proses demokratisasi yang tak pernah henti terus berjalan ke arah yang kita kehendaki."

Dalam pengamatannya, Agus Sudibyo mengatakan bahwa yang dilakukan media dari hari ke hari hanyalah memproduksi amunisi yang bisa digunakan  musuh-musuh pers untuk menghantam pers sendiri. "Sebenarnya kalau kita mau melihat, banyak fakta yang menunjukkan betapa pemerintah, TNI, tidak happy dengan kebebasan pers yang berlangsung sejak 1998. Yang mereka lakukan sebenarnya hanya mengais-ngais momentum, mengumpulkan alasan, bukti untuk mengatakan bahwa pers tidak bisa dibiarkan tumbuh sendiri, harus diatur lagi," kata Sudibyo.

Ini sebuah kondisi yang "menurut hemat saya harus menjadi alasan bahwa media watch itu sangat dibutuhkan." Di lain sisi, kenyataan juga menunjukkan bahwa setiap kali acara diadakan dalam kerangka kritik terhadap pers, tak ada wartawan yang datang. Jadi harus disiasati, misalnya dengan juga memberikan reward  bagi karya pers yang dinilai bagus. "Jadi," kata Sudibyo, "perlu ada reward and punishment."

Kemudian, apa fungsi media watch dalam kondisi seperti itu?  Yang pertama jelas membantu media untuk mengevaluasi dirinya sendiri. Ini penting sekali karena tidak banyak media yang serius mengembagkan divisi penelitian dan pengembangan. Kedua, memberi peringatan kepada publik untuk menyikapi media secara kritis dan jernih. Ketiga, memberi penyadaran kepada semua pihak untuk bersikap proporsional terhadap media. Misalnya, jangan mengkritik media dengan cara-cara premanistis. Mungkin mengkritik  dengan hasil penelitian, barangkali lebih perlu dikembangkan.

Muladi, sebagai ketua tim RUU KUHP nasional, memaparkan bahwa prinsip yang digunakan dalam bidang politik hukum adalah prinsip persamaan dalam hukum, dan "kami tidak melihat insan pers sebagai seseorang atau beberapa orang yang mempunyai privilege (hak istimewa) di dalam negara demokrasi. Yang kami tuntut dalam pidana itu bukan pers sebagai pembawa misi demokratiknya melainkan bagian dari tanggung jawab individualnya, yang mungkin tidak profesional." Yakni,  pers melakukan penipuan, manipulasi  atau malapraktik lainnya.  Jadi "mengapa harus takut pada UU Pidana kalau kita baik, professional. Jadi pidana hanya digunakan kalau memang sangat diperlukan. Contohnya pornografi, yang tidak dapat diatasi dengan hukum perdata."

Mass media penting, lebebasan pers juga penting. Tetapi orang jarang berdiskusi tentang mutu jurnalisme. Di Indonesia, mutu jurnalisme memerlukan pembenahan, dan ini terkait dengan prinsip profesionalisme. Begitu juga dengan tanggung jawab sosial, dan ketiga adalah ketaatan kepada kode etik. "Dalam ketiga hal itu kita masih miskin sehingga pembatasan-pebatasan itu saya kira masih diperlukan,"  kata Muladi. Ia menyayangkan penelitian Reporter Sans Frontiers yang tidak  mengikutsertakan pengukuran tentang mutu jurnalisme. 


Muladi juga meminta perhatian tentang orang-orang yang menjadi korban pemberitaan pers; mereka sangat menderita akibat stigmatisasi di masyarakat: selingkuh, korupsi dll. Jadi pers jangan  ingin bebas saja. Pers bebas memang bagian dari demokrasi, tetapi ada persyaratan-persyaratan yang harus diperhatikan; moralitas dari kepentingan yang lain, civil morality, potential victims atau bahkan pernah jadi korban malapraktik pers.

Jadi menurut hemat Muladi, parameter media watch adalah, UUD, acuan kepada instrumen internasional tentang HAM, dan kebebasan mengutarakan pendapat. Pertama, kalau pers melanggar hak orang lain; kedua, bertentangan dengan ketertiban masyarakat, moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum. Dalam sebuah diskusi internasional pernah dimaklumkan "Universal Declaration of Human Responsibility" (Deklarasi Universal tentang Tanggung Jawab Asasi Manusia) sebagai pasangan dari Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia). Ini akan diajukan ke Sidang Umum PBB oleh International Council yang anggotanya terdiri dari mantan-mantan presiden termasuk B.J. Habibie. (mkr)


dikutip dari : the habibie center



aku ingin hidup dengan sederhana...
sesederhana kayu yang mema'afkan api yang telah menjadikannya abu...
sesederhana air yang mengalir...
sesederhana lambai angin di pucuk-pucuk nyiur...



semanis coklat...!
semanis kue tart !
semanis es krimmm....!

sekilas teringat sebuah angan untuk memulai sebuah gerakan pendidikan yang fokus pada pembekalan soft skill bahasa, ya... bahasa inggris !!! ya... sosial enterprise...!!! memulainya dengan kelompok kecil., secara suka rela... melalui pengajaran bahasa, aku ingin membuka wawasan dan menguatkan karakter anak-anak bangsa. modul sendiri., media pembelajaran sendiri., buletin... majalah., hmmm... punya saung belajar., tempat aku mengajarkan anak-anakku kelak untuk berbagi... dan menjadi titik tolak awal untuk mengkolaborasikan anak-anak muda lainnya... bismillah....



banyak dari kita belajar untuk ikhlas ketika gagal, namun belum belajar untuk ikhlas ketika sukses, itulah yang saya rasakan, setelah 2 tahun kuliah memutuskan untuk pindah prodi dan memulainya dari semester awal, berharap semua berjalan mulus, namun ternyata tidak semudah itu... sering saya menghitung-hitung kapan studi ini selesai, hingga tak jarang membuatku berfikir pragmatis untuk segera lulus, yah... walaupun ada ilmu-ilmu tertentu yang belum bisa kuaplikasikan secara profesional, atau malah kemampuan speaking saya semakin menurun. entah mengapa, saya lebih banyak tidak beruntung, nilai tak keluarlah, absen nyelip lah, atau apalah, hingga kadang tak jarang merenung, siapakah yang tidak ridho atas perjuangan ini ??? sehingga begitu sulit dijalani. tak jarang, hal yang begitu membebani saya adalah usia ? kapan saya lulus? bisakah lulus dibawah 4 tahun ?? bagaimana caranya bisa mendapat beasiswa S2 ? dan alhasil semua itu benar-benar membuat pusing.... hmmmm.... huffttt.....

ditengah kepusingan itulah saya mencoba untuk merenung., sebenernya untuk apa tho saya begitu ribet ngejer beasiswa S2 ? apa tho yang ingin saya raih ? saya ingin memiliki saung-saung belajar yang mengajarkan ilmu, iman, dan amal. apakah saya harus S2 ??? mungkin iya, dan mungkin tidak, namun untuk sekarang belum terlalu perlu. dan lagi-lagi ketika saya harus mengulang satu atau dua mata kuliah, ketika dosen saya kurang profesional memberikan nilai, saya dongkol luar biasa.... karena saya dikejar ambisi yang tidak mendasar...

dan astaghfirullah..... ada apa dengan saya, kenapa saya harus tertekan dengan semua adat kebiasaan orang dimana telah menjadi kewajaran yang lazim bagi mereka, aku terjebak dengan apa yang diciptakan oleh orang lain... bahwa mahasiswa sukses itu harus lulus cepat ! bahwa S2 itu bisa membawa hidup kita lebih baik... jadi dosen itu akan lebih bermanfaat... ketika kuliah ditanya kapan lulus??? setelah lulus ditanya kapan kerja ??? setelah kerja ditanya kapan nikah ??? setelah nikah kapan punya anak ??? setelah punya anak,  kapan punya menantu ??? setelah punya menantu, kapan punya cucu ??? kalaupun pertanyaan "kapan meninggal ?" itu sesuatu yang sopan, mungkin juga sudah ditanyakan... "i don't care !" aku bisa menjadi diriku, melakukan apa yang aku suka, semaksimal yang aku bisa. toh itu tidak membuat saya jauh dari tujuan akhir saya... 



sesederhana api yang membakar kayu... ia tidak peduli akan jadi abu atau arang... ia hanya membakar... melakukan apa yang ia suka dengan semaksimal mungkin... menciptakan kelaziman-kelaziman baru yang lebih bersahabat dengan diriku... memiliki kisah hidup yang berbeda, dan menambah daftar inspirator baru... so... malam ini kuputuskan.. loe??? gue ??? end !!! toh jika pada akhirnya nanti saya juga mendapatkan kesuksesan yang diukur lazim oleh orang-orang, anggaplah itu bonus dari Allah... karena pada akhirnya saya punya tujuan hidup sendiri yang lebih esensial, serta mencoba untuk belajar ikhlas dengan kesuksesan diri kita dari segala lika-likunya, bukan kesuksesan orang dengan ukuran yang justru membatasi paradigma berfikir. bismillah...




semua orang punya impian
dengan impian muncul harapan
semua orang perlu mimpi
karena impian membawa energi,..
impian membuat hati kita tenang
dan menerangi seluruh dunia..
membawamu kearah yang benar
dan mengisi keberanianmu
untuk menjelajahi apa yang ada di depan...

-sampah yang digunakan dengan benar akan menjadi sumber daya-


dalam sebuah film yang berlatar negara singapura i'm not stupid too memberikan makna yang mendalam bagi sebuah dunia pendidikan, baik bagi orang tua maupun guru. sebagai seorang anak kita sering merasa dipaksa menjadi orang tua kita, menjadi pemenang olimpiade sains, ahli komputer, dan sebagainya, padahal si anak memiliki bakat menulis, berorganisasi, ataupun berbagi dengan sesamanya. miskomunikasipun sering terjadi, antara orang tua dan anak. anak merasa kurang perhatian, atau cenderung lebih sering disalahkan, sehingga untuk mencari aman anak lebih cenderung diam, tertutup, dan menyelesaikan maslahnya sendiri, walau bisa jadi dengan cara yang tidak baik, karena selama ini ia tidak memiliki tempat untuk berbagi. anak-anak cenderung lebih terbuka dengan teman sebaya, terlebih yang mengalami masalah yang sama dengan para orang tua. begitupun guru, mereka memaksa siswa untuk mengikuti metode mereka, padahal sangat tidak adil jika setiap siswa disamaratakan, contohnya saja teman yang berasal dari kota, jelas ia memiliki fasilitas belajar yang lebih, ketimbang murid yang baru belajar dari desa. sitim pendidikan negeri inipun menyamaratakan kecerdasan setiap anak, memaksakan semua lulus ujian nasional dengan berbagai secara, benar-benar sebuah sistim pembodohan terstruktur yang sudah didesain dengan rapi.

lain hal dengan orang tua, tidak banyak orang tua yang mengerti bahasa cinta, sehingga anak juga tidak mengerti apa itu cinta. alhasil, kesalahpahaman besarpun terjadi. orang tua merasa telah memberikan segala-galanya bagi anak, namun menurut si anak itu tidak tepat guna, dan bahkan anak merasa menjadi seorang yatim piatu semu yang harus berjuang sendiri dalam hidup ini.

***

baru-baru ini banyak digaungkan pola pendidikan yang condong pada keahlian dan bakat siswa, sehingga setiap anak tumbuh dengan maksimal, karena setiap anak terlahir dengan kecerdasan yang berbeda, jadi sudah saatnya menjadi perhatian tersendiri bagi insan pendidik... jika hal ini benar-benar terimplementasi, tidak akan ada lagi istilah.... 'sebenarnya ia itu pintar, tapi kok nilainya jelek...." ya terang saja, karena standar penilaian juga belum mengcover standar pengukuran yang baik, atau bisa jadi, letak kecerdasan dan ketertarikannya tidak pada bidang itu.

***

dalam hal ini, beberapa abad silam islam telahmengajarkan suatu sistim pendidikan melalui pendekatan fitroh dengan 3 proses, yaitu :

  1. 1. al-basyar, sebagaimana yang tertera di dalam al-qur'an dalam menunjuk manusia sebagai makhluk yang   sama secara lahiriyah (fisik), maka pendidikan harus mampu menyentuh perkembangan potensi fisik peserta didik.
  2. al-insan, bahwa pendidikan harus mampu mengembangkan aspek fisik dan psikis peserta didik. 
  3. an-nas, yang merupakan bentuk jamak dari kata al-insan, maka interaksi pendidikan juga harus mampu menyentuh aspek sosial peserta didik, yaitu aspek hubungan dengan masyarakat.

Dalam hal ini interaksi pendidikan harus mampu membentuk dan mengembangkan seluruh potensi yang ada dalam diri manusia secara optimal serta mampu meminimalisir segala keterbatasan manusia. Dan ketika sampai pada tingkat an-nas, maka insyaallah "pendidikan akan menjadi sebuah pembebasan". segala konflik, peperangan, kemiskinan, perebutan kekuasaan, anak putus sekolah, ketahanan pangan, perkembangan ilmu pengetahuan, semua akan terselesaikan dan tercover dengan baik. bismillah... semoga pendidikan bisa membawa kita untuk segera keluar dari masa kejahiliyahan ini.



Sabtu, 26 Mei 2012




banyak orang mulai menuliskan kisahnya didalam hidup, banyak dari mereka berfikir untuk membuat peta dalam sebuah kehidupan, mulai dari memilih universitas yang terbaik hingga menggambarkan akan meninggalkan dunia ini dengan cara seperti apa. Cerita ini jauh berbeda dengan dulu ketika saya masih SMP dan belum mengenal yang namanya peta hidup. hingga kali pertama saya mengenalnya adalah saat SMA. Hal ini banyak mengubah cara hidup kami, kami lebih percaya pada mimpi, asal merancang setiap langkah dengan baik, maka kemungkinan besar akan tercapai, hingga pada akhirnya saya berjumpa dengan teman-teman yang luar biasa prestatif pada momment-momment tertentu. 

sejak saat itu saya mengenal seseorang yang hingga sekarang masih ada disekitar saya. hingga beberapa saat yang lalu saya iseng-iseng ngobrol dengannya dan ia mengeluarkan sebuah statement. 

memang sepertinya kita harus memilih, antara punya banyak teman dan ambisi untuk berprestasi., dulu aku punya ambisi untuk mengukir prestasi dengan baik, tapi jauh dari teman-teman, dan sekarang saya punya banyak teman, tapi prestasi jadi "menggalau" seperti ini.
 terang saja saya tidak sepakat dengan statement itu, anggap saja saya memiliki orang tua dengan kemampuan berfikir dan finansial yang terbatas, yang membantu saya bertahan hingga hari ini ya teman, dan dibalik apa yang saya raih hari ini ya teman-teman dibelakangnya. sebut saja ketika saya mengikuti perlombaan debat bahasa inggris di dalam sebuah tim, tentu saja, ketika performa saya kurang, itu akan ditutupi oleh teman-teman, ketika kami merancang sebuah event atau gerakan, tentu saja saya berbagi tugas dengan teman, dan ketika saya harus berkampanye untuk parlemenmuda indonesia, ya berkat teman-temanlah saya bisa mengumpulkan dukungan.. padahal saya orang yang sangat malu untuk berkampanye seperti itu.


 


and well... setelah lama kupikirkan, akhirnya aku berfikir kenapa teman saya berfikir demikian. hal ini terjadi karena setiap orang ingin enjadi fungsi yang sama, ingin merah popularitas dan keberhasilan dengan cara yang sama. saya pernah mendengar suatu quotations seperti ini :


jadilah tukang sapu jalanan yang luar biasa, sehingga seisi dunia menengok dan berkata, disini ada seorang tukang sapu yang mempesona.
dan ketika esoknya saya kembali bercengkrama dengan teman saya tadi, iapun sudah menemukan jawaban dari kemarahannya yang lalu 


jadi can, tidak semua harus memegang pedang, ada yang memegang panah, menunggang kuda, memegang tombak, sehingga menjadi suatu pasukan perang yang luar biasa.


dan akhirnya saya menghela nafas lega. itulah yang disebut dengan kolaborasi, tidak semua harus memegang pedang pada sebuah pertempuran, atau pada sebuah panggung ansamble, tidak semua memainkan nada yang sama, sehingga tercipta harmoni suara yang indah. 
 
dalam realitas yang sekarang, banyak yang ingin menjadi nomor satu, tidak terkecuali dalam hingar bingar suksesi kampus. pertempuran antara organisasi mahasiswa islam kerap terjadi. saya terkadang heran, apalah yang membuat mereka berbeda ? dalam hubungannya dengan  non-muslimpun islam mengajarkan musyarokah apalagi dengan sesama muslim ? menurut hemat saya, karena sejauh ini teman-teman berfikir pada fokus konflik, bukan pada fokus kerja. 

hal ini terbukti ketika saya mencoba melempar sebuah isu optimisme pada teman-teman, bagaimana kalo kita menggagas ini dan itu untuk masyarakat, rata-rata dari mereka tertarik dan pada akhirnya kami bekerjasama, pun sebaliknya, ketika ditengah-tengah ada kawand yang kembali pada fokus konflik dan hanya mengecam permasalahan, teman-temanpun menjadi jenuh dan mulai terpecah-pecah lagi. 

itulah mengapa cara nomor satu dalam sebuah manajemen konflik adalah kolaborasi, karena dalam kolaborasi tercipta sebuah semangat win-win solutions.