Senin, 29 Oktober 2012

Oleh Kristian Adi Putra (Mahasiswa Pascasarjana Department of English Language and Linguistics, the University of Arizona, Amerika Serikat)




Dalam orasi ilmiah ketika pengukuhannya sebagai guru besar tetap Universitas Lampung (Unila), Prof. Ag. Bambang Setiyadi, M.A., Ph.D. mengatakan, pengajaran bahasa Inggris secara umum bisa dikatakan gagal. Hal ini disebabkan mayoritas lulusan SMA tidak mampu menggunakan bahasa Inggris untuk berkomunikasi.
KATA gagal dalam pernyataan ini sempat menimbulkan pro dan kontra, baik kalangan sesama akademisi di kampus, guru, maupun siswa-siswi lulusan SMA. Setiap pihak tentu mempunyai argumentasi masing-masing.
Pihak akademisi di kampus tidak mau dianggap menghasilkan lulusan yang tidak mampu mengajar siswa-siswi di sekolah sampai memiliki kompetensi bisa berkomunikasi secara lisan dan tulisan dalam Bahasa Inggris.
Guru bahasa Inggris merasa tidak mendapatkan apresiasi atas kerja kerasnya di sekolah, tidak berhasil, dan tak mau dikatakan tidak bisa mengajar. Sementara siswa-siswi juga berargumentasi kalau memang tuntutan pembelajaran sudah berbeda. Mereka tidak merasa perlu bisa berbicara bahasa Inggris untuk lulus dari SMA.
Dalam pengukuhan guru besar tetap Unila dari jurusan Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Unila yang selanjutnya, Prof. Dr. Patuan Raja, M.Pd. dan Prof. Dr. Cucu Sutarsyah, M.A., permasalahan ini kembali diangkat. Keduanya mengonfirmasi pernyataan Prof. Ag. Bambang Setiyadi, M.A., Ph.D. dan mengatakan kalau ujian nasional (UN) yang diamanatkan UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas Pasal 58 Ayat (2) turut berkontribusi pada kegagalan pengajaran bahasa Inggris.
UN menjebak guru untuk lebih memfokuskan diri pada kemampuan mengerjakan soal bacaan (reading comprehension). Hal ini menyebabkan guru tidak memedulikan kemampuan berbicara (speaking) siswa.
Permasalahan Proses Pembelajaran dan Indikator Keberhasilan
Bila dilihat lebih jauh, pernyataan ketiga guru besar Unila tersebut memang merefleksikan hasil pilihan pola pengajaran bahasa Inggris yang dipilih guru selama ini di SMP dan SMA. Selain itu, juga kekeliruan indikator keberhasilan pembelajaran yang selama ini dipakai. Secara umum, terdapat dua pola yang berbeda dalam pengajaran bahasa Inggris di Indonesia.
Pola pembelajaran yang pertama bertujuan membuat siswa bisa mengerjakan tes tertentu. Sementara, pola pembelajaran yang kedua bertujuan membikin siswa bisa berkomunikasi dalam bahasa Inggris.
Dalam konteks pendidikan informal, pola pembelajaran pertama umumnya bisa dilihat di lembaga bimbingan belajar seperti di Ganesha Operation (GO), Primagama, Nurul Fikri (NF), Medika Wiyata, dan Al-Qolam. Sementara, pola kedua bisa kita temui dalam proses kegiatan belajar-mengajar di lembaga kursus bahasa Inggris. Seperti EF English First, ILP, LBPP-LIA, Education Bridge, dan Intensive English Course.
Di lembaga bimbingan belajar, guru bahasa Inggris fokus membuat siswa bisa mengerjakan soal-soal seperti ujian nasional (UN) dan seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN). Materinya pun kemudian hanya sebatas mengerjakan soal tata bahasa (grammar) dan wacana (reading comprehension). Kegiatan belajar-mengajar juga disampaikan dalam bahasa Indonesia.
Hal ini tentu berbeda dengan lembaga kursus bahasa Inggris. Di EF dan LIA misalnya, tujuan pembelajaran pada umumnya didesain untuk membuat siswa bisa berbicara (speaking). Sehingga, penggunaan bahasa Indonesia di kelas pun sebisa mungkin dihindari. Memang, mereka juga mempunyai program bimbingan tes seperti TOEFL/TOEIC/IELTS. Tetapi tentu jauh berbeda dari UN dan SNMPTN. UN dan SNMPTN hanya menguji kemampuan memahami wacana dan tata bahasa. Sementara TOEFL/TOEIC/IELTS menguji semua kemampuan berbahasa; berbicara, mendengarkan, menulis, dan membaca.
Yang kemudian menjadi salah kaprah adalah guru di sekolah formal, dalam hal ini SMP dan SMA, meniru pola mengajar pada lembaga bimbingan belajar. Siswa lebih diarahkan mampu mengerjakan soal-soal reading dan grammar. Karena memang, soal-soal tersebut siswa temui di UN. Sementara kemampuan speaking dan writing, dianggap kurang sebegitu penting. Karena memang, tidak diujikan di UN dan hanya sebatas ujian praktik.
Padahal, idealnya cara mengajar yang ditiru guru di sekolah formal adalah cara mengajar di lembaga kursus bahasa Inggris. Sehingga tujuan pembelajaran bahasa, yang bertujuan membuat siswa bisa berkomunikasi dalam bahasa Inggris baik lisan maupun tulisan, dapat tercapai. Ini kemudian juga menyiratkan bahwa indikator kesuksesan siswa belajar bahasa Inggris di sekolah memang bertentangan dengan prinsip dasar pembelajaran bahasa.
Siswa yang mendapatkan nilai sempurna saat ujian praktik berbicara dan menulis dalam bahasa Inggris, tetapi memperoleh nilai yang tak memenuhi standar kelulusan UN, dianggap gagal. Sementara siswa yang mendapatkan nilai mencukupi standar UN, sementara nilainya rendah dalam ujian praktik berbicara dan menulis, dianggap lulus dan berhasil. Tentu bagi yang mengetahui, ini sesuatu hal yang miris.
Hal lain yang umumnya juga disalahinterpretasikan adalah kurikulum yang selama ini digunakan. Dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) mata pelajaran bahasa Inggris, yang memang mempunyai tendensi, disebut sebagai kurikulum berbasis teks (text based learning curriculum), guru mengasumsikan bahwa siswa harus mendapatkan porsi lebih banyak pada pemahaman wacana.
Apabila dicermati kembali, standar kompetensi yang diminta kurikulum mencakup empat kemampuan dasar berbahasa Inggris; listening, speaking, reading, dan writing. Pendekatan pembelajaran berbasis teks ini, menurut Paul Knight (2009), berasal dari konsep model systemic functional grammar yang juga sebenarnya mengarah kepada penggunaan bahasa dalam interaksi sosial.
Pendekatan pembelajaran menggunakan teks dimaksudkan agar siswa mampu memahami budaya. Di mana, bahasa itu digunakan agar siswa mendapatkan model pemakaian bahasa yang cukup (sufficient comprehensible input) yang bisa membantu proses pemerolehan bahasa (Halliday 1973). Hasil akhir yang diharapkan, tentu saja kemampuan menggunakan bahasa untuk berkomunikasi baik lisan maupun tulisan.
Kecenderungan salah interpretasi ini bisa terjadi karena banyak guru yang masih menganggap bahwa perangkat pembelajaran yang terdiri atas silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran dan materi evaluasi hanyalah berkas formalitas yang perlu disetorkan ke kepala sekolah.
Banyak bahkan kemudian yang menggunakan perangkat pembelajaran tahun-tahun sebelumnya atau memanfaatkan forum MGMP sebagai tempat berbagi perangkat pembelajaran. Sehingga, akan terdengar lucu apabila guru dalam satu kabupaten kemudian mempunyai perangkat pembelajaran yang sama. Sementara, fasilitas di sekolah di pusat kota dengan sekolah yang berada di desa sudah bisa dipastikan berbeda. Dengan demikian, perangkat pembelajaran yang digunakan idealnya juga berbeda.
Dengan anggapan perangkat pembelajaran sebagai berkas formalitas, maka yang terjadi kemudian adalah ketergantungan guru akan pemakaian buku teks dan lembar kerja siswa (LKS).
Tidak jarang bahkan, dalam kegiatan belajar-mengajar di kelas, pertemuan pertama yang dalam pemetaan pembelajaran idealnya mempelajari narrative text tetapi justru guru mengajarkan descriptive text. Hal ini bisa terjadi karena pembahasan pertama dalam buku teks adalah descriptive text dan bukan narrative text. Artinya, guru mengajar berdasar halaman dalam buku teks dan bukan berdasarkan apa yang mereka tuliskan dalam perangkat pembelajaran. Latihan yang diberikan kepada siswa pun kemudian juga berdasarkan latihan yang ada dalam buku teks dan juga LKS yang umumnya adalah soal wacana dan tata bahasa.
Apabila guru lalu mengajar hanya berdasarkan halaman di buku dan terfokus pada soal wacana dan tata bahasa, maka sudah bisa dipastikan murid tidak akan memiliki kesempatan untuk mempraktikkan penggunaan Bahasa Inggris dalam komunikasi.
Hasilnya, ketika lulus SMP dan SMA, siswa tidak mampu menggunakan bahasa Inggris secara aktif. Terlebih apabila materi dalam buku teks juga tidak sesuai dengan kemampuan siswa. Jadi memang harus di akui bahwa kesalahan pembelajaran model ini sudah terpola.
Tantangan Perbaikan
Prof. Ag. Bambang Setiyadi, Ph.D. mengatakan, kemampuan siswa berbicara umumnya juga bukan hasil pembelajaran di sekolah, tetapi pembelajaran di kursus bahasa Inggris yang diikuti siswa. Sudah barang tentu, pola pengajaran bahasa yang bertujuan untuk tes seperti di Ganesha Operation (GO), Primagama, Nurul Fikri (NF), Medika Wiyata, Al-Qolam, dll. tidak termasuk. Sementara, baik lembaga bimbingan belajar maupun kursus bahasa Inggris umumnya terdapat di pusat kota. Di Lampung, daerah yang bisa dikategorikan sudah dimasuki keduanya adalah Bandarlampung, Metro, Bandarjaya, Pringsewu dan Kotabumi.
Selebihnya, pihak pengelola kurang mau berspekulasi dengan alasan peminat yang kurang dan kesulitan mencari sumber daya manusia yang bersedia mengajar di sana. Melihat kenyataan itu, apabila guru sekolah di luar kota-kota yang ada bimbingan kursus bahasa seperti EF English First, ILP, LBPP-LIA, Education Bridge, Intensive English Course, dll. juga menerapkan pola pengajaran seperti di bimbingan belajar yang bertujuan tes, sudah bisa dipastikan bahwa persentase lulusan SMA yang tidak bisa berkomunikasi dalam Bahasa Inggris akan sangat tinggi.
Permasalahan di atas tentu adalah sebuah tantangan bagi semua pihak yang terlibat dalam pembelajaran Bahasa Inggris, terutama guru Bahasa Inggris. Guru Bahasa Inggris dituntut mampu merancang pembelajaran yang membuat siswa belajar dan menggunakan Bahasa Inggris untuk berkomunikasi.
Terkait dengan hal ini, Krashen (2000) dan Spolsky (1989) mengajukan konsep bahwa pembelajaran bahasa akan berhasil apabila didukung dengan adanya keterkaitan antara pemberian model bahasa yang cukup dan adanya lingkungan yang memungkinkan bahasa itu digunakan.
Artinya, pembelajaran kemampuan-kemampuan bahasa, seperti listening, speaking, reading dan writing, harus terintegrasi. Setelah siswa mendapatkan model penggunaan bahasa yang cukup dalam listening dan reading, siswa kemudian dilatih untuk speaking dan writing. Pemberian contoh yang cukup ini akan membantu proses pemerolehan bahasa karena siswa berada dalam keadaan kecemasan yang rendah (low anxiety) untuk memproduksi bahasa yang sedang dipelajarinya (Krashen, 2002).
Guru kemudian juga dituntut mampu memfasilitasi adanya lingkungan yang memungkinkan Bahasa Inggris digunakan. Hal ini bisa dilakukan guru dengan merancang desain pembelajaran yang melatih siswa berkomunikasi dalam Bahasa Inggris di dalam kelas dan tidak hanya terfokus pada wacana dan tata bahasa.
Asher (1994), misalkan, mengusulkan penggunaan metode Total Physical Response, model belajar memperagakan dengan gerakan badan, untuk mengajar Bahasa Inggris bagi pemula, contohnya di tingkat SD. Sementara Krashen dan Terell (1983) pada level siswa yang sama mengusulkan metode pembelajaran Natural Approach, model pembelajaran yang langsung menggunakan Bahasa Inggris dalam proses belajar.
Pada tingkat menengah, atau sama dengan tingkat SMP dan SMA, Krashen (1992) mengusulkan siswa diajar d    engan pemberian model penggunaan bahasa yang cukup (sufficient comprehensible input) melalui pembelajaran yang terfokus pada diskusi tema-tema tertentu (content-based  instruction). Hal ini akan membantu proses pemerolehan bahasa siswa di dalam kelas.
Perubahan di atas tentu tidaklah mudah dan memerlukan waktu serta penyesuaian-penyesuaian. Guru dituntut untuk terus bisa belajar dan memperbaiki proses pembelajaran yang dikelolanya. Hal ini bisa dilakukan melalui penelitian tindakan kelas (PTK), berdiskusi dengan sejawat, akademisi, siswa, buku-buku serta referensi di internet yang bisa memberikan wawasan terbaru mengenai strategi mengajar yang baik dan memungkinkan siswa berkembang sesuai dengan tujuan pembelajaran bahasa, yaitu menggunakan keterampilan (skill) berbahasa itu untuk berkomunikasi. Indikator pembelajaran kemudian idealnya juga diarahkan pada tujuan tersebut dan yang tidak lagi terbawa arus mengikuti metode mengajar persiapan menghadapi tes, dalam hal ini UN.
Memang diakui, meskipun pro dan kontra terhadap UN sudah terjadi hampir 8 tahun lebih belakangan ini, pemerintah tetap melaksanakan UN. Tetapi, dengan mempertimbangkan dampak yang dihasilkan dari penerapan kebijakan UN ini, terutama dalam pembelajaran Bahasa Inggris yang membuat siswa dan guru terjebak dalam pembelajaran wacana dan bukan berkomunikasi, maka UN memang perlu di evaluasi. Merangkum pernyataan Prof. Dr. Cucu Sutarsyah, M.A. (2012), UN memang bukanlah pembawa bencana tetapi seperti obat yang kita minum dan memiliki efek samping. Apabila UN dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas, maka kita sudah melihat sendiri bahwa dalam pelajaran Bahasa Inggris sebenarnya UN justru berkontribusi pada salah arah tujuan pembelajaran bahasa. Maka, sudah sepantasnyalah UN diganti dengan bentuk ujian yang lain yang mengukur kemampuan siswa sesuai dengan tujuan pembelajaran bahasa. 

Hari ini melalui kelas kurikulum, namun saya jauh lebih diam dari sebelumnya, jujur karena saya takut disalahkan oleh profesor saya yang satu ini. Sebenarnya perbincangan hari ini cukup menarik terlebih ketika saya membayangkan jika dikelas itu diisi oleh Pak Anies, Dick Doang, dan temen-temen komunitas yang peduli pendidikan seperti komunitas Hong, Bandung City Creative Forum, Asgar Muda, Indonesia Bercerita, Komunitas Dakocan, dll. 

Kami berbincang terkait sebuah ideologi kurikulum... dan saya agak kaget dengan fokus diskusinya, terlalu jauh dengan apa yang saya tau dengan ideologi,.. bangsa ini berpegang pada pancasila, tapi ideologi kurikulumnya student center ????  "wajar saja jika bangsa ini hilang arah dan hilang nilai" karena para pendidiknya bak ekor pesawat yang mencoba terbang sendiri, bangsa punya cita-cita apa dan pendidikan ini hendak dibawa kemana bukan menjadi hal yang linear.  ibarat sebuah organisasi, sang ketua berjalan kemana, kepala departemen A kemana, kepala departemen B kemana, sehingga visi organisasi tidak jelas dan terpecah. Fokus kekuatan hilang dan disibukkan oleh konflik. 

Disaat saya sedang ragu antara berbicara dan tidak, teman saya bertanya "mb, besok berniat ngambil pendidikan profesi guru ?" dan sayapun menjawab "sepertinya tidak, karena saya ingin fokus pada pendidikan informal". mungkin itu jawaban konyol bagi teman-teman saya. pendidikan informal ? sebuah profesi yang tidak menjanjikan secara finansial. 

Namun bukan itu yang saya pandang, saya membutuhkan sebuah counter proposal atas apa yang ada hari ini, saya ingin suatu hari setiap pendidik mengerti kemana ideologi kurikulumnya bermuara, tidak menjadi hal yang tertutup kabut padahal itu melenceng dari tujuan bangsa. Dan lagi-lagi saya merenungkan islam sebagai sistim yang sempurna, sistim pendidikan islam tidak akan pernah lekang dari ideologinya, karena ada dimensi keimanan disana, sehingga semua lebih terarah dan terjaga. 

Ya Allah...  berikan saya tempat belajar yang maksimal, sehingga kelak bisa membangun tempat-tempat belajar informal di seantero Lampung, belajar yang lebih efektif dan bervisi, sehingga jelas kemana kita akan pergi dan bersinggah. 
menyapa sehangat mentari di musim dingin...
melambai seramah daun nyiur yang diterpa angin..
mengalun bak hujan dan nyanyian sang katak..

begitu merdu lakumu...
begitu santun karyamu..

hingga...

kaki kaki kecil berlari dihias tawa..
pasar-pasar menjadi sosial media...
optimisme radio, tv, dan koran...
menggerogiti seisi negeri,

teruslah melaju : aktivisku !

Pertama kali kata itu saya dapat dari seorang teman kos yang berniat mengikuti latihan kepemimpinan 1 (LK1) teman-teman HMI. Dalam nilai dasar perjuangan teman-teman yang terakhir adalah ilmu,iman, dan amal. Pertama kali mendengar tiga kata itu cukup simple, ilmu = sesuatu yang harus kita cari sampai kita mati, iman = bentuk keyakinan kita pada sang Khalik, dan amal = perwujudan dari keimanan yang dilandasi oleh ilmu. yah... itulah definisi sederhana yang saya terjemahkan sendiri.

Beberapa hari ini saya disibukkan oleh aktifitas kuliah yang tidak jauh-jauh dari metode mengajar, metode evaluasi, kurikulum, dkk. Belum lagi beberapa praktik disekolah, membuat mata saya terbuka lebar, bahwa dunia diluaran sana bukanlah sangkar emas bernama "kampus". 

Sebut saja proses pembelajaran, profesionalisme guru, semangat belajar siswa, desain kurikulum, aplikasi kurikulum, sistim evaluasi, membuat saya semakin bertanya akan dibawa kemana generasi negeri ini. Gaung pendidikan karakter semakin terdengar paska gagal diselamatkan dengan konsep KBK yang memiliki tiga pilar, kognisi, afeksi, dan psikomotor. 

Dunia semakin rancu, sekolah menjadi masalah, dan lulusannya semakin bermasalah. Pengangguran menjadi tantangan baru yang harus dijawab, kurang skill menjadi ladang pendanaan dan pembinaan baru untuk mengajarkan hard dan soft skill. kemana peran sekola? perguruan tinggi ? apa yang sejatinya mereka lakukan di ruang-ruang kelas ? apa yang mereka pelajari di lokus-lokus belajar ? negeri ini masih juga miskin, minyak kita masih juga dikelola oleh exxon, emas masih juga dieksploitasi freeport... mana kisah yang hendak kau torehkan wahai "pendidikan" ?

Menurut beberapa ahli, pendidikan itu adalah pembebasan, tapi mana, semakin menciptrakan jeratan-jeratan baru yang tak kunjung usai, kemanakah ujung semua ini ?? terkadang merenung, melesat jauh ke masa lalu. Bagaimana dulu islam mendidik generasinya hingga mencapai masa keemasan yang menciptakan kesejahteraan di 2/3 dunia.?

Islam memiliki konsep "menuntut ilmu sampai mati" karena mereka perpegang bahwa :

1. Agama itu dalah bapak segala ilmu, dan.../

2. Orang yang tidak menuntut ilmu Allah adalah orang yang sombong. Bayangkan saja, dunia dengan bermilyar-milyar galaksi ini hanyalah setitik debu di sigasana Allah, lalu bagaimana dengan istana dan kerajaannya ??? patutkah dibandingkan dengan kita yang memiliki secuil ilmu pengetahuan yang belum juga mengcover semua ilmu yang ada di bumi ini. 

Islam juga mengenal konsep pengamalan, (afeksi, pendidikan karakter) dan itu berkaitan erat dengan ilmu "iman tanpa ilmu itu adalah sesuatu yang sia-sia" sementara iman sendiri memiliki definisi "diyakini dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan dibuktikan dengan amal perbuatan". Subhanallah.... betapa indah konsep pendidikan yang telah Allah rancang, Ilmu dan Amal yang melewati dimensi keimanan kepadaNya. Pantas saja, banyak ahli islam yang menguasai banyak bidang dalam satu orang, mulai dari filsafat, kedokteran, matematika, dll karena mereka sejatinya mempelajari bapak segala ilmu "agama" dan selanjutnya mempelajari pencabangannya. Tidak kemudian disekulerkan seperti hari ini... 

Bismillah... Ya Allah... berilah hamba kesempatan untuk menciptakan pendidikan yang sesuai dengan yang telah Engkau gariskan, karena sesungguhnya Engkaulah yang menciptakan, dan Engkaulah Yang Maha Mengerti bgaimana harus mendidiknya. 



Foto peluncuran Gerakan Indonesia Berkibar, Minggu (28/10/2012) perwakilan pemuda (dari kiri) Alissa Wahid, Alexandra Asmasoebrata, dan Iman Suman membacakan Janji Gerakan Indonesia Berkibar, yaitu Menciptakan manusia Indonesia yang cerdas dan berakhlak mulia, menyejahterakan bangsa dan negara, menyetarakan Indonesia di kancah Internasional.


Selasa, 23 Oktober 2012




Setelah beberapa bulan mati suri, sekarat, koma atau apapun namanya, akhirnya departemen ekonomi kembali bangun. Renstra yang sudah disusun diawal harus mengalami berbagai perubahan karena mengalami pengunduran waktu. Pada akhirnya kami berempat ( baca : kak rasim, kak sani, kak waski dan saya) sepakat untuk mengadakan training kewirausahaan. Rapat penyusunan materipun dimulai, biasanya kalau sudah begini perbedaan mazhab diantara kami berempat sangat berbeda. Kak rasim dengan jiwa pengusahanya, kak sani dengan jwa wirausaha anak muda, kak waski dengan ekonomi syariah, dan saya dengan kewirausahaan social. Pada saat rapat sudah sempat terjadi titik temu untuk menyatukan keempat gagasan ini, namun pada pelaksanaan akhirnya saya mengurungkan niat untuk transfer gagasan saya terkait kewirausahaan sosial karena terdesak oleh yang lainnya. Akhirnya saya mengikuti ritme yang saat itu berjalan untuk menyemangati mereka dalam membangun usaha dan berharap suatu saat dapat menyematkan apa yang saya pikirkan.

Ada apa Dibalik Training Kewirausahaan ?

Gerakan mahasiswa memiliki tiga peran, sebagai agen perubahan, control sosial, dan kawah candradimuka untuk mengkader para pemimpin. Dalam membangun suatu perubahan yang diinginkan bersama, tidak terlepas dari masalah membangun kesejahteraan, karena bahasa kesejahteraan telah menjadi bahasa multidimensional dalam bidang politik untuk mengukur keberhasilan suatu Negara, tertinggal, berkembang, atau maju, terlebih ditengah hiruk pikuk kapitalisme, ekonomi islam harus mampu memberi jawaban atas masalah kesejahteraan ini. Sebagai salah satu pilar untuk mengevaluasi jalannya kemerintahan, gerakan haruslah mandiri secara financial, hal ini diharapkan mampu memberikan keindependenan yang lebih terhadap gerakan itu sendiri kala meluncurkan kritik terhadap pemerintah. Akan sangat sulit untuk menajamkan gerakan, apabila terjadi dua sisi mata uang, disatu sisi mengkritik dan disisi lain membutuhkan suplay dana, hal ini memberikan celah besar terjadinya jual beli gerakan. In term of kawah candradimuka bagi calon pemimpin, organisasi pergerakan perlu menanamkan jiwa kemandirian financial bagi para kadernya, sehingga ia memiliki pendidikan politik yang baik bahwa kepemimpinan itu adalah sebuah sifat untuk melayani dan melahirkan kesejahteraan bagi orang lain. Bukan sebuah jabatan yang menjadi pekerjaan ber-income bagi kita.

Mengapa Kewirausahaan Sosial ?

Membangun ekonomi gerakan, terlebih gerakan islam, harus mampu memberikan nilai lebih. Tidak hanya mampu menghidupi organisasi secara mandiri namun juga bisa mengangkat kesejahteraan masyarakat sekitar. Kewirausahaan sosial mampu menjawab tantangan ini sekaligus beriringan dengan kaidah ekonomi islam.  Kewirausahaan sosial mampu mengintegrasikan antara SDM/SDA dengan pemilik modal, dan pemerintah hanya berperan dalam mengambil kebijakan, sementara dalam kewirausahaan komersial, duet maut terjadi antara pemilik modal dan pemerintahan untuk mendapatkan SDA/SDM sebanyak-banyaknya, akibatnya masyarakat juga dirugikan. Pada titik inilah aktivis perlu menimbang apa dampak dari usaha yang dibangun oleh organisasi pergerakannya, apakah itu sesuai dengan idealisme gerakan atau tidak.

Jangan Terjadi Dikotomi Departemen !

Banyak semboyan yang membuat saya sedikit gerah. Teman-teman dari departemen kaderisasi itu sholeh-sholehah, dari kebijakan public itu hobi pegang toa dan sedikit nakal, teman-teman dari departemen ekonomi itu profit oriented. Hal ini menunjukkan sebuah organisasi yang tidak sehat, sudah seharusnya temen-teman kaderisasi juga memiliki kemampuan advokasi yang tidak kalah dari teman-teman kebijakan public, karena ia sedang mengkader orang untuk menjadi actor gerakan. Teman-teman kebijakan public dan departemen ekonomi juga sholeh dan sholehah karena sejatinya renstra terbesar dari gerakan yang ia bangun adalah kejayaan islam, begitu juga dengan teman-teman ekonomi, tidak hanya sekedar mencari profit namun juga dialurkan pada pola kebijakan public seperti yang saya uraikan pada sub-kewirausahaan sosial, turut serta mengempower masyarakat dan membangun basis advokasi. Ibarat sebuah pesawat terbang, tidak kemudian ekor terbang duluan, baru sayap terbang, atau roda ke kanan, dan kokpit ke kiri, namun mereka berjalan bersama menuju bandara yang dituju. Wallahu’alam.



Ajang parlemen muda memberikan banyak pelajaran dalam perjalanan hidup saya sebagai mahasiswa FKIP. Sense kepedulian saya terhadap pendidikan diajak untuk berfikir ke sekup yang lebih luas, dari tataran sekolah menjadi tataran daerah dan nasional. Bagaimana membuat usulan rancangan kebijakan yang akhirnya kami advokasikan ke kementrian pendidikan nasional dan beberapa kementrian terkait termasuk DPD, dll.

Baru-baru ini saya mendapat kesempatan untuk mengikuti ajang yang lebih menantang, Model United Nation. Jujur, saya sangat gugup, saya tidak terbiasa dengan ritme berfikir yang komplek dan cepat. Memikirkan kebijakan dunia tidak sesantai memikirkan kebijakan nasional, karena variable’nya lebih kompleks, apalagi jika dibandingkan dengan kebijakan daerah yang relative homogen. Memiliki perbedaan ideology, budaya, kondisi ekonomi, alam, dll.

Ditengah kegugupan saya sepanjang sidang, saya sempat berfikir betapa “kagumnya saya terhadap islam”. Contoh kecil ketika membuat resolusi kebijakan terkait kesehatan ibu dan anak. Seandainya setiap ibu memberikan asi perdana kepada anak, maka ia akan memiliki kekebalan alami yang membuat si anak tidak perlu imunisasi lagi, sehingga Negara-negara maju tidak perlu mengeluarkan dana yang besar untuk vaksinasi Negara berkembang dan tertinggal. Sehingga negara berkembang tidak perlu menerima tekanan dari Negara maju untuk dieksploitasi SDAnya. Hal ini telah diatur dalam islam, supaya seorang ibu menyusui anaknya sampai usia 2 tahun.

Begitu juga ketika perdebatan lain terjadi, seperti masalah perdagangan dunia, dll. Ekonomi islam telah mengaturnya dengan begitu rinci. Permasalahan populasi, terkait penduduk usia tua yang lebih banyak dari penduduk usia muda, dimana berakibat pada kstabilan ekonomi juga lagi-lagi telah diatur dalam islam. Pernah sampai pada suatu titik dimana saya begitu greget dan berbisik, seandainya islam tegak dimukabumi kita tidak perlu pusing-pusing memikirkan kebijakan dunia seperti ini.

Memang pada hakikatnya manusia itu sombong, merasa paling tau bagaimana mengatur hidupnya, padahal Yang Maha Tahulah yang menciptakan langit bumi dan segala isinya yang benar-benar tau bagaimana mengatur ciptaanNya. So, islam bukan hanya sebuah ritual ceremony bangsa arab yang kuno, namun mengajarkan kita makna keimanan dan bentuk ibadah yang lebih universal dalam setiap sendi kehidupan. Bahkan senyum saja ibadah… kenapa bisa ? mari kita renungkan efek besarnya….  

Senin, 22 Oktober 2012

kau adalah daun pohon lontar
menyimpan begitu banyak tulisan
hingga banyak berbondong untuk belajar


# tulisan ini saya buat tidak lain untuk menginspirasi para guru, dan semata hanya catatan pribadi seorang murid yang terinspirasi... sebelumnya saya enggan menulis ini, apalagi menceritakan aib saya, namun melihat kenyataan ini terjadi pada banyak mahasiswa, saya berharap pengajar lain juga memiliki students understanding yang sama....

Sore itu saya sempat sms seorang teman, "apa sebaiknya saya berhenti kuliah saja ?" sepertinya ini adalah puncak kejenuhan saya, saya merasa tidak mendapatkan sesuatu yang baru dari kehadiran saya di kampus setiap hari., diluaran sana orang hiruk pikuk membicarakan masalah pendidikan, namun saya sangat jenuh berkuliah di fakultas ini. semua seperti sebuah formalitas, mendengarkan ceramah, tugas, ujian, dan IPK. padahal diluaran sana ribuan anak menunggu untuk kita pikirkan, dan kita selesaikan, bagaimana mereka bisa sekolah gratis, bagaimana karakter mereka terbentuk, bagaimana matematika membangun logika mereka, kami hanya di push pada tataran teoritikal untuk mengejar angka mutu, lulus, menjadi pegawai negeri dan mengulang hal seremonial sampai akhir hayat. itulah alasan pertama kenapa saya ingin berhenti saja. 

Adapun alasan kedua adalah himpitan ekonomi, rasanya begitu berat untuk bertahan satu semesternya. Apalagi saya tergolong mahasiswa yang pas-pasan, bahkan pernah memiliki IP terkecil di angkatan saya, harus mengurus surat keterlambatan SPP setiap semesternya, bahkan tidak jarang saya berpasrah apakah hari ini makan atau tidak, sering saya tidak belajar ketika ujian, karena tidak bisa fotokopi materi, alhasil saya meminjam teman dan terang saja itu kurang maksimal. Saya letih harus berjuang pada dua sisi, di push oleh tugas2 kuliah yang menurut saya seremonial dan tidak membangun pemahaman, apalagi jika itu adalah tugas kelompok, jarang yang mau satu kelompok dengan saya, karena saya harus bekerja dan tidak memiliki waktu khusus untuk mengerjakan tugas.Dan yang paling menyakitkan adalah ketika dosen tidak mengeluarkan nilai hanya karena kesalahpahaman kecil seperti saya lupa absen.., mereka tidak mengerti bagaimana usaha saya dalam satu semesternya... walau saya tidak secerdas yang lain, namun itu sudah menjadi perjuangan tersendiri bagi saya... 

Alasan ketiga, saya semakin tidak percaya dengan pendidikan formal, sebut saja kualifikasi yang harus dimiliki mahasiswa FKIP, serta merta dengan lebih gamblang bisa saya dapatkan diluaran sana. Masalah kebijakan pendidikan, bagaimana mengelola sebuah lembaga, bisa saya dapatkan dari organisasi dan komunitas yang saya ikuti.., metode bagaimana mengajar bahasa, bisa saya dapat dari tempat saya bekerja... dan skill bahasa inggris bisa saya asah dari aktivitas diluaran., jadi untuk apa lagi saya kuliah ???

Ambisi sayapun hilang, asa lenyap, dan saya sudah tak bermimpi lagi untuk S2 keluar negeri, menjadi dosen dan mendidik para calon guru, mengideologisasi mereka sehingga negeri ini tidak lagi sakit, menjadi pengambil kebijakan pendidikan di negeri ini, dll. Sekarang,... Saya hanya ingin hidup bahagia, memiliki rumah kecil dengan halaman luas dengan beberapa gubuk terpancang dan disana anak-anak disekitar lingkungan rumah saya dapat bermain dengan senang, dibentuk karakternya dengan permainan rakyat, mengaji (mengkaji ajaran islam), dan belajar skill secara informal. Sudahlah saya kembangkan saja komunitas "Speak Up" yang sudah saya rintis. Bahkan ketika bibi saya bertanya,? "apa rencanamu setelah lulus ?" "ngembangin speak up" jawab saya.... "jangan setengah-setengah... kamu harus S2, masukkan itu dalam daftar hidupmu"... saya hanya terdiam dan pasrah... S1 saja belum tentu selesai...

***

Hari selasa menjadi hari yang berbeda, saya berjumpa dengan seorang dosen moralis dan saya bisa belajar darinya, satu-satunya ilmu baru dari kampus ini, satu-satunya ilmu yang tersisa di ingatan. biasanya saya ogah-ogahan bangun, enggan pergi ke kampus, namun sekarang saya seolah merindukan ilmu baru dan bertanya, apa yang akan saya dapat hari ini ??? setelah minggu sebelumnya saya mendapatkan materi tentang Approach, assumtion, ALM, dan silent way. 

Seperti biasa, dosen saya ini memulai mata kuliah dengan menyenangkan, kelas ini interaktif, ia tidak pernah memerintah mahasiswa utnuk memperhatikannya, namun semua fokus memperhatikan. Suasananya seperti sebuah training yang diisi oleh instruktur senior, kami belajar dari teman, dan amazing, saya dan teman-teman lain yang banyak terdiam ketika dosen lain mengajar, karena takut disalahkan, disini kami bisa berekspresi, bahkan Fajar berani praktik mengajar di depan... amazing !!! kami paham, tanpa catatan, tanpa LCD. diakhir beliau mengajar beliau bercerita tentang perjuangan beliau sekolah dan sedikit banyak mirip dengan yang saya alami dan ... deg..... 

"saya pernah tiga bulan tidak mendapat kiriman dari orang tua, dan saya bergantung dari pengajuan beasiswa, jika kala itu saya tidak mendapat beasiswa, say good bye to bangku kuliah... saat itu saya tidak ada bayangan akan jadi apa saya"... 

"jika hari ini saya bisa menjadi dosen, menjadi profesor, adalah hal yang tidak pernah saya impikan, itu adalah karena saya mampu melalui segala proses dengan sempurna"...  

"dua tahun pertama saya menjadi mahasiswa terbodoh, karena saya tidak pernah belajar bahasa inggris sebelumnya, belum lagi ditambah himpitan ekonomi..."  

"banyak hal saya sembunyikan dari cerita ini... jika saya ceritakan semua pilihannya adalah dua.. anda atau saya akan menangis....!"

Saya sudah meneteskan air mata dipojok kelas..  Pak... terima kasih telah menjadi sesuatu hal yang bisa saya temukan di masa perkuliahan saya. Bapak tidak hanya mendidik para calon guru, namun juga menyembuhkan dunia yang sedang sakit. Saya akan belajar untuk tidak mengeluh dan tidak menyerah, karena Tuhan sedang membentuk diri saya melalui skenario terbaiknya. Semoga kelak saya bisa menjadi seorang guru yang baik, yang tidak menjadikan murid semakin putus asa, namun menemukan inspirasi untuk berbuat...


Betapa terharunya saya melihat foto ini, one of my greatest friend hari ini lulus dari ITB. Saya tahu ini belum akhir dari perjalanan hidup, tapi Mujid adalah sosok lintang sekaligus Einstein di SMA Negeri 1 Pringsewu. Setelah di post yang lalu saya pernah bercerita tentang Anna. Nowdays saya akan bercerita tentang Mujid.

Memasuki nuansa SMA, kalau ditanya siapa yang paling pagi berangkat ke sekolah, mujid lah jawabannya, kalau ditanya siapa yang suka minep diruang kelas, mujidlah jawabannya, siapa yang ahli fisika, mujidlah jawabannya. siapa yang suka mengerjakan remedial saya ya mujidlah jawabannya. berangkat sekolah dengan semangat, and he prove !!! he can !!! speachless..... naik sepeda berkilo-kilo... dan nekat berangkat ke bandung...! finally get what he want...