Sabtu, 28 Desember 2013



Karena selama hidup kita belajar, maka tak ada alasan untuk kita merasa tertinggal ataupun terlanjur salah. Kelemahan terbesar kebanyakan orang adalah ketika ia jatuh maka ia akan merasa bahwa itu adalah akhir dari segalanya. Mereka lupa bahwa kehidupan ini dinamis, bukan mereka yang diatas yang pada akhirnya mendapat hadiah berupa garis finish yang indah, tapi sosok-sosok pembelajarlah yang tidak pernah tenggelam tergilas oleh zaman.

Melalui tahun ini yang nyaris dipenuhi oleh kesalahan dari hari ke hari, mulai dari konflik di Speak Up, BLCN, project sampah, kuliah, gerakan, dan sederet kisah-kisah kelam yang terus merongrong integritas. Rasa-rasanya apa yang dilakukan selalu berakhir dengan konflik dan kesan yang buruk. Perlahan tapi pasti waktu akan memberikan jawaban bagi insan yang mau berbenah untuk lebih baik lagi.

Dulu, pertama kali masuk SMP, sama sekali tak bisa bahasa inggris, berkeringat ketika guru masuk, dan langsung ambil ancang-ancang untuk mencontek. Dulu ketika SMA ingin sekali disebut debater, dan sekali lagi mantra ini berhasil ‘never say never’, di awal kelas tiga saya menjuarai turnamen debat pertama saya. Hal yang awalnya terlihat mustahil, tak tau satu kosa kata bahasa inggrispun pada akhirnya bisa membuahkan hasil yang manis ketika kita sabar melewati prosesnya.

Dikala kecil, menyenangkan rasanya mendengar cerita saudara yang kesana kemari, punya program ini dan itu. Saat itu rasanya mustahil bagi saya untuk memiliki peluang yang sama, teman yang terbatas, akses yang sulit, hingga pada akhirnya perlahan tapi pasti dari satu fase organisasi satu ke yang lainnya, perlahan semua itu terwujud.

Tak ada yang tidak mungkin ketika kita sabar untuk berproses, tak ada yang tidak bisa dibuktikan ketika kita berusaha sekuat tenaga. Dan sama seperti hari ini, tak menyangka akan mendapatkan kenangan manis di penghujung tahun, mendapat keluarga baru yang membuat segalanya menjadi mungkin. Sebuah ‘dream team’ yang tidak pernah saya ekspektasikan untuk dijumpai lagi dimasa kampus ini. Rasanya segala kesalahan-kesalahan yang lewat terlalu sulit membuka pintu perbaikan.

Ketika detik terus berdetak, maka waktu menawarkan kesempatan manis bernama pembelajaran, memetik hikmah dalam dimensi kesalahan atapun keberhasilan. Kini, semua lebih dari sebuah tahap yang saya ekspektasikan, kembali merangkul rasa percaya diri, mendapatkan keberanian, berkumpul bersama teman-teman yang mampu menjadi lilin penerang menuju mimpi yang hampir saja pudar. Project-project gerakan yang pada akhirnya ‘I make it happen !’ this is not only a fairy tale.

Pembelajaran tidak berhenti disini, luasnya dunia menanti untuk diarungi, satu mimpi selanjutnya, ‘never say never’, reach it ! try it ! Sebuah bingkisan manis diujung 2013. Rasa syukur kepada Zat Yang Maha Agung atas berlimpahnya rizki yang ia anugerahkan, terimakasih untuk kawan-kawan yang terus menjadi lilin-lilin kecil dalam hampanya kegelapan. Togather we learn, togather we grow, to reach a better place in the future. 


Kamis, 26 Desember 2013




Tempo waktu IFL mengadakan seminar penulisan essay dan motivation letter untuk apply beasiswa keluar negeri. Setelah jauh saya merenung, seminar ini tidak sedangkal judulnya. Mengapa ? mari kita mulai dari sebuah kalimat yang pernah diucapkan oleh teman saya "ternyata aktivis itu nggak bisa lepas dari aktivitas-aktivitas seperti itu ya ?" pernyataan itu terlontar kepada saya tepat setelah konsultasi regional Parlemen Muda, dan pada kesempatan ini saya jawab, "why ? siapa yang bangga disebut mantan aktivis ?".

Kebanyakan dari aktivis kampus sangat gahar ketika masih di Universitas, namun perlahan memudar ketika mengenal dunia nyata, mulai mengambang dalam mengenali siapa dirinya dan langkah kelajutan apa yang akan dia ambil, dari 100% pelaku, tidak lebih dari 30% yang konsisten dengan pilihannya. Bisa jadi karena tuntutan zaman atau tidak terfasilitasi untuk menjadi diri sendiri. 

Saya punya sekelompok saudara , 'yang sampai kapanpun akan tetap menjadi saudara', kami sama-sama bermimpi pada forum-forum yang hidup hingga pagi. Tentang masa depan, bukan masa depan sederhana, masa depan Lampung, masa depan Indonesia, dan masa depan Dunia. Bak pembuat kebijakan atau think thank Bank Dunia yang memiliki kendali besar kami semangat berdiskusi, belajar merumuskan hal-hal besar, bersama di masa muda, kami menari-nari di bumi impian.

Kembali ke seminar essay IFL, setidaknya ketika kita menulis essay kita akan melalui beberapa tahap, 1. Mengenal diri kita dan eksplore lebih dalam lagi terkait hal-hal yang sudah kita lakukan, 2. Mengenal isu di daerah kita dan mencari isu-isu tertentu yang kita benar-benar tertarik di dalamnya, 3. Merencanakan masa depan tentang kita akan membawa diri kemana, sekolah pada bidang apa, dengan jurusan apa, riset apa, setelahnya akan berkarya bagaimana, memecahkan isu yang seperti apa, dan mengalurkannya lagi dengan aktivitas-aktivitas yang sudah kita lakukan sebelumnya.  

Rangkaian dari tiga poin itulah yang akan menjadi daya jual bagi pemberi beasiswa, semakin tajam dan impactfull diri kita, semakin berkualitas kampus yang akan kita dapat. Lebih dari itu, saya menyadari poin inilah yang hilang dari aktivis kampus. Kebanyakan dari mereka masih sekuler dengan pilihannya. Punya passion di bidang apa, kuliah dibidang apa, dan melakukan kegiatan aktivisme di bidang apa. Belum lagi isitilah kuliah dan aktivisme harus imbang, keduanya tidak perlu keseimbangan, namun keduanya adalah suatu kesatuan. Untuk yang sudah terlambat, jangan khawatir, ketika kita merenung atas apa yang kita lakukan, pasti akan juga ditemukan garis merah, selama sejauh ini kita jujur pada nurani.

Dari IFL saya belajar banyak, sebelum kami merancang program, kami bercerita tentang mimpi dan passion masing-masing, sehingga kedepannya, project yang berhubungan dengan pendidikan akan diserahkan ke yang berpassion pendidikan, ataupun lingkungan akan diserahkan ke yang berpassion linkungan, sehingga memiliki dua keuntungan, 1. Membuat individu berkembang sesuai dengan jati dirinya, menambah pengalaman dan link untuk bidang yang ia sukai, dan 2. Organisasi mendapatkan loyalitas yang lebih dari anggota karena anggota merasa banyak berkembang di dalamnya. Bekal-bekal ini juga yang dapat dipakai anggota untuk menapaki jenjang karier selanjutnya seperti study master atau kerja. Misal, kampus atau perusahaan mana yang menolak orang yang ekspert di bidangnya, tidak berhenti di tataran kampus, namun juga sudah mulai belajar merealisasikan di dunia nyata, sedikit demi sedikit mencoba menyelesaikan permasalahan yang ada disekitar. 

Lebih dari itu, di IFL segalanya jadi mungkin, batas negara menjadi lebih dekat, seperti Opin, Hetty, Desi yang terancam bolak-balik ke luar negeri, kami memiliki bekal yang tidak jauh beda, secara finansial, dll namun mereka mengajari saya untuk terus bekerja keras dan 'never say never'. 

Teringat saudara saya, "Candra sudah benar-benar move on dari........" , jawabannya tidak ! saya merindukan semuanya, sangat ! dua tahun ini IFL menjadi lilin untuk saya menemukan kembali puing-puing mimpi saya, memberi sedikit penerangan ditengah kegelapan. Saat-saat dimana saya dipaksa berenang dilautan bebas, nyaris tenggelam oleh konflik, nyaris bingung hendak kemana dan bagaimana. Hingga kini saya bersykur atas apa adanya diri saya. Menyusun kembali mimpi agar semua angan ini tidak pudar dihantam ombak. 

Tentang sebuah kerinduan akan mimpi yang kita semua pernah bicarakan hingga pagi, mungkin kini sebagian kita telah berserakan di dunia kerja, di dunia lain, namun kerinduan bernama ukhuwah tidak akan pernah bisa dikhianati. Mimpi-mimpi besar itu tak akan kita biarkan pudar begitu saja bukan ? kegalauan, ketakuatan, rintangan, itulah yang saya rasakan, namun bersama kita pernah menaklukkan rasa kantuk, mungkin bersama juga kita bisa melawan kejamnya dunia dan menjaga mimpi-mimpi ini tetap hidup.

Kita tak punya kekuatan untuk mengingkari takdir yang Maha Kuasa, tak punya sedikitpun bocoran bahwa saya, kamu dia, kita atau mereka akan konsisten, namun kita juga tidak punya alasan untuk tidak mencoba, mengeratkan kembali impian bersama, mengambil langkah, saling menguatkan dan memulai dengan sesuatu yang sederhana. Mulai untuk berenang mengarungi dunia nyata, mengenggam impian, terus berenang, berenang dan berenang, hingga kaki terasa mau patah ! break a leg !




Ketika saya kecil ibu saya selalu berkata, "orang-orang yang memperhatikan hal kecil akan juga peduli dengan hal-hal besar dan sebaliknya, orang yang luput dengan hal-hal kecil, akan semakin lalai dengan sesuatu yang lebih besar". Sebuah pelajaran sederhana yang tentu sangat susah diambil hikmahnya. Sama dengan bagaimana kita mempola hidup dan membuat dampak yang jauh lebih besar.

Sebut saja Jepang, Singapura, dan beberapa negara maju di Asia. Sudah dipastikan semua dari mereka peduli dengan hal-hal sederhana seperti kedisiplinan buang sampah di tempatnya, budaya antri, hingga disiplin menepati waktu. Sederhana memang, namun memberikan dampak yang sangat besar, Singapura tidak perlu lagi bergelut dengan permasalahan banjir akibat saluran air tersumbat sampah, Jepang tak perlu bergelut dengan kemacetan karena setiap kendaraan dijadwal dengan rapi, atau dikeduanya juga tidak terdengar ada korban meninggal ditengah antrian sembako, pembagian daging kurban, atau pembelian tiket bola.

Sederhana memang, namun berdampak sangat besar. Hari ini, teman-teman IFL Lampung seperti biasa berangkat ke pesisir untuk mengajar anak-anak disana. Entah ada radiasi apa, walau langit menumpahkan airnya kami tetap melaju. Saya sempat berteduh di depan hotel kurnia dua hingga Opin datang dengan setumpuk kotak sampah plastik. Dengan muka sumringah dia berkata "nanti mereka jangan langsung dibagi alat tulis ya ? kita bagi-bagi kotak sampah dulu, suruh mungutin sampah, baru deh... ntar gw videoin, ky semacan disaster education gitu" . 

Sempat berhenti sejenak di DCC, jemput Emi, Desi dan temannya Emi, lalu melaju ke gudang garam jemput Hetty dan Priska. dibawah guyuran hujan kami melaju ke Umbul Asem, namun Opin dan Hetty yang bermantel tak tega jua melihat kami basah kuyup dan berteduh sejenak. Sempat ada pertanyaan "tetep lanjut nie ?" dan "yo'a ! kapan lagi maen ujan..!"

Gracias ! sampai di pesisir hujan reda dan situasi alam benar-benar mendukung dengan tema pembelajaran hari ini. Disaster education ! air menggenang dimana-mana, sebagian masuk rumah, sampah mengambang dan sebagian menyumbat aliran air. Priska dengan gesit langsung mengumpulkan anak-anak dan menjelaskan hari ini kita akan belajar untuk membuang sampah ditempatnya, ditimpali dengan Hetty yang flash back tentang dongeng penyebab terjadinya banjir. 

"jadi kenapa bisa banjiiiiir ?????" "karena sampah numpuk, aer nggak bisa lewaaat..." "jadi kemana kita harus buang sampaaahhh ????" "ke tempat sampaaahhh....." dan satu anak nyeletuk "ke aeeeeer !!!" sambil nunjuk laut. Hahaha... kami berjalan menelusuri pemukiman padat penduduk, anak-anak itu tak kenal rasa jijik, mereka berlomba-lomba memenuhi kotak sampah masing-masing, padahal kami para volunteer agak ragu, duuuhhh itu air udah mengandung apa ajaaa ??? woles aja lah...

Ada satu genangan ari yang menarik perhatian saya, seperti kolam dengan percampuran sampah, diatasnya ada kandang ayam, menggenang karena banjir setelah hujan. Namun anak-anak tetap tanpa ragu masuk kesana dan membersihkan sampahnya. Benar-benar diluar ekspektasi, dan ada anak usia 3-4 tahunan mungkin, dengan keberatan mengangkat kotak sampah yang hampir penuh. seketika Hetty bilang, "sini kak Hetty bantu..." dan dengan ngotonya dia bilang "nggak usah kak... aku ajaaaaa...!"

Setelah semua kotak sampah penuh, tepat dipemukiman yang diatas laut, Priska memberikan edukasi sekali lagi untuk ndak buang sampah sembarangan, eh iya.... ada tepuk buang sampah yang kita buat dengan seketika, kurnag lebih bunyinya seperti ini... "ada sampah ?" plok plok plok "kita ambil !" plok plok plok "jangan buang !" plok plok plok "sembarangan !" plok plok plok "karena nanti !" plok plok plok "jadi banjir !".

Setelah itu kembali sudah kami ke gardu tempat biasa belajar, dan ternyata teman-teman dari ESo Unila sudah menunggu dengan beberapa keresek susu cair yang siap dibagikan, sebelumnya Uli dan Hetty memberi nasehat tentang pentingnya minum susu. selesai acara minum susu kami membagikan bingkisan dari Sekolah darma Bangsa yang belum selesai kami bagikan minggu lalu. Pokoknya sore ini benar-benar menyenangkan ! :)

Malam ini ketika saya menulis cerita ini di blog, saya sadar bahwa perubahan itu sederhana. Sesederhana mengajari anak-anak untuk buang sampah di tempatnya, sesederhana anak-anak ESo yang menyisihkan sebagian uang saku untuk berbagi susu, dan sesederhana adik-adik dari Sekolah Internasional Darma Bangsa yang belajar bersyukur dengan cara berbagi untuk saudara mereka yang kurang beruntung. Semoga kesederhanaan-kesederhanaan ini terus menjamur dimasyarakat kita, hingga suatu hari nanti tata masyarakat kita serapi dan semodern Jepang atau Singapura hari ini.


Selasa, 24 Desember 2013


Sebentar lagi 2013 akan segera berlalu dan berganti dengan penomoran tahun yang baru. Biasanya setiap orang memiliki aktivitas yang beragam, seperti pesta kembang api, bakar-bakar, atau menyambuut detik-detik pergantian tahun di tempat-tempat tertentu seperti pantai atau dataran tinggi. Pernah terfikir ndak si ? kalau itu semua terlalu mainstream. apalagi bagi anak muda yang terbilang gaul dan anti mainstream. Ide kreatif apa ya yang berbeda dan penuh makna ?

Tentang Keberadaan Mereka

Ada beberapa orang di Bandar Lampung yang mungkin keberadaanya sangat dinanti, seperti Pak Walikota, Pemilik Mal, Pak Rektor, dan orang-orang besar lain. Pernah ndak si kita merenung sejenak dan berfikir, apa jadinya Bandar Lampung tanpa petugas kebersihan, penjaga perlintasan kereta api, tukang parkir, dll. Bakal semrawut banget kali ya ? dan sayangnya selama ini kita tidak peduli dengan kehadiran mereka, padahal punya peran yang besar banget untuk merawat Bandar Lampung kita ? perlu juga ya sepertinya berhenti sejenak dari rutinitas kita dan mengkhusukan waktu untuk sekedar mengucapkan terima kasih atas kinerja-kinerja mereka.

Tentang TPA Bakung yang Akan Segera Overload

Pernahkah kita peduli ? berapa jumlah sampah kita dalam satu hari ? ratusan ton pastinya ! dan itulah yang membuat TPA Bakung akan segera penuh dalam kurun waktu 2 hingga 3 tahun terakhir. Waduh gawat, kemana lagi ni kita buang sampah ? untuk sampah organik solusinya bisa dijadikan kompos atau biogas. Trus gimana dengan sampah plastik ? bakal makan waktu puluhan tahun untuk terurai. Inget ndak ? dulu zaman nenek-nenek kita kalau ke pasar bawa tas belanja, tapi sekarang, sekali ke mal, pasar, warung, kita tenteng banyak kantong kresek. Ide bagus ndak sie kalau kita diet kantong plastik dari sekarang ?

Tentang Angka Konsumsi Susu yang Rendah

Ada satu lagi ni fakta yang wow ! ternyata angka konsumsi susu di Indonesia ini terendah di Asia, apa kabar di Lampung yang merupakan provinsi termiskin kedua ? padahal nutrisi yang terkandung di susu itu sangat baik untuk pertumbuhan otak dan fisik. Mahal ndak sie harga susu ? sebenarnya ndak, apalagi sekarang ada susu kemasan ekonomis. Cukup dengan merogoh kocek beberapa rupiah saja sudah bisa mendapat sekotak susu berukuran 200 - 250 ml. Perlu edukasi ke masyarakat mungkin ya ? sepertinya iya !

IFL Lampung feat Gen BI

Naaaaah..... merangkum semua isu-isu diatas tadi, Generasi muda Bank Indonesia featuring IFL Lampung punya project yang keren punya, dimana kita akan kampanye #dietkantongplastik dan #gerakansadargizi dengan cara bagi-bagi tas ramah lingkungan dan susu cair ke pekerja-pekerja sosial di Bandar Lampung. Ada tujuh titik kecamatan yang nantinya akan kami tuju, mulai dari Rajabasa, Sukarame, hingga Teluk Betung. Gimana ? punya ide kreatif juga dan mau kolaborasi ???? Keren daaaahhh.... Yuk kolaborasi sama kita !



Senin, 23 Desember 2013



Beberapa bulan yang lewat saya melalui sebuah priceless moment di dalam proses pembentukan diri menjadi seorang pendidik. Pengalaman magang di desa yang jauh tertinggal membuat saya berfikir betapa sederhananya sebagian orang memandang hidup. Sebatas tumbuh dewasa, sekolah hingga SMA, merawat kebon karet atau kerja keluar negeri, membangun rumah, punya kendaraan dan semuanya selesai.

Namun sayangnya dunia luar tidak berfikir sesederhana itu, sebut saja pola pergaulan anak muda sana, mungkin sama sekali tidak mereka sadari, namun ada segolongan yang memetik keuntungan dari keluguan dan kesederhanaan itu. Menjadi korban dari marketisasi “cinta” dan segala aksesoris pelengkapnya seperti alcohol, drug, freesex, dsb.

Aneh memang, untuk mendapat kebutuhan hidup saja sulit, bahkan hanya ada satu mobil angkutan yang kerjanya setiap hari pergi ke pasar untuk membeli kebutuhan hidup orang-orang sana. Namun bagaimana bisa barang-barang terlarang tersebut mendapat akses dengan sangat mudah.

Kegeraman ini memuncak setelah saya kembali ke Bandar Lampung dan memperhatikan pergaulan mereka di social media. Bahasan tidak jauh-jauh dari pacar, galau, patah hati, bahkan saya tak bisa menahan untuk berkomentar ketika mereka masuk ke dalam bahasan “virginity”, kontan saya langsung menulis komentar “lihatlah dunia luar, banyak hal menarik yang bisa kita jelajahi….”

Tetiba angan saya melayang ke kedua adik saya yang sedang menjalani usia remaja, setiap obrolan mereka tidak jauh-jauh dihiasi dengan angan masa depan, hal-hal yang mereka sukai, teknologi, aktivitas organisasi atau berita-berita baru. Berita paling menyakitkan yang saya dengar adalah mereka ingin meraih mimpi-mimpi namun harus menantang keterbatasan.

Kembali angan ini menari mengingat sederetan profil anak muda yang tergabung sebagai jawara lifeboy, nutrifood leadership award, ashoka young changemaker, global changemaker, AFS, sebagian dari mereka berfikir merubah dunia. Ada apa dengan anak-anak ini ? Mungkin mereka perlu melihat dunia luar agar pandangan hidupnya tidak seputar pacar, freesex, alcohol dan menjadi korban “pasar zaman”. Sebuah tempurung yang menutupi mereka harus dibuka, agar memiliki wawasan lebih luas dan melihat gemerlap dunia.

Namun sesaat saya tersadar, atas dasar apa saya mengklaim mereka terkungkung dalam sebuah kotak tempurung, bisa jadi justru saya yang sebenarnya terkungkung dalam tempurung dunia saya. Imajinasi langsung membuat visualisasi yang kreatif, bahwa ada banyak tempurung wawasan, pemikiran, dan sudut pandang di dunia ini, masing-masing dari tempurung itu memberi dunia bagi orang-orang yang hidup dibawahnya. Bisa saja ! kalau memang yang sebenarnya terjadi di dunia seperti itu, biarlah saya, keluarga, saudara, dan sahabat-sahabat saya hidup di tempurung kami.

Tempurung kami tidak mengajari kami tunduk pada “pasar zaman” yang menjajakan jajanan bernama cinta, walau kampanye besar-besaran telah dilakukan melalui film, lagu, stereotype, fashion. Namun di tempurung ini kami menyadari bahwa cinta tidak memilih, namun dipilih oleh Sang Pencipta untuk ditemukan dengan pasangannya, yang akan bersama melangkah untuk memperjuangkan dunia yang lebih baik. Mencoba membenahi dari berbagai aspek, ideology, pendidikan, teknologi, dll.


Di hari-hari lain mungkin kami perlu berwisata ke tempurung-tempurung lain guna melihat perkembangan mereka, membuka pikiran untuk hal-hal baru yang membawa kebaikan. Kami bisa membawakan oleh-oleh berupa pemikiran baru yang membawa kemaslahatan untuk penduduk tempurung kami, namun tidak sekali-kali untuk hal-hal yang lebih primitive. Disini, kami memiliki dasar yang pasti dan terukur, yang tak akan pernah lekang dimakan zaman, dan sebut itu …… “agama”.


Minggu, 22 Desember 2013


Rindu sekali rasanya diskusi apa saja, membahas apa saja, bertukar pikiran dari Utara hingga ke Selatan. Hari ini terbayar sudah, 2,5 jam non stop jadi fasilitator konsultasi regional Parlemen Muda untuk topik "Akses Terhadap Pendidikan Berkualitas". Tak hanya sekedar diskusi, anmun juga terarah dan mencetuskan inovasi-inovasi baru. 

Duluuuu..... duluuu... saya sempat menjadi instruktur dalam waktu yang singkat dan beberapa kali memandu diskusi, mencoba mengarahkan pemikiran yang liar dan kebanyakan kasus yang sama temui dari para peserta adalah mengungkapkan hal-hal yang sifatnya normatif. Masih dulu juga, duluuuu.... saya sering diskusi dengan teman-teman yang memang terkenal suka diskusi seperti HMI, HTI, KAMMI, IMM, IPM, PII, dan lain sebagainya.

Beberapa saat yang lalu saya juga berdiskusi dengan teman-teman IFL nyaris hampir subuh gegara meributkan pengawalan pilkada, bagaimana mengemasnya dengan branding semenarik mungkin agar masyarakt lebih cerdas dengan tipu-tipu politisi. 

Semua itu wajar.... ! karena sebagian besar, bisa dibilang semua dari mereka adalah aktivis yang memang memiliki kepedulian khusus dengan hal-hal semacam itu. Namun hari ini benar-benar luar biasa, luar biasa, bertemu dengan teman-teman baru yang mungkin belum pernah terlibat dengan aktivitas seperti ini dan membicarakan 5 isu pentingg di Indonesia. What a surprise ! tidak berhenti pada ruang pengamatan masalah, namun mereka memiliki ide-ide penyelesaian yang inovatif, kreatif dan aplikatif. 

Selanjutnya saya semakin menyadari bahwa mereka juga benar-benar menggunakan basic keilmuan yang mereka miliki dalam diskusi tadi, mulai dari hukum, ekonomi, pendidikan, sehingga diskusi menjadi lebih tajam, menyeluruh, penuh pertimbangan dan ide. 

Hingga malam ini dan menulis posting di blog ini saya masih menari-nari di ruang ide yang mereka suguhkan, sungguh selama ini saya sudah termakan branding bahwa diskusi yang luar biasa itu hanya milik golongan tertentu, namun hari ini saya menyadari ada "Intangible Asset" yang tidak banyak orang tau.

Terkadang branding atau pencitraan membuat karakter seseorang menjadi lebih kuat walau sebenarnya ada orang lain dengan kompetensi lebih namun hanya diam saja. Banyak orang pintar yang tidak didengar masyarakat karena citra intelektualitasnya lebih rendah dari orang lain yang sebenarnya tidak lebih pintar darinya. 

Namun lebih dari itu semua, hari ini saya menyadari bahwa aset bangsa ini masih begitu besar, masih banyak hal-hal yang belum kita eksplore. Dilain pihak saya juga merasa tertohok untuk lebih open minded dalam menilai orang, don't judge the book from the cover karena bisa saja orang tersebut adalah "Intengible Asset" yang memiliki potensi sangat besar. 

Sabtu, 21 Desember 2013

doc : kaskus.co.id


Perhelatan bulan Desember tidak lepas dari pemaknaan sebuah hari dengan angka kembar "22" sebagai simbolitas sehari akan keagungan jasa kaum hawa sebagai pahlawan rumah tangga yang tidak memiliki bintang jasa, bukan karena tidak bernilai, tapi tak ternilai !

Peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini banyak membuat saya merenung dan bertransformasi kedalam sebuah pola pikir yang baru akan pemaknaan kehadiran seorang ibu dalam hidup seseorang. Mulai dari kenal dengan sosok ibu Septipeni dengan gagasan homeschooling dan ibu profesionalnya hingga pengalaman pribadi yang terjadi di lingkungan keluarga. 

Mimpi Jangka Pendek vs Mimpi Jangka Panjang

Sekilas kita akan berfikir bahwa duduk menjadi seorang wakil rakyat di parlemen, atau menggerakkan sebuah komunitas sosial adalah sebuah pekerjaan yang berdampak besar bagi lingkungan sekitar, sehingga wajar jika banyak dari kaum hawa mengejar untuk berkarya sebaik-baiknya. Bahkan mungkin sebagian dari mereka merasa tidak menikmati masa-masa merawat bayi yang melelahkan, atau tak banyak dari mereka yang berani menggadaikan sebuah mimpi pribadi dengan aktivitas ini.

Dalam sebuah ritme zaman yang terus berputar, dunia memerlukan generasi penerus guna menjaga dan merawat kesetabilan kondisi. Sekilas, peran seorang ibu tidak lebih dari seorang perempuan yang tinggal dirumah, mengisi kolom pekerjaan di beberapa biodata dengan sebuatan "ibu rumah tangga" untuk menutupi betapa peganggurannya mereka, dll.

Percayalaah, menjadi seorang ibu adalah pekerjaan yang jauh lebih abadi dari hal-hal besar yang kita pandang sekarang. Kaki-kaki kecil yang tidak henti membuat keributan, ataupun celoteh-celoteh yang akan menghiasi hari, itu milik seseorang yang akan menjadi penerus zaman, ketika kita mampu mengambil peran ini dengan sebaik-baiknya maka di tangan kitalah masa depan dunia. Seperti sebuah pepatah yang mengatakan "mendidik satu orang laki-laki adalah untuk satu orang tersebut, namun mendidik satu orang perempuan sama saja dengan mendidik satu negara"

Ibulah Menteri Pendidikannya !

Kala waktu itu memanggil, saat itulah peran ideologis seorang ibu dimulai. Kapan kiranya kita memulai ? bukan berawal dari waktu dimana bayi itu lahir, namun dari saat kita benar-benar menyadari bahwa kita ini akan menjadi seorang ibu maka sesungguhnya saat itulah kesadaran akan sebuah pendidikan pranatal (baca:pendidikan anak sebelum dilahirkan) dimulai. 

Setiap perempuan menyadari bahwa dalam perkembangan buah hati merekalah ideolognya, bukan Muhammad Nuh atau siapapun. Kesadaran untuk memperbaiki diri hingga bayi lahir dan ia memulai menjadi menjalani hari sebagai pendidik terbaik yang lebih paripurna dari guru terbaik dari sekolah terbaik sekalipun. Memulai dengan mengajarkan mengeja kata, menanamkan sifat-sifat sederhana hingga menentukan kesiapan mereka menghadapi kehidupan. Ibu berkuasa penuh dalam mengawal penemuan jati diri seorang manusia hingga ia berkarya di dunia yang Global.

Memasak itu... Isu Keamanan Paling Sederhana 

Dalam dunia 'defens strategi' manusia mengolah banyak hal agar manusia dapat tumbuh dibawah naungan kesejahteraan dan kedamaian. Berbagai upaya tidak hanya ditempuh melalui perang ataupun perjanjian damai, namun bisa melalui berbagai program seperti olahraga, seni-budaya, penanaman nilai-nilai bagi para public opinion, dan sebagainya.

Tumbuh kembang seorang anak tidak hanya memperhatikan pola pikir dan mentalnya saja, namun juga pertumbuhan fisik, oleh karena itu asupan gizi dan menjamin masuknya makanan baik ke dalam perut anak-anak juga memberikan peluang masa depan yang lebih gemilang, dengan tubuh sehat maka mimpi besar generasi penerus ini untuk kehidupan dunia yang lebih baik juga lebih mudah terwujud.

Sederhana memang, namun memiliki dampak yang lebih besar, sebuah apresiasi besar harus kita berikan kepada para ibu yang menyiapkan bahan makanan dan mengolahnya dengan baik setiap hari demi panglima-panglima kecil mereka, sederhana memang, kita bisa saja beli atau memasak makanan instan dengan alasan hemat waktu, namun tanpa ia sadari mereka sedang menuju ke kerugian yang lebih besar. 

Tentang Isu Kaum Feminis

Dewasa ini kaum feminis menyuarakan hak antara kaum adam dan hawa. Setali tiga uang dengan pernyataan bahwa adil itu tidaklah harus sama, begitu juga persamaan hak, laki-laki dan perempuan memilik peran besarnya masing-masing dan keduanya sudah disiapkan demi dunia yang lebih seimbang.

Keberadaan isu tersebut membuat perempuan berlomba-lomba merebut karier mereka dan sedikit menomonr duakan rumah. Sedikit memang, mereka menyewa babysitter, menitipkan anak ke playgroup, memiliki pembantu yang bisa mmemasak, dll. Tapi ingatlah saudaraku, value menjadi seorang ibu tidak sebatas aktivitas-aktivitas itu, jauh lebih besar dan hanya bisa dirasakan ketika kita menikmatinya dan dengan sepenuh hati menjalani peran kita sebagai perempuan.

Lihatlah hari ini, anak-anak bebas berkeliaran jajan disana dan disini, mengkonsumsi zat aditif yang mengganggu pertumbuhan dan membahayakan tubuh, sebagian dari mereka menuntut kasih sayang dan terjerumus ke dalam dunia narkoba, seks bebas, tentu ! keseimbangan ini terus terganggu dan semakin rusak. Ibu-ibu mereka pasrah begitu saja dengan kurikulum sekolah, padahal tidak lain semua kurikulum itu mempersiapkan kita menjadi kuli-kuli terdidik bukan manusia yang sesungguhnya. 

Akhir kata, adil tidak harus sama, kerja besar tidak harus rumit, dan keseimbangan dunia sudah diatur dengan sedemikian baik oleh yang menciptakan, mari kita syukuri dan mulai menyadari sebuah peran besar yang ditakdirkan, perbaiki diri dan mulai ambil bagian. Selamat Hari Ibu !




Jauh berbeda dengan tahun 2012 yang penuh dengan petualangan, tahun ini dihiasi dengan refleksi belajar atas kesalahan-kesalahan yang Insyaallah menjadi sebuah pembelajaran untuk masa yang akan datang.

Speak Up, Sebuah Pembelajaran Besar

Awal tahun yang penuh dengan kejutan, seketika speak up hendak berkembang menjadi 3 cabang, namun seketika itu juga ada kesalahpahaman dengan klien dan dengan sesama pengelola, lagi-lagi sifat pekeuwuh ini merugikan diri sendiri, mencoba menyimpan semua sendiri benar-benar sebuah kesalahan besar di dalam sebuah manajemen. Mohon maaf atas semua pihak yang dirugikan.

Kekuatan Media Sosial

Akhirnya buku pertama saya diterbitkan, kumpulan essay natural terkait media social. Sebuah essay berjudul “Revolusi Galau” bertengger di posisi 8, dengan gaya penulisan yag humanis. Bercerita tentang apa ? sudahlah… aku malu jika harus mengingatnya.

JOIN MUN : Ketakutan yang Merugikan

Sebenarnya lolos menjadi delegasi Jogja International Model United Nation, namun karena aku tak memiliki keberanian untuk berjuang lebih, akhirnya aku menyerah pada keadaan bahwa tak benar-benar memiliki akomodasi dan segala tetek bengek untuk kesana.

ACE : work with foreign people

Akhirnya setelah magang selama tiga bulan resmi juga jadi teacher di Aussie central English, nice bisa mengenal orang-orang di dalamnya, kali kedua saya bekerja bersama orang asing setelah mejadi interpreter untuk Verullam beberapa tahun sebelumnya. Nice class, nice moment !

GYCS : gagal mencicip udara negeri orang

Moment yang paling ditunggu tahun ini adalah menjadi salah satu delegasi di Global Youth Cultural Summit, ingin rasanya meginjakkan kaki di negeri orang, memiliki global perspektif dan berjumpa dengan teman-teman dari seluruh dunia. Namun karena beberapa hal akhirnya gagal.

Family is family

Biar bagaimanapun keluarga tetaplah keluarga, sepahit apapun kita kan berusaha melakukan hal yang terbaik untuknya tanpa keluh kesah dan mencoba sekuat tenaga untuk menjaga keharmonisannya. Semoga kelak keluarga ini mendapatkan RidhoNya.  Sebuah berita baik, akhirnya Ridho dan Ibram bergabung di kawah candradimuka bernama Bandar Lampung, bukan hal yang mudah, namun mimpi bukan sesuatu yang harus disimpan dalam hati, sepahit apapun nanti, semoga Allah memudahkan jalan.

KKN : sebuah perjalanan memaknai dedikasi

Program KKN-KT dari kampus memberikan sebuah kisah baru dalam perjalanan hidup, kenal realitas masyarakat, anak muda dan kondisi yang begitu miris. Akhirnya aku menyadari bahwa tidak dari semua anak yang lahir diizinkan untuk bermimpi, tidak dari setiap usaha keras mendapatkan hasil yang memadai. Benar-benar orang yang tidak berperasaan ketika harus merampas apa yang seharusnya menjadi milik mereka. Sebuah nama bernama “Bu Meti” mengajarkan banyak tentang dedikasi, sebuah jargon “nakal bermerek” menjadi sebuah paradox yang menohok batin, I should do more… Priceless moment … gk sia-sia menggadaikan banyak hal.

Pemuda Bangun Desa

Saya sadar betul bahwa anak muda memiliki kekuatan yang luar biasa, dan terusik sangat melihat kenyataan bahwa anak-anak muda islam hanya bergerak pada agenda-agenda normative dan one day event. What a pleasure ! bisa pulang ke rumah yang mengajariku banyak hal, tergabung untuk sebuah project pemuda bangun desa, mempersiapkan segala konsep dan perbekalan untuk menjalankan, namun seperti apa yang kukatakan pada ideolog gerakan #untuk Indonesia hari ini di status facebook, itu juga hikmah yang kupetik dari gerakan ini. “Dengan menggunakan skemata yang saya dapat sepanjang perjalanan 2012, itu benar-benar sebuah ide yang brilian menjawab tuntutan zaman, namun kita harus terus bersabar untuk memberikan pre-reading yang lebih sebagaimana V bersabar untuk sebuah Vendetta.”

Bedah Kampus

Tidak semua anak di negeri ini bebas bermimpi, setidaknya itu pengalaman di KKN, sebuah ide sekilas yang terinspirasi dari senior di SMA dulu, program bedah kampus bertengger menjadi salah satu progja KKN KT, walau bingung dengan ruang antara program desa atau sekolah, walau lupa dijelaskan saat pendadaran, namun saya yakin hal ini akan sangat bermanfaat jika dikelola secara berkelanjutan. Bismillahirrahmanirrahim… semoga dimudahkan dan diistiqomahkan…

See U Next Time Jakarta !

Setelah melalui konflik batin dan konflik-konflik yang lain akhirnya memutuskan untuk tidak berkarya dulu di Jakarta, karena akhirnya aku menyadari bahwa sama sekali tidak menyenangkan dan menguras energy lebih jika harus bekerja ditengah konflik dan sebagainya. Namun dibumi Lampung ini aku siap menyahut sebuah cita-cita perjuangan yang hakiki.

IFL Chapter Lampung

IFL chapter lampung resmi mendapat SK dari pusat, proud to be one of d founder, semoga semakin bermanfaat dengan project-project sosialnya, tinggal bagaimana memberikan sedikit sentuhan asset based community development agar lebih sustainable dan dilanjutkan oleh masyarakat. Sehingga kelak ketika para pengurus ini sudah di antah beramtah kebermanfaatannya masih terasa.

Finger Print : Interpersonal oh interpersonal…

Berkat bantuan putri akhirnya bisa ikut finger print di tempat kerjanya. Thanks a bunch for those special prize. Dan benar-benar di luar dugaan bahwa menurut analisa sidik jari kecerdasan saya yang paling menonjol adalah interpersonal, dan sudah benar saya ada di jalan pendidikan ini… haya perlu menambahkan sedikit keberanian untuk memulai sesuatu…

Roadshow Parlemen Muda

Walau hanya bisa hadir di hari H. Proud being a part of this, mengingat bahwa acara inilah yang mengembalikan rasa percaya diri saya setelah sempat runtuh. Benar-benar seperti sebuah mimpi tahun ini Parlemen Muda bisa singgah di Lampung.

Writing Essay for Scholarship Program

Salah satu program IFL, namun saya menulis space khusus disini karena saya menemukan rangkaian dari apa yang telah saya lalui, pengalaman belajar di tempat biasa di Negara dunia ketiga, kemampuan interpersonal, sempat berkecimpung di student government, suka isu pendidikan, pernah ikut beberapa event advokasi, geram dengan realitas kampus, punya project bedah kampus, bercita-cita membangun lembaga pendidikan yang membebaskan, both individu yang belajar maupun membantu penyelesaian masalah di masyarakat. Dan akhirnya pilihan ini jatuh pada sebuah program master degree bernama “Higher Education” bismillah… semoga dari sini saya bisa memulai Gani Collage dan Gani School… semoga juga bisa membawa keluarga ini ke level kehidupan yang lebih baik.


Akhir dari refleksi perjalanan ini, saya mohon maaf kepada pihak yang saya dzolimi, dan terimakasih banyak for those who stand up beside me di masa-masa pahit sebuah quote penutup dari seorang teman untuk mengikhlaskan apa yang akan terjadi di tahun depan, tercapai atau tidak mimpi-mimpi ini, saya hanya mampu mengusahakannya sekuat tenaga “kemenangan itu bukan saat kamu mampu menaklukkan dunia dengan kebesaranmu, tapi saat berada pada satu titik dimana kamu mampu menaklukkan dirimu sendiri, itulah dunia terbesarmu.”

Selasa, 05 November 2013



Masih terngiang di ingatan ketika awal menjadi mahasiswa baru dan mengikuti acara keakraban yang diadakan oleh prodi masing-masing, saat itulah saya mengenal sosok bernama Aditya Prasetya. Beliau menjadi MC di acara tersebut dan berkali-kali saya tarik nafas karena gaya bicaranya yang sedikit tersengal-sengal. Saya ingat betul memenangkan door prize dari beliau karena menjawab pertanyaan terkait undang-undang sisdiknas, UU No.20 tahun 2003.

Ada beberapa cerita bersamanya, ketika pertama kali saya mengenal dunia aktivisme, ya beliaulah kepala departemen saya kala itu. Setelah itu saya sempat menggantikan Indah untuk melanjutkan amanah beliau di DPM. Layaknya manusia biasa, saya juga sering adu pendapat, pernah ketika di DPM beliau bilang “kamu cuma boleh ngeyel gini sama kak adit aja lho yaaa…”. Layaknya seorang teman yang tak sempurna, saya juga pernah bilang beliau gak gentle ketika lari dari pencalonan ketua suatu organisasi, dan yang paling lekat dalam ingatan, saat saya mengikuti program Parlemen Muda beliau sms dan setengah menggunakan nada yang menyebalkan menyuruh saya pulang keesokan harinya tanpa ia mau tau karena harus menghadiri musyawarah suatu organisasi. Kesal sungguh rasanya saat itu, apalagi saya sudah mendapat  tiket gratis untuk hadir di suatu acara yang akan dihadiri oleh banyak pembaharu social. Malam-malam saya harus telfon maskapai untuk tuker tiket pesawat dan pagi-pagi buta harus bertolak ke bandara.

Dibalik itu semua, layaknya seorang teman, ada kisah-kisah menyenangkan yang mengundang gelak tawa, seperti saat aksi di bunderan gajah dan harus kejar-kejaran sama polisi, Kak Adit lebih milih nunggu berpanas-panasan di bunderan gajah dari pada harus adu balap sama polisi yang dendam sama kita. Alhasil itu polisi nyerah, salaman, dan sholat bersama, dan kala itu dengan sabarnya beliau menanggapi keluahan saya yang motornya paling pertama kena angkut pak pol.

Dilain pihak, beliau itu selalu berkata “kongkretnya begini dahhh…….” Dan bla… bla… bla… masih panjang juga cerita. Begitu juga sepanjang perjalanan organisasi yang diisi oleh banyak kepala. Walau di dalamnya ada begitu banyak kubu, dan beliau mungkin sudah memihak salah satu, namun selalu bisa tampil netral di hadapan kami, para stafnya. Pernah juga ketika kami ribut antara “Gilas” atau “Galaksi” untuk membuat sayap gerakan anti korupsi, beliau dengan tiba-tiba hadir dengan nama “Batik” alias barisan anti korupsi.

Hingga saatnya diumumkannya beliau menjadi bagian dari pengajar muda, senang sekali rasanya, orang yang gubrek-gubrek saya untuk pulang Parlemen Muda cepet-cepet gabung di jenis gerakan yang sama. Semoga kedepannya ada persamaan sudut pandang dalam melihat perubahan dan menghentikan berbagai macam selisih pendapat kala itu. Beliau sempat berkata akan belajar banyak, berdiskusi banyak dengan berbagai background pemuda, dan pulang ke Lampung dengan langkah baru untuk pendidikan.

Saat itu beliau juga ngeyel akan mengganti flashdisk saya yang dihilangkan, dan saya bilang, lupakan, saya juga sudah lupa. Saya tidak pernah membayangkan kalau beliau tidak pernah kembali. Hari-hari saya berlalu begitu saja, dengan ide-ide baru bersama teman-teman, seperti kelas inspirasi bareng Desi, atau bedah kampus bareng temen-temen KKN, atau juga perpustakaan untuk kaum marginal bareng Mb Diana.

Hari ini kabar itu datang, teman, kakak, mentor, senior, kakak tingkat, sekaligus saudara seiman saya ini sudah lebih dulu dipanggil olehNya…

 Ya, hitungan usia @aditya1P bisa pendek, tapi makna kehadirannya amat panjang . . ..

Ia berjuang bawa keikhlasan dan kemulian. Berpulang saat dlm pejuangan, insyaAllah disisi-Nya ia menempati derajat yg mulia dan abadi bersama para syuhada.

Ungkap pak anies baswedan di twitternya.

Lama saya memandangi akun facebook dan ungkapan bela sungkawa terus berdatangan. Hingga ada salah seorang senior di fisika yang update penggalan percakapan beliau dengan kak adit. Bergetar hati saya, membaca salah satu cita-cita besar beliau adalah sebuah gerakan sejenis kelas inspirasi.

Sejenak semangat saya membara, hati saya kehilangan, jiwa berdo’a pada yang Kuasa. Namun biar raga ini berjuang dan bergerak jika ia mampu mmelaksanakannya nanti, namun aku tak berjanji untuk itu. Yang aku tau hari ini, engkau hadir dalam kesederhanaan, menjalani proses sebagai manusia biasa, dan meninggalkan value yang mendalam di akhir hayat…

Optimislah Indonesia,.Karena Kaum Muda dalam usia produktif lebih banyak memilih pekerjaan karena aktualisasi diri (bkn hanya skdr PNS)..  ungkapnya di salah satu status terakhirnya…


Selamat jalan kak Adit… semoga semangat, optimisme, dan ketulusan ini meradiasi ke generasi muda yang lain. Ya Rabb… lapangkanlah kuburnya, ringankan siksanya, aku bersaksi bahwa ia orang yang beriman kepadaMu… jadikanlah pahala perjuangan ini menjadi pahala jihad baginya yang mengantarkan pada syahid… awal dulu aku mengenalmu karena UU sisdiknas No.20 tahun 2003 dan kini aku menyaksikanmu mengakhiri hidup untuk perbaikan pendidikan dalam pengabdian di bumi timur sana. Mohon ma’af atas segala khilaf yang membara dari jiwa muda yang meledak-ledak ini dan terima kasih banyak atas value value yang telah ditinggalkkan dalam perjalanan menjadi khalifah Allah, semoga kelak kita berjumpa lagi di jannahNya… Selamat jalan kawand… 

Kamis, 17 Oktober 2013



Desclaimer : tulisan ini dalam rangka menebus dosa kepada beberapa orang yang pernah satu perahu untuk belajar dan belum move on juga. I just want to show you "how i think" dan sama sekali tidak bermaksud meninggalkan teman-teman terbaik menuju dunia baru saya sendiri. 

Tempo hari saya berbincang dengan salah seorang teman terkait sebuah episode kehidupan dikampus yang menarik untuk dibahas karena meninggalkan banyak proses pembelajaran. Bisa dibilang saya sangat menikmati hari-hari itu dimana saya belajar banyak mengenai konflik, prinsip, taktik, dan juga kawahcandradimuka bagi mental yang harus terus dinamis dibawah tekanan. Bagi kami berdua, proses ini menjadi jumping stone untuk menjajagi dunia baru, namun tidak bagi seseorang yang mungkin memiliki manajemen cinta yang lain dalam memandang suatu komunitas. Bisa disebut ia mengalami post power syndrome.

Dalam kesempatan ini saya ingin mereka yang tenggelam dalam sebuah post power syndrome mampu mereformasinya menjadi sebuah post power time. Teringat pembicaraan terakhir dengan bapak saya terkait dinamika seorang pemimpin yang bertahan di kursinya selama bertahun-tahun, saat itu saya menyatakan bahwa tipe pemimpin seperti itu tidaklah baik, karena 1) Ia tidak memiliki visi yang bisa diwariskan kepada generasi penerus, ketika ia mati sudah semua berakhir. 2) Ia menutup pintu kaderisasi untuk orang lain berkembang. 3) Ia menutup kesempatan dirinya untuk berkembang dan memimpin sesuatu yang lebih besar, menyelesaikan hal-hal besar, dan memberi kebermanfaatan yang lebih besar pula. 

Post power time akan menjadi sebuah terminal untuk menuju final destination yang baru. Yang membuat sebagian orang sulit menghadapi kondisi ini adalah ia sulit menentukan final destination tersebut, Ia terus terbayang dengan sebuah kenangan indah dimasa lalu, sementara sebagian diantara mereka merumuskan final destination terbaik untuk dituju, menatap kedepan, membuka hati untuk orang-orang baru dan pembelajaran baru, or bahasa anak mudanya "move on". Outside there, so many place need to travel, so many lesson should we take, and so many friends are waiting for us. 

Bukan berarti juga tempat yang kita tinggalkkan berada di tangga yang lebih bawah, sometime someone need to travel to the other world untuk menemukan sebuah pembelajaran hidup yang baru. It is not a big problem, karena yang menjadi masalah adalah ketika kita diam dan berhenti belajar.  

Hari-hari ini saya tambah bersemangat mendengar kabar yang terus berdatangan, ada yang melanjutkan study, bekerja di beberapa tempat, dan menggenapkan separuh diennya. Subhanallah... sebuah tranformasi post power time yang bagus. Semoga dihari depan kita dapat berjumpa lagi dalam satu forum yang lebih cetar membahana.  Sebuah lahan pembelajaran baru yang lebih besar telah kau jajaki, kutunggu cerita-cerita perubahan dari masing-masing kita, semoga Allah senantiasa menjaga kita semua. Semoga teman-teman terbaik saya yang masih dalam masa post power syndromenya juga segera merubah way of thinking to post power time. 






Hasil perenungan ini membuat saya berefleksi bahwa pendidikan yang berhubungan dengan pembentukan karakter dan kepribadian manusia itu jauh harus dinomorsatukan ketimbang setumpuk mata pelajaran yang memaksa kita kelihatan cerdas padahal tidak.

Inilah mengapa saya apresiatif terhadap pola pendidikan Jepang yang lebih dulu mengajarkan bagaimana mengantri ketimbang matematika. Dari mengantri karakter mereka dibentuk untuk menghargai proses di dalam setiap usaha mencapai sesuatu bukan berorientasi pada hasil yang pada akhirnya banyak menggunakan jalan instan.

Pada suatu sore Desi menceritakan hasil perenungannya kepada saya, "Can, lo sadar nggak klo tiap ada acara, anak-anak muda yag dateng itu-itu aja". Dan tanpa ragu saya menjawab ia. Karena dulu tatkala saya sering mengikuti lomba yang saya jumpai ya orang-orang itu, baik olimpiade, KIR, pramuka, maupun english club. Begitupun ketika masuk ke organisasi kepemudaan, lo lagi- lo lagi. Terakhir saya aktif di berbagai gerakan sosial ya itu-itu lagi yang saya jumpai.

Desi melanjutkan perenunganya "Itu menunjukkan kalau anak muda Indonesia yang mau berusaha untuk maju itu sedikit, mungkin dari berjuta-juta anak muda hanya 4.000an saja. Jadi sebenarnya ketika kita bermimpi untuk mendapatkan sesuatu kita tidak perlu bersaing bebas dengan berjuta-juta anak muda itu. Hanya 4000 saja, dan sebenarnya kita tidak perlu mengalahkan mereka, kita hanya perlu bersabar dan ngantri. Apalagi kesempatan untuk mengasah kemampuan sekarang begitu banyak, seperti beasiswa ke luar negeri, program-program seperti pencerah nusantara, indonesia mengajar, dll."

"Misal ketika kita mencoba mendaftar beasiswa S2 dan ndak ketrima, tapi yang ketrima tiga puluh orang di luar kita, kita ndak perlu sedih, masih banyak kesempatan lain dan itu artinya kita juga kehilangan 30 saingan kita dan tinggal 3970 saja. Permasalahannya adalah selama ini orang tidak sabar pada proses dan menunggu giliran kita untuk terpanggil pada kesempatan lain. Atau permasalahan kedua, ia diam jalan ditempat ketika 4000 orang ini terus memperbaiki kapasitas dirinya dengan berproses, akibatnya ia tertinggal dari komunitas 4000 orang ini."

"Padahal kita tak perlu berlari terlalu kencang untuk menjadi yang terhebat, kita hanya perlu terus belajar, bergerak dinamis dan kreatif sembari menunggu giliran. Dan giliran itu pasti datang, karena walaupun kita ada pada giliran ke 4000, 3999 orang diatas kita akan naik level dan kita mengisi kekosongan itu, begitupun kalau kita bertahan, cepat atau lambat kita juga akan naik level dan digantikan oleh 4000 orang generasi baru lain, syukur-syukur kalau kita bisa lebih cepat dari 10 orang diatas kita, maka kita akan 10 langkah lebih cepat mengantri, namun tidak juga kita ambisius untuk melangkahi 4000 orang segaligus, karena itu terlalu ambisius dan justru membuat kita semakin lelah, dan kembali lagi pada case "menghargai proses"." tutup Desi.

Perenungan Desi tadi membuat saya menengok pada diri sendiri, semoga hal ini dapat menjadi pembelajaran bagi kita semua. Ya, saya bukan tipe orang yang menyerah kepada keadaan, ya, saya juga berada diantara teman-teman yang luar biasa dengan kelebihannya masing-masing, dan saya juga memiliki mimpi yang ingin saya raih. namun terkadang :

1.) Saya menginginkan suatu proses yang cepat, memasang target terlalu tinggi sehingga membuat saya harus berlari kencang, mungkin saya sanggup, namun supporting sistem yang ada disekitar saya belum memadai, akhirnya membuat saya kelelahan dan justru berhenti untuk berproses. Hal ini sangat disayangkan, padahal kita tak perlu tergopoh-gopoh, hanya perlu mengikuti ritme dan menunggu giliran dalam sebuah antrian kesuksesan.

2.) Ketika sudah kelelahan saya akan berhenti sejenak, tentu ini tidak baik, karena 4000 orang yang mengantri itu juga gagal dan mereka terus mencoba dan mencoba lagi, secarra tidak langsung kapasitas diri mereka meningkat. Saat dimana saya berhenti akan membuat saya munduur dari nomor antrian, misal dari 200 menjadi 2500. Inilah mengapa kita perlu mengukur ambisi, bukan sesuatu yang gila-gilaan, namun kita harus mengenal diri dimana kadar kita, sehingga tidak menjadi bumerang yang awalnya ingin maju lebih cepat, justru kelelahan dan mundur.

Sebuah keadaran singkat dari semua penjabaran ini adalah bahwa karakter untuk antri itu bukkan perkara sim salabim, namun di didik dari kecil. Karakter untuk antri juga tidak hanya berlaku ketika kita di Bank, beli karcis kereta, dll. Namun juga terefleksi terhadap cara pandang dan proses kita dalam menjalani hidup. akhir kata saya ingin mengingat kembali sebuah pesan dari ibu saya "orang-orang yang tidak bisa memperhatikan hal-hal kecil, ia juga tidak bisa memperhatikan hal-hal besar." Semoga bermanfaat.





Rabu, 18 September 2013


untukmu yang akan membagi namanya untuk anak-anakku...

Cintaku bukan tentang aku dan kamu,
tapi tentang Tuhanku yang juga Tuhanmu

Cintaku bukan tentang kita
namun tentang pahlawan pahlawan kecil yang akan melanjutkan perjuangan ayahnya

Bahagiaku bukan hanya karna hadirmu
Yakni pembelajaran kala membantumu menyelesaikan masalah peradaban

Namanya Ibu Mety, waka kurikulum di tempat saya KKN. Sedikit saya tahu latar belakang beliau, namun ketika ingin mengenal lebih jauh ada saja halangannya, ketika saya hendak bertandang ke rumahnya, beliau masih di luar kota, selanjutnya kami sibuk dengan urusan masing-masing.

Saya sempat khawatir ketika berkomunikasi dengan beliau, terkadang pembawaan tegas itu sedikit bergeser kearah kaku. Terlebih ketika kami meminta libur lebih dulu dari waktu sekolah, hingga pada akhirnya saya melobi langsung kepada Kepala Sekolah.

Akhirnya kedekatan diantara kami terbangun ketika persiapan bedah kampus, beliau menjadi teman sharing dan penghubung terhadap sekolah, sampai pagi-pagi beliau saya repotkan dengan telfon saya yang meminta buru-buru untuk segera ke sekolah karena bapak Kepala Sekolah tidak ada.

Satu kata yang saya ingat dari beliau adalah, ketika menyarankan kami untuk fokus pada anak-anaknya saja dulu, baru ke orang tua, karena beliau khawatir kami kecewa melihat respon orang tua, “kalau kami sie sudah biasa ujarnya”. Tak sedikitpun ada raut muka jengkel dari wajah beliau.

Tak lama dari itu, saya mendengar kisah beliau dari Bu Dwi (guru matematika), bahwa suaminya seorang pelaut, beliau disini sendiri bersama anaknya yang masih kecil, dulu suatu hari beliau pernah terlibat konflik dengan beberapa oknum, disaat yang sama beliau juga keguguran, sesaat terbayang ketegaran seorang wanita. Selesai bercerita tentang Ibu Mety, saya dan Bu Dwi berbincang tentang bapak kepala sekolah yang memilih untuk kembali menjadi guru ketimbang menjadi kepala sekolah disana. Hmmm... yah inilah realitas, ada yang memilih untuk mengurai benang kusut, dan ada yang memilih untuk damai.

Malam itu malam terakhir kami di Toto Mulyo, kami bertandang ke rumah beberapa pamong desa, tangis saya tak bisa di bendung ketika memasuki rumah Pak Sekertaris Desa yang begitu banyak membantu dan menjadi bapak untuk kami bersebelas. Selanjutnya berlanjut ke rumah Ibu Ririn, dari sana saya terfikir untuk ke rumah Ibu Mety, namun saya khawatir ketika hendak mengajak teman-teman kesana karena kami lupa menyiapkan bingkisan untuk Bu Mety. Hingga pada akhirnya Bu Ririn menyarankan juga kami untuk kesana, setelah perdebatan ndak apa-apa ndak bawa buah tangan kami berangkat, saya yakin tidak apa-apa, karena Bu Mety cukup tangguh dan idealis dimata saya.

Kesan pertama ketika kami memasuki rumahnya terasa sepi, tertangkap mata bocah kecil berusia 2 tahunan dengan senyum manis. Luar biasa perempuan tegar ini. Memandangnya menyambut kami, mengakrabkan kami dengan anak semata wayangnya, mendengar wejangannya “guru itu bukan sekedar profesi yang merindukan gaji, namun membutuhkan dedikasi, kalau hanya berharap gaji, cari saja pekerjaan lain, karena tanpa dedikasi semuanya akan berat, apalagi untuk seorang perempuan, yang ditempatkan di daerah, timbang dulu benar-benar. Saya rasa tujuan kampus menempatkan KKN disini adalah untuk mengasah dedikasi, seperti Indonesia Mengajar yang ditempatkan di pelosok”.

Sesaat saya menunduk dan pura-pura baik-baik saja, mengingat segala hal tentang Bu Mety, saya menangis 
kala itu dirumahnya. Subhanallah... masih ada manusia seperti ini, harus bertahan hidup berteman bayinya di daerah baru, menghadapi konflik sosial, dan tetap ikhlas dan damai menjalani segala sesuai, gerak yang ligat, wajah yang ceria, seolah menutupi semuanya.

Makin kagum saya ketika mendengar cerita Mb Riza, salah seorang teman saya yang di pamongi oleh beliau. Saya dikasih uang sama Bu Mety, karena kata Bu Mety saya yang ngajar 2 bulan ini. Luar biasaaaa...! disaat guru lain menarik keuntungan dengan adanya anak KKN, beliau mengerti apa yang harus pada porsinya.

Bu Mety menjadi pelajaran berharga, hingga ketika sampai di Bandar Lampung saya sempatkan memberi kabar kepada beliau “Alhamdulillah sudah sampai di Bandar Lampung”. Dan beliau membalas “teruslah berkreatifitas dan ikhlas dalam menjalani semuanya...” Jleb... semoga segala apa yang Ibu kerjakan hari ini mampu menjadi amal jariyah yang menjadi pemberat timbangan menuju jannahNya. Dan semoga ada orang-orang yang memiliki kapasitas untuk memperjuangkan beliau dibukakan hatinya. Sungguh engkaulah pahlawan tanpa tanda jasa.

Selasa, 17 September 2013


Awalnya, kegiatan KKN KT terasa membosankan, apalagi saya sedang memegang beberapa project sosial yang menuntut saya wara wiri Lampung-Jakarta. Diharuskan tinggal di pedalaman Lampung, dengan akses internet yang lelet, juga sinyal telfon yang putus nyambung membuat saya merasa terkurung dan tak bisa apa-apa.

Senin itu kala pertama kami ke sekolah, SMA Negeri 1 Gunung Terang namanya, gedungnya ala kadar, bangku jauh dari standar, buku minim, bahkan sering saya jumpai sapi atau kerbau berkeliaran di halaman sekolah. Dipagi hari murid-murid datang dengan seragam yang beragam dan tidak teratur. Wajah-wajahnyapun terkesan norak dengan gaya poni lempar, rok wiru-wiru, dan seragam yang sesungguhnya tak seragam.

Selanjutnya menginjak episode pesantren kilat, seorang guru agama berkata kepada kami, anak-anak disini susah dididik, dikerasin aja, sekali kamu gagal masuk ke ruang kelas, sudah belakangnya wassalam.
Hmmmm... sejenak terbayang wajah adik-adik di pesisir dengan gaya unik ala anak laut yang dididik langsung oleh ombak, akankah mereka adalah pribadi yang lebih unik dari itu ??? Ha ha ha... bisa jadi, atau mungkin seperti adik-adik dibawah Ramayana yang sampai sekarang aku masih bingung bagaimana akan mendidiknya.

Perlahan kuperhatikan mereka satu per satu, ah’ tak mungkin anak-anak ini ndak memiliki celah psikologis. Hari-hari selanjutnya dilanjutkan oleh agenda pesantren kilat, saya dan tim mencoba memberikan yang terbaik dalam keterbatasan kami. Dihari terakhir kami melakukan renungan, dan diluar dugaan, adik-adik ini menangis meraung-raung bahkan sulit untuk diajak kembali tertawa. Dari episode ini saya menangkap satu hal, mereka adalah anak-anak yang di didik oleh alam dengan keras. Ada yang ibunya mati bunuh diri, ditinggal ke arab, harus membiayai adik-adiknya, disekolahkan oleh orang dan terancam putus, ditengah semua perjuangan itu mereka harus nderes karet dini hari hingga pagi baru setelahnya berangkat sekolah.


Memasuki masa-masa mengajar, menjadi tantangan psikologis sendiri untuk saya, pertama karena mengajar bahasa sembari memenuhi tuntutan kurikulum yang tidak sesuai dengan sistim eveluasinya (baca : Ujian Nasional). Kali pertama saya bertanya, “what will u do in the future ?” sebuah jawaban yang membuat hati saya seperti disayat sembilu adalah “nderes karet miss”, “kerja keluar kota miss” “udah lah miss, kami ini ujung-ujungnya ya jadi pendekar (baca : penderes karet) !”. Yang pada akhirnya saya bertanya, untuk apa saya mengajarkan bahasa asing kalau pada akhirnya itu tidak koheren dengan visi hidup mereka. Karena belajar bahasa inggris bukanlah perkara grammar atau kosa kata, namun perkara persaingan global. Tidak hanya berfikir menjadi pendekar, namun bagaimana dengan keilmuan perkebunan karet itu bisa diolah secara mandiri.

Mau tidak mau harus ada yang mengalah dan berubah, entah itu saya atau mereka. Beberapa pertemuan sengaja saya korbankan hanya sekedar menghadirkan sebuah inspirasi di ruang kelas. Namun luar biasa, bahkan ada yang benar-benar cuek untuk sekolah, sampai-sampai ia kehilangan buku pelajaran setiap hari. Ha ha ha ha... biarlah berjalan apa adanya. Untuk mereka bisa sampai ke sekolah saja sudah luar biasa,dan akhirnya saya memutuskan untuk tidak memberikan penilaian di bawah very good walaupun mereka hanya menulis dua kata. Pernah satu kali saya ujian, namun hanya untuk membentuk karakter mereka tanpa saya ambil nilai kognitif. Saya hanya ingin menyadarkan, bahwa mencontek itu hanya bentuk ketakuatan yang tidak mendasar, toh minimal nilai mereka adalah very good.

Pernah suatu hari, saya ajak mereka merenung akan banyaknya waktu dan biaya yang sudah dikeluarkan dan keahlian yang didapatkan. Apa kiranya yang bisa diaplikasikan di dalam kehidupan ? dan merubah kondisi sosial? hingga tiba kesimpulan bahwa sepanjang 1 tahun, mereka mengeluarkan biaya sebesar 5 juta, dan paling banter beberapa anak saja yang bisa bicara dalam bahasa inggris selama 30 detik tanpa putus.

Saya sadar betul ada beberapa orang yang harus respect dengan kondisi ini, yakni kakak-kakak Indonesia Mengajar yang dikirim dari Jakarta untuk hal-hal seperti ini. Dua kali kami rapat dan berencana mengenalkan dunia kampus kepada mereka, namun apa daya mereka ada keperluan yang lebih urgent untuk meningkatkan kapasitas guru. Akhirnya, setelah mencari pengganti sana sini, saya mendapat bantuan dari dua orang teman, Desi dan Priska yang dedikasinya luar biasa. Jauh-jauh dari Bandar Lampung, menyempatkan diri diantara pekerjaan dan kuliah mereka hadir diantara adik-adik. Thanks IFL Lampung...

Waktu pulang semakin dekat, bahkan di detik-detik terakhir saya hampir menangis rasanya, karena saya seperti tak merubah apapun. Dari sikap, karakter, kemampuan. Yasudahlah, i will give what can i give seraya saya memandang balik pada diri saya, “bodoh sekali kamu...”. Bahkan diulangan terakhir beberapa siswa masih mencomtek, saya benar-benar hampir habis akal. Berhubung saya kesal, mereka-mereka yang masih saja nyontek dan memberikan contekan saya tarik kertas ujiannya. Setelah ujian selesai saya evaluasi dan saya benar-benar bilang “respect to your self” “no one will believe you, if you are not belive on your self” setelah saya tanya apa perasaan mereka dan ternyata ada yang menjawab jengkel, kesel, nyesel, dll.

Mungkin jika mereka ndak mendapat sesuatu dari saya, saya yang akan mendapat sesuatu dari mereka. This is the real school, dari yang selama ini hanya hidup di bayangan saya. Ketika saya dan teman-teman membahas usulan kebijakan untuk kementrian pendidikan, sekolah seperti ini hanya ada di angan-angan kami, namun ini nyata di depan mata. Sayapun mengucapkan rasa terimakasih yang mendalam atas semua pembelajaran ini. Satu oleh-oleh yang saya tinggalkan, yakni program bedah kampus yang akan terus di follow up. Semoga dengan adanya kakak asuh, masih ada kesempatan untuk mengajak mereka melihat dunia.

Sayapun pamitan saat itu, karena saya fikir itulah terakhir kali saya masuk kelas. Namun ternyata saya salah, esoknya saya masih ada jam mengajar 1 jam. Akhirnya saya kembali masuk dan suasananya sudah jauh berbeda, kita sharing, beberapa diantara mereka bertanya terkait program bedah kampus, hingga sharingpun meningkat sampai pada pertanyaan apa yang membuat mereka putus asa, kontan 80% dari isi kelas menangis. Akhirnya saya mengerti akan apa yang selama ini terjadi, sayapun meneteskan air mata dan saya tahan sekuat tenaga dan kembali memberi harapan kepada mereka, entah pada akhirnya itu palsu atau gimana, i will do my best.

Spons otak saya segera mengeneralisasi, mungkin banyak anak-anak Indonesia yang seperti ini, ternyata akses pendidikan tinggi itu benar-benar sulit, ternyata banyak anak negeri yang bimbang akan masa depannya, siapa yang peduli ? saya keluar kelas dengan hampa. Bingung harus berekspresi bagaimana, terngiang wajah mereka satu per satu dengan background masalah masing-masing. Anak-anak yang seharusnya tumbuh kembang dengan baik, sudah terbebani dengan masalah sosial yang tidak ringan. Namun saya sedikit bahagia, setidaknya mereka terbuka dengan saya.


Hari temu pamit itu tiba, sekedar salam-salaman, beberapa siswa menyampaikan kesannya, dan tibalah perwakilan dari kelas yang saya ajar. “terima kasih untuk kakak-kakak yang sudah membuat kami kembali memiliki mimpi, yang pada awalnya kami ndak tau akan kemana, kelas kami yang di cap sebagai kelas yang nakal, kini kami menjadi kelas yang “nakal bermerek”, tunggu kami, kami pasti akan kesana, sekeras apapun perjuangan didepan”  nyesss..... ternyata apa yang saya ubrek-ubrek selama ini sampai juga. Amazingnya mereka bisa menciptakan istilah “nakal bermerek”, inilah yang bisa kami hadirkan, bukan kemewahan, simbolitas acara yang besar, namun kami ingin merubah semangat, pola pikir, sudut pandang, mental, dan skill, karena kami adalah orang-orang yang sedang mulai belajar terkait dunia pendidikan. Terima kasih atas sebuah pengalaman yang begitu berharga ini “a life changing experience”.