Rabu, 20 Maret 2013


We never know the secret of future, only God who create the secret who know it. Begitu juga dengan saya, yang tidak pernah membayangkan akan tersangkut di tempat ini, dengan kehidupan yang berubah 180 derajat. Dan saya yakin bahwa setiap individu pernah mengalami gelombang kehidupannya yang naik dan turun, dan satu-satunya yang mampu menakar kualitas diri kita adalah bagaimana kita menyikapi keduanya dengan bijak dan sadar bahwa semua ini adalah dunia fana tempat Tuhan menguji kualitas diri.

Pada masa kecil saya menjalani hari twenty four per seven dibawah settingan kedua orang tua saya, semua tergantung pada apa yang mereka persiapkan untuk saya, kapan dan apa yang harus saya pelajari, apa yang harus saya baca, apa yang harus saya pakai, hingga awal kelas satu SD saya sudah wisuda Taman Baca Alqur’an disaat teman-teman yang lain baru memulai. Diusia saya yang belum genap enam tahun saya ditawari pemotongan kelas, langsung ke kelas tiga, dari segi pemikiran saya juga sudah memahami konsep dasar pemikiran islam juga konsep-konsep dasar di alam. Dari segi kepemimpinan, saya sudah menjadi pemimpin di suatu organisasi dalam usia yang relatif belia untuk ukuran organisasi antar kelas, bahkan saya pernah terancam memenangkan beberapa cabang olimpiade seandainya saja saya boleh mengikuti lebih dari satu cabang.

Saya lahir dan besar di sebuah desa, namun dalam angan selalu membayangkan kalau suatu hari nanti saya akan menjadi salah satu dari anak-anak terpilih yang mampu merekayasa dunia, menata tatanan masyarakat dan memberikan kehidupan yang lebih baik bagi masa depan anak-anak.

Kelas satu SMP saya tinggal sendiri dan dipisah dari orang tua, disini saya mulai meninggalkan bentuk-bentuk kedisiplinan yang diajarkan oleh orang tua, prestasi saya masih lumayan, namun perlahan dan pasti menurun, hingga paling terasa ketika saya memasuki perguruan tinggi.

Pola kehidupan saya berubah seratus delapan puluh derajat, saya yang dulu sering terancam menang, sekarang terancam DO. Akhirnya saya mengerti rasanya berada di bawah, menjadi siswa terbodoh, dipandang sebelah mata, mendapat kelompok sisa ketika harus mengerjakan tugas kelompok, perlahan rasa percaya diri sayapun berkurang. Saya yang dulu lihai sekali untuk “sell my self” sekarang lebih banyak diam, walau jelas disekitar saya ada yang mencari skill yang saya bisa.

Dalam kontemplasi saya diantara dua titik itu, saya menemukan dua buah cerita sederhana pada masing-masing titik ekstrim yang pernah saya alami. Dulu kala hidup saya seperti bintang yang begitu cerah, saya pernah mengikuti lomba puisi, dan itu pertama kalinya saya mendapat juara harapan dan keluar dari 3 besar pemenang, saya menangis sepanjang hari dan ayah saya hanya berkata “biarkan saja ia menangis, ia harus belajar untuk kalah”.

Lain cerita dengan ketika saya berada di titik ekstrim yang sebaliknya, saya belajar bahasa inggris dari nol, tertatih-tatih, melawan rasa bosan, hingga berkecibu dengan rasa malu saya mengikuti lomba debat bahasa inggris, beberapa kali saya bertanding dan tidak pernah berhasil, baru setelah pertandingan saya yang keberapa belas saya menang, karena terbiasa kalah sayapun lupa bagaimana rasanya menjadi pemenang.

Dulu saya belajar menjadi pemenang tapi tidak pernah belajar untuk kalah, dulu saya belajar bagaimana ada di posisi puncak yang senantiasa di elu-elukan tapi tidak pernah belajar bagaimana menjadi orang paling belakang yang keberadaannya antara ada dan tiada, semua itu, tanpa terkecuali ketika kita ingin menjadi lebih bijak dan dewasa dalam kehidupan harus dipelajari dengan baik dan tanpa terkecuali.

Kembali saya teringat pada ibu saya yang tidak pernanh mengizinkan saya untuk diakselerasi, karena ia mengatakan bahwa kedewasaan perlu berjalan dengan normal tanpa manipulasi apapun, ditempuh dengan kesabaran untuk mendapat suatu proses yang sempurna. Naik turun kehidupan, menang-kalah, atas-bawah, itu adalah rahasia masa depan, saya tidak pernah tau apa yang akan terjadi besok, namun setiap kita tau betul bahwa hari ini adalah ajang kerja keras dan ladang yang menanti untuk digarap dengan sebaik-baiknya, dengan penuh kediplisinan.

Selasa, 19 Maret 2013


Ide dari penulisan judul ini berawal setelah saya ujian di salah satu mata kuliah, make sure saya yakin dengan penguasaan konsep saya, bahkan saya berani turun lapang untuk menunjukkan ketrampilan saya. Namun saya merasa begitu sesak ketika di dalam ujiannya saya dihadapkan pada tipe soal dengan pilihan jawaban yang tertutup. Hal ini akan berbeda ketika saya mengerjakan sola essay, karena bagi saya tidak ada kebenaran mutlak dan kesalahan mutlak bagi pelajaran yang saya pelajari di kelas. Seandainya saya dihadapkan dengan esaay, saya masih bisa bermain dengan kreatifitas dan analysis saya. Namun, dengan pilihan ganda saya dihadapakan pada satu pilihan pasti dan empat pengacau.

Pendidikan dan Kreatifitas

Kelak, ketika saya sudah selesai dengan diri saya, sungguh ingin sekali saya membangun sebuah taman belajar yang mengembangkan kreatifitas. Karena manusia bukanlah robot yang memerlukan charger pengetahuan, namun pemilik akal yang perlu dikembangkan daya nalar, kritis, dan kreatifitasnya. Sehingga kelak ketika ia menjadi guru, ia menjadi guru yang kreatif dengan ide risetnya, pengembangan metode barunya, dan guru yang menghargai proses belajar siswa. Bukan guru yang terpaku dengan LKS dan buku paket kala belajar, bukan guru yang menjadikan UN tujuan akhir.

Begitu juga cerita ketika ia menjadi dokter, ia akan menjadi dokter dengan terobosan-terobosan baru, bahkan ia mampu mengantarkan kita pada tindakan preventif, pengolahan lingkungan sehat, seorang dokter yang mengajarkan kepada masyarakat bagaimana menjaga kesehatan, bukan dokter yang terpaku dengan jarum suntik, obat, dan infus.

Ada begitu banyak pekerjaan lain di dunia ini yang membutuhkan inovasi, kreatifitas, dan kekritisan. Namun untuk memiliki jiwa yang dinamis, tidak bisa dengan ujug-ujug datang begitu saja, perlu ada latihan semenjak dini, dan inilah yang tidak saya dapatkan dari multiple choice. Multiple choice memberi kita pilihan tertutup, kaku, dan sudah pasti itu, namun essay akan melatih kedinamisan kita dengan lebih indah, Lebih baik lagi, jika dosen atau guru memberi evalusi berupa studi kasus, sehingga bisa mencakup tiga aspek, afektif, kognitif, dan psikomotor.

Menghafal dan Memahami

Pilihan tertutup pada pilihan ganda, cenderung mengarahkan peserta didik untuk menghafal mata pelajaran, terutama untuk mata pelajaran seperti biology, sejarah, geografi, dll. Hal ini membuat siswa hafal diluar kepala dengan teorinya, namun kurang faham dalam pengaplikasian dari ilmu yang mereka pelajari.

Mungkin hipotesis sisngkat saya akan bermuara pada banyaknya pengangguran di negeri ini. Karena seharusnya pada tingkat pendidikan yang mereka miliki, mereka bisa melakukan sesuatu. Namun nyatanya mereka menunggu lowongan pekerjaan. Yang menjadi pertanyaan adalah ? kemana ilmu yang telah mereka pelajari ? mungkin disimpan rapi dalam otak.

Cap Cip Cup Kembang Kuncup

Fenomena ini merupakan fenomena unik dari pelajar di Indonesia, ketika mendapat soal pilihan ganda, banyak diantara siswa hanya cap cip cup kembang kuncup alias menebak jawabannya. Ini jauh lebih parah, sudah dihadapkan pada pilihan tertutup yang membatasi kreatifitas. E... ini justru btidak berusaha sama sekali dan bermodal cap-cip cup selesai mengerjakan ujian.

Jika efek dari pembatasan kretifitas saja berpengaruh besar terhadap proses pembangunan suatu bangsa, bagaimana dengan menghadirkan proses yang membuat siswa selalu berharap pada durian runtuh. Terang ini akan membentuk mental yang enggan menjemput bola.

Studi Kasus Bisa Menjadi Pilihan

Pada akhirnya semua pilihan kembali pada pendidik yang membuat soal itu sendiri. Mengoreksi soal pilihan ganda memang cenderung cepat, proses penilainnyapun tidak rumit, namun ini sebanding dengan mental yang akan dibentuk melaluinya.

Saya berharap, suatu hari nanti soal pilihan ganda ini mampu diganti dengan alternatif lain, seperti uraian singkat dan studi kasus. Dalam hal ini, saya sepakat jika studi kasus bisa menjadi pilihan. Karena studi kasus benar-benar menguji penguasaan konsep, dan ketrampilan dalam mengaplikasikan. Studi kasus juga mendekatkan kita dengan realitas dunia nyata yang sesungguhnya, sehingga kelak, ketika ia tamat sekolah, ia sudah memiliki bekal pengetahuan untuk menunjang hidupnya di dunia yang hingar bingar ini.


Mungkin ada kalanya diantara kita berfikir bahwa sebenarnya apa yang menjadi benar dan salah di dunia sekarang ini adalah konsensus mayoritas manusia menganggapnya apa. Contoh saja, seorang pelajar yang tidak lulus ujian nasional karena tidak mengikuti prosedur contek mencotek di sekolahnya, sudah bisa dipastikan teman-teman dan guru-gurunya akan menyalahkan tindakan bodohnya itu dan berdalih “ini kan demi kebaikanmu juga, kalau sudah begini bagaimana ? Bukankah mengulang sekolah satu tahun lagi lebih buruk? Belum lagi citra sekolah dan peluang kepercayaan perguruan tinggi ke sekolah”. Pengalaman di atas pernah terjadi pada salah seorang teman dekat saya, dan sebenarnya saya bingung, siapa yang sebenarnya salah ? karena menurut saya teman saya itu tidak salah sama sekali. Ia hanya mengaplikasikan sebuah pelajaran yang ia dapat dari TK, yaitu kejujuran dan tanggung jawab, ia jujur akan siapa dirinya dan bertanggung jawab atas nilai dirinya sendiri. Namun karena apa yang ia lakukan itu tidak umum di logika manusia yang menganggap tidak lulus UN itu adalah aib, maka orang-orang memandangnya salah.

Titik Ekstrim di Dalam Statistik Dianggap Tidak Ada
 

Hari ini saya mendapat sebuah pelajaran baru dari mata kuliah research, dan ada hal yang cukup menggelitik bagi saya untuk menuliskan ini. Kurva di dalam data statistik berpendapat bahwa jumlah orang bodoh di dunia ini ada 3 % , rata-rata 30 %, dan cerdas 3 %, penghubung diantara ketiganya sekitar 20%. Satu hal yang unik, statistik tidak menerima kondisi ekstrim yang langka dan hanya terjadi pada segelintir orang. Mari saya sederhanakan penjelasannya. Misal saja dalam sebuah ujian matematika, yang mendapat nilai 4 sebanyak 10 orang dan mendapat nilai 8 sebanyak 7 orang, sementara nilai rata-rata ujian tersebut adalah 6 dan 60% siswa berada pada titik rata-rata ini maka kurva berupa gunung dengan puncak di tengah mampu menggambarkannya, namun jika ternyata ada satu orang anak yang mendapat 100, maka satu anak itu tidak akan digambarkan di dalam kurva dan diperhitungkan oleh analisis statistik karena dianggap sebagai sebuah fenomena ekstrim dan langka terjadi.

Mendengar penjelasan dari dosen saya, ada dua nama yang melintas, yaitu Nabi Muhammad dan Einstein. Mari kita bahas Einstein terlebih dahulu, karena ia lebih mudah diterima logika manusia.

Ada dua jenis ekstrimis di dunia ini yang tidak mampu diterima oleh statistik, yaitu orang yang benar-benar idiot dan orang yang benar-benar jenius. Orang-orang yang berada dalam rentang kurva statistik cenderung sombong dang mengangap dua golongan ekstrim ini bodoh. Itulah yang berlaku pada Einstein, gurunya menganggap pertanyaan-pertanyaan yang ia ajukan itu tidak lebih dari pertanyaan idiot. Hingga akhirnya einstein menjadi sosok fenomenal pada akhirnya. Kisah ini mengajarkan kita untuk tidak memberikan justifikasi bagi orang ekstrim begitu saja, karena logika kita yang tidak sampai padanya, jadi tidak sepatutnya kita mengukur sesuatu tanpa alat ukur.

Sosok kedua adalah Nabi Muhammad, diaman pada awal ia menyampaikan ajaran islam dianggap gila, anda tau mengapa ? karena Islam adalah ajaran untuk sebuah sisitim kehidupan yang terlampau sempurna untuk diterima logika manusia. Produk dari Sang Maha yang beyond of the logic. Jika anda penasaran, bisa mempelajarinya dan mohon ma’af saya tidak bisa membahas secara detail karena tidak akan cukup untuk dituliskan disini.

Demokrasi : Suara Rakyat Suara Tuhan

Mengingat ajaran Mostesque yaitu dari, oleh, dan untuk rakyat membuat saya berfokus pada sistim pemerintahan yang sedang in di Indonesia dan Amerika yang hari ini cukup menjadi kiblat peradaban dunia. Spirit di balik demokrasi adalah “rakyat” sekali lagi “rakyat”, dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Itulah mengapa dalam mekanisme pengambilan keputusannya dilakukan voting, dan suara mayoritas akan menang.

Pelaku voting adalah rakyat itu sendiri, kumpulan manusia dimuka bumi yang sebelumnya kita analisis menggunakan kurva statistik. Hasil dari voting tersebut adalah suara mayoritas, sehingga suara mayoritas menjadi suara kebenaran, suara mayoraitas menjadi suara Tuhan, dan singkat cerita suara rakyat suara Tuhan. Yang menjadi masalah adalah di dalam kurva statistik, kemungkinan yang menduduki puncak kurva/populasi terbanyak, adalah sesuatu yang bisa diterima oleh akal manusia yang terbatas, sesuatu yang diterima dan disepakati mayoritas orang, bukan sesuatu yang berlandaskan pada kebenaran haqiqi. Apalagi bagi mereka yang menganut ajaran keTuhanan, akan cenderung sulit diterima kebenarannya, karena logika keTuhanan itu jauh diatas logika manusia.




Kebenaran Alqur’an Yang Haqiqi

Hal ini menarik, ketika saya menulis terkait Al-qur’an, karena kita akan kembali pada sosok bernama Muhammad SAW yang menerima setiap katanya dari Allah SWT. Awal perjalanan dakwah sang Nabi kerap dibilang sebagai orang gila, bagaimana tidak, mari kita bahas sebuah contoh yang sederhana, pada masa itu ilmu pengetahuan mengatakan bahwa bumi ini datar dan langit adalah atap yang disangga oleh gunung-gunung di ujung batas dunia. Namun hari itu Sang Nabi berkata “langit dan bumi dahulunya adalah sesuatu yang padu, kemudian Allah memisahkannya dalam tujuh masa”. Bagaimana Sang Nabi tidak dianggap gila, karena hari itu ilmu pengetahuan manusia belum ada pada titik tersebut. Baru beberapa tahun setelahnya Galileo-Galilei menemukan teleskop dan mengatakan bahwa bumi bulat, dan terus berkembang hingga dicetuskan teori big bang.

Fenomena ini mengajarkan kita dua hal, 1. Muhammad SAW adalah sesosok yang ekstrim dan berada diluar kurva statistik, dan 2. Apa yang disamapaikannya beberapa tahun silam, yang membuatnya dijuluki gila, bukanlah sesuatu yang salah karena pada akhirnya terbukti kebenarannya. Asumsi bahwa langit adalah atap yang disangga oleh gunungpun patah dan menjadi salah pada masa sekarang.

Jika pada awal paragraf saya berfikir bahwa kebenaran itu adalah suatu konsensus, pada akhir paragraf ini saya berkesimpulan bahwa kebenaran itu adalah suatu yang mutlak, dan konsensus bisa berubah. Saya juga menyadari bahwa ada pesan-pesan Tuhan di dalam Al-qur’an yang mampu menjadi alat ukur benar dan salah kita, menjadi petunjuk bagi sekalian alam. Memang ia sulit dipahami, namun akan menjadi mukjizat bagi ia yang berfikir. Wa’allahualam bi shawab.

Senin, 04 Maret 2013




After rainfall coming before morning
Looking sunshine inside of your charming
I’m asking my heart and please tell me why
When i see your face and i feel too shy

I ask to the night what are you doing
But the bright moon reject to answering
Waiting your coming in front of school’s race
I madly want to see your shining face

The wind whispering ridicolous thing
Oh God please tell me how to stop thinking
Stop to drinking blood like a vampire
I only can be your secret admire


*this poetry created by Elsye n me in poetry class, the title, how we create the meaning, and the tecnic to write guided by mam Ros, but the dictions edited by Mr. Rudi. I don’t know why i am falling in love with those twelve sentences.