Kamis, 18 April 2013



Aku duduk diantara ribuan potensi tidur yang meraung-raung untuk dibangunkan. Keras terdengar teriakan mereka untuk diberdayakan. Melawan hari dari pagi, mengejar matahari hingga senja melepasnya pergi menjadi bukti eksistensi semangat tinggi, bahkan hingga malam berslimut dingin dalam asa menanti pagi. 

Disini aku melihat mesin yang bergerak hingga aus dan karatan, menghabiskan berliter-liter bahan bakar tak terbarukan. Memperkerjakan ribuan pegawai dengan insentif yang menghisap pendapatan. Melolong kelelahan dan kehabisan waktu karena dikejar sang waktu yang tak mengenal ampun.

Disana, ada seorang petani yang mencangkul di sepetak sawah tak luas juga tak bermesin. Ketulusan dan kecerdasan membawanya pada panen raya, kebahagiaan dan kesejahteraan. Alunan angklung, gamelan, hingga kolintang menambah semarak masa panen dibawah damainya rembulan yang menaungi tawa bocah-bocah bercengkrama riang gembira.

Sungguh paradok ! lolongan penderitaan ditengah modal besar dan tawa kebahagiaan diantara kearifan lokal. Pemiskinan dan kemiskinan memiliki dua difinisi berbeda dengan dua bentuk penyikapan yang tak sama. Aku rindu pada ibuku yang bijak bersahaja : Indonesia.

A : Pada akhirnya semua tidak akan berarti jika tak ada solusi dari sebuah permasalahan....
B : Biar saja ! karena bagi orang-orang cerdas, perjuangan adalah bagaimana merubah pemikiran dan 
     sisanya kita serahkan pada Yang Maha Kuasa.
A : Kalau begitu, bergeraklah untuk merubah, befikir dan bergerak dalam diam, akan memberikan hasil yang
     diam.
B : Kau tidak pernah berfikir, bagaimana kami, para orang-orang yang berilmu memandang "orang sosial"
     bekerja ??? Itu juga tidak lebih dari sebuah kekonyolan.
A : *dalam hati* aku tak pernah mengajak untuk mengkotak-kotakkan siapa yang menyebut dirinya
     komunitas ilmu dengan komunitas sosial. karena bagiku kedua hal itu bersinergi, kami sebelum
     menterjemahkan kedalam bentuk proyek sosial, juga memiliki dasar pemikiran yang berawal dari ilmu,
     melakukan riset ilmiah, dan kemuadian melakukan perubahan.

Obrolan diatas terjadi antara saya dan seorang teman, dimana sebelumnya saya berfikiran bahwa setiap ilmu yang kita miliki harus diamalkan, namun betapa terkejutnya saya ketika dihadapkan pada sebuah kondisi yang dikotak-kotakkan seperti itu. Disaat ilmu pengetahuan bersinergi dengan renaisans, disaat facebook ditemukan dan memberi pengaruh sosial yang besar, engkau justru membatasi dirimu pada sebuah kotak yang kau buat sendiri. 

Apa yang menjadi masalahku adalah bukan aku orang sosial dan kau orang berilmu, namun kita yang harus berilmu, beriman, dan beramal. Karena tidak selamanya orang sosial itu tidak ilmiah, ribuan riset sosial dipaksa untuk diterjemahkan dalam bahasa IPA, namun ribuan riset IPA tidak pernah dipaksa untuk diterjemahkan dalam bahasa sosial. Dan bagi kami yang terlihat berada di ranah sosial, bukan karena kami tidak mampu menerima logika IPA, namun semua ini adalah pilihan.

Hingga pada akhirnya aku menyadari, jika sebuah sinergi juga pilihan, hingga pada akhirnya kau lebih nyaman berada pada kotakmu, itu juga pilihan. Sama seperti pilihan bagi seseorang untuk memakai bahasa sederhana agar lebih mudah dipahami, atau bahasa ilmiah yang padat. Layaknya seekor ikan yang tidak harus bernafas dengan paru-paru, dan seekor ayam yang tidak harus bernafas dengan insang, namun keduanya dapat hidup dengan damai diatas bumi ini.



Minggu, 14 April 2013






Use my own hand and feet
I cultivate the land to plant the seed
From the book that i have read
It gives good smell for us to take a breath

A red rose for a butterfly
You’re beautiful and i can’t  lie
I feel want to fly away
When i give it to you on shy

A red rose will memorize our day
And stop tears fall down from our eye
Really really hard for me to say
I am so sorry goodbye

Minggu, 07 April 2013


Beberapa orang berkata bahwa cara paling tepat untuk melihat apa passion kita adalah dengan melihat moment-moment yang sudah kila lalui, hal apa yang membuat kita bahagia tanpa perlu alasan, hal apa yang kita lakukan dengan suka rela, juga hal apa yang seringkali membuat kita berapi-api sehingga selalu bangkit lagi dan lagi setiap kali terjatuh, tanpa sadar kita sudah menghagemoni hidup kita dengan “i won’t give up !”.

Mungkin itu juga satu-satunya alasan yang membuat saya lembur malam ini setelah dua hari yang lalu tidak tidur semalaman dan kemarin hanya tidur beberapa jam itupun setelah hujan-hujanan. Ini gila, dan untung saja tidak ada orang tua saya, bisa dihajar hamburan pertanyaan logis seperti “besok kamu ndak kuliah ?” “bukannya besok full lima mata kuliah ?” “sudah kau kerjakan tugasmu ?” “bagaimana dengan deadline kerja mu ?”. ma’afkan aku ! 

Saya tau dan sadar, apa yang saya desain malam ini hanya memiliki peluang diterima dirapat sebesar 30%, peluang dilaksanakan 20 %, menginspirasi daerah lain 2%, dan sampai pada tujuan akhir 0,1%. Tapi saya juga tau bahwa orang-orang sebelum saya yang bergelimang mimpi berhasil menginspirasi dan menyebarkan bibit-bibit gerakan baru pada jutaan pemuda. 

Kapasitas saya adalah kapasitas manusia yang sangat terbatas, peluang kegagalan yang begitu besar, namun tidak dengan Allah yang Maha Kuasa. Hari ini, aku hanya memiliki 0,1% tapi Allah-ku menyimpan 99,9% nya, dengan dua pilihan, sekarang atau saat yang lebih indah nanti. Bissmillah...






Beberapa hari ini saya memiliki hobi baru, mungkin bisa dibilang aneh untuk seseorang dengan tampilan seperti saya. Setidaknya ada beberapa alasan mengapa saya tiba-tiba tertarik, yang pertama saya tercengang dengan pernyataan salah seorang finalis “arti musik bagi saya adalah alat untuk mengubah dunia”, sejak saat itulah saya menyempatkan diri menatap layar kaca untuk melihat perkembangan seorang remaja berusia lima belas tahun yang memiliki cita-cita untuk membuat aliran musik baru untuk merubah dunia.

Teringat semenjak adik kandung saya, seusia Mikha Angelo, tidak aktif diorganisasi sayapun kehilangan tempat untuk berbagi mimpi, tak ada lagi cerita “pramuka berbagi cerita”, “pramuka berbagi senyum”, “pramuka peduli” dan sederet ide unik menggelitik yang kreatif dan ramah kondisi. Namun, saya sadar bahwa perjalanan minat hidup bukan sesuatu yang bisa dipaksakan. Mungkin saya bahagia memiliki ia yang seperti itu, namun adikku yang terbaiklah yang paling mengerti siapa dirinya. Teruslah mengejar mataharimu.

Kembali pada pembicaraan salah satu finalis, karena bagi saya cita-cita anak remaja ini jauh lebih besar dari sekedar memenagkan x-factor atau mendapatkan grammy di usia muda. Ini cita-cita pembesar dunia yang menyusun barisan rapat-rapat, menyatukan kemampuan para ahli, dari ekonom, insinyur, psikolog, hingga seniman. Seperti judul lagu yang telah dilantunkan oleh Ari Lasso, mengejar matahari, seperti sebuah mengejar mimpi yang panas membara dimana kebanyakan orang lebih suka menghindarinya.

Alasan kedua, adalah karena MCnya adalah kakak tingkat saya di kampus. Keberadaannya disana merupakan simbolitas pengejar mimpi yang perlu diacungi jempol. Bahwa selama ini saya salah, sebuah tangga kesuksesan tidak hanya menjadi milik mereka dari kampus ternama, namun milik mereka yang memilih berpanas-panas untuk mengejar matahari.

Setiap insan memiliki mataharinya sendiri untuk dikejar, beberapa sudah menemukan dimana mataharinya, beberapa sudah memiliki peta luar angkasa yang rumit, dan beberapa masih mengawang di atmosfer. Siapapun itu, teruslah berusaha, mungkin ini akan menjadi sebuah petualangan yang panas namun percayalah jika pada akhirnya akan memberi kebermanfaatan yang besar untuk kehidupan.

I wan’t give up ! saya cukup terpesona ketika melihat anak muda ini mencoba menyampaikan sebuah pesan dari lagu yang mungkin akan menjadi lagu terakhirnya. Namun dalam hati saya menyadari bahwa dengan berani mendeklarasikan diri dengan cita-cita yang cukup panas ia mau tak mau harus siap mengalami semua ini.

Betapa tercengang saya, ketika melihat latar belakang dari pesaingnya, sungguh ia juga bukan sosok yang biasa. Keputusan memilih untuk jujur akan “who am i”, kebesaran hati untuk menciptakan happy ending, percaya diri mengakui kelebihan orang lain, dan kesiapan menghadapi episode baru dengan optimisme.

Akhirnya saya sampai pada sebuah kesimpulan, inilah gelanggang, para pengejar matahari, tempat bagi mereka yang berani berkata “i wan’t give up” atau “kita kan bertemu lagi pada karya selanjutnya” siapakah yang pada akhirnya keluar jadi pemenang ? yang jelas bukan mereka yang tidak jujur pada dirinya, bermalas-malasan, dan menyia-nyiakan hidup yang penuh anugrah. Karena pada akhirnya sang pemenang adalah ia yang berani berpanas-panasan untuk mengejar matahari.

Sabtu, 06 April 2013


Satu tahun lagi Indonesia akan menggelar pesta demokrasi besar-besaran, baik untuk DPD, DPR, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden. Huru-hara di media cetak maupun elektronik sudah mulai terdengar. Prosesi sakral yang akan menentukan nasib bangsa Indonesia dalam beberapa tahun mendatang. Sesuai dengan semangat demokrasi, yakni dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, pemilihan umum digelar untuk menyampaikan apa yang menjadi cita-cita rakyat terhadap negara. Tentang suara kesejahteraan, keadilan, akses pendidikan, pelayanan kesehatan, hingga perlindungan bagi setiap warga negara.

Bak gayung bersambut, munculah tokoh-tokoh yang siap menjadi wakil dari tiap-tiap golongan untuk memperjuangkan hak mereka. Berbondong-bondong berkampanye dengan bertabur visi agar terpilih menjadi pejabat negara yang memiliki wewenang untuk membuat peraturan dan melakukan pengaturan. Berbagai usaha dilakukan demi kantung-kantung suara yang banyak. Tidak jarang ada yang berani mengeluarkan jumlah kapital yang besar demi kelancaran menjadi wakil rakyat.

Mahalnya Ongkos Demokrasi

Ditengarai, ongkos demokrasi di Indonesia semakin meningkat dari waktu ke waktu. Wakil ketua DPR, Pramono Anung, dalam penelitian untuk disertasi doktoralnya mendapati fakta, untuk Pemilu paling sedikit caleg mengeluarkan mengeluarkan dana minimal Rp 600 juta. Ada juga yang menghabiskan dana hingga Rp 6 miliar. Biaya itu cenderung meningkat dari Pemilu ke Pemilu, sehingga untuk Pemilu 2014 mendatang biaya pencalegkan pasti menyentuh angka milyaran.

Untuk pilkada Jabar beberapa bulan lalu misal, dengan jumlah 5.953 desa, jika kampanye di tiap desa minimal Rp 25 juta maka tiap calon butuh dana minimal Rp. 148,8 miliar. Bahkan pasangan Sukarwo dan Saifullah dalam pilkada Jawa Timur pada tahun 2008 lalu, secara resmi menyatakan menghabiskan dana Rp. 1,3 triliun. Bila untuk pencalonan gubernur saja dihabiskan dana begitu besar, untuk pencalonan presiden tentu lebih besar lagi. Disebut-sebut paling sedikit sekitar Rp 1,5 triliun.

Sebuah angka yang sangat bombastis, bayangkan saja ketika semua dana itu digunakan untuk membiayai program-progam pertanian atau kesehatan, paling tidak ada sedikit perubahan dalam tata kehidupan masyarakat. Asal-usul dana kampanye dengan jumlah yang besar itu juga menimbulkan tanya bagi sebagian orang, karena tidak mungkin dana sebesar itu berasal dari kantong pribadi, kalaupun donasi dari beberapa pihak, rasanya aneh jika pada akhirnya tidak ada hubungan timbal balik dengan si donatur.

Perselingkuhan Dua Pembesar

Di Amerika Serikat, hampir 80% dana kampanye disumbang oleh para pengusaha. Di Indonesia menunjukkan indikasi yang tidak jauh berbeda, dimana hal itu dapat dilihat dari beberapa produk aturan pemerintah yang lebih pro terhadap pihak pemodal ketimbang masyarakat pada umumnya.   Hal itu tampak pada UU Migas, UU Minerba, UU Penanaman Modal, UU Pangan dan puluhan UU lainnya.

Kebijakan pemerintah (penguasa) yang lebih berpihak kepada pemodal, merupakan bentuk kompensasi atas modal yang diberikan. Seperti dalam kebijakan privatisasi migas, privatisasi pendidikan, kesehatan, pemberian izin yang mengabaikan amdal, pengabaian atas transportasi publik, dan sebaliknya terus memberikan insentif kepada perusahaan otomotif, juga beberapa proyek yang sudah diatur agar jatuh ke tangan pengusaha tertentu.

Perselingkuhan dua pembesar (penguasa dan pengusaha) yang terjadi di negeri ini telah menjadi simbiosis mutualisme antara keterbutuhan dominasi investor dan perolehan suara, akibatnya sumber daya alam Indonesia yang melimpah tidak kunjung dinikmati oleh rakyat karena telah dijual secara beramai-ramai. Hal ini tentu saja bertentangan dengan spirit awal demokrasi, yakni, dari, oleh, dan untuk rakyat.

Kembalikan Pada Rakyat

Semangat awal pelaksanaan pemilihan umum langsung adalah untuk mendengarkan aspirasi seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali. Namun pada akhirnya proses yang berjalan bukan merupakan proses penyampaian aspirasi dan nurani rakyat terhadap negara, dan hanya menjadi mainan beberpa pihak yang memiliki kemampuan dan kewenangan untuk meraih kemenangan. Begitu juga ketika si pemenang pemilu menjadi wakil rakyat atau pemimpin, sumber daya alam dan segala kekayaan di bumi nusantara yang seharusnya menjadi hak rakyat tidak sampai kepada yang berhak.

Praktik demokrasi yang menyimpang ini harus segera dibenahi dengan beberapa langkah. Pertama, short term vision untuk saat ini, yakni rakyat harus disadarkan bahwa tujuan dari pemilihan langsung adalah untuk menyampaikan aspirasi dari setiap individu, baik itu aspirasi tentang kesejahteraan, keadilan, keamanan, dan suara-suara hati rakyat lain. Sehingga rakyat paham betul bahwa setiap orang memiliki hak untuk memilih dan dipilih. Kesadaran inilah yang pada akhirnya mengurangi praktik money politik yang berakibat pada pembengkakan ongkos demokrasi dan besarnya peluang perselingkuhan antara pemodal dan penguasa.

Kedua, long term vision untuk beberapa tahun mendatang dimana organisasi kepemudaan yang selama ini menjadi wadah untuk mencetak pemimpin masa depan harus mampu memiliki visi perbaikan kedepan yang jelas. Sehingga generasi muda hari ini mampu menjadi pemimpin pengganti yang lebih baik dimasa depan. Menanamkan nilai idealisme yang tinggi, melatih kepekaan dalam membaca permasalahan yang ada di masyarakat, dan keahlian menjadi problem solver yang baik. Sudah seharunya kita meninggalkan praktik demokrasi yang tidak berjalan pada jalurnya dan menciptakan harapan-harapan baru melalui generasi muda.

Negeri yang sakit ini seperti sebuah gelas yang setengah isi dan setengah kosong. Namun saya memilih untuk yakin jika pada masanya nanti rakyat tidak akan lagi memandang pemimpin hanya dari jabatan publik, namun sebagai seorang social engineer yang peka terhadap keterbutuhan dan mampu menelurkan kebijakan strategis yang bisa memenuhi kebutuhan tersebut.

Rabu, 03 April 2013




Andrea Hirata, melalui beberapa karya sastranya, mengangkat kehidupan masyarakat Belitong yang lekat dengan aktivitas menjadi buruh pabrik di pulau penghasil timah terbesar di Indonesia.  Realitas sosial masyarakatnya tidak jauh dari kemiskinan, kurangnya akses pendidikan, dan penuh dengan simbol penjajahan abad baru di tanah yang telah dianugerahkan Tuhan dengan setumpuk kekayaan. Tidak hanya berlaku pada Belitong, sederetan kisah serupa terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia, mulai dari Freeport di ujung timur, hingga lahirnya gerakan Aceh merdeka di ujung Barat yang merupakan akibat dari ketidaksesuaian antara kehidupan rakyat dengan jumlah kekayaan yang dikandung bumi, karena faktanya, semua anugerah itu tidak mensejahterakan penduduk lokal.

Kisah serupa juga tidak luput dari kehidupan masyarakat peisisir Bandar Lampung, mata pencaharian sebagai nelayan tidak menjanjikan kesejahteraan, padahal lautan menyimpan berbagai potensi kekayaan. Tidak tanggung-tanggung, hal itu dibuktikan dengan banyaknya perusahaan-perusahaan yang terus bertumbuh di daerah sekitar. Namun sebaliknya, penduduk lokal hidup dalam rantai kemiskinan, kumuh, marjinal, tingkat pendidikan rendah, dan ketidakteraturan. Kondisi yang ironi ini sudah sewajarnya menjadi pekerjaan rumah yang patut kita pikirkan bersama, baik pemerintah, akademisi, tim-tim ahli, maupun masyarakat sebagai elemen dasar dari sebuah tata sosial.

Sudut Pandang Investasi

Sebuah bencana kelaparan ekstrim di Ethiopia tidak menyisakan tanda tanya yang begitu besar, dikarenakan faktor alam yang memang mendukung terjadinya hal tersebut, curah hujan sangat rendah, tanah yang tandus, dan sumber daya alam yang kurang memadai. Namun, beberapa kasus yang terjadi di Indonesia ini menyisakan kejanggalan yang belum terjawab. Belitong yang kaya akan timah, menyisakan para buruh tambang dengan kehidupan dibawah upah minimum rata-rata, Papua dengan emas yang melimpah, mengahadirkan sebuah fakta kelaparan ekstrim di Yahokimo, hingga penduduk pesisir Bandar Lampung yang hidup pada garis kemiskinan sementara pada lokasi yang sama berdiri gagah perusahaan asing yang membudidayakan kerang mutiara dan hasil laut lain.

Kenyataan pahit yang menjadi perwujudan lain dari bentuk penjajahan abad baru ini telah menggerogoti setiap lumbung kekayaan negeri. Pola investasi dalam mengelola sumber daya alam memerlukan sebuah evaluasi yang besar sehingga bisa membawa kebermanfaatan yang besar bagi masyarakat sekitar. Sehingga tidak ada lagi sebuah epik kelaparan di tanah surga bernama Indonesia.

Menurut Tri Mumpuni, dalam pidatonya di Indonesian Youth Cultural Summit di Bandung, ada tiga aktor penting dalam teori pembangunan, yakni masyarakat, pengusaha, dan pemerintah. Masyarakat ditakdirkan untuk lahir di suatu daerah dengan sumber daya lokal yang sudah selayaknya menjadi jaminan hidup. Dimana terjadi suatu asas kebermanfaatan diantara keduanya, masyarakat memperoleh kehidupan dari sumber daya lokal dan sebaliknya sumber daya lokal dijaga dan dirawat oleh masyarakat agar terus lestari.  Aktor kedua adalah pemerintah, dimana dengan kekuasannya pemerintah memiliki kewenangan untuk membuat peraturan dan melakukan pengaturan. Sudah sewajarnya jika pemerintahan berusaha membuat undang-undang yang pro rakyat dan melakukan peraturan yang baik dalam bentuk pelayanan publik. Aktor ketiga adalah pengusaha, pengusaha memiliki kemampuan finansial yang diperlukan untuk mengelola sumber daya di suatu wilayah sekaligus teknologi yang mumpuni untuk menunjang proses tersebut.

Ketiga aktor tersebut melahirkan dua buah sudut pandang pembangunan yang berbeda, yakni metode pembangunan top down dan buttom up. Dalam metode top down, kaedah investasi yang digunakan adalah bisnis komersial dimana pada akhirnya melahirkan dominasi investasi yang terus mengejar akumulasi kapital. Investasi dengan kaedah bisnis komersial menitikberatkan pada kaedah keuangan dan industri sehingga mengesampingkan rasa keadilan untuk penduduk lokal dan upaya keselarasan dengan alam. Pada metode pembangunan top down dengan investasi bisnis komersial memposisikan pemerintah dan pengusaha dalam posisi diatas dan masyarakat dalam posisi bawah sehingga lahirlah kebijakan Corporate Social Responsibilty sebagai bentuk tanggung jawab terhadap penduduk lokal. Berkaca pada kenyataan di Belitong dan Freeport, CSR tidak mampu memberikan rasa keadilan bagi penduduk lokal yang telah diambil sumber dayanya, justru semakin menguatkan posisi pemerintah dan pengusaha sebagai pihak penguasa yang memiliki rasa murah hati.

Sebaliknya, dalam metode pembangunan buttom up, kaedah investasi yang digunakan adalah bisnis sosial yang menjadikan masyarakat sebagai mitra. Investasi dengan kaedah bisnis sosial mengharuskan pemerintah memposisikan dirinya di posisi tengah antara pengusaha dan masyarakat, sehingga dalam menelurkan undang-undang dan melakukan pengaturan ia tidak menempatkan pemilik modal dan dirinya sebagai penguasa. Kolaborasi investasi pengusaha dan kemampuan masyarakat dalam mengelola sumber daya yang ada pada akhirnya menciptakan lapangan pekerjaan baru yang bertumpu pada rasa keadilan terhadap penduduk lokal, dimana pengusaha dan masyarakat dapat tumbuh secara bersamaan. Pemilik modal mendapatkan keuntungan, dilain pihak penduduk lokal menjadi terbantu untuk berkembang dengan mengelola sumber daya lokal yang memang ditakdirkan untuk mereka, lambat laun angka penghasilan meningkat dan derajat kemiskinan berkurang. Metode pembangunan buttom up ini pada akhirnya menyadarkan kita bahwa kemiskinan itu bukanlah akar masalah yang sesungguhnya ada di dalam masyarakat kita, namun hanya sebagai akibat dari dicabutnya sumber daya yang ada dari penduduk lokal.

Perselingkuhan Penguasa dan Pengusaha


Dalam perilaku bernegara, pejabat pemerintah cenderung melupakan kewajiban untuk melakukan pelayanan publik yang baik sehingga dalam setiap pemilihan umum, baik itu legislatif, pemilihan presiden, maupun kepala daerah, kecenderungan untuk dipilih kembali dan mengantongi lumbung suara dalam jumlah yang besar menjadi sulit. Hal ini yang kemudian menjadi alasan bagi banyak calon untuk mempersiapkan modal yang besar dalam setiap pemilihan umum, dalam rangka mengumpulkan lumbung suara.

Wakil ketua DPR, Pramono Anung, dalam penelitian untuk disertasi doktoralnya mendapati fakta, untuk Pemilu paling sedikit caleg mengeluarkan mengeluarkan dana minimal Rp 600 juta. Ada juga yang menghabiskan dana hingga Rp 6 miliar. Biaya itu cenderung meningkat dari Pemilu ke Pemilu, sehingga untuk Pemilu 2014 mendatang biaya pencalegkan pasti menyentuh angka milyaran.

Untuk pilkada Jabar beberapa bulan lalu misal, dengan jumlah 5.953 desa, jika kampanye di tiap desa minimal Rp 25 juta maka tiap calon butuh dana minimal Rp. 148,8 miliar. Bahkan pasangan Sukarwo dan Saifullah dalam pilkada Jawa Timur pada tahun 2008 lalu, secara resmi menyatakan menghabiskan dana Rp. 1,3 triliun. Bila untuk pencalonan gubernur saja dihabiskan dana begitu besar, untuk pencalonan presiden tentu lebih besar lagi. Disebut-sebut paling sedikit sekitar Rp 1,5 triliun.

Dana sebesar itu tentu tidak mungkin semuanya berasal dari kantong calon sendiri. Di AS, hampir 80% dana sebanyak itu disumbang oleh para pengusaha. Di Indonesia tidaklah jauh berbeda, dimana hal itu membawa implikasi yang berbahaya. Pertama, hukum dan peraturan produk wakil rakyat lebih mengutamakan kepentingan pemodal. Hal itu tampak pada UU Migas, UU Minerba, UU Penanaman Modal, UU Pangan dan puluhan UU lainnya. Kedua, kebijakan pemerintah (penguasa) lebih berpihak kepada pemodal, sebagai bentuk kompensasi atas modal yang diberikan. Akibatnya kebijakan pemerintah yang lebih berpihak kepada pemodal tampak dalam kebijakan privatisasi migas, privatisasi pendidikan, kesehatan, pemberian izin yang mengabaikan amdal, pengabaian atas transportasi publik, dan sebaliknya terus memberikan insentif kepada perusahaan otomotif, juga beberapa proyek yang sudah diatur agar jatuh ke tangan pengusaha tertentu.

Perselingkuhan penguasa dan pengusaha yang terjadi di negeri ini telah melahirkan duet maut antara keterbutuhan dominasi investor dan perolehan suara, akibatnya sumber daya lokal direnggut dan dipisah dari rakyat yang berujung pada gejala kemiskinan yang semakin mejaralela. Kemanfaatan atas sumber daya lokal hanya dirasakan oleh penguasa dan pengusaha, mereka memposisikan diri diatas dan dengan kuasanya pemerintah menekan rakyat untuk tunduk pada kepentingan pemodal.

Pemilukada Lampung dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat

Sebagai masyarakat Lampung yang notabene provinsi termiskin kedua di Indonesia dan segera menghadapi prosesi pemilihan kepala daerah, kedua hal tersebut perlu menjadi penekanan bagi setiap calon yang akan bertanding pada gelanggang pemilukada. Pertama, kita harus bijak dalam memilih figur pemimpin yang memiliki kebijakan pro rakyat, pro kearifan lokal dan pro pembangunan pedesaan sehingga tidak tunduk pada kepentingan pemodal yang menomorsatukan akumulasi kapital. Karena pemimpin yang pro pada ketiga hal tersebut diharapkan mampu melakukan pelayanan publik dengan baik, menggunakan wewenang dalam membuat peraturan dan melakukan pengaturan dengan sebaik-bainya, menempatkan diri sebagai penyambung antara pemodal dan masyarakat sehingga tercipta proses local empowerment yang memperhatikan rasa kebermanfaatan bersama, sesuai yang telah tertuang dalam pancasila kita “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Kedua, seluruh elemen yang terlibat dalam proses pemilihan kepala daerah harus berkomitmen untuk sama-sama melakukan suatu proses pencerdasan politik kepada masyarakat dengan menjunjung tinggi politik nilai sehingga tidak ada lagi perselingkuhan antara penguasa dan pengusaha yang pada akhirnya menelurkan kebijakan yang memiskinkan rakyat. Sebaliknya, rakyat, pemuda, dan mahasiswa harus sama-sama mengawal berjalannya pesta demokrasi dengan mengawasi terjadinya praktik money politik di pemilukada sehingga mengurangi kemungkinan perselingkuhan antara penguasa dan pengusaha. 

Ketiga, pemuda sebagai entitas terbesar di Lampung sudah sewajarnya membantu berjalannya kebijakan yang pro kearifan lokal dengan membantu berjalannya pembangunan yang pro rakyat, pro kearifan lokal, dan pro pembangunan pedesaan. Dengan segala keilmuan dan kreatfitasnya pemuda dapat melakukan upaya-upaya local empowerment sederhana. Upaya ini diharapkan mampu mencerdaskan masyarakat terkait kebijakan pemerintah yang pro terhadap mereka sekaligus menjadi inspirasi bagi calon pemimpin untuk mengelola masyarakat dengan metode pembangunan buttom up.  Secara tidak langsung, proses ini juga membantu mencetak generasi pemimpin masa depan yang memiliki global capacity dan grassroot understanding, sehingga kita memiliki pasokan calon pemimpin yang baik untuk masa depan.

Pada akhirnya kita sama-sama berharap, nasib saudara kita yang di Belitong, Papua, Aceh, dan daerah lain, tidak terulang di Provinsi tercinta ini. Karena sudah seharusnya sumber daya lokal menjadi hak bagi penduduk sekitar, dan sudah sewajarnya kita memiliki pemimpin yang melakukan pelayanan publik dengan baik, melahirkan kebijakan pro rakyat, memiliki metode pembangunan buttom up yang mendukung kolaborasi pemodal dan penduduk lokal sehingga tidak terjadi proses pemiskinan yang merupakan akibat dari pemisahan local resources dari penduduk sekitar.