Rabu, 18 September 2013


untukmu yang akan membagi namanya untuk anak-anakku...

Cintaku bukan tentang aku dan kamu,
tapi tentang Tuhanku yang juga Tuhanmu

Cintaku bukan tentang kita
namun tentang pahlawan pahlawan kecil yang akan melanjutkan perjuangan ayahnya

Bahagiaku bukan hanya karna hadirmu
Yakni pembelajaran kala membantumu menyelesaikan masalah peradaban

Namanya Ibu Mety, waka kurikulum di tempat saya KKN. Sedikit saya tahu latar belakang beliau, namun ketika ingin mengenal lebih jauh ada saja halangannya, ketika saya hendak bertandang ke rumahnya, beliau masih di luar kota, selanjutnya kami sibuk dengan urusan masing-masing.

Saya sempat khawatir ketika berkomunikasi dengan beliau, terkadang pembawaan tegas itu sedikit bergeser kearah kaku. Terlebih ketika kami meminta libur lebih dulu dari waktu sekolah, hingga pada akhirnya saya melobi langsung kepada Kepala Sekolah.

Akhirnya kedekatan diantara kami terbangun ketika persiapan bedah kampus, beliau menjadi teman sharing dan penghubung terhadap sekolah, sampai pagi-pagi beliau saya repotkan dengan telfon saya yang meminta buru-buru untuk segera ke sekolah karena bapak Kepala Sekolah tidak ada.

Satu kata yang saya ingat dari beliau adalah, ketika menyarankan kami untuk fokus pada anak-anaknya saja dulu, baru ke orang tua, karena beliau khawatir kami kecewa melihat respon orang tua, “kalau kami sie sudah biasa ujarnya”. Tak sedikitpun ada raut muka jengkel dari wajah beliau.

Tak lama dari itu, saya mendengar kisah beliau dari Bu Dwi (guru matematika), bahwa suaminya seorang pelaut, beliau disini sendiri bersama anaknya yang masih kecil, dulu suatu hari beliau pernah terlibat konflik dengan beberapa oknum, disaat yang sama beliau juga keguguran, sesaat terbayang ketegaran seorang wanita. Selesai bercerita tentang Ibu Mety, saya dan Bu Dwi berbincang tentang bapak kepala sekolah yang memilih untuk kembali menjadi guru ketimbang menjadi kepala sekolah disana. Hmmm... yah inilah realitas, ada yang memilih untuk mengurai benang kusut, dan ada yang memilih untuk damai.

Malam itu malam terakhir kami di Toto Mulyo, kami bertandang ke rumah beberapa pamong desa, tangis saya tak bisa di bendung ketika memasuki rumah Pak Sekertaris Desa yang begitu banyak membantu dan menjadi bapak untuk kami bersebelas. Selanjutnya berlanjut ke rumah Ibu Ririn, dari sana saya terfikir untuk ke rumah Ibu Mety, namun saya khawatir ketika hendak mengajak teman-teman kesana karena kami lupa menyiapkan bingkisan untuk Bu Mety. Hingga pada akhirnya Bu Ririn menyarankan juga kami untuk kesana, setelah perdebatan ndak apa-apa ndak bawa buah tangan kami berangkat, saya yakin tidak apa-apa, karena Bu Mety cukup tangguh dan idealis dimata saya.

Kesan pertama ketika kami memasuki rumahnya terasa sepi, tertangkap mata bocah kecil berusia 2 tahunan dengan senyum manis. Luar biasa perempuan tegar ini. Memandangnya menyambut kami, mengakrabkan kami dengan anak semata wayangnya, mendengar wejangannya “guru itu bukan sekedar profesi yang merindukan gaji, namun membutuhkan dedikasi, kalau hanya berharap gaji, cari saja pekerjaan lain, karena tanpa dedikasi semuanya akan berat, apalagi untuk seorang perempuan, yang ditempatkan di daerah, timbang dulu benar-benar. Saya rasa tujuan kampus menempatkan KKN disini adalah untuk mengasah dedikasi, seperti Indonesia Mengajar yang ditempatkan di pelosok”.

Sesaat saya menunduk dan pura-pura baik-baik saja, mengingat segala hal tentang Bu Mety, saya menangis 
kala itu dirumahnya. Subhanallah... masih ada manusia seperti ini, harus bertahan hidup berteman bayinya di daerah baru, menghadapi konflik sosial, dan tetap ikhlas dan damai menjalani segala sesuai, gerak yang ligat, wajah yang ceria, seolah menutupi semuanya.

Makin kagum saya ketika mendengar cerita Mb Riza, salah seorang teman saya yang di pamongi oleh beliau. Saya dikasih uang sama Bu Mety, karena kata Bu Mety saya yang ngajar 2 bulan ini. Luar biasaaaa...! disaat guru lain menarik keuntungan dengan adanya anak KKN, beliau mengerti apa yang harus pada porsinya.

Bu Mety menjadi pelajaran berharga, hingga ketika sampai di Bandar Lampung saya sempatkan memberi kabar kepada beliau “Alhamdulillah sudah sampai di Bandar Lampung”. Dan beliau membalas “teruslah berkreatifitas dan ikhlas dalam menjalani semuanya...” Jleb... semoga segala apa yang Ibu kerjakan hari ini mampu menjadi amal jariyah yang menjadi pemberat timbangan menuju jannahNya. Dan semoga ada orang-orang yang memiliki kapasitas untuk memperjuangkan beliau dibukakan hatinya. Sungguh engkaulah pahlawan tanpa tanda jasa.

Selasa, 17 September 2013


Awalnya, kegiatan KKN KT terasa membosankan, apalagi saya sedang memegang beberapa project sosial yang menuntut saya wara wiri Lampung-Jakarta. Diharuskan tinggal di pedalaman Lampung, dengan akses internet yang lelet, juga sinyal telfon yang putus nyambung membuat saya merasa terkurung dan tak bisa apa-apa.

Senin itu kala pertama kami ke sekolah, SMA Negeri 1 Gunung Terang namanya, gedungnya ala kadar, bangku jauh dari standar, buku minim, bahkan sering saya jumpai sapi atau kerbau berkeliaran di halaman sekolah. Dipagi hari murid-murid datang dengan seragam yang beragam dan tidak teratur. Wajah-wajahnyapun terkesan norak dengan gaya poni lempar, rok wiru-wiru, dan seragam yang sesungguhnya tak seragam.

Selanjutnya menginjak episode pesantren kilat, seorang guru agama berkata kepada kami, anak-anak disini susah dididik, dikerasin aja, sekali kamu gagal masuk ke ruang kelas, sudah belakangnya wassalam.
Hmmmm... sejenak terbayang wajah adik-adik di pesisir dengan gaya unik ala anak laut yang dididik langsung oleh ombak, akankah mereka adalah pribadi yang lebih unik dari itu ??? Ha ha ha... bisa jadi, atau mungkin seperti adik-adik dibawah Ramayana yang sampai sekarang aku masih bingung bagaimana akan mendidiknya.

Perlahan kuperhatikan mereka satu per satu, ah’ tak mungkin anak-anak ini ndak memiliki celah psikologis. Hari-hari selanjutnya dilanjutkan oleh agenda pesantren kilat, saya dan tim mencoba memberikan yang terbaik dalam keterbatasan kami. Dihari terakhir kami melakukan renungan, dan diluar dugaan, adik-adik ini menangis meraung-raung bahkan sulit untuk diajak kembali tertawa. Dari episode ini saya menangkap satu hal, mereka adalah anak-anak yang di didik oleh alam dengan keras. Ada yang ibunya mati bunuh diri, ditinggal ke arab, harus membiayai adik-adiknya, disekolahkan oleh orang dan terancam putus, ditengah semua perjuangan itu mereka harus nderes karet dini hari hingga pagi baru setelahnya berangkat sekolah.


Memasuki masa-masa mengajar, menjadi tantangan psikologis sendiri untuk saya, pertama karena mengajar bahasa sembari memenuhi tuntutan kurikulum yang tidak sesuai dengan sistim eveluasinya (baca : Ujian Nasional). Kali pertama saya bertanya, “what will u do in the future ?” sebuah jawaban yang membuat hati saya seperti disayat sembilu adalah “nderes karet miss”, “kerja keluar kota miss” “udah lah miss, kami ini ujung-ujungnya ya jadi pendekar (baca : penderes karet) !”. Yang pada akhirnya saya bertanya, untuk apa saya mengajarkan bahasa asing kalau pada akhirnya itu tidak koheren dengan visi hidup mereka. Karena belajar bahasa inggris bukanlah perkara grammar atau kosa kata, namun perkara persaingan global. Tidak hanya berfikir menjadi pendekar, namun bagaimana dengan keilmuan perkebunan karet itu bisa diolah secara mandiri.

Mau tidak mau harus ada yang mengalah dan berubah, entah itu saya atau mereka. Beberapa pertemuan sengaja saya korbankan hanya sekedar menghadirkan sebuah inspirasi di ruang kelas. Namun luar biasa, bahkan ada yang benar-benar cuek untuk sekolah, sampai-sampai ia kehilangan buku pelajaran setiap hari. Ha ha ha ha... biarlah berjalan apa adanya. Untuk mereka bisa sampai ke sekolah saja sudah luar biasa,dan akhirnya saya memutuskan untuk tidak memberikan penilaian di bawah very good walaupun mereka hanya menulis dua kata. Pernah satu kali saya ujian, namun hanya untuk membentuk karakter mereka tanpa saya ambil nilai kognitif. Saya hanya ingin menyadarkan, bahwa mencontek itu hanya bentuk ketakuatan yang tidak mendasar, toh minimal nilai mereka adalah very good.

Pernah suatu hari, saya ajak mereka merenung akan banyaknya waktu dan biaya yang sudah dikeluarkan dan keahlian yang didapatkan. Apa kiranya yang bisa diaplikasikan di dalam kehidupan ? dan merubah kondisi sosial? hingga tiba kesimpulan bahwa sepanjang 1 tahun, mereka mengeluarkan biaya sebesar 5 juta, dan paling banter beberapa anak saja yang bisa bicara dalam bahasa inggris selama 30 detik tanpa putus.

Saya sadar betul ada beberapa orang yang harus respect dengan kondisi ini, yakni kakak-kakak Indonesia Mengajar yang dikirim dari Jakarta untuk hal-hal seperti ini. Dua kali kami rapat dan berencana mengenalkan dunia kampus kepada mereka, namun apa daya mereka ada keperluan yang lebih urgent untuk meningkatkan kapasitas guru. Akhirnya, setelah mencari pengganti sana sini, saya mendapat bantuan dari dua orang teman, Desi dan Priska yang dedikasinya luar biasa. Jauh-jauh dari Bandar Lampung, menyempatkan diri diantara pekerjaan dan kuliah mereka hadir diantara adik-adik. Thanks IFL Lampung...

Waktu pulang semakin dekat, bahkan di detik-detik terakhir saya hampir menangis rasanya, karena saya seperti tak merubah apapun. Dari sikap, karakter, kemampuan. Yasudahlah, i will give what can i give seraya saya memandang balik pada diri saya, “bodoh sekali kamu...”. Bahkan diulangan terakhir beberapa siswa masih mencomtek, saya benar-benar hampir habis akal. Berhubung saya kesal, mereka-mereka yang masih saja nyontek dan memberikan contekan saya tarik kertas ujiannya. Setelah ujian selesai saya evaluasi dan saya benar-benar bilang “respect to your self” “no one will believe you, if you are not belive on your self” setelah saya tanya apa perasaan mereka dan ternyata ada yang menjawab jengkel, kesel, nyesel, dll.

Mungkin jika mereka ndak mendapat sesuatu dari saya, saya yang akan mendapat sesuatu dari mereka. This is the real school, dari yang selama ini hanya hidup di bayangan saya. Ketika saya dan teman-teman membahas usulan kebijakan untuk kementrian pendidikan, sekolah seperti ini hanya ada di angan-angan kami, namun ini nyata di depan mata. Sayapun mengucapkan rasa terimakasih yang mendalam atas semua pembelajaran ini. Satu oleh-oleh yang saya tinggalkan, yakni program bedah kampus yang akan terus di follow up. Semoga dengan adanya kakak asuh, masih ada kesempatan untuk mengajak mereka melihat dunia.

Sayapun pamitan saat itu, karena saya fikir itulah terakhir kali saya masuk kelas. Namun ternyata saya salah, esoknya saya masih ada jam mengajar 1 jam. Akhirnya saya kembali masuk dan suasananya sudah jauh berbeda, kita sharing, beberapa diantara mereka bertanya terkait program bedah kampus, hingga sharingpun meningkat sampai pada pertanyaan apa yang membuat mereka putus asa, kontan 80% dari isi kelas menangis. Akhirnya saya mengerti akan apa yang selama ini terjadi, sayapun meneteskan air mata dan saya tahan sekuat tenaga dan kembali memberi harapan kepada mereka, entah pada akhirnya itu palsu atau gimana, i will do my best.

Spons otak saya segera mengeneralisasi, mungkin banyak anak-anak Indonesia yang seperti ini, ternyata akses pendidikan tinggi itu benar-benar sulit, ternyata banyak anak negeri yang bimbang akan masa depannya, siapa yang peduli ? saya keluar kelas dengan hampa. Bingung harus berekspresi bagaimana, terngiang wajah mereka satu per satu dengan background masalah masing-masing. Anak-anak yang seharusnya tumbuh kembang dengan baik, sudah terbebani dengan masalah sosial yang tidak ringan. Namun saya sedikit bahagia, setidaknya mereka terbuka dengan saya.


Hari temu pamit itu tiba, sekedar salam-salaman, beberapa siswa menyampaikan kesannya, dan tibalah perwakilan dari kelas yang saya ajar. “terima kasih untuk kakak-kakak yang sudah membuat kami kembali memiliki mimpi, yang pada awalnya kami ndak tau akan kemana, kelas kami yang di cap sebagai kelas yang nakal, kini kami menjadi kelas yang “nakal bermerek”, tunggu kami, kami pasti akan kesana, sekeras apapun perjuangan didepan”  nyesss..... ternyata apa yang saya ubrek-ubrek selama ini sampai juga. Amazingnya mereka bisa menciptakan istilah “nakal bermerek”, inilah yang bisa kami hadirkan, bukan kemewahan, simbolitas acara yang besar, namun kami ingin merubah semangat, pola pikir, sudut pandang, mental, dan skill, karena kami adalah orang-orang yang sedang mulai belajar terkait dunia pendidikan. Terima kasih atas sebuah pengalaman yang begitu berharga ini “a life changing experience”.