Kamis, 17 Oktober 2013



Desclaimer : tulisan ini dalam rangka menebus dosa kepada beberapa orang yang pernah satu perahu untuk belajar dan belum move on juga. I just want to show you "how i think" dan sama sekali tidak bermaksud meninggalkan teman-teman terbaik menuju dunia baru saya sendiri. 

Tempo hari saya berbincang dengan salah seorang teman terkait sebuah episode kehidupan dikampus yang menarik untuk dibahas karena meninggalkan banyak proses pembelajaran. Bisa dibilang saya sangat menikmati hari-hari itu dimana saya belajar banyak mengenai konflik, prinsip, taktik, dan juga kawahcandradimuka bagi mental yang harus terus dinamis dibawah tekanan. Bagi kami berdua, proses ini menjadi jumping stone untuk menjajagi dunia baru, namun tidak bagi seseorang yang mungkin memiliki manajemen cinta yang lain dalam memandang suatu komunitas. Bisa disebut ia mengalami post power syndrome.

Dalam kesempatan ini saya ingin mereka yang tenggelam dalam sebuah post power syndrome mampu mereformasinya menjadi sebuah post power time. Teringat pembicaraan terakhir dengan bapak saya terkait dinamika seorang pemimpin yang bertahan di kursinya selama bertahun-tahun, saat itu saya menyatakan bahwa tipe pemimpin seperti itu tidaklah baik, karena 1) Ia tidak memiliki visi yang bisa diwariskan kepada generasi penerus, ketika ia mati sudah semua berakhir. 2) Ia menutup pintu kaderisasi untuk orang lain berkembang. 3) Ia menutup kesempatan dirinya untuk berkembang dan memimpin sesuatu yang lebih besar, menyelesaikan hal-hal besar, dan memberi kebermanfaatan yang lebih besar pula. 

Post power time akan menjadi sebuah terminal untuk menuju final destination yang baru. Yang membuat sebagian orang sulit menghadapi kondisi ini adalah ia sulit menentukan final destination tersebut, Ia terus terbayang dengan sebuah kenangan indah dimasa lalu, sementara sebagian diantara mereka merumuskan final destination terbaik untuk dituju, menatap kedepan, membuka hati untuk orang-orang baru dan pembelajaran baru, or bahasa anak mudanya "move on". Outside there, so many place need to travel, so many lesson should we take, and so many friends are waiting for us. 

Bukan berarti juga tempat yang kita tinggalkkan berada di tangga yang lebih bawah, sometime someone need to travel to the other world untuk menemukan sebuah pembelajaran hidup yang baru. It is not a big problem, karena yang menjadi masalah adalah ketika kita diam dan berhenti belajar.  

Hari-hari ini saya tambah bersemangat mendengar kabar yang terus berdatangan, ada yang melanjutkan study, bekerja di beberapa tempat, dan menggenapkan separuh diennya. Subhanallah... sebuah tranformasi post power time yang bagus. Semoga dihari depan kita dapat berjumpa lagi dalam satu forum yang lebih cetar membahana.  Sebuah lahan pembelajaran baru yang lebih besar telah kau jajaki, kutunggu cerita-cerita perubahan dari masing-masing kita, semoga Allah senantiasa menjaga kita semua. Semoga teman-teman terbaik saya yang masih dalam masa post power syndromenya juga segera merubah way of thinking to post power time. 






Hasil perenungan ini membuat saya berefleksi bahwa pendidikan yang berhubungan dengan pembentukan karakter dan kepribadian manusia itu jauh harus dinomorsatukan ketimbang setumpuk mata pelajaran yang memaksa kita kelihatan cerdas padahal tidak.

Inilah mengapa saya apresiatif terhadap pola pendidikan Jepang yang lebih dulu mengajarkan bagaimana mengantri ketimbang matematika. Dari mengantri karakter mereka dibentuk untuk menghargai proses di dalam setiap usaha mencapai sesuatu bukan berorientasi pada hasil yang pada akhirnya banyak menggunakan jalan instan.

Pada suatu sore Desi menceritakan hasil perenungannya kepada saya, "Can, lo sadar nggak klo tiap ada acara, anak-anak muda yag dateng itu-itu aja". Dan tanpa ragu saya menjawab ia. Karena dulu tatkala saya sering mengikuti lomba yang saya jumpai ya orang-orang itu, baik olimpiade, KIR, pramuka, maupun english club. Begitupun ketika masuk ke organisasi kepemudaan, lo lagi- lo lagi. Terakhir saya aktif di berbagai gerakan sosial ya itu-itu lagi yang saya jumpai.

Desi melanjutkan perenunganya "Itu menunjukkan kalau anak muda Indonesia yang mau berusaha untuk maju itu sedikit, mungkin dari berjuta-juta anak muda hanya 4.000an saja. Jadi sebenarnya ketika kita bermimpi untuk mendapatkan sesuatu kita tidak perlu bersaing bebas dengan berjuta-juta anak muda itu. Hanya 4000 saja, dan sebenarnya kita tidak perlu mengalahkan mereka, kita hanya perlu bersabar dan ngantri. Apalagi kesempatan untuk mengasah kemampuan sekarang begitu banyak, seperti beasiswa ke luar negeri, program-program seperti pencerah nusantara, indonesia mengajar, dll."

"Misal ketika kita mencoba mendaftar beasiswa S2 dan ndak ketrima, tapi yang ketrima tiga puluh orang di luar kita, kita ndak perlu sedih, masih banyak kesempatan lain dan itu artinya kita juga kehilangan 30 saingan kita dan tinggal 3970 saja. Permasalahannya adalah selama ini orang tidak sabar pada proses dan menunggu giliran kita untuk terpanggil pada kesempatan lain. Atau permasalahan kedua, ia diam jalan ditempat ketika 4000 orang ini terus memperbaiki kapasitas dirinya dengan berproses, akibatnya ia tertinggal dari komunitas 4000 orang ini."

"Padahal kita tak perlu berlari terlalu kencang untuk menjadi yang terhebat, kita hanya perlu terus belajar, bergerak dinamis dan kreatif sembari menunggu giliran. Dan giliran itu pasti datang, karena walaupun kita ada pada giliran ke 4000, 3999 orang diatas kita akan naik level dan kita mengisi kekosongan itu, begitupun kalau kita bertahan, cepat atau lambat kita juga akan naik level dan digantikan oleh 4000 orang generasi baru lain, syukur-syukur kalau kita bisa lebih cepat dari 10 orang diatas kita, maka kita akan 10 langkah lebih cepat mengantri, namun tidak juga kita ambisius untuk melangkahi 4000 orang segaligus, karena itu terlalu ambisius dan justru membuat kita semakin lelah, dan kembali lagi pada case "menghargai proses"." tutup Desi.

Perenungan Desi tadi membuat saya menengok pada diri sendiri, semoga hal ini dapat menjadi pembelajaran bagi kita semua. Ya, saya bukan tipe orang yang menyerah kepada keadaan, ya, saya juga berada diantara teman-teman yang luar biasa dengan kelebihannya masing-masing, dan saya juga memiliki mimpi yang ingin saya raih. namun terkadang :

1.) Saya menginginkan suatu proses yang cepat, memasang target terlalu tinggi sehingga membuat saya harus berlari kencang, mungkin saya sanggup, namun supporting sistem yang ada disekitar saya belum memadai, akhirnya membuat saya kelelahan dan justru berhenti untuk berproses. Hal ini sangat disayangkan, padahal kita tak perlu tergopoh-gopoh, hanya perlu mengikuti ritme dan menunggu giliran dalam sebuah antrian kesuksesan.

2.) Ketika sudah kelelahan saya akan berhenti sejenak, tentu ini tidak baik, karena 4000 orang yang mengantri itu juga gagal dan mereka terus mencoba dan mencoba lagi, secarra tidak langsung kapasitas diri mereka meningkat. Saat dimana saya berhenti akan membuat saya munduur dari nomor antrian, misal dari 200 menjadi 2500. Inilah mengapa kita perlu mengukur ambisi, bukan sesuatu yang gila-gilaan, namun kita harus mengenal diri dimana kadar kita, sehingga tidak menjadi bumerang yang awalnya ingin maju lebih cepat, justru kelelahan dan mundur.

Sebuah keadaran singkat dari semua penjabaran ini adalah bahwa karakter untuk antri itu bukkan perkara sim salabim, namun di didik dari kecil. Karakter untuk antri juga tidak hanya berlaku ketika kita di Bank, beli karcis kereta, dll. Namun juga terefleksi terhadap cara pandang dan proses kita dalam menjalani hidup. akhir kata saya ingin mengingat kembali sebuah pesan dari ibu saya "orang-orang yang tidak bisa memperhatikan hal-hal kecil, ia juga tidak bisa memperhatikan hal-hal besar." Semoga bermanfaat.