Bagi anda yang mengawali dunia kampus dengan aktif di berbagai organisasi, sudah barang tentu tidak akan asing dengan istilah ‘setiap zaman melahirkan pemimpin’, karena kalimat tersebut cenderung diulang, puluhan, ratusan, bahkan ribuan kali di berbagai tempat. Yap ! Setiap zaman memang memiliki pemimpinnya sendiri. Sebut saja diera awal pergerakan kemerdekaan Indonesia dimana kita punya Cokroaminoto, diera perjuangan kemerdekaan yang melahirkan sosok Soekarno dan Hatta, diera pembangunan dengan gagasan Soeharto dan Habibie, dan puluhan contoh lain.

Hal tersebut juga berlaku dalam konstelasi sejarah dunia. Amerika serikat memiliki sosok George Washington yang mendeklarasikan kemerdekaan negara luas yang hari ini menjadi adikuasa tersebut, dari dunia islam hadir Muhammad Al Fatih yang memenangkan konstantinopel dan membebaskan rakyat pada masa itu dari pemerintahan yang korup, masyarakat kulit hitam punya Martin Luther King yang memperjuangkan kesetaraan ras hingga hari ini Barack Obama bisa berdiri gagah di podium kepresidenan seraya berkata “kita bisa !”.

Tempo hari ketika saya menyusun materi untuk workshop kepemimpinan bagi exchange participant AIESEC Unila saya mencoba mencari jawaban atas satu pertanyaan sederhana “hal terbesar apa yang paling mendukung sosok-sosok luar biasa tersebut menjadi seorang pemimpin ?” apakah latar belakang pendidikan ? keluarga ? teman sepergaulan ? dan jawabannya sungguh mengagumkan, kondisi yang tidak normal lah yang menjadikan mereka sebagai pemimpin yang besar di zamannya.

Ketidakidealan kondisi yang seseorang alami mampu memancing individu tersebut untuk tumbuh berbeda dan menjadi solusi bagi zamannya, atau secara tidak langsung sebuah zaman telah melahirkan pemimpinnya melalui sebuah proses yang alamiah. Sebut saja Martin Luther King yang memperjuangkan kesetaraan bagi ras kulit hitam dan menghapuskan perlakuan tidak manusiwi yang kelompok tersebut rasakan, Mark Zuckeberg menjadi pemimpin inspiratif karena mencetuskan sebuah platform yang memudahkan setiap individu dalam berkomunikasi pada era modern ini, juga Mahatma Gandhi di India, Hellen Keller bagi kaum difable, dan Soekarno untuk Indonesia.

Namun jika anda kritis, sebuah pertanyaan susulan akan muncul, ‘dari ratusan bahkan ribuan orang yang hidup di era tersebut mengapa hanya segelintir orang yang kemudian muncul sebagai tokoh pendobrak ?’. Menurut hemat pribadi saya ada dua hal yang membuat mereka kemudian menjadi ‘anomali’ atau ‘berbeda’, yakni ‘kepekaan’ dan ‘ketulusan’.  

Kepekaan dan ketulusanlah yang membedakan mereka dari ribuan bahkan jutaan orang yang hidup pada masa itu. Jika Martin Luther King bersikap biasa saja melihat fakta ketidakadilan yang dialami oleh ras kulit hitam dan berhitung untung rugi dalam perjuangannya, maka bisa jadi sejarah hari ini akan berbeda. Begitu juga Mark Zuckeberg yang merintis facebook dengan penuh rintangan, jika ia tidak peka membaca kebutuhan zaman dan berhitung dalam perintisan platform tersebut di awal waktu, maka ia sudah akan menyerah dari jauh hari karena khawatir bangkrut dan segudang ketakutan dari resiko lain. 

Orang-orang tersebut tidak terlahir untuk menjadi individualis, mereka peka terhadap permasalahan di sekitarnya dan berusaha melakukan yang terbaik tanpa sebuah perhitungan keuntungan pribadi yang rumit. Mereka menikmati perjuangannya, mensyukuri ketidaknormalan kondisi yang dialami, mencari-cari masalah, dan berusaha melakukan perubahan yang terbaik, itu saja !

Pendidikan dan Pemimpin Sintetis

Pada akhirnya sayapun tergelitik dengan jalan pikiran saya sendiri. Lalu bagaimana dengan saya hari ini ? bisa dibilang saya hidup dalam kondisi yang nyaman dan tidak mengalami kondisi sulit yang seekstrim mereka ? --atau bisa jadi karena ketidakpekaan saya menangkap masalah-- karena diakui atau tidak, ketidak adaan tekanan tersebut seringkali membuat kita terdiam di zona nyaman dan tidak berbuat apa-apa.

Biar bagaimanapun alam mendidik dengan baik dan begitu alami. Namun seiring dengan perkembangan zaman, manusia mencoba merubah proses tersebut menjadi produk sintesis bernama kurikulum, merekayasa sebuah kondisi dimana seseorang bisa belajar dengan baik, mendekati kondisi sempurna yag disediakan langsung oleh alam.

Pada akhirnya sekolah-sekolah bersaing membuat sebuah kurikulum unggul, organisasi-oraganisasi hadir dengan tawaran proses pengembangan diri yang beragam guna mendidik sekelompok pemimpin bagi masa depan. Bukan pemimpin formal yang hanya duduk pada kursi pemerintahan, bukan pemimpin dalam wujud kata benda, namun lebih pada pemimpin dalam wujud kata sifat yang dimiliki oleh siapa saja; dokter, guru, arsitek, dll. Sehingga pemimpin tersebut mampu menghadirkan solusi bagi permasalahan zamannya melalui kepakaran masing-masing.

Pola Pendidikan Indonesian Future Leaders dan Beberapa Organisasi Lain

Kembali melihat pada masa lalu, dimana saya pernah belajar di beberapa tempat yang berbeda, baik sekolah, pondok pesantren, komunitas, organisasi, dll, ada satu tempat dimana saya merasakan sebuah proses pendekatan yang sedikit berbeda dalam mendidik saya menjadi seorang pemimpin. Tempat ini juga mengemas sebuah workshop pembelajaran dengan sederhana sehingga saya mudah memahami.

Tempat itu adalah Indonesian Future Leaders, dimana saya bergabung pada tahun 2013, yakni saat saya menjadi pendiri di salah satu chapternya. Disini, jauh sebelum saya berdiskusi tentang teori kepemimpinan atau contoh pemimpin ideal saya justru dihadirkan pada sebuah workshop online via youtube yang mengajak kita untuk keluar dan menganalisa permasalahan apa yang ada di sekitar kita, dimana selanjutnya kita diarahkan untuk membuat sebuah proyek sosial yang mampu menyelesaikan permasalahan tersebut. Proses tersebut dimaksudkan untuk mengasah kepekaan, dan selanjutnya secara tidak sengaja, dengan sendirinya saya belajar mengatur tim, memaksimalkan sumber daya yang ada, juga memaknai ketulusan melalui konsep kesukarelawanan di setiap proyek sosialnya.

Sebuah proses sintesis yang mendekati alami sepanjang perjalanan saya belajar kepemimpinan di berbagai organisasi. Walau saya akui ada beberapa organisasi yang juga berbicara keresahan masyarakat, namun ia masih banyak berwacana pada sebuah ruang definisi yang abstrak dan cenderung sulit diterjemahkan oleh anggotanya –atau bisa jadi saya yang gagal paham--.

Lalu mana yang lebih unggul dari keduanya ? saya tidak bisa memutuskan, Indonesian Future Leaders memiliki kurikulum dengan pendekatan yang lebih alami, namun jika individu tidak terpancing untuk berfikir dan mencari lebih dalam bisa jadi mereka tidak akan sampai pada sebuah nilai yang berusaha disampaikan. Sebaliknya, organisasi yang memulai pendekatan dari lokus teori dan memancing keresahan bisa jadi hanya melahirkan sosok yang pandai berwacana melangit dan sulit menterjemahkan ide ke bumi.


Pada akhirnya keputusan untuk belajar secara utuh dan mengikuti sebuah proses hingga selesai menjadi pilihan yang paling penting ketika kita belajar, dimanapun itu.  Tidak perlu bingung untuk memilih belajar dimana, tapi belajarlah dengan baik. Karena sejarah di zaman manapun tidak pernanh mencatat orang yang setengah-setengah, dan sekali lagi, semua ini hanyalah sebuah perenungan dari pemikiran premature saya pribadi, mohon ma’af atas warna-warni keluguan disetiap detilnya.