Perangkat kerja manusia yang disebut kapasitas perlu dirancang. Perlu
dipilih dan disesuaikan dengan kerja-kerja yang akan dituntaskan di
masa depan. Rancangan itu dibutuhkan karena manusia secara umum tidak
akan mampu mengerjakan semua hal. Ia hanya optimal dalam satu hal atau
beberapa hal. Walaupun manusia-manusia yang hampir sempurna dan mampu
menjadi yang terbaik di setiap bidang pernah ada, seperti Abû Bakr
as-Shiddîq dan ‘Umar bin Khattâb, tapi mereka hadir segelintir di setiap
abad. Untungnya dispensasi Allah menenangkan manusia. Karena “Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kapasitasnya” [al-Baqarah: 286].
Namun, ayat tersebut tidak berarti merasionalisasi para pemuda untuk
tumbuh dan menjalani kehidupan dengan kapasitas pas untuk mengerjakan
kerja-kerja kerdil. Untuk hidup dalam urutan sekolah, dewasa, nikah,
kerja dan mati. Tanpa pernah berkontribusi untuk keluarga dan lingkungan
tinggalnya, untuk komunitas profesi dan masyarakatnya apalagi untuk
negara dan umat. Mereka meninggalkan dunia hanya untuk menambah daftar
penghuni alam raya yang anonim karya. Ada dan tiadanya tidak merugikan
semesta.
Padahal rasio antara usia dengan potensi diri dan karya yang berhasil
dibangun tetap akan dihitung. Jika jumlah usia terlalu banyak untuk
ukuran karya yang terlalu sedikit dan kapasitas yang terlalu minim,
disanalah letak pertanggung jawaban yang berat di hadapan Allah.
Itulah sebabnya, generasi muda sahabat selalu membidik kerja-kerja
terberat dan terbesar dalam hidup mereka sehingga kapasitas diri yang
mereka bangun untuknya optimum. Karena mereka ingin selamat dalam rasio
antara kesempatan usia dengan kapasitas dan karya. Lalu mana yang
didahulukan diantara keduanya?
“Mâ lâ yatimmu wâjib illâ bihi fahuwa wâjib” dalam kaidah Islam “jika sesuatu kewajiban tidak akan terealisasi kecuali dengan suatu perangkat, maka perangkat itu menjadi wajib”.
Karena kapasitas tidak akan terdefinisi tanpa rencana kerja, maka pada
pemuda pengukir sejarah sepanjang zaman selalu memulai pengembangan
kapasitas diri mereka dari rencana kerja unggulan.
Sejak kecil, Aq Syamsuddîn selalu mengulang hadist Rasul ini untuk muridnya “Latuftahannal Qashthanthîniyyah walani’mal Amîru Amîruhâ walani’mal Jaisyu dzâlikal Jaisy”
[Sesungguhnya kota Konstatinopel akan dibebaskan, pemimpin terbaik
zaman itu adalah pemimpin pembebasan tersebut, dan pasukan terbaik
adalah mereka yang bersamanya].
Delapan abad lamanya hadist ini waris-terwaris. Setiap panglima
perang, khalifah, sulthân bermimpi untuk menjadi tokoh yang Rasulullah
ramalkan. Tapi kalimat itu tidak sepanas seperti bara api yang belasan
tahun membakar hati Muhammad kecil, sehingga selama itu kapasitas diri
yang dibangunnya terkonsentrasi untuk menjadi pemimpin terbaik yang siap
membebaskan Konstatinopel.
Pemimpin terbaik yang dimaksud hadist itu bukan sekedar petarung dan
perancang siasat perang, atau negarawan dan diplomat cerdas, tapi
seorang pemimpin rabbani yang ruhiyahnya melangit bersama para
nabi-nabi. Sehingga saat usia 24 tahun ia membebaskan Konstatinopel, ia
menawarkan seluruh pasukan muslim saat salat pertama kali di gereja
Konstatinopel yang diganti menjadi mesjid Aya Sofia di Turki, “silakan menjadi imam, bagi yang tidak pernah tertinggal berjama’ah sejak umur baligh”.
Adakah yang maju sebagai imam? Tantangan itu tidak terjawab siapapun
kecuali ia sendiri, Muhammad al-Fâtih. Target itu yang mendefinisikan
kapasitas apa yang dibutuhkan untuknya. Dan Aq Syamsuddin memahami benar
kemana Muhammad kecil akan dibentuk.
Seperti itu juga cerita Imam Bukhâri yang bermimpi bertemu
Rasulullah. Lalu saat dijelaskan bahwa tabir mimpi menuntutnya untuk
membela hadist Rasulullah dari pada pemalsu, maka mulailah ia hibahkan
dirinya di jalan itu. Ia penuhi semua perangkat kapasitas diri untuk
memikul tugas besar mengumpulkan hadist shahih. Sehingga darinya lahir
karya manusia paling monumental: Shahîh Bukhâri. Sebuah ensiklopedi
karya manusia yang paling akurat yang pernah tercipta sepanjang sejarah
bumi ini. Bukan hanya itu, manusia hebat itu mencetak menusia hebat
lainnya. Seorang murid yang keagungannnya mengikuti gurunya, Imam Muslim
dengan Shâhîh Muslim-nya. Sehingga kedua shahîh itu menempati derajat
tertinggi dalam literatur Islam setelah al-Qur’an.
Rencana kerja unggulan telah ditetapkan sejak kecil untuk keseluruhan
hidup mereka. Dan kerja-kerja besar selalu menuntut kualifikasi dan
kapasitas. Ia adalah sunnatulah. Misalnya kerja-kerja keilmuan hanya
mampu diselesaikan oleh ilmuan-ilmuan yang energi pikiran, perenungan,
dan penelaahannya mengalahkan kantuk buku, sepoi istirahat yang mengelus
leher mereka. Kerja-kerja kepemimpinan umat hanya untuk generasi
berkapasitas ilmu sejarah, sastra, geografi, syar’i, dan seperangkat
ilmu humaniora. Setiap kerja meminta kapasitas yang berbeda. Seperti
kerja bedah jantung yang meminta kapasitas berbeda dengan kerja desain
helikopter.
Maka ini langkah pertama para pemuda yang ingin membangun kapasitas
dirinya. Rencana kerja besar adalah akumulasi dari perenungan terhadap
empat hal. Pertama: perenungan terhadap pesan kehidupan. Pesan Allah
untuk manusia, bagaimana ia harus bersiap meninggalkan dunia menuju
akhirat yang kekal. Kedua: perenungan terhadap sejarah, khususnya
biografi. Tentang bagaimana manusia-manusia agung pernah menyumbang
sesuatu bagi peradaban. Ketiga: perenungan terhadap realitas, ruh zaman
saat ia hidup. Tentang apa saja yang diinginkan umat terhadap anak-anak
zamannya. Keempat: perenungan terhadap kondisi diri. Tentang minat-minat
dan kecenderungan pribadi di tengah hamparan tugas yang membentang.
Keempat hal ini membentuk piramida kerja yang terus mengurucut hingga
membentuk kristal pernyataan di puncaknya tentang kerja apa saja yang
akan dituntaskan semasa hidup. Karena umat ini sedang sangat membutuhkan
pada pemuda yang sedari muda sudah berani menetapkan mahar untuk
menjemput umat kembali ke pelaminan peradaban.
0 komentar:
Posting Komentar