Tampilkan postingan dengan label sastra. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sastra. Tampilkan semua postingan

Selasa, 11 Maret 2014


*edisi : life is hard but no choice to give up

Sudah dua hari ini Ria luar biasa kesal dengan teman satu kontrakannya, setidaknya akibat tiga hal, ya ! tiga hal yang menyebabkan Ria benar-benar kesal dengan Chika. Pertama, Chika datang sebagai penduduk kontrakan di tengah tahun dengan diantar keluarganya, dengan tiba-tiba langsung mensabotase alat masak, waktu memasak tanpa permisi apalagi kompromi. Belum selesai keanehan yang pertama esok harinya Chika memulai usaha piscok dengan memonopoli kompor dan dapur secara habis-habisan hingga penduduk satu kontrakan kelaparan. 

Kedua, alahal kulihal produksi piscok, sampah-sampah kulit pisang dan percikan minyak yang membuat lantai licin benar-benar membuat kesal, bukannya merasa tidak enak dengan yang lain justru keluar kalimat "mb... uang sampah bulan ini mb yang bayar ya ?" apa ??? rasanya aku ingin berteriak, memang kemarin-kemarin siapa yang bayar ??? wajar jika perusahaan besar berusaha sedemikian rupa untuk tidak mengeluarkan CSRnya, usaha kecilpun begini.

Ketiga kalinya ketika kompor rusak dan Chika hanya diam saja, baiklah... dan ternyata setelah dibetulkan, tanpa ba bi bu, bertanya habis berapa dan urunan berapa Chika kembali masak disana. Sudahlah... Tapi ??? mungkin berfikiran bahwa Chika adalah cucu kesayangan dari bapak kos, maka TV di ruang tengah ia bawa masuk ke dalam kamar. Terang kami dongkol setengah mati, apalagi dua hari kemuadian keluar kalimat "mb... listrik bulan ini mb yang bayar ya ????" aku tak tahan lagi ! aku mau pindah !

Siang ini Ria enggan pulang ke kontrakan setelah semua kejadian itu, ia memilih duduk di kampus menunggu jadwal kuliah selanjutnya. Baru beberapa saat ia menghabiskan bekal makannya datanglah seorang bapak tua dengan suara tidak parau tapi tidak juga merdu, tidak lantang namun tidak juga lemah, "es krim.... es krim... " setiap orang yang ada disitu nyaris tidak peduli. Ria berusaha keras memalingkan pendengaran dan penglihatannya. Tidak tega. Namun rasa penasaran kadang hadir dan memerintahkan otot leher untuk menengok, ah... bapak itu sedang duduk bersandar di tiang dengan sepeda tua yang diparkir sembari berteriak "es krim.... es krim...." Rasanya ingin segera beranjak pergi, tapi uang yang dimilikinyapun pas-pasan, belum lagi dia harus berbagi dengan adiknya.

Beberapa waktu kemudian bapak tua itu mengayuh sepeda tuanya, dengan tabah, tanpa kesedihan, ia menjadi simbol optimisme hidup. Ria tersadar, bahwa dari usianya bisa jadi bapak itu hidup di zaman perjuangan kemerdekaan, membela tanah ini dari penjajah, dan kini ketika semua sudah merdeka, tak ada satu anak mudapun yang peduli padanya. Ria nyaris menangis dan mengejar bapak tua yang sudah semakin jauh, tapi apa daya, ego untuk menyimpan uang demi keberlangsungan hidup di kosan lebih kuat ! Mungkin kini Ria sudah menjadi anak muda yang lebih tidak tau diri dari Chika.

Manusia modern hidup dalam keegoisan yang mendalam. Tekanan hidup yang mendalam membuat setiap individu semakin fokus terhadap dirinya sendiri, kejar setoran, pergi pagi pulang petang, setumpuk kerjaan, belum bayaran sekolah, kebutuhan untuk makan, tempat tinggal, hingga tagihan hutang. Setiap individu berjuang mati-matian, kaki di kepala, kepala di kaki entah kelak bagaimana lagi.

Jumat, 28 Februari 2014

Namaku hijab, aku buruh pada tuanku sepanjang waktu, dari pagi hingga pagi lagi. Hampir 24 jam aku menghabiskan waktu dengan tuan-tuanku, menjaganya dari serangan mata – mata kaum Adam yang membara. Terkadang aku mendapat masa libur untuk beberapa saat, menyenangkan memang, ketika kau bisa merebahkan diri sejenak dan berendam bersama dengan busa sabun, setelahnya kita bebas berjemur dibawah sinar matahari seharian, dihangatkan oleh setrikaan dan disemprot parfum agar tidak digigit ngengat.
Aku menyayangi tuanku, karena ia menghargai keberadaanku, membuatku menjadi bernilai, menjadi prajurit penjaga Al-Maidah 54. Tak jarang ketika aku menemani tuanku ke kampus atau ruang kerja aku bertemu dengan buruh-buruh serupa denganku, mereka memiliki corak yang lebih ramai dan warna yang mencolok. Aku heran kadang, apa yang mereka lakukan, alih-alih melindungi, tapi buruh ini justru semakin menarik perhatian lelaki. Sekilas aku melirik pada tuan mereka, satu stel pembungkus badan yang ketat dan menunjukkan eksotisme lekukan tubuh perempuan. Rambut digelung keatas bak punuk unta yang bergoyang-goyang, seorang buruh memang perlu memilih tuan.
Malam itu tuanku belum juga pulang. Sang mentari telah kembali ke peraduan, aku tak lagi bermandi sinarnya namun menggigil melawan suhu malam yang mencekam. Kemana tuanku ? apakah ia sibuk dikantornya ? atau ada kuliah malam ? Tiba-tiba seorang bapak berpakian kumal menghampiriku, merenggutku dari tiang jemuran, aku ingin menjerit dan meronta, tapi tangannya mengenggam erat tak terelakkan. Aku pasrah.
Dibawanya aku ke gubuk tua di pinggir rel kereta. Sejenak sesungging senyum mengembang dari sudut bibir “Ayah membawakan jilbab untukmu !”. Sesosok anak usia belasan, melompat kegirangan ! diraihnya diriku, dibawanya kedepan kaca buram dan dikenakannya aku dengan berbagai gaya. Sejak hari itu, aku memiliki tuan yang baru.
Tuan baruku begitu sayang padaku, tidak seperti sebelumnya, aku jarang sekali mendapat libur, hanya ada tiga hijab yang buruh padanya, dan yang satupun sudah usang. Setiap aku selesai bermandi busa sabun dan berjemur, langsung esoknya aku kembali bekerja padanya. Taka da lagi parfum, hanya seonggok kapur barus putih yang tak sempat aku berkenalan dengannya.  Siang ini aku lelah sekali menghalau sinar matahari, aku ingin segera sampai di rumah dan berendam di ember busa sabun, tapi mataku tertuju pada satu sosok semampai, oh…. Aku ingin berlari dan memeluknya, aku merindukannya… tuanku… tuanku yang dulu.. tapi, tunggu dulu… kemana perginya gamis yang selalu menjadi patner kerjaku ? sudah pensiunkah dia ? aku tak habis pikir, karena ia kini mengenakan budak-budak barunya… blue jins dan blouse ketat, tiba-tiba kau merasa usang dan tidak percaya diri.

Aku ingin menjerit dalam lautan kerinduan, aku merindukan tuan lamaku, jauh sejak aku diangkut secara paksa dari tiang jemuran. Tapi kini aku bekerja dengan tuan baruku dengan permulaan yang berkecamuk. Ah, aku tak tau lagi, aku hanya berbisik, Hijab’pun bertuan… 


Rabu, 18 September 2013


untukmu yang akan membagi namanya untuk anak-anakku...

Cintaku bukan tentang aku dan kamu,
tapi tentang Tuhanku yang juga Tuhanmu

Cintaku bukan tentang kita
namun tentang pahlawan pahlawan kecil yang akan melanjutkan perjuangan ayahnya

Bahagiaku bukan hanya karna hadirmu
Yakni pembelajaran kala membantumu menyelesaikan masalah peradaban

Jumat, 31 Mei 2013


Bagaimana caramu melawan ketika pada akhirnya kau menyadari bahwa pahlawan yang kau pilih hanyalah sosok-sosok tersesat yang tidak megenal dirinya ? Gerbong-gerbong kereta telah jauh meninggalkan stasiun dan kudapati dirimu sendiri diantara zombi-zombi yang sedang lapar. Seperti lembar buku, ia akan terus maju dan masalalu adalah episode sejarah bagimu.

Dalam kilah bahwa persahabatan Soekarno dan Hatta dalam membangun bangsa inipun mengalami pasang surut, aku bertanya, kemana perginya mata ? karena aku buta, akan semangat yang tak urung pudar, jiwa yang menjaga dirinya, dan ketidaksempurnaan yang terus berbenah. Dalam cerita dimana kita tak saling bersua, kudapati dirimu terluka dalam cita yang terbungkus asa.

Semua telah terlambat saat kau dapati malaikatmu tak bersayap. Ribuan mil terhampar untuk kau tapaki dengan setiap langkah dan keikhlasan hati. Songsong cerita baru esok hari, karena aku yakin pada akhirnya kita akan sama-sama kembali kepangkuan Ilahi.

Kamis, 18 April 2013



Aku duduk diantara ribuan potensi tidur yang meraung-raung untuk dibangunkan. Keras terdengar teriakan mereka untuk diberdayakan. Melawan hari dari pagi, mengejar matahari hingga senja melepasnya pergi menjadi bukti eksistensi semangat tinggi, bahkan hingga malam berslimut dingin dalam asa menanti pagi. 

Disini aku melihat mesin yang bergerak hingga aus dan karatan, menghabiskan berliter-liter bahan bakar tak terbarukan. Memperkerjakan ribuan pegawai dengan insentif yang menghisap pendapatan. Melolong kelelahan dan kehabisan waktu karena dikejar sang waktu yang tak mengenal ampun.

Disana, ada seorang petani yang mencangkul di sepetak sawah tak luas juga tak bermesin. Ketulusan dan kecerdasan membawanya pada panen raya, kebahagiaan dan kesejahteraan. Alunan angklung, gamelan, hingga kolintang menambah semarak masa panen dibawah damainya rembulan yang menaungi tawa bocah-bocah bercengkrama riang gembira.

Sungguh paradok ! lolongan penderitaan ditengah modal besar dan tawa kebahagiaan diantara kearifan lokal. Pemiskinan dan kemiskinan memiliki dua difinisi berbeda dengan dua bentuk penyikapan yang tak sama. Aku rindu pada ibuku yang bijak bersahaja : Indonesia.

Minggu, 14 April 2013






Use my own hand and feet
I cultivate the land to plant the seed
From the book that i have read
It gives good smell for us to take a breath

A red rose for a butterfly
You’re beautiful and i can’t  lie
I feel want to fly away
When i give it to you on shy

A red rose will memorize our day
And stop tears fall down from our eye
Really really hard for me to say
I am so sorry goodbye

Senin, 04 Maret 2013




After rainfall coming before morning
Looking sunshine inside of your charming
I’m asking my heart and please tell me why
When i see your face and i feel too shy

I ask to the night what are you doing
But the bright moon reject to answering
Waiting your coming in front of school’s race
I madly want to see your shining face

The wind whispering ridicolous thing
Oh God please tell me how to stop thinking
Stop to drinking blood like a vampire
I only can be your secret admire


*this poetry created by Elsye n me in poetry class, the title, how we create the meaning, and the tecnic to write guided by mam Ros, but the dictions edited by Mr. Rudi. I don’t know why i am falling in love with those twelve sentences.

Rabu, 13 Februari 2013


Biarkan saja,
Alam meramalkan cuaca !
Siapa ?
Ya !
Aku tau manusia melakukannya.

Terserah,
Apa definisiku,
Akupun tak punya definisi,
Tak berniat,
Jua tak layak mendefinisikan,

Praduga ???
Biarkan waktu membawa pada dimensi....
Oh, tidak
Belum tentu sampai sana

Lalu ?
Ya sudah !
Aku jengah.
Hmmmm
Enggan.

Minggu, 23 Desember 2012



Hi ! makin eksis saja kau disana, senyum terkembang karena satu persatu kerja kerasmu membuahkan sebua realisasi mimpi. makin mantap saja kau mendaki setiap tangga kehidupan. Sedikitpun tak terlihat rasa takut dalam guratan optimismemu. Setiap orangpun yakin tak lama lagi kau akan berkarya semakin besar. Sungguh luar biasa... selamat kawan !

Kadang aku membayangkan kau menyempatkan waktu bercengkrama dengan kami, dan semua bertanya tentang dirimu yang luar biasa. tapi aku ingin beranya satu hal yang sederhana "bagaimana kau yakin dengan semangatmu sendiri ?". Kau punya mimpi dan akupun punya, kau bekerja untuk itu dan akupun juga, kau mengalami pasang surut dan aku juga, kau punya teman yang luar biasa dan aku juga, tapi kau yakin dan aku khawatir.

Tanya kedua, "bagaimana kau meyakinkan orang sekitarmu ?" ahhh... tentu saja mereka yakin dengan idealismemu, karena kau mampu membuktikannya dan aku tidak.

Aku tau Tuhan itu Maha Adil, menciptakan manusia dalam kapasitasnya sendiri. Ia menciptakanmu dan menciptakanku dengan ruang yang berbeda. Dan entah ini pesimisme atau apa, aku sadar aku adalah aku, dengan puluhan orang yang mencibir apa yang aku impikan. Aku bukan engkau yang mendapat dukungan dari banyak pihak, "Ah, sepertinya kau menjadi buta akan kerja kerasmu siang malam, aku pura-pura lupa dengan itu...". Aku juga bukan kamu yang memiliki fasilitas berlebih.... "Ah... sepertinya aku lupa juga kalau mimpiku tak sebesar mimpimu, dan aku berharap lupa kalau fasilitasku cukup untukku.."


Kalau kau ingin tau, setiap hari aku selalu terbakar semangatnya melihatmu tersenyum pada beberapa media, kalau kau ingin tau, mengapa aku tak sepertimu, jawabannya hanya satu, "ketika kau bekerja siang dan malam untuk memperjuangkan keyakinanmu, aku termenung siang dan malam bercengkrama dengan rasa khawatirku".

Bisakah suatu hari kita duduk bersama, for a better life ?, jawabnya bisa ! "kalau kau bisa mengatasi rasa khawatirmu !"



Hi, apa kabar disana ? masihkah berlari ceria dengan mimpimu ? masihkah yakin dengan angan dan setiap papan mimpi yang dulu pernah kita rumuskan bersama ?

Aku tak ingin masa muda ini cepat berlalu, karena aku khawatir ketika aku dewasa nanti semua mimpi ini akan hilang, tak lagi aku memiliki angan untuk banyak orang, tapi sibuk dengan diriku dan kebutuhan hidup. Kau akan sibuk dengan keluarga barumu, dan aku akan sibuk dengan keluarga baruku. Kita lupa betapa bahagianya ketika kita bersama menjejak daerah pinggir pantai, berlari diatas sampah, atau sekedar mendongeng untuk anak-anak, menemani mereka bermain tanah. Rumah tangga akan menuntut banyak hal dari kita, kebutuhan hidup, makan, tinggal, pendidikan, semuanya membutuhkan rupiah yang sangat banyak. Masih adakah kita memiliki sisa energi untuk berbagi seperti masa muda dulu ? atau kita menjadi orang tua yang berebeda dan sengaja menyisihkan waktu untuk berbagi, tak peduli kita kurang atau lebih, karena menanggap sudah selesai dengan diri ?

Bagaimana kabar kampusmu ? kapankah engkau diwisuda ? sudahkah engaku menyandang gelar sarjana ? sungguh jika aku boleh jujur, aku sedih mendengar itu semua. Karena itu adalah saat dimana kita keluar dari sangkar emas yang terhampar idealis dengan bunga-bunga mimpi, akankah realitas hidup menghapus segalanya ? apakah kita kan menjadi pegawai negeri dan berpura-pura tidak tahu kalau sistim pendidikan kita bermasalah, merelakan diri masuk kedalam sistim lingkaran setan yang mengharuskan kita diam ? atau kita akan menjadi sosok pengabdi setia pada korporat asing? dan lupa bahwa negeri ini sedang menuju kebinasaan ? apakah kita akan masuk kesana demi sebuah tuntutan kesejahteraan ? aku begitu khawatir akan masa itu.

Kawan, sungguh aku ingin menangis dan tak ingin melepas hari ini, hari dimana kita bermimpi suatu hari nanti akan membuat ruang-ruang belajar informal dengan kurikulum yang tak lagi sekuler, anak-anak berkembang sesuai kebutuhan individu, kawan, aku rindu akan hari dimana kau berteriak lantang mengkampanyekan BMT, dari satu desa ke desa yang lain. Kawan aku rindu mimpi besar kita akan tetap hidup dan tidak tergerus oleh arus kehidupan. Aku tidakklah anti kemapanan, tapi aku sungguh khawatir kita tidak dapat melalui ini dengan baik. Aku bukan sosialis, tapi aku juga bukan kapitalis.

Kita harus bersiap dengan badai kehidupan yang maha dasyat itu, menguatkan iman dan terus berjalan, meningkatkan kapasitas diri dan keahlian agar tak kelaparan selagi berbagi. Aku tau hidup ini sebuah pilihan, tapi aku juga sadar hidup ini bukan homo homini lupus.

Hari ini aku mendengar perdebatan dua sudut pandang kawan, dimana phak yang pertama bersikukuh selesaikan dulu dirimu baru ketika ada energi sisa berbuatlah untuk orang lain, dan pihak kedua berpendapat, kita bisa berbagi selagi berjalan, aku tak berna berpendapat dan hanya diam menyaksikan, kelak aku akan menjadi yang mana ? akakah logika insan manusia mampu menerima pilihan saya ?

Tapi kawan, mari kita lihat gelanggang besar bernama kehidupan besar dari sudut lain, disana ada srena yang lebih besar dan lebih jahat dari kampus ? disana ada mimpi yang lebih besar, kegagalan yang lebih besar, dan juga tekanan yang lebih besar, bayangkan kawan ketika kita mampu menghadapinya dengan baik, kita akan berkarya lebih besar dan melakukan perubahan yang lebih besar.

Aku percaya kawan, Tuhan akan mengabulkan setiap do'a hambanya. "Ya Allah, aku ingin menjadi mereka yang bisa masuk dan mengambil peran dalam gelanggang kehidupan, bukan mereka yang tergerus oleh hidup."


Angin muson bertiup kencang menandakan perubahan musim, dua era yang begitu berbeda yang juga memberikan kesibukan berbeda bagi para petani, khususnya para transmigran yang sebagian besar menanam kopi, lada, juga kakau. Para petani akan sibuk menjaga ladang kala musim kemarau tiba, khawatir kalau-kalau gesekan antar dahan menghasilkan api yang dapat membakar ladang-ladang mereka, tidak sekali dua kali hal itu terjadi, sampai-sampai pemerintah menurunkan puluhan pesawat pemadam kebakaran. Lain cerita ketika musim penghujan datang, petani sawah terancam gagal panen karena banjir bandang di persawahan. Dua buah kisah yang membutuhkan antisipasi dari jauh-jauh hari.  

Perubahan musim itu mengisyaratkan pula perubahan warna hidup di keluarga Melda, bak guci yang jatuh dari meja, hatinya hancur berantakan paska ayahnya melarang Melda berhubungan dengan Dedi. Terkadang Melda bisa mengerti ayahnya, tapi terkadang ia teringat bagaimana ia telah menunggu Dedi selama empat tahun, dan itu bukan waktu yang bisa dibilang sebentar.

***

Dengan perlahan hubungan Nandita dan Bambang membaik, komunikasi diantara mereka sudah mulai terbuka, Nandita sepakat untuk membantu Bambang menceritakan yang sebenarnya ke Melda secara perlahan. Karena sampai sekarang Melda masih benar-benar  tidak bisa menerima, apa yang salah dengan Dedi ? dia santun, baik, pintar, sholeh, ya.. paket lengkap yang jarang didapatkan. Pernah suatu hari Melda membuka percakapan dengan Bambang.

“Yah, seberapa sulitkah membina perbedaan dalam suatu rumah tangga ?” tanya Melda

“Itu hal yang cukup berat.” Jawab Bambang dengan dingin.

“Tapi bukankah ayah dan ibu bisa mealuinya ? kenapa ayah tidak percaya dengan saya ?” selidik Melda.
“Sudahlah, masih banyak laki-laki lain di luar sana” nada menjawab dengan nada tinggi.

“Tapi......” sanggah Melda.



“ Piil pesenggiri itu tak lain adalah lambang kehormatan masyarakat adat Lampung yang harus dijiwai, dan dipertahankan sesuai dengan gelar yang disandang, Piil Pesenggiri itu ada empat dan merupakan keutuhan dari unsur Juluk Adek (Gelar adat), Nemui Nyimah (Menjaga Hubungan Kekeluargaan/Silaturahmi), Negah Nyappur (Suka bergaul), dan Sakai Sambaiyan (Tolong Menolong dan Gototng Royong). Orang Lampung akan disebut memiliki Piil apabila mereka sudah memenuhi keempat unsur ini, karena keempat unsur tersebut merupakan satu kesatuan/ pedoman bermasyarakat.” Terang Nandita

“Jadilah orang jawa yang njawani, falsafah jawa itu banyak benarnya, diantaranya “urip iku urup” hidup itu nyala, bias kasih manfaat untuk orang disekitar kita, “memayu hayuning bawana, ambrasta dur hangkara” hidup di dunia ini harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan, bias berantas sifat angkara murka, serakah dan tamak, “ngluruk tanpa bala, menang tanpa ngarasorake, sekti tanpa aji-aji, sugih tanpa bandha” berjuang tanpa perlu membawa massa, menang tanpa merendahkan, berwibawa tanpa mengandalkan kekuasaan, kekuatan, kekayaan, keturunan dan kaya tanpa didasari kebendaan. “datan serik lamun ketaman, datan susah lamun kelangan” jangan gampang sakit hati manakala musibah menempa diri, jangan sedih manakala kehilangan sesuatu. “aja  kuminter mundak keblinger, aja cidra mundak cilaka” jangan merasa paling pandai agar tidak salah arah, jangan suka berbuat curang agar tidak celaka. “aja milik barang kang melok, aja mangro munda kendo” jangan tergiur oleh hal-hal yang tampak mewah, cantik, indah, jangan berfikir mendua agar tidak kendor niat dan semangat.” Terang Bambang.

Begitulah Bambang dan Nandita mendidik Melda, mereka menyatukan dua unsur yang baik menjadi sesuatu yang lebih baik. Melda tumbuh menjadi gadis cantik yang pintar dan santun, Bambang dan Nandita sangat menyayanginya, terlebih karena Melda adalah satu-satunya anak mereka.

Rabu, 19 Desember 2012



Suasana pasar Bringharjo masih melekat kuat dibenak, ada kerinduan besar akan sebuah tanah kelahiran. Ibu-ibu yang ramah, batik-batik melambai, logat jawa bak nyanyian merdu di pagi hari. Benar kata orang, seindah-indahnya di negeri orang masih lebih indah di negeri sendiri. Jogja dengan segala pesonanya, alunan gamelan nan ramai, becak-becak bak simbol perlawanan ‘kawula alit’  terhadap ‘kawula elit’ yang bisa dibilang jauh dari peduli. Ketidakpedulian itulah yang menghantarkanku menjadi pesakitan, membuat Endang melakukan perlawanan terhadap diriku, pergi kembali ke pangkuan orang tuanya, dan aku sungguh tak berdaya mencegah perpisahan itu. Tak sanggup aku, setiap sisi kota Jogja bak prasasti perjuangan hidupku bersamanya. Sungguh, saat itu aku begitu yakin sama sekali tak akan merindukan kota tua ini. Tapi salah, anak rantau tetaplah rantau. Namun pepatah jawa tetaplah menjadi filosofi yang harus saya junjung tinggi. Dimana bumi dipijak, disana langit dijunjung.

Inilah lukisan hidupku, antara gradasi warna-warni cita, cinta dan asa dibawah kanvas langit. Bersamanya terhampar dua pulau yang bertetangga, Jawa dan Sumatra, yang kalau orang-orang tua sering menyebutnya sebagai Sumantera. Terhampar pula sebuah selat yang proses pembentukannya cukup fenomenal, gunung api krakatau yang debunya pernah menghujani dunia. Dongeng-dongeng inilah yang kelak semakin mengakrabkan anak cucu kita dengan masa lalu. Mesin waktu yang mampu mengejawantahkan imajinasi masa lalu nenek moyang mereka. Dongeng lintas pulau, dari Jawa hingga Sumatera, Kisah cinta dua kota, Jogja adalah masa laluku dan Lampung adalah masa kiniku.

Merekahlah mawar baru dalam episode drama kehidupan seorang Bambang, Endang telah menjadi mawar yang pot’nya telah kukembalikan pada yang menanam, ia akan terus merekah bersama kiriman air hujan dari langit. Dan kini mawar baru harus kujaga. Sepanjang waktu, dengan segenap hatiku. Walau perbedaan warna dirinya dan diriku lebih kontras dari merah dan putih, namun aku yakin, bibit primordialisme itu mampu kuredam dengan cinta dan do’a. Dengan ikatan suci yang diajarkan oleh manusia suci bernama “Muhammad”. Ikatan suci ini akan menyatukan merah dan putih menjadi “merah-putih” yang merdeka, merdeka bersama menghadapi masa depannya.

Kelak aku dan Nandita akan menjadi symbol perlawanan terhadap primordialisme, Mengeja resah bersua rindu, menanti api membakar dahsyat. Suara resah tanda rindu, menanti ide membakar semangat. Kisah cinta multicultural seharusnya bias lebih fenomenal dibanding Romeo dan Juliet. Asli Indonesia, produk masalah negeri sendiri, Lutan kisah… menuai rindu. Inilah kisah cintaku, dan biduk perahu siap berlayar.
“Mas…” suara Nandita membuyarkan lamunanku terkait masa lalu.

“makan dulu, saya sudah buatkan masakan kesukaanmu, sayur asem, ikan asin, dan sambel terasi… ada gudeg juga, sesekali aku ingin mengobati rindumu dengan kampung halaman…” terangnya.

Sungguh aku bersyukur memiliki mawar seanggun Nandita.

“mas.. tadi ada surat dari adikmu di jogja...” ucap Nandita

“oh ya ? apa kabar Jogja, nanti setelah makan aku baca” jawabku.

“mas, kapan aku dikenalkan dengan keluarga Jogja ? baru sekali aku bertemu mereka, pas pernikahan kita saja, aku tak ingin anak kita nanti tak mengenal keluarga ayahnya.” Jelas Nandita.

Aku bingung menjawab pertanyaan Nandita, bukan aku tak mengijinkannya pulang ke Jogja, namun luka masa laluku masih belum lekang oleh waktu. Aku juga tak mampu membayangkan bagaimana mengenalkan Nandita dengan anakku disana. Bagaimana reaksinya ? aku tak rela jika  masa-masa indah ini harus diusik lagi.

“suatu hari aku asti menunjukkanmu betapa indahnya Jogja, sabar ya..” jawabku sekenanya. Segera kuselesaikan makanku dan meraih sepucuk surat di meja tamu. Setidaknya u akan sedikit mengobati rinduku dengan keluarga disana.

Minggu, 04 November 2012


Pertanyaan ini muncul setelah saya mengikuti seminar "sastra perbandingan" dari masyarakat sastra Asia Tenggara yang bekerjasama dengan Radar Lampung. Acara itu cukup wow, banyak sastrawan hadir, sampai-sampai kami para mahasiswa harus duduk lesehan dibawah untuk menyimak dua pembicara yang sudah go internasional di bidang sastra itu.

Acara semakin nyastra banget paska dibuka ada penampilan puisi yang berkisah tentang orang kecil dan orang besar dengan iringan biola. wow ! amazing !!!

Pramudya Ananta Toer adalah seorang penulis sastra serius, beraliran sosialis, bisa dibilang novelnya berat untuk dibaca, sebut saja empat buah novel pinjaman yang hinggap di rak buku kosan, baru saya sentuh satu bab. Namun tak dapat dipungkiri, sastra ini lebih teguh terhadap nilai dan tidak memikirkan aspek kapital. Mereka tidak peduli sedikit atau banyak yang akan membaca, hanya mencoba mencerahkan.

Selanjutnya, sebut saja Dewi Lestari dengan aliran feminisnya. Sastrawan beraliran liberal ini telah melahirkan banyak novel-novelnya yang cukup amazing dan booming pada masanya. novel ini cenderung fulgar berbicara dengan sudut feminisme. Saya pernah membaca satu novel yang berjudul "petir" dan memang ada adegan dengan tanda "kutip".

Membendung arus sastra feminis. Habiburrahman El-Shirazy hadir dengan novel berjudul ayat-ayat cinta. Sebuah novel percintaan dengan latar belakang Islam ini mampu leading untuk melahirkan novel-novel baru dengan genre serupa. Lalu apakah ini bagian dari dakwah islam ? hal inilah yang menggelitik di otak saya sekarang, karena biar bagaimanapun yang berdiri dibalik novel islami populer adalah seorang kapitalis yang mencoba meraup keuntungan lewat penjualan novel.

Berbeda dengan novelis serius seperti pram, para penulis novel populer cenderung memperhatikan aspek pasar ketimbang aspek muatan. Lalu bagaimana pendapat anda sebagai umat islam ? yahhh.... mungkin sekali-kali kita perlu melakukan kajian terkait ini dengan mengundang ustadz. bukankah kita tidak boleh menjual ayat Allah ???

Disatu pihak novel bergenre islam berperan membendung arus novel feminis, namun dilain pihak juga dipertanyakan konsep perdagannya.. Terlebih dengan kemasan sampul yang dibuat menjual dengan menampilkan keindahan mata seorang wanita, dll. 

Senin, 29 Oktober 2012

menyapa sehangat mentari di musim dingin...
melambai seramah daun nyiur yang diterpa angin..
mengalun bak hujan dan nyanyian sang katak..

begitu merdu lakumu...
begitu santun karyamu..

hingga...

kaki kaki kecil berlari dihias tawa..
pasar-pasar menjadi sosial media...
optimisme radio, tv, dan koran...
menggerogiti seisi negeri,

teruslah melaju : aktivisku !

Senin, 22 Oktober 2012

kau adalah daun pohon lontar
menyimpan begitu banyak tulisan
hingga banyak berbondong untuk belajar


Senin, 27 Agustus 2012

28 Agustus 1990

Ia lahir dengan cara yang biasa, memanggil bidan kerumah untuk menyambutnya hadir didunia, tidak mengenal rumah sakit, apalagi operasi sesar. Lahir dari ibu yang biasa-biasa saja, mahasiswa jurusan matematika tingkat akhir dari sebuah universitas swasta biasa di kota kecil yang biasa pula. Ayahnya juga hanya lulusan SMA biasa. Berprofesi sebagai buruh tukang dari rumah kerumah, serba biasa, satu-satunya hal yang terlihat luar biasa adalah namanya. “Raisa”, nama yang terbiasa dipakai oleh perempuan. Ia laki-laki, tapi ayahnya memberi nama ini, gubahan dari kata “rasa” dalam bahasa Indonesia, si pemberi nama berharap anak ini bisa memahami “rasa” dalam hidupnya kelak.

***

28 Agustus 1991

Ia tumbuh seperti anak-anak biasa, dibawah asuhan khas ibu-ibu di desa, belajar tengkurap, duduk, rambatan, berjalan, hingga berlari. Happy birthday !! satu tahun ia menjalani kehidupan normal yang biasa dilalui oleh bayi-bayi lainnya. Baru belajar berbicara seperti anak-anak lain, berceloteh, sesekali memegang pinsil dan melukis garis-garis yang begitu biasa bahkan seperti tak bermakna, ia hanya ingin menulis, tapi tak tau apa itu menulis. Ia mengenal buku, tapi tak tau apa itu buku, ia merobeknya, seperti yang dilakukan anak-anak kecil sebayanya.

***
28 Agustus 1994

Ia masuk TK ! Raisa Putra Wibawa sudah bersekolah, sama seperti anak lainnya, mengenal A hingga Z, dari 0 hingga 9, dari kepala pundak lutut kaki hingga kasih ibu kepada beta. Setiap jum’at pagi senam bersama dan siangnya makan snack-snack ringan yang sebelumnya dibuka dengan do’a Allahuma bariklana fiima rajaktana waqinaa adzabannar. Setelahnya ia pulang beramai-ramai dan bersama-sama dengan yang lainnya. Teman-teman sebayanya.

***

28 Agustus 1997

Ia tak lagi belajar sambil bernyanyi, ia tak lagi cengeng, berseragam merah hati dengan gagahnya, nilai matematikanya biasa-biasa saja, berkisar dari enam hingga tujuh, tak jua bertambah, terkadang ayahnya dibuat emosi kala mengajarinya, apalagi ketika diajak membaca, ia begitu malas, sering ia menceritakan gambar apa yang dilihatnya, bukan apa yang diceritakan oleh kata-kata yang terangkai disana. Ingin tumbuh menjadi anak sholeh seperti anak-anak lainnya, ayahnya memasukkannya ke TPA, tepat kemarin malam ia diwisuda, nilainya benar-benar biasa, tajwid, siroh, fiqh, do’a-do’a pukul rata pangkal enam, hanya beda tipis antara enam koma dua hingga enam koma tujuh. Ayahnya begitu sabar menanamkan aqidah, karena menurut sang ayah, itulah bekal terpenting untuk hidupnya kelak.

***
28 Agustus 2003

Kini ia sudah remaja, sama seperti orang tua lain, ayah dan ibunya berharap ia rajin belajar dan berprestasi, alangkah senangnya kedua orangtuanya ketika mengetahui ia terpilih mewakili olimpiade fisika disekolahnya, berharap pulang membawa medali emas. Tapi ternyata keliru, Raisa sama sekali biasa, ia terpilih karena ada kursi kosong dan tidak ada yang menempati, sebuah kebetulan belaka ! untuk sekedar numpang nama sebagai peserta olimpiade fisika tingkat SMP. Ha ha ha… Raisa masih belum berubah.. dia benar-benar biasa.. satu-satunya hal yang luar biasa adalah namanya yang anggun itu.

***


28 Agustus 2008

Ditengah hiruk pikuk pengumuman hasil UN SMA, ia tersenyum seperti biasanya, memasrahkan nasib, karena ia tau ia benar-benar tidak bisa Fisika, jika tidak lulus, berarti ia masih bisa bermain basket dilapangan sekolah, lari pagi bersama teman-teman satu kosan, dan bertemu dengan Pak Guwadi, guru SMA kesayangannya itu. Namun takdir Ilahi berkata lima koma lima, ia lulus dengan nilai Fisika lima koma lima dan masuk diperguruan tinggi didaerahnya yang dipandang biasa oleh teman-teman SMAnya. Ia berkuliah di FKIP yang konon katanya grade’nya tidak setinggi Kedokteran, Hubungan Internasional, atupun jurusan lain, ia berfikir begitu sederhana, juga memilih jalan hidup yang sederhana, ingin menjadi guru, mengajar di desa, memiliki rumah kecil dengan halaman luas dan setiap sore anak-anak dan remaja datang kesana untuk belajar sambil bermain dan bercengkrama diantara bunga-bunga yang mereka tanam dan rawat bersama-sama.

***

28 Agustus 2011

Lama dan orang tuanya sudah bertanya setiap ia pulang, kapan kamu lulus ??? teman-teman sebanyanya sudah lanjut S2 atau mendapat pekerjaan yang mapan dengan gaji yang menjanjikan. Beberapa diantaranya yang belum lulus juga memang sengaja membangun karier politik untuk kemudian melonjat menjadi anggota legislatif atau pejabat eksekutif. Dia benar-benar biasa, IPKnya pas-pasan, tanpa alasan padat organisasi atau kerja, sering diledek oleh teman-temannya sebagai koordinator PMDK alias persatuan mahasiswa dua koma. Organisasipun tak seberapa, beberapa kali tercatat sebagai staff Badan Eksekutif dan terakhir ia mundur dari keanggotannya sebagai anggota perwakilan mahasiswa. Ia memutuskan berhenti berdemo dan menjadi aktivis mahasiswa, sama sekali berbeda dengan presiden mahasiswa yang dikenal dan dielukan banyak orang, yang selalu menjadi sebuah icon perjuangan. Hanya sesekali ia bermain ke pinggir kota, bernyanyi dan bercerita bersama anak-anak disana. Tak sedikit yang menyayangkan perbuatannya itu, buang-buang waktu, bukan suatu aktivitas yang mengahasilkan pengakuan publik. Tidak jelas apa yang ia dapat, sibuk, namun tak ada hasil. Sama sekali tak kumengerti akan jalan pikirannya yang begitu biasa !



***

28 Agustus 2015

Bongkahan salju bulan Agustus di Kolumbia yang begitu putih membuatku tinggal dirumah lebih lama, cuacanya lebih hangat ! hari minggu biasanya kami habiskan untuk berkeliling atau berkunjung kerumah teman, tapi dinginnya cuaca membuat kami enggan keluar. Aku seharian dirumah, dan yang paling tidak mengenakkan aku ribut dengan suamiku dari pagi. Tak begitu penting apa masalahnya, hanya saja ia terlalu biasa, ketika melakukan kesalahanpun tidak bilang ma’af dan menganggap hal itu sederhana, tidak perlu diperumit. Aku diam seharian. Malam harinya aku berniat tidur cepat dan masih belum angkat bicara. Hingga aku menemukan sebuah kotak berbungkus kertas kado berwarna putih dan berpita hijau. Setelah kubuka ternyata berisi sebuah buku harian yang menceritakan hari-hari penuh warna bersama seorang istri yang ia jumpai lima bulan lalu. Aku membaca perlahan hingga tenggorokanku tercekat pada kalimat “hari ini kami bersama namun jauh, kami dekat namun tak ada tawa, kemarin aku menghapus tugas kuliahnnya secara tidak sengaja dan alhasil hari ini aku tak ditegur sampai sore ! padahal niat bercanda, mohon ma’af ya istrikuuu….” Kulihat didasar kotak ada sebuah CD berisi tugasku ! dasar garing !! gak romantis sama sekali. Norak ! benar-benar biasa dan kutinggal tidur begitu saja.
***

28 Agustus 2018

Tak ada lagi salju, tak ada lagi pertengkaran, kami kembali keIndonesia yang hangat dan ramah, rumah kami juga hangat karena ramai diwarnai oleh tawa anak-anak. Bukan hanya anak-anakku, tapi juga anak-anak tetangga dan anak-anak lainnya. Rumah kami kecil, halamannya luas, suamiku merintis yayasan sendiri dan menolak untuk berkiprah dikancah politik, beberapa kali diminta menjadi dosen di beberapa perguruan tinggi swasta ia juga menolak. Juga ketika ada yang menawarinya pindah ke Ibukota, ia memilih untuk hidup di daerah “Ada yang salah dengan pendidikan negeri ini, dan aku ingin melakukan perubahan sebelum aku mati” ujarnya padaku. Bisa diakui hidup kami biasa-biasa saja, saya juga tidak protes, karena itu sudah resiko dinikahi orang yang biasa-biasa saja. Ia sibuk mengurus yayasannya sendiri,  kecil-kecilan, mulai dari lembaga zakat, BMT, taman baca, komunitas anak muda, hingga pemberdayaan tetangga kanan-kiri. Kami memproduksi komoditas lokal. Mengembangkan sebuah konsep education tourism.

***

28 Agustus 2030

Tak pernah kubayangkan ini sama sekali, berdiri diantara pemimpin dunia, mewakili dunia islam, mengutarakan sebuah gagasan tentang pendidikan, sumber daya manusia, dan kesejahteraan. Bagaimana sebaiknya anak-anak usia dini dididik, bagaimana mengarahkan remaja, dan bagaimana masyarakat biasa bisa berdaya guna begitu maksimal dan saling mensejahterakan. Ini semua berbicara tentang counter proposal pendidikan yang salah. Ini berbicara tentang pendidikan yang membebaskan. Raisa benar-benar bisa merasakan “rasa”. Merasakan apa yang dirasakan masyarakat, dan merasakan apa yang sebaiknya dilakukan. Ia memilih jalan hidup yang biasa dan sederhana, sama sekali bukan siapa-siapa, karena ia hanya mensyukuri “potensi kecil dalam dirinya” dan melakukan kebermanfaatan atas apa yang ia punya. Seharusnya teman-teman yang dulu memiliki IPK lebih besar darinya, terlahir dari keluarga kaya, menjadi icon aktivis, mampu memberikan sumbangsih yang lebih besar dan menjadi sangat fantastis. Bukankah ketika mati semua hal terputus kecuali 3 hal, anak sholeh, amal jariyah, dan ilmu yang bermanfaat. Lalu apa yang sebaiknya dilakukan ? Menjadi istri seseorang yang “biasa” benar-benar menjadikanku seorang Ny. Assyifa Wibawa yang luar biasa. Thanks God !

Sabtu, 16 Juni 2012


Keinginan untuk menuliskan ini diawalai ketika hanif bilang "ce, masak yuukzz..." "masak apa?? gk ada yang bisa dimasak.." "ada...! ayo geh kedapur..." "cuma ada kubis," "kita bwt suup yuukz..." "eh... diiris tipis-tipis kaya mie enak nie kaya'nya". and... "awsome taste.... !! i never thought klw rasanya akan seenak itu.. kubis yang dimasak dalam keterbatasan, memberikan rasa bahagia dan hangat... namun terkadang mengalir rasa sedih dalam setiap suap rasanya... mungkin ini sup kubis ternikmat yang pernah saya rasa... sesuatu yang sulit terulang.. bukan hanya krn rasa dilidah.. tp juga awsome taste yang menyentuh hati dengan perlahan....

***

dulu, saya punya kakak, punya mb, punya rumah, dan belajar menjadi kakak.. rentang-rentang momment bahagia, belajar, hingga konflik yang tak terhapuskan begitu saja.

***

dulu, aku dan dua sahabatku mengikuti sebuah pelatihan dibulan puasa, sesuatu yang kami anggap mampu menghantarkan kami pada kedasyatan dunia kampus, hal terindah yang teringat saat itu adalah ketika saya harus syok terapi krn terus ditekan untuk hafalan dan juga manajemen aksi hujan-hujanan di bulan ramadhan... itu aksi pertamaku, walau bukan sebuah aksi sungguhan...

***

masih pada kisah ramadhan, kami menjerit bahagia di depan gedung G krn dosen kami ndk masuk, itulah pertama kali kami mengenal sebuah rumah peradaban di cengkeh sana... kami berjalan gontai bertiga, dengan tergopoh, walau kami sampai sana, sebagian sudah pulang, itulah kisah kami kala itu...




saat itu ramadhan., perasaan bercampur aduk tak karuan, antara kasihan, jengkel, menahan kesabaran, dan ingin marah, itu kali pertama aku benar-benar terjun bersama anak-anak jalanan.... berbagi ta'jil dan baju lebaran...

***

dulu kami membanggakan kecerdasan senior-senior kami, diskusi-diskusi berat yang sebenarnya saya juga ndk ngerti ngomongin apa, yang menurutku hanya berputar-putar tanpa aturan...

***

dulu aku menyaksikan salah seorang sahabatku begitu bersemangat menjadi tim sukses salah satu calon presiden, sempat berkonflik, dan yang kutau hanya seruu, tnpa aku terlibat didalamnya...

***

setelahnya aku ikut sebuah aksi deklarasi, ... ahhhh !!! aku tak tahu maksudnya kala itu !!

***

aku pernah asing dirumah ini, krn aku terlalu sibuk diluar, tapi aku juga pernah merasa begitu bersahabat..,

***

malam itu begitu dingin., hari hujan di jakarta... msh kuingat secangkir teh yang terasa begitu nikmat, itulah teh ternikmat yang selama ini kuminum...

***

hahay...! saat kami harus berlari di tangga-tangga stasiun gambir, hanya berlari mengejar kereta, lupa betapa tingginya tangga itu, kami berfikir untuk berlari sekencang mungkin, dan itu hal konyol yg pernah kulakukan, entah akan pulang dengan apa, yang penting sampai dulu...

***

malam itu kami berjalan cukup jauh, malam hari, berdelapan, tujuh dari lampung... dan satu dari semarang... satu minggu menyatu dengan penduduk, sesat fikir, pencerahan, clash of civilization, mandi lumpur, rowo jombor, dan berakhir dibukit berpetir menggelegar...

***

kala itu banyak konflik, seperti ada dua kutub, tak sedikit yang tiba-tiba hilang., aku rindu malam-malam mengelola pelatihan, bahkan pernah, konsumsi, observasi, dicover oleh satu orang... masa itu pernah ada...

***

ada malam-malam dimana kami benar-benar berkonflik, ada hari dimana saya tertawa dengan akrabnya, ada waktu dimana kami belajar dewasa...

***

ada forum-forum nasional yang buatku terdiam..

***

ada juga malam, ketika kami tersesat dalam kegelapan, ada kisah siang yang mengundang tawa penuh kenangan...

***

ada rumah perubahan yang kami impikan, ada saat - saat saya harus berpamitan krn memiliki sikap beda..

***

ada keluarga.., ada purnama yang kuhitung setiap bulannya..,

***

tidakkah kau sama sepertiku ??? merasa sepi, ketika rumahmu begitu ramai oleh orang-orang baru., tidakkah kau seperti diriku yang cemburu, ketika kau memiliki kisah-kisah baru tanpaku ??? tidakkah kau sama sepertiku, mengharap sebuah kata pamit ketika akan ditinggal. tidakkah kau sama sepertiku ?? yang menganggap ini rumah dengan sebagian porsi dihatimu...

***

ada rasa tak rela ketika kau mulai berbelok dari janji-janji awal,
ada rasa tanya, masihkah kenangan ini hidup walau kita terpisah oleh ruang dan konflik.

***

kini aku asing, sebagian tercerai. sebagian terbelok, sebagian ndk mengerti bahasa hati. sejauh apapun kita hari ini, masa ini pernah ada, menjadi wadah untuk kita berproses bersama.

***

dingin... panas.... manis... tangis.... "awsome taste !!!"


###

sebelum lembaran manis ini kututup dan memulai sebuah lembaran baru, aku hanya ingin kau tau, takkan kusentuh kau, apa yang menjadi milikmu dan apa yang menjadi hakmu. ketika sebuah prasangka timbul, lebih baik kau tanyakan langsung... bukankah aku selalu pamit padamu dalam setiap langkahku ? setidaknya pamitlah ketika kau hendak beranjak pergi... hingga ada saatnya aku bisa melambaikan tangan dan mengucapkan terima kasih untuk sebuah "awsome taste" dalam sepotong kisah hidupku.














Sabtu, 02 Juni 2012










ada sebuah cerita
tentang anak-anak yang merengek belajar pada ibunya
hingga tiba masa
ia merasa haus ilmu
tak kuasa lagi ia berteriak meminta
apalagi diam menunggu

ada sebuah cerita
tentang anak-anak yang mencintai rumahnya
bercita-cita membuatnya semakin besar
menampung bayak orang
memiliki teras yang luas dengan bunga warna warni
halaman rumput yang hijau
juga majelis ilmu yang produktif

ada sebuah cerita
tentang anak-anak yang kreatif
dan media begitu cepat memberitakan
sungguh, mereka sangat nakal dan tak bisa diatur

ada sebuah cerita 
anak-anak yang diancam pergi dari rumahnya
ia menangis tersedu
mencoba menjelaskan duduk permasalahan
tapi cinta telah diterjemahkan menjadi kata
yang busuk dan penuh pembelaan

ada sebuah cerita
anak-anak yang tak patah arang
ia beranjak perlahan
menciptakan ketenangan
memalingkan dirinya dari kegaduhan
yang orang kata, itu karena mereka

ada sebuah cerita
anak-anak yang belajar memaafkan
ketika sampah dianggap lebih mulia darinya
ketika ia tak berhak lagi menceritakan kebenaran
ketika ia lelah
dan terduduk lesu

ada sebuah cerita
anak-anak yang mengucapkan salam perpisahan
pada saudara yang pernah memakinya
ia bersimbah air mata
memendam kerinduan
teringat setiap kenangan
menahan rasa 
ketika melihat yang lain dibelai lembut oleh ibu mereka
tertawa bersama
berlindung ketika hujan
berteduh dikala terik

ada sebuah cerita 
tentang anak-anak yang semakin jauh ditinggalkan
nama hanya tinggal kenangan
hingga kadang ia bertanya
semudah itukah rasa itu hilang
sesaat kabar menyapa
sembari mempersalahkan

ada sebuah cerita 
yang pada akhirnya tidak ingin kuceritakan

ada sebuah cerita
tentang rumah yang tak pernah kutinggalkan

ada sebuah cerita
tentang kawand-kawand baru

ada sebuah cerita
cerita cinta anak manusia
akan jalan yang dipilih untuk menjumpai Rabbnya