Tampilkan postingan dengan label linguistics. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label linguistics. Tampilkan semua postingan

Senin, 29 Oktober 2012

Oleh Kristian Adi Putra (Mahasiswa Pascasarjana Department of English Language and Linguistics, the University of Arizona, Amerika Serikat)




Dalam orasi ilmiah ketika pengukuhannya sebagai guru besar tetap Universitas Lampung (Unila), Prof. Ag. Bambang Setiyadi, M.A., Ph.D. mengatakan, pengajaran bahasa Inggris secara umum bisa dikatakan gagal. Hal ini disebabkan mayoritas lulusan SMA tidak mampu menggunakan bahasa Inggris untuk berkomunikasi.
KATA gagal dalam pernyataan ini sempat menimbulkan pro dan kontra, baik kalangan sesama akademisi di kampus, guru, maupun siswa-siswi lulusan SMA. Setiap pihak tentu mempunyai argumentasi masing-masing.
Pihak akademisi di kampus tidak mau dianggap menghasilkan lulusan yang tidak mampu mengajar siswa-siswi di sekolah sampai memiliki kompetensi bisa berkomunikasi secara lisan dan tulisan dalam Bahasa Inggris.
Guru bahasa Inggris merasa tidak mendapatkan apresiasi atas kerja kerasnya di sekolah, tidak berhasil, dan tak mau dikatakan tidak bisa mengajar. Sementara siswa-siswi juga berargumentasi kalau memang tuntutan pembelajaran sudah berbeda. Mereka tidak merasa perlu bisa berbicara bahasa Inggris untuk lulus dari SMA.
Dalam pengukuhan guru besar tetap Unila dari jurusan Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Unila yang selanjutnya, Prof. Dr. Patuan Raja, M.Pd. dan Prof. Dr. Cucu Sutarsyah, M.A., permasalahan ini kembali diangkat. Keduanya mengonfirmasi pernyataan Prof. Ag. Bambang Setiyadi, M.A., Ph.D. dan mengatakan kalau ujian nasional (UN) yang diamanatkan UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas Pasal 58 Ayat (2) turut berkontribusi pada kegagalan pengajaran bahasa Inggris.
UN menjebak guru untuk lebih memfokuskan diri pada kemampuan mengerjakan soal bacaan (reading comprehension). Hal ini menyebabkan guru tidak memedulikan kemampuan berbicara (speaking) siswa.
Permasalahan Proses Pembelajaran dan Indikator Keberhasilan
Bila dilihat lebih jauh, pernyataan ketiga guru besar Unila tersebut memang merefleksikan hasil pilihan pola pengajaran bahasa Inggris yang dipilih guru selama ini di SMP dan SMA. Selain itu, juga kekeliruan indikator keberhasilan pembelajaran yang selama ini dipakai. Secara umum, terdapat dua pola yang berbeda dalam pengajaran bahasa Inggris di Indonesia.
Pola pembelajaran yang pertama bertujuan membuat siswa bisa mengerjakan tes tertentu. Sementara, pola pembelajaran yang kedua bertujuan membikin siswa bisa berkomunikasi dalam bahasa Inggris.
Dalam konteks pendidikan informal, pola pembelajaran pertama umumnya bisa dilihat di lembaga bimbingan belajar seperti di Ganesha Operation (GO), Primagama, Nurul Fikri (NF), Medika Wiyata, dan Al-Qolam. Sementara, pola kedua bisa kita temui dalam proses kegiatan belajar-mengajar di lembaga kursus bahasa Inggris. Seperti EF English First, ILP, LBPP-LIA, Education Bridge, dan Intensive English Course.
Di lembaga bimbingan belajar, guru bahasa Inggris fokus membuat siswa bisa mengerjakan soal-soal seperti ujian nasional (UN) dan seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN). Materinya pun kemudian hanya sebatas mengerjakan soal tata bahasa (grammar) dan wacana (reading comprehension). Kegiatan belajar-mengajar juga disampaikan dalam bahasa Indonesia.
Hal ini tentu berbeda dengan lembaga kursus bahasa Inggris. Di EF dan LIA misalnya, tujuan pembelajaran pada umumnya didesain untuk membuat siswa bisa berbicara (speaking). Sehingga, penggunaan bahasa Indonesia di kelas pun sebisa mungkin dihindari. Memang, mereka juga mempunyai program bimbingan tes seperti TOEFL/TOEIC/IELTS. Tetapi tentu jauh berbeda dari UN dan SNMPTN. UN dan SNMPTN hanya menguji kemampuan memahami wacana dan tata bahasa. Sementara TOEFL/TOEIC/IELTS menguji semua kemampuan berbahasa; berbicara, mendengarkan, menulis, dan membaca.
Yang kemudian menjadi salah kaprah adalah guru di sekolah formal, dalam hal ini SMP dan SMA, meniru pola mengajar pada lembaga bimbingan belajar. Siswa lebih diarahkan mampu mengerjakan soal-soal reading dan grammar. Karena memang, soal-soal tersebut siswa temui di UN. Sementara kemampuan speaking dan writing, dianggap kurang sebegitu penting. Karena memang, tidak diujikan di UN dan hanya sebatas ujian praktik.
Padahal, idealnya cara mengajar yang ditiru guru di sekolah formal adalah cara mengajar di lembaga kursus bahasa Inggris. Sehingga tujuan pembelajaran bahasa, yang bertujuan membuat siswa bisa berkomunikasi dalam bahasa Inggris baik lisan maupun tulisan, dapat tercapai. Ini kemudian juga menyiratkan bahwa indikator kesuksesan siswa belajar bahasa Inggris di sekolah memang bertentangan dengan prinsip dasar pembelajaran bahasa.
Siswa yang mendapatkan nilai sempurna saat ujian praktik berbicara dan menulis dalam bahasa Inggris, tetapi memperoleh nilai yang tak memenuhi standar kelulusan UN, dianggap gagal. Sementara siswa yang mendapatkan nilai mencukupi standar UN, sementara nilainya rendah dalam ujian praktik berbicara dan menulis, dianggap lulus dan berhasil. Tentu bagi yang mengetahui, ini sesuatu hal yang miris.
Hal lain yang umumnya juga disalahinterpretasikan adalah kurikulum yang selama ini digunakan. Dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) mata pelajaran bahasa Inggris, yang memang mempunyai tendensi, disebut sebagai kurikulum berbasis teks (text based learning curriculum), guru mengasumsikan bahwa siswa harus mendapatkan porsi lebih banyak pada pemahaman wacana.
Apabila dicermati kembali, standar kompetensi yang diminta kurikulum mencakup empat kemampuan dasar berbahasa Inggris; listening, speaking, reading, dan writing. Pendekatan pembelajaran berbasis teks ini, menurut Paul Knight (2009), berasal dari konsep model systemic functional grammar yang juga sebenarnya mengarah kepada penggunaan bahasa dalam interaksi sosial.
Pendekatan pembelajaran menggunakan teks dimaksudkan agar siswa mampu memahami budaya. Di mana, bahasa itu digunakan agar siswa mendapatkan model pemakaian bahasa yang cukup (sufficient comprehensible input) yang bisa membantu proses pemerolehan bahasa (Halliday 1973). Hasil akhir yang diharapkan, tentu saja kemampuan menggunakan bahasa untuk berkomunikasi baik lisan maupun tulisan.
Kecenderungan salah interpretasi ini bisa terjadi karena banyak guru yang masih menganggap bahwa perangkat pembelajaran yang terdiri atas silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran dan materi evaluasi hanyalah berkas formalitas yang perlu disetorkan ke kepala sekolah.
Banyak bahkan kemudian yang menggunakan perangkat pembelajaran tahun-tahun sebelumnya atau memanfaatkan forum MGMP sebagai tempat berbagi perangkat pembelajaran. Sehingga, akan terdengar lucu apabila guru dalam satu kabupaten kemudian mempunyai perangkat pembelajaran yang sama. Sementara, fasilitas di sekolah di pusat kota dengan sekolah yang berada di desa sudah bisa dipastikan berbeda. Dengan demikian, perangkat pembelajaran yang digunakan idealnya juga berbeda.
Dengan anggapan perangkat pembelajaran sebagai berkas formalitas, maka yang terjadi kemudian adalah ketergantungan guru akan pemakaian buku teks dan lembar kerja siswa (LKS).
Tidak jarang bahkan, dalam kegiatan belajar-mengajar di kelas, pertemuan pertama yang dalam pemetaan pembelajaran idealnya mempelajari narrative text tetapi justru guru mengajarkan descriptive text. Hal ini bisa terjadi karena pembahasan pertama dalam buku teks adalah descriptive text dan bukan narrative text. Artinya, guru mengajar berdasar halaman dalam buku teks dan bukan berdasarkan apa yang mereka tuliskan dalam perangkat pembelajaran. Latihan yang diberikan kepada siswa pun kemudian juga berdasarkan latihan yang ada dalam buku teks dan juga LKS yang umumnya adalah soal wacana dan tata bahasa.
Apabila guru lalu mengajar hanya berdasarkan halaman di buku dan terfokus pada soal wacana dan tata bahasa, maka sudah bisa dipastikan murid tidak akan memiliki kesempatan untuk mempraktikkan penggunaan Bahasa Inggris dalam komunikasi.
Hasilnya, ketika lulus SMP dan SMA, siswa tidak mampu menggunakan bahasa Inggris secara aktif. Terlebih apabila materi dalam buku teks juga tidak sesuai dengan kemampuan siswa. Jadi memang harus di akui bahwa kesalahan pembelajaran model ini sudah terpola.
Tantangan Perbaikan
Prof. Ag. Bambang Setiyadi, Ph.D. mengatakan, kemampuan siswa berbicara umumnya juga bukan hasil pembelajaran di sekolah, tetapi pembelajaran di kursus bahasa Inggris yang diikuti siswa. Sudah barang tentu, pola pengajaran bahasa yang bertujuan untuk tes seperti di Ganesha Operation (GO), Primagama, Nurul Fikri (NF), Medika Wiyata, Al-Qolam, dll. tidak termasuk. Sementara, baik lembaga bimbingan belajar maupun kursus bahasa Inggris umumnya terdapat di pusat kota. Di Lampung, daerah yang bisa dikategorikan sudah dimasuki keduanya adalah Bandarlampung, Metro, Bandarjaya, Pringsewu dan Kotabumi.
Selebihnya, pihak pengelola kurang mau berspekulasi dengan alasan peminat yang kurang dan kesulitan mencari sumber daya manusia yang bersedia mengajar di sana. Melihat kenyataan itu, apabila guru sekolah di luar kota-kota yang ada bimbingan kursus bahasa seperti EF English First, ILP, LBPP-LIA, Education Bridge, Intensive English Course, dll. juga menerapkan pola pengajaran seperti di bimbingan belajar yang bertujuan tes, sudah bisa dipastikan bahwa persentase lulusan SMA yang tidak bisa berkomunikasi dalam Bahasa Inggris akan sangat tinggi.
Permasalahan di atas tentu adalah sebuah tantangan bagi semua pihak yang terlibat dalam pembelajaran Bahasa Inggris, terutama guru Bahasa Inggris. Guru Bahasa Inggris dituntut mampu merancang pembelajaran yang membuat siswa belajar dan menggunakan Bahasa Inggris untuk berkomunikasi.
Terkait dengan hal ini, Krashen (2000) dan Spolsky (1989) mengajukan konsep bahwa pembelajaran bahasa akan berhasil apabila didukung dengan adanya keterkaitan antara pemberian model bahasa yang cukup dan adanya lingkungan yang memungkinkan bahasa itu digunakan.
Artinya, pembelajaran kemampuan-kemampuan bahasa, seperti listening, speaking, reading dan writing, harus terintegrasi. Setelah siswa mendapatkan model penggunaan bahasa yang cukup dalam listening dan reading, siswa kemudian dilatih untuk speaking dan writing. Pemberian contoh yang cukup ini akan membantu proses pemerolehan bahasa karena siswa berada dalam keadaan kecemasan yang rendah (low anxiety) untuk memproduksi bahasa yang sedang dipelajarinya (Krashen, 2002).
Guru kemudian juga dituntut mampu memfasilitasi adanya lingkungan yang memungkinkan Bahasa Inggris digunakan. Hal ini bisa dilakukan guru dengan merancang desain pembelajaran yang melatih siswa berkomunikasi dalam Bahasa Inggris di dalam kelas dan tidak hanya terfokus pada wacana dan tata bahasa.
Asher (1994), misalkan, mengusulkan penggunaan metode Total Physical Response, model belajar memperagakan dengan gerakan badan, untuk mengajar Bahasa Inggris bagi pemula, contohnya di tingkat SD. Sementara Krashen dan Terell (1983) pada level siswa yang sama mengusulkan metode pembelajaran Natural Approach, model pembelajaran yang langsung menggunakan Bahasa Inggris dalam proses belajar.
Pada tingkat menengah, atau sama dengan tingkat SMP dan SMA, Krashen (1992) mengusulkan siswa diajar d    engan pemberian model penggunaan bahasa yang cukup (sufficient comprehensible input) melalui pembelajaran yang terfokus pada diskusi tema-tema tertentu (content-based  instruction). Hal ini akan membantu proses pemerolehan bahasa siswa di dalam kelas.
Perubahan di atas tentu tidaklah mudah dan memerlukan waktu serta penyesuaian-penyesuaian. Guru dituntut untuk terus bisa belajar dan memperbaiki proses pembelajaran yang dikelolanya. Hal ini bisa dilakukan melalui penelitian tindakan kelas (PTK), berdiskusi dengan sejawat, akademisi, siswa, buku-buku serta referensi di internet yang bisa memberikan wawasan terbaru mengenai strategi mengajar yang baik dan memungkinkan siswa berkembang sesuai dengan tujuan pembelajaran bahasa, yaitu menggunakan keterampilan (skill) berbahasa itu untuk berkomunikasi. Indikator pembelajaran kemudian idealnya juga diarahkan pada tujuan tersebut dan yang tidak lagi terbawa arus mengikuti metode mengajar persiapan menghadapi tes, dalam hal ini UN.
Memang diakui, meskipun pro dan kontra terhadap UN sudah terjadi hampir 8 tahun lebih belakangan ini, pemerintah tetap melaksanakan UN. Tetapi, dengan mempertimbangkan dampak yang dihasilkan dari penerapan kebijakan UN ini, terutama dalam pembelajaran Bahasa Inggris yang membuat siswa dan guru terjebak dalam pembelajaran wacana dan bukan berkomunikasi, maka UN memang perlu di evaluasi. Merangkum pernyataan Prof. Dr. Cucu Sutarsyah, M.A. (2012), UN memang bukanlah pembawa bencana tetapi seperti obat yang kita minum dan memiliki efek samping. Apabila UN dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas, maka kita sudah melihat sendiri bahwa dalam pelajaran Bahasa Inggris sebenarnya UN justru berkontribusi pada salah arah tujuan pembelajaran bahasa. Maka, sudah sepantasnyalah UN diganti dengan bentuk ujian yang lain yang mengukur kemampuan siswa sesuai dengan tujuan pembelajaran bahasa. 

Senin, 30 Juli 2012

Seri Ramadhan #9


Pertanyaan:

Bagi masyarakat indonesia yang diturki, ketika hidup di turki banyak dijumpai aneka mazhab. Misalnya cara shalat, kebiasaan berdzikir habis shalat, shalat sunnah bersama-sama sehabis shalat fardlu baru berdzikir. Bagaimana menyikapi perbedaan mazhab ustadz?

Jawab : 

Di Turki, madzhab yang dipegang oleh mayoritas masyarakatnya adalah madzhab Hanafi, seperti juga di Mesir. Berbeda dengan di Indonesia yang secara umum bermadzhab Syafi’i, atau di Saudi Arabia yang bermadzhab Hanbali, atau di negara-negara Arab di Afrika Utara yang bermadzhab Maliki seperti Tunisia, Aljazair, dan Maroko.

Itu adalah empat madzhab yang termahsyur, walaupun ada 5 madzhab lain yang juga besar. Masing-masing madzhab itu berbeda dalam beberapa cara ibadah. Mengapa? Padahal Rasul kita satu, Qur’an kita satu. Mengapa mereka semua tidak menurut saja dengan cara ibadah Rasulullah? Jika semuanya berteguh dengan cara-cara ibadah Rasulullah, harusnya tidak akan berbeda pendapat kan? Lalu untuk apa ada madzhab yang berbeda-beda? Apakah madzhab-madzhab itu keberadaannya hanya untuk memecah belah umat saja? Semua persoalan ini tidak akan terfahami kecuali jika kembali ke pokok ceritanya.

Semua dari Qur’an dan Rasul yang satu 

Al-Qur’an turun dalan bahasa Arab. Salah satu hikmahnya, karena bahasa Arab adalah bahasa yang paling kokoh dan perbendaharaan katanya paling luas. Misalnya, untuk sebuah kata ‘cerdas’ saja ada 4000 sinonimnya, untuk ‘singa’ ada 500 kata yang bisa dipakai, apalagi untuk ungkapan-ungkapan sehari-hari. Dengan kekokohan bahasa ini, ia dipilih Allah sebagai bahasa untuk memediatori pesan-pesan-Nya. Dan para sahabat Rasulullah adalah manusia-manusia yang paling menguasai samudera bahasa Arab ini, hingga rahasia-rahasia sastranya.  Sehingga generasi pertama muslim, adalah generasi yang sangat memahami Qur’an dalam bahasa Arab, ini faktor pertama.

Kedua, mereka hidup bersama Rasulullah, sehingga mereka mendapatkan langsung tafsiran dan instruksi semua perintah Qur’an. Itulah yang disebut Sunnah, atau sering disebut Hadist. Yaitu semua yang berkaitan dengan arahan Rasulullah untuk mempraktikan Qur’an.

Kedekatan generasi pertama dengan bahasa Qur’an dan penjelasan Rasul [Sunnah], membuat mereka mudah memahami inti ajaran Islam. Sehingga misalnya, ketika mereka mendapatkan sebuah ayat seperti ‘‘kutiba ‘alaikumushhiyâm‘’ secara bahasa artinya, ‘’telah dituliskan untuk kalian puasa’’, mereka faham bahwa status ayat itu adalah wajib atau ‘puasa wajib bagi kamu’, ditambah lagi dengan contoh langung Rasulullah yang mereka saksikan oleh mata kepala sendiri. Qur’an dan Sunnah mencukupi hidup mereka. Tidak ada yang namanya ilmu Fiqh, atau Akidah, atau ilmu-ilmu Islam yang kita kenal sekarang, karena semua itu built-in dalam diri mereka. Bukan karena mereka tidak butuh, tapi karena mereka sudah faham secara otomatis melalui teks-teks Islam [Qur’an-Sunnah]

Kebutuhan terhadap Madzhab

Dengan berlalu waktu, kemampuan linguistik untuk memahami sumber asli itu makin berkurang, bagi anak-cucu generasi sahabat itu. Sehingga mereka tidak lagi mampu memahami teks-teks Islam [Qur’an-Sunnah] secara langsung. Misalnya, jika mereka membaca ayat ‘’wa anfiqu fî sabîlillâh’’ [bernafkahlah di jalan Allah], tidak semua masyarakat muslim tahu status ayat ini, apakah bernafkah itu wajib, atau sunnah, atau mubah [boleh]? Jika wajib, kapan wajibnya? Berapa?

Oleh karena itulah mereka merasa membutuhkan sebuah perangkat. Dan perangkat itu namanya Ilmu Fiqh, secara ringkas artinya ilmu tentang detail hukum-hukum ibadah, apakah itu wajib, sunnah, mubah, makruh, atau haram.

Tapi tidak semua mampu merumuskan ilmu fiqh untuk seluruh Ibadah dalam Islam. Karena ia membutuhkan kepakaran dalam ilmu bahasa arab, logika, sejarah, hadist, dll. Maka tidak banyak yang mampu merumuskan ilmu itu.

Yang paling mahsyur dalam menuliskan ilmu fiqh secara kokoh ada empat, yaitu Imam Malik, imam Hanafi, imam Syafi’i, dan Imam Hanbali. Keempat imam inilah yang hingga saat ini banyak diikuti madzhabnya. Bukan karena hanya mereka yang mempunyai sepaket ilmu fiqh, tapi karena merekalah yang mempunyai metodologi dan pembahasan fiqh paling komprehensif.

Sejak adanya keempat imam madzhab itu di abad ke 2 hijriyyah, umat Islam awam lebih mudah mempelajari tata cara ibadah. Karena mereka hanya tinggal mengikuti arahan-arahan yang dijelaskan Sang Imam. Dan arahan-arahan itu jelas berdalilkan hadist-hadist Rasulullah dan bertanggungjawab. Berbeda dengan para pembelajar khusus, yang mempunyai kemampuan penelaahan. Mereka tidak terlalu butuh untuk mengikuti arahan-arahan keempat imam itu, karena mereka mempunyai perangkat untuk mengkaji sendiri.
Pertanyaannya, mengapa para Imam Madzhab itu bisa berbeda? Padahal misalnya Imam Syafii berguru ke Imam Malik selama 9 tahun?

Madzhab Pasti Berbeda

Perbedaan itu ada dalam metodologi pengkajian mereka. Metodologi itu disebut ilmu Ushul Fiqh. Misalnya, ayat tentang Salat. Rasulullah menjelaskan tata cara salat sepanjang hidupnya, berkali-kali, dibanyak kesempatan, di banyak situasi. Sehingga penjelasan salat itu bervariasi.  Hadist-hadist yang berhubungan dengan salat atau ibadah secara umum itu waris-terwariskan dengan teliti hingga sampai ke zaman para imam madzhab, bahkan sampai ke zaman kita.

Secara ringkas, masing-masing imam dalam madzhabnya itu menjelaskan tata cara salat sesuai dengan hadist-hadist itu. Tapi karena hadist-hasit itu banyak, perbedaan ada disini. Hadist-hadist yang dijadikan metodologi pembahasan Imam Malik mungkin berbeda dengan hadist yang diambil Syafi’i, berbeda juga dengan yang diambil Hanafi dan Hanbali. Disinilah letak perbedaannya. Baik itu dalam urusan dzikir pasca salat, puasa, haji, qurban, mandi, tidur, makan, peradilan, politik, ekonomi.

Perbedaan itu ada dalam landasan dalil yang diambil oleh para Imam Madzhab. Tapi pada dasarnya semua pandangan setiap imam itu mempunyai dalil, terlepas jika dalil-dalil itu kuat, logis, atau lemah, tidak akurat, itu lain soal. Tapi saat pembuatan ilmu fiqh itu, keempat imam madzhab telah berjuang untuk merangkum ajaran Islam sesuai metodologi pengkajiannya masing-masing.

Relevansi Madzhab di Abad 21

Ada sebuah pertanyaan yang menggelitik, apakah tata cara ibadah Islam yang agung yang luas ini hanya terbatas dan terangkum dalam keempat madzhab itu?

Tentu tidak. Karena ada madzhab-madhzab lain, misalnya madzhab Adz-Dzhâhiriyyah di Andalus Spayol. Tapi secara umum, keempat madzhab itulah yang paling mampu menjawab semua persoalan umat sepanjang zaman.

Saat ini umat Islam secara umum masih membutuhkan madzhab-madzhab itu. Karena kemampuan memahami sumber-sumber Islam secara langsung tidak lagi dimiliki oleh umat. Misalnya, seorang pengusaha yang tidak mempunyai akses dan kemampuan mengkaji literatur-literatur Islam bahasa Arab, bagaimana dia mencari penjelasan untuk menjalankan ekonominya sesuai cara Rasul? Apakah ia mencari terjemahan hadist-hadist secara acak, lalu dari berbagai keterangan hadist yang berbeda itu, ia memilih yang paling mudah. Apapun hadistnya, ia mencari hadist yang paling ringan dan cocok dengan keinginannnya. Ini tidak boleh. Karena artinya ia menjadikan Islam mengikuti seleranya, bukan mencari arahan yang terbaik lalu mengikutinya.

Sehingga bagi masyarakat umum, sebaiknya mengikuti salah satu madzhab dan konsisten dengannya. Dan disini tidak termasuk kedalam kategori taklid buta, karena madzhab-madhzab yang ada mempunyai landasan-landasan syar’i dalam setiap pembahasannya. Dari sinilah difahami mengapa bagi komunitas atau masyarakat negara tertentu memegang satu madzhab dan berbeda dengan masyarakat di daerah lain.
Dari pandangan ini, maka tidak usah aneh, jika melihat tata cara ibadah di negara lain berbeda dengan Indonesia yang mayoritasnya bermadzhab Syafi’i. Karena mungkin saja, berbedaan itu bersumber dari madzhad mereka yang berbeda, sepereti Madzhab Hanafi di Turki. Yang diperlukan hanyalah memahami, belajar menerima perbedaan, belajar mengerti sudut pandang ibadah dari madzhab lain yang semuanya bersumber dari Rasulullah. Tidak berarti semuanya benar, karena kebenaran itu hanya satu, tapi bukan manusia yang menentukan tatacara mana yang paling benar karena memang manusia tidak akan pernah tahu, hanya Allah Yang Mengetahui mana yang paling benar.

Sikap umat Islam hanyalah berusaha mencari pandangan yang dirasa paling dekat dengan ibadah Rasulullah. Jika dikalkulasi dari keempat madzhab yang ada, masih terlalu banyak persamaan tatacara ibadah dibanding perbendaannya. Terutama perbedaan-perbedaan itu bukan dalam hal-hal yang pokok, seperti tauhid, atau dakwah. Perbedaan-perbedaan itu biasanya ada dalam persoalan cabang yang detail seperti bacaan dzikir yang berbeda-beda versi sesuai hadist yang dirujuk, atau bacaan salat sebelum al-Fatihah. Bahkan jika salah satu madzhab salah mengambil dalil dalam salah satu teknik ibadah, itupun bukan persoalan besar di akhirat Insya Allah, karena Rasulullah menjelaskan jika pemilihan dalil [ijtihad] itu salah karena dalil itu tidak terlalu relevan misalnya maka ia mendapat satu pahala, dan jika benar ia mendapat dua pahala.

Kemungkinan tidak bermadzhab   

Bagi sebagian kalangan yang mempunyai kemampuan mengkaji literatur-literatur asli Islam secara sistematis, sebaiknya tidak mencukupkan dirinya dengan mengikuti salah satu madzhab saja, tapi mengkaji setiap detail persoalan ibadah, dan mencari pandangan yang paling akurat dengan perangkat ilmu yang ia miliki. Dengan begitu, ia lebih yakin, bahwa ibadah-ibadah yang ia lakukan tidak sekedar mengikuti kesimpulan yang diambil 13 abad yang lalu oleh para Imam madzhab, tapi karena ia mengkaji secara ilmiah dalam forum ilmiah, dalil mana yang terbaik. Oleh karena itulah Hasan al-Banna mengatakan dalam Kumpulan Risalahnya ‘’Setiap muslim yang belum mencapai kemampuan telaah terhadap dalil-dalil hukum furu’ (cabang), hendaklah mengikuti pemimpin agama. Meskipun demikian, alangkah baiknya jika -bersamaan dengan sikap mengikutnya ini- ia berusaha semampu yang ia lakukan untuk mempelajari dalil-dalilnya. Hendaknya ia menerima setiap masukan yang disertai dengan dalil selama ia percaya dengan kapasitas orang yang memberi masukan itu. Dan hendaknya ia menyempurnakan kekurangannya dalam hal ilmu pengetahuan Jika ia termasuk orang pandai, hingga mencapai derajat penelaah…..perbedaan pendapat dalam masalah fiqih furu’ (cabang) hendaknya tidak menjadi faktor pemecah belah dalam agama, tidak menyebabkan permusuhan dan tidak juga kebencian. Setiap mujtahid [yang melakukan ijtihad] mendapatkan pahalanya. Sementara itu, tidak ada larangan melakukan studi ilmiah yang jujur terhadap persoalan khilafiyah dalam naungan kasih sayang dan saling membantu karena Allah untuk menuju kepada kebenaran. Semua itu tanpa melahirkan sikap egois dan fanatik’’.

Saint-Etienne, 18 Maret 2012
Muhammad Elvandi, Lc.

Jumat, 01 Juni 2012

Kemarin saya sempat terjebak dalam sebuah diskusi yang cukup hangat dengan dosen sosiolinguistic saya, sayangnya saat itu saya merasa tidak enak dengan teman-teman yang lain sehingga terpaksa menyudahinya. saya pernah mendengar suatu pendapat dari salah seorang senior saya di KAMMI yang meyatakan bahwa salah satu penunjang berdirinya peradaban suatu bangsa adalah bahasa, dan beberapa saat yang lalu saya juga sempat mendengar pidato seorang anies baswedan mengenai "berbahasa satu-bahasa Indonesia" yang pada akhirnya mampu menyatukan semangat pemuda dari seluruh nusantara untuk mendapatkan kemerdekaannya. 

Bahasan pada mata kuliah kali ini cukup menarik, yaitu syarat-syarat yang harus dipenuhi suatu bahasa untuk menjadi bahasa negara. Dosen saya menjelaskan bahwa syarat suatu bahasa menjadi bahasa negara yaitu harus memiliki bayak penutur dan  menjadi lingua franca, hal ini juga dipengaruhi oleh aspek budaya, kondisi sosiologis masyarakat, dan tentu saja political power saat itu.

Menurut wikipedia, lingua franca diartikan sebagai sebuah istilah linguistik yang artinya adalah "bahasa pengantar" atau "bahasa pergaulan" di suatu tempat di mana terdapat penutur bahasa yang berbeda-beda.sehingga bahasa yang memenuhi syarat lingua franca mampu menjadi alat komunikasi dinegara tersebut. seperti bahasa indonesia yang pada akhirnya menjadi bahasa persatuan, karena kondisi sosiologis masyarakat pesisir saat itu yang banyak menjadi penutur bahasa melayu, hingga pada akhirnya bahasa ini memenuhi syarat sebagai lingua franca dan menjadi bahasa persatuan. 


Disaat seperti itu salah seorang teman saya bertanya dari belakang "bu, kenapa bahasa inggris bisa menjadi bahasa internasional ?" dan sederhana saja dosen saya menjawab dengan mudah "karena memenuhi syarat lingua franca, bahasa inggris memiliki bayak penutur" seketika itu juga saya berpendapat "ditambah juga political power barat yang saat itu sedang kuat" namun dosen saya tidak mengiyakan argumen saya "tidak juga, itu karena faktor sosiologis, karena saat itu orang-orang inggris menginvasi beberapa daerah dengan pelayaran, seperti cristoperus columbus yang saat itu berlayar ke benua amerika dan mengenalkan bahasa inggris" dan disaat itu saya menyanggah pernyataan dosen saya, "salah satu faktor yang menguatnya pertambahan penutur bahasa inggris juga keruntuhan turki utsmani sebagai simbol kekhilafan islam terakhir, dan bangkitnya peradaban barat, berdirinya negara sekuler, dihapuskannya bahasa arab dan disosialisasikannya bahasa inggris" namun saat itu dialog saya  hanya berhenti dengan argumen terakhir dari dosen saya " tidak juga, barat telah merintisnya dari masa renaisans, dan banyak ilmu pengetahuan ditulis dalam bahasa inggris"

Dialog itu cukup membuat saya berfikir dan membantah jasa seorang cristoperus columbus serta renaisans dalam menyebarkan bahasa inggris, karena islam pernah memiliki imperium besar hingga menguasai 2/3 dunia, banyak buku-buku ditulis dalam bahasa arab, bahkan buku-buku sains yang hari ini ditulis dalam bahasa inggris, yang begitu diagung-agungkan oleh dosen saya sebagai salah satu syarat bahasa inggris meenuhi lingua francanya. buku-buku yang banyak diantaranya merupaka salinan dari buku-buku pada masa pradaban islam dan hilang disaat peradabannya runtuh. Semua itu diklaim kembali sebagai penemuan barat ditambah dengan pengkaburan sejarah masa lalu, hilang sudah kisah kejayaan bahasa arab.




Hmmm.... dialog bahasa dan peradaban, tiba-tiba saya kembali terngiang ketika mustafa kemal pasha memenangkan kancah politik dengan merubah turki menjadi negara sekuler serta mengganti bahasa sekolah dari bahasa arab menjadi bahasa inggris, hal ini menujukkan bahwa kekuatan politik mampu merekayasa sendiri lingua francanya dan bukankah secara tidak langsung mustafa kemal pasha dan orang-orang dibelakangnya juga mengakui bahwa bahasa adalah salah satu syarat utama dari sebuah imperium baru ? dan sejenak saya berfikir sebaliknya... bisakah lingua franca merekayasa kondisi politik ??? seharusnya bisa ! tepat seperti pendapat dosen saya, kita memulainya dari kondisi kultural dan sosiologis  dengan menambah penutur bahasa tersebut, sehingga memenuhi syarat lingua franca hingga pada akhirnya menjadi salah satu syarat dari bangkitnya sebuah peradaban. hufffttt... entahlah, yang jelas mata kuliah sosiolinguistic ini semakin menarik...

Kamis, 31 Mei 2012







Kamis, 29 Maret 2012


Tanggal 28 Oktober 1928 menjadi tanggal yang otentik dengan kelahiran bangsa Indonesia, proses kelahiran ini merupakan buah dari perjuangan rakyat yang selama ratusan tahun tertindas dibawah kekuasaan kaum kolonialis pada saat itu, kondisi ketertindasan inilah yang kemudian mendorong para pemuda pada saat itu untuk membulatkan tekad demi mengangkat harkat dan martabat hidup orang Indonesia asli, tekad inilah yang menjadi komitmen perjuangan rakyat Indonesia hingga berhasil mencapai kemerdekaannya 17 tahun kemudian yaitu pada 17 Agustus 1945. Gagasan penyelenggaraan Kongres Pemuda Kedua berasal dari Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), sebuah organisasi pemuda yang beranggota pelajar dari seluruh Indonesia. Atas inisiatif PPPI, kongres dilaksanakan di tiga gedung yang berbeda dan dibagi dalam tiga kali rapat. Para peserta Kongres Pemuda II ini berasal dari berbagai wakil organisasi pemuda yang ada pada waktu itu, seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Sekar Rukun, PPPI, pemuda kaum betawi, dll. Pada akhirnya para pemuda tersebut menghasilkan sebuah rumusan revolusioner yang berbunyi : Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia. Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia. Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.

Para pendiri bangsa ini adalah pembaharu yang cerdas dan revolusioner, saat itu mereka sudah berfikir untuk menyatukan ratusan bahasa yang di indonesia menjadi satu bahasa, ini merupakan gagasan yang sangat cerdas, karena satu, ini mampu menyatukan beragam budaya, agama, ras, dan golongan yang ada untuk memiliki satu kesatuan yang membudaya dalam kehidupan sehari-hari. kedua, bayangkan jika saat itu para pemuda ini tidak bersatu, tetap teguh pada ego mereka masing-masing, dan kita tidak sampai pada kesepakatan, berbahasa satu, bahasa indonesia, alangkah repotnya dokumen kenegaraan kita jika satu dokumen harus diterjemahkan kedalam banyak bahasa. Para pemuda ini juga orang-orang yang sangat revolusioner, mereka berangkat dari kultur budaya yang berbeda, mewakili golongannya dan memutuskan untuk berbahasa satu, bahasa indonesia. Bayangkan ketika mereka kembali ke kampung halaman, mereka harus menghadapi pertanyaan "kau kemanakan bahasa ibumu ???" dan tentu saja melawan suatu kultur yang telah tumbuh ratusan tahun itu tidak mudah dan hanya mampu dilakukan oleh orang-orang yang revolusioner.

Berkaca pada pemuda hari ini, yang hidup dibawah ikrar sumpah pemuda para pendahulu, yang hidup pada masa kemerdekaan ini, dan merayakan peringatan sumpah pemuda setiap tanggal 28 Oktober. Namun lihatlah kita, ruh sumpah pemuda di dalam diri kita sama sekali mati, seringkali kita berselisih paham hanya karena perbedaan golongan, atau hanya karena perbedaan kepentingan politik, hari ini setiap jiwa muda yang pada masa lalu begitu merdeka dan revolusioner banyak ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan elit, sehingga pemuda beradu pada tataran bawah, secara tidak sadar menggagap diri mereka berbeda satu dan laiinya. Sebuah cita-cita yang pada tahun 1928 adalah cita-cita yang satu, hari ini menjadi cita-cita kekuasaan untuk sama-sama mengeksploitasi negeri ini, acuh tak acuh antara satu dan yang lainnya, yang mengerti apa itu peluang akan semakin melaju, yang tidak mengerti semakin terperdaya. Alangkah mirisnya melihat realitas putra-putri bangsa hari ini, mereka tidak lagi berbahasa satu, bahasa indonesia.

Realitas ini perlu segera diselamatkan, untuk mengembalikan ruh para pemuda, negeri yang kaya akan sumber daya alam, sumber daya manusia, dan bumi sejuta sejarah ini sudah saatnya bangkit. tidak seharusnya freeport berada di tangan asing, tidak seharusnya kita membeli bahan bakar dengan harga mahal tidak seharusnya anak-anak kita kekurangan protein. laut kita menghampar luas, hutan kita hijau, perut bumi kita berisi harta berlimpah yang bisa membawa kita menjadi negara kaya raya yang super power. penduduk kita ramah dan gemar bergotong royong, ini semua tidak akan menjadikan kita bangsa yang angkuh. dan satu lagi asset berharga yang ditakutkan barat dalam buku Clash of Civilization yang ditulis oleh Samuel P.Huntington adalah sebagian besar penduduk kita muslim. Islam adalah peradaban emas yang dihapus, pada masa itu, tak ada lagi penduduk sakit sehingga tabib tak bekerja, pada masa itu tak ada lagi penduduk miskin sehingga bingung zakat akan dibagikan kemana, rasa persaudaraan sesama muslim serata perlindungan hak nonmuuslim yang kuat dan pada saat itu juga ilmu pengetahuan menemukan angka nol yang hari ini menjadi bilangan binner yang digunakan dalam dunia digital era sekarang. apalagi yang kita tunggu wahai pemuda ? apakah ego kita lebih tinggi dari masa depan negeri ini.

Sabtu, 18 Februari 2012

Oleh: Deny A. Kwary

I. Pendahuluan

Dalam berbagai kamus umum, linguistik didefinisikan sebagai ‘ilmu bahasa’ atau ‘studi ilmiah mengenai bahasa’ (Matthews 1997). Dalam The New Oxford Dictionary of English (2003), linguistik didefinisikan sebagai berikut:

The scientific study of language and its structure, including the study of grammar, syntax, and phonetics. Specific branches of linguistics include sociolinguistics, dialectology, psycholinguistics, computational linguistics, comparative linguistics, and structural linguistics.”

Program studi Ilmu Bahasa mulai jenjang S1 sampai S3, bahkan sampai post-doctoral program telah banyak ditawarkan di universitas terkemuka, seperti University of California in Los Angeles (UCLA), Harvard University, Massachusett Institute of Technology (MIT), University of Edinburgh, dan Oxford University. Di Indonesia, paling tidak ada dua universitas yang membuka program S1 sampai S3 untuk ilmu bahasa, yaitu Universitas Indonesia dan Universitas Katolik Atma Jaya.

II. Sejarah Perkembangan Ilmu Bahasa

Ilmu bahasa yang dipelajari saat ini bermula dari penelitian tentang bahasa sejak zaman Yunani (abad 6 SM). Secara garis besar studi tentang bahasa dapat dibedakan antara (1) tata bahasa tradisional dan (2) linguistik modern.

2. 1 Tata Bahasa Tradisional

Pada zaman Yunani para filsuf meneliti apa yang dimaksud dengan bahasa dan apa hakikat bahasa. Para filsuf tersebut sependapat bahwa bahasa adalah sistem tanda. Dikatakan bahwa manusia hidup dalam tanda-tanda yang mencakup segala segi kehidupan manusia, misalnya bangunan, kedokteran, kesehatan, geografi, dan sebagainya. Tetapi mengenai hakikat bahasa – apakah bahasa mirip realitas atau tidak – mereka belum sepakat. Dua filsuf besar yang pemikirannya terus berpengaruh sampai saat ini adalah Plato dan Aristoteles.

Plato berpendapat bahwa bahasa adalah physei atau mirip realitas; sedangkan Aristoteles mempunyai pendapat sebaliknya yaitu bahwa bahasa adalah thesei atau tidak mirip realitas kecuali onomatope dan lambang bunyi (sound symbolism). Pandangan Plato bahwa bahasa mirip dengan realitas atau non-arbitrer diikuti oleh kaum naturalis; pandangan Aristoteles bahwa bahasa tidak mirip dengan realitas atau arbitrer diikuti oleh kaum konvensionalis. Perbedaan pendapat ini juga merambah ke masalah keteraturan (regular) atau ketidakteraturan (irregular) dalam bahasa. Kelompok penganut pendapat adanya keteraturan bahasa adalah kaum analogis yang pandangannya tidak berbeda dengan kaum naturalis; sedangkan kaum anomalis yang berpendapat adanya ketidakteraturan dalam bahasa mewarisi pandangan kaum konvensionalis. Pandangan kaum anomalis mempengaruhi pengikut aliran Stoic. Kaum Stoic lebih tertarik pada masalah asal mula bahasa secara filosofis. Mereka membedakan adanya empat jenis kelas kata, yakni nomina, verba, konjungsi dan artikel.

Pada awal abad 3 SM studi bahasa dikembangkan di kota Alexandria yang merupakan koloni Yunani. Di kota itu dibangun perpustakaan besar yang menjadi pusat penelitian bahasa dan kesusastraan. Para ahli dari kota itu yang disebut kaum Alexandrian meneruskan pekerjaan kaum Stoic, walaupun mereka sebenarnya termasuk kaum analogis. Sebagai kaum analogis mereka mencari keteraturan dalam bahasa dan berhasil membangun pola infleksi bahasa Yunani. Apa yang dewasa ini disebut "tata bahasa tradisional" atau " tata bahasa Yunani" , penamaan itu tidak lain didasarkan pada hasil karya kaum Alexandrian ini.

Salah seorang ahli bahasa bemama Dionysius Thrax (akhir abad 2 SM) merupakan orang pertama yang berhasil membuat aturan tata bahasa secara sistematis serta menambahkan kelas kata adverbia, partisipel, pronomina dan preposisi terhadap empat kelas kata yang sudah dibuat oleh kaum Stoic. Di samping itu sarjana ini juga berhasil mengklasifikasikan kata-kata bahasa Yunani menurut kasus, jender, jumlah, kala, diatesis (voice) dan modus.

Pengaruh tata bahasa Yunani sampai ke kerajaan Romawi. Para ahli tata bahasa Latin mengadopsi tata bahasa Yunani dalam meneliti bahasa Latin dan hanya melakukan sedikit modifikasi, karena kedua bahasa itu mirip. Tata bahasa Latin dibuat atas dasar model tata bahasa Dionysius Thrax. Dua ahli bahasa lainnya, Donatus (tahun 400 M) dan Priscian (tahun 500 M) juga membuat buku tata bahasa klasik dari bahasa Latin yang berpengaruh sampai ke abad pertengahan.

Selama abad 13-15 bahasa Latin memegang peranan penting dalam dunia pendidikan di samping dalam agama Kristen. Pada masa itu gramatika tidak lain adalah teori tentang kelas kata. Pada masa Renaisans bahasa Latin menjadi sarana untuk memahami kesusastraan dan mengarang. Tahun 1513 Erasmus mengarang tata bahasa Latin atas dasar tata bahasa yang disusun oleh Donatus.

Minat meneliti bahasa-bahasa di Eropa sebenarnya sudah dimulai sebelum zaman Renaisans, antara lain dengan ditulisnya tata bahasa Irlandia (abad 7 M), tata bahasa Eslandia (abad 12), dan sebagainya. Pada masa itu bahasa menjadi sarana dalam kesusastraan, dan bila menjadi objek penelitian di universitas tetap dalam kerangka tradisional. Tata bahasa dianggap sebagai seni berbicara dan menulis dengan benar. Tugas utama tata bahasa adalah memberi petunjuk tentang pemakaian "bahasa yang baik" , yaitu bahasa kaum terpelajar. Petunjuk pemakaian "bahasa yang baik" ini adalah untuk menghindarkan terjadinya pemakaian unsur-unsur yang dapat "merusak" bahasa seperti kata serapan, ragam percakapan, dan sebagainya.

Tradisi tata bahasa Yunani-Latin berpengaruh ke bahasa-bahasa Eropa lainnya. Tata bahasa Dionysius Thrax pada abad 5 diterjemahkan ke dalam bahasa Armenia, kemudian ke dalam bahasa Siria. Selanjutnya para ahli tata bahasa Arab menyerap tata bahasa Siria.

Selain di Eropa dan Asia Barat, penelitian bahasa di Asia Selatan yang perlu diketahui adalah di India dengan ahli gramatikanya yang bemama Panini (abad 4 SM). Tata bahasa Sanskrit yang disusun ahli ini memiliki kelebihan di bidang fonetik. Keunggulan ini antara lain karena adanya keharusan untuk melafalkan dengan benar dan tepat doa dan nyanyian dalam kitab suci Weda.

Sampai menjelang zaman Renaisans, bahasa yang diteliti adalah bahasa Yunani, dan Latin. Bahasa Latin mempunyai peran penting pada masa itu karena digunakan sebagai sarana dalam dunia pendidikan, administrasi dan diplomasi internasional di Eropa Barat. Pada zaman Renaisans penelitian bahasa mulai berkembang ke bahasa-bahasa Roman (bahasa Prancis, Spanyol, dan Italia) yang dianggap berindukkan bahasa Latin, juga kepada bahasa-bahasa yang nonRoman seperti bahasa Inggris, Jerman, Belanda, Swedia, dan Denmark.

2. 2 Linguistik Modern

2. 2. 1 Linguistik Abad 19

Pada abad 19 bahasa Latin sudah tidak digunakan lagi dalam kehidupan sehari-hari, maupun dalam pemerintahan atau pendidikan. Objek penelitian adalah bahasa-bahasa yang dianggap mempunyai hubungan kekerabatan atau berasal dari satu induk bahasa. Bahasa-bahasa dikelompokkan ke dalam keluarga bahasa atas dasar kemiripan fonologis dan morfologis. Dengan demikian dapat diperkirakan apakah bahasa-bahasa tertentu berasal dari bahasa moyang yang sama atau berasal dari bahasa proto yang sama sehingga secara genetis terdapat hubungan kekerabatan di antaranya. Bahasa-bahasa Roman, misalnya secara genetis dapat ditelusuri berasal dari bahasa Latin yang menurunkan bahasa Perancis, Spanyol, dan Italia.

Untuk mengetahui hubungan genetis di antara bahasa-bahasa dilakukan metode komparatif. Antara tahun 1820-1870 para ahli linguistik berhasil membangun hubungan sistematis di antara bahasa-bahasa Roman berdasarkan struktur fonologis dan morfologisnya. Pada tahun 1870 itu para ahli bahasa dari kelompok Junggramatiker atau Neogrammarian berhasil menemukan cara untuk mengetahui hubungan kekerabatan antarbahasa berdasarkan metode komparatif.

Beberapa rumpun bahasa yang berhasil direkonstruksikan sampai dewasa ini antara lain:

1. Rumpun Indo-Eropa: bahasa Jerman, Indo-Iran, Armenia, Baltik, Slavis, Roman, Keltik, Gaulis.

2. Rumpun Semito-Hamit: bahasa Arab, Ibrani, Etiopia.

3. Rumpun Chari-Nil; bahasa Bantu, Khoisan.

4. Rumpun Dravida: bahasa Telugu, Tamil, Kanari, Malayalam.

5. Rumpun Austronesia atau Melayu-Polinesia: bahasa Melayu, Melanesia, Polinesia.

6. Rumpun Austro-Asiatik: bahasa Mon-Khmer, Palaung, Munda, Annam.

7. Rumpun Finno-Ugris: bahasa Ungar (Magyar), Samoyid.

8. Rumpun Altai: bahasa Turki, Mongol, Manchu, Jepang, Korea.

9. Rumpun Paleo-Asiatis: bahasa-bahasa di Siberia.

10. Rumpun Sino-Tibet: bahasa Cina, Thai, Tibeto-Burma.

11. Rumpun Kaukasus: bahasa Kaukasus Utara, Kaukasus Selatan.

12. Bahasa-bahasa Indian: bahasa Eskimo, Maya Sioux, Hokan

13. Bahasa-bahasa lain seperti bahasa di Papua, Australia dan Kadai.

Ciri linguistik abad 19 sebagai berikut:

1) Penelitian bahasa dilakukan terhadap bahasa-bahasa di Eropa, baik bahasa-bahasa Roman maupun nonRoman.

2) Bidang utama penelitian adalah linguistik historis komparatif. Yang diteliti adalah hubungan kekerabatan dari bahasa-bahasa di Eropa untuk mengetahui bahasa-bahasa mana yang berasal dari induk yang sama. Dalam metode komparatif itu diteliti perubahan bunyi kata-kata dari bahasa yang dianggap sebagai induk kepada bahasa yang dianggap sebagai keturunannya. Misalnya perubahan bunyi apa yang terjadi dari kata barang, yang dalam bahasa Latin berbunyi causa menjadi chose dalam bahasa Perancis, dan cosa dalam bahasa Italia dan Spanyol.

3) Pendekatan bersifat atomistis. Unsur bahasa yang diteliti tidak dihubungkan dengan unsur lainnya, misalnya penelitian tentang kata tidak dihubungkan dengan frase atau kalimat.

2. 2. 2 Linguistik Abad 20

Pada abad 20 penelitian bahasa tidak ditujukan kepada bahasa-bahasa Eropa saja, tetapi juga kepada bahasa-bahasa yang ada di dunia seperti di Amerika (bahasa-bahasa Indian), Afrika (bahasa-bahasa Afrika) dan Asia (bahasa-bahasa Papua dan bahasa banyak negara di Asia). Ciri-cirinya:

1) Penelitian meluas ke bahasa-bahasa di Amerika, Afrika, dan Asia.

2) Pendekatan dalam meneliti bersifat strukturalistis, pada akhir abad 20 penelitian yang bersifat fungsionalis juga cukup menonjol.

3) Tata bahasa merupakan bagian ilmu dengan pembidangan yang semakin rumit. Secara garis besar dapat dibedakan atas mikrolinguistik, makro linguistik, dan sejarah linguistik.

4) Penelitian teoretis sangat berkembang.

5) Otonomi ilmiah makin menonjol, tetapi penelitian antardisiplin juga berkembang.

6) Prinsip dalam meneliti adalah deskripsi dan sinkronis

Keberhasilan kaum Junggramatiker merekonstruksi bahasa-bahasa proto di Eropa mempengaruhi pemikiran para ahli linguistik abad 20, antara lain Ferdinand de Saussure. Sarjana ini tidak hanya dikenal sebagai bapak linguistik modern, melainkan juga seorang tokoh gerakan strukturalisme. Dalam strukturalisme bahasa dianggap sebagai sistem yang berkaitan (system of relation). Elemen-elemennya seperti kata, bunyi saling berkaitan dan bergantung dalam membentuk sistem tersebut.

Beberapa pokok pemikiran Saussure:

(1) Bahasa lisan lebih utama dari pada bahasa tulis. Tulisan hanya merupakan sarana yang mewakili ujaran.

(2) Linguistik bersifat deskriptif, bukan preskriptif seperti pada tata bahasa tradisional. Para ahli linguistik bertugas mendeskripsikan bagaimana orang berbicara dan menulis dalam bahasanya, bukan memberi keputusan bagaimana seseorang seharusnya berbicara.

(3) Penelitian bersifat sinkronis bukan diakronis seperti pada linguistik abad 19. Walaupun bahasa berkembang dan berubah, penelitian dilakukan pada kurun waktu tertentu.

(4) Bahasa merupakan suatu sistem tanda yang bersisi dua, terdiri dari signifiant (penanda) dan signifie (petanda). Keduanya merupakan wujud yang tak terpisahkan, bila salah satu berubah, yang lain juga berubah.

(5) Bahasa formal maupun nonformal menjadi objek penelitian.

(6) Bahasa merupakan sebuah sistem relasi dan mempunyai struktur.

(7) Dibedakan antara bahasa sebagai sistem yang terdapat dalam akal budi pemakai bahasa dari suatu kelompok sosial (langue) dengan bahasa sebagai manifestasi setiap penuturnya (parole).

(8) Dibedakan antara hubungan asosiatif dan sintagmatis dalam bahasa. Hubungan asosiatif atau paradigmatis ialah hubungan antarsatuan bahasa dengan satuan lain karena ada kesamaan bentuk atau makna. Hubungan sintagmatis ialah hubungan antarsatuan pembentuk sintagma dengan mempertentangkan suatu satuan dengan satuan lain yang mengikuti atau mendahului.

Gerakan strukturalisme dari Eropa ini berpengaruh sampai ke benua Amerika. Studi bahasa di Amerika pada abad 19 dipengaruhi oleh hasil kerja akademis para ahli Eropa dengan nama deskriptivisme. Para ahli linguistik Amerika mempelajari bahasa-bahasa suku Indian secara deskriptif dengan cara menguraikan struktur bahasa. Orang Amerika banyak yang menaruh perhatian pada masalah bahasa. Thomas Jefferson, presiden Amerika yang ketiga (1801-1809), menganjurkan agar supaya para ahli linguistik Amerika mulai meneliti bahasa-bahasa orang Indian. Seorang ahli linguistik Amerika bemama William Dwight Whitney (1827-1894) menulis sejumlah buku mengenai bahasa, antara lain Language and the Study of Language (1867).

Tokoh linguistik lain yang juga ahli antropologi adalah Franz Boas (1858-1942). Sarjana ini mendapat pendidikan di Jerman, tetapi menghabiskan waktu mengajar di negaranya sendiri. Karyanya berupa buku Handbook of American Indian languages (1911-1922) ditulis bersama sejumlah koleganya. Di dalam buku tersebut terdapat uraian tentang fonetik, kategori makna dan proses gramatikal yang digunakan untuk mengungkapkan makna. Pada tahun 1917 diterbitkan jurnal ilmiah berjudul International Journal of American Linguistics.

Pengikut Boas yang berpendidikan Amerika, Edward Sapir (1884-1939), juga seorang ahli antropologi dinilai menghasilkan karya-karya yang sangat cemerlang di bidang fonologi. Bukunya, Language (1921) sebagian besar mengenai tipologi bahasa. Sumbangan Sapir yang patut dicatat adalah mengenai klasifikasi bahasa-bahasa Indian.

Pemikiran Sapir berpengaruh pada pengikutnya, L. Bloomfield (1887-1949), yang melalui kuliah dan karyanya mendominasi dunia linguistik sampai akhir hayatnya. Pada tahun 1914 Bloomfield menulis buku An Introduction to Linguistic Science. Artikelnya juga banyak diterbitkan dalam jurnal Language yang didirikan oleh Linguistic Society of America tahun 1924. Pada tahun 1933 sarjana ini menerbitkankan buku Language yang mengungkapkan pandangan behaviorismenya tentang fakta bahasa, yakni stimulus-response atau rangsangan-tanggapan. Teori ini dimanfaatkan oleh Skinner (1957) dari Universitas Harvard dalam pengajaran bahasa melalui teknik drill.

Dalam bukunya Language, Bloomfield mempunyai pendapat yang bertentangan dengan Sapir. Sapir berpendapat fonem sebagai satuan psikologis, tetapi Bloomfield berpendapat fonem merupakan satuan behavioral. Bloomfield dan pengikutnya melakukan penelitian atas dasar struktur bahasa yang diteliti, karena itu mereka disebut kaum strukturalisme dan pandangannya disebut strukturalis.

Bloomfield beserta pengikutnya menguasai percaturan linguistik selama lebih dari 20 tahun. Selama kurun waktu itu kaum Bloomfieldian berusaha menulis tata bahasa deskriptif dari bahasa-bahasa yang belum memiliki aksara. Kaum Bloomfieldian telah berjasa meletakkan dasar-dasar bagi penelitian linguistik di masa setelah itu.

Bloomfield berpendapat fonologi, morfologi dan sintaksis merupakan bidang mandiri dan tidak berhubungan. Tata bahasa lain yang memperlakukan bahasa sebagai sistem hubungan adalah tata bahasa stratifikasi yang dipelopori oleh S.M. Lamb. Tata bahasa lainnya yang memperlakukan bahasa sebagai sistem unsur adalah tata bahasa tagmemik yang dipelopori oleh K. Pike. Menurut pendekatan ini setiap gatra diisi oleh sebuah elemen. Elemen ini bersama elemen lain membentuk suatu satuan yang disebut tagmem.

Murid Sapir lainnya, Zellig Harris, mengaplikasikan metode strukturalis ke dalam analisis segmen bahasa. Sarjana ini mencoba menghubungkan struktur morfologis, sintaktis, dan wacana dengan cara yang sama dengan yang dilakukan terhadap analisis fonologis. Prosedur penelitiannya dipaparkan dalam bukunya Methods in Structural Linguistics (1951).

Ahli linguistik yang cukup produktif dalam membuat buku adalah Noam Chomsky. Sarjana inilah yang mencetuskan teori transformasi melalui bukunya Syntactic Structures (1957), yang kemudian disebut classical theory. Dalam perkembangan selanjutnya, teori transformasi dengan pokok pikiran kemampuan dan kinerja yang dicetuskannya melalui Aspects of the Theory of Syntax (1965) disebut standard theory. Karena pendekatan teori ini secara sintaktis tanpa menyinggung makna (semantik), teori ini disebut juga sintaksis generatif (generative syntax). Pada tahun 1968 sarjana ini mencetuskan teori extended standard theory. Selanjutnya pada tahun 1970, Chomsky menulis buku generative semantics; tahun 1980 government and binding theory; dan tahun 1993 Minimalist program.

III. Paradigma

Kata paradigma diperkenalkan oleh Thomas Khun pada sekitar abad 15. Paradigma adalah prestasi ilmiah yang diakui pada suatu masa sebagai model untuk memecahkan masalah ilmiah dalam kalangan tertentu. Paradigma dapat dikatakan sebagai norma ilmiah. Contoh paradigma yang mulai tumbuh sejak zaman Yunani tetapi pengaruhnya tetap terasa sampai zaman modern ini adalah paradigma Plato dan paradigma Aristoteles. Paradigma Plato berintikan pendapat Plato bahwa bahasa adalah physei atau mirip dengan realitas, disebut juga non-arbitrer atau ikonis. Paradigma Aristoteles berintikan bahwa bahasa adalah thesei atau tidak mirip dengan realitas, kecuali onomatope, disebut arbitrer atau non-ikonis. Kedua paradigma ini saling bertentangan, tetapi dipakai oleh peneliti dalam memecahkan masalah bahasa, misalnya tentang hakikat tanda bahasa.

Pada masa tertentu paradigma Plato banyak digunakan ahli bahasa untuk memecahkan masalah linguistik. Penganut paradigma Plato ini disebut kaum naturalis. Mereka menolak gagasan kearbitreran. Pada masa tertentu lainnya paradigma Aristoteles digunakan mengatasi masalah linguistik. Penganut paradigma Aristoteles disebut kaum konvensionalis. Mereka menerima adanya kearbiteran antara bahasa dengan realitas.

Pertentangan antara kedua paradigma ini terus berlangsung sampai abad 20. Di bidang linguistik dan semiotika dikenal tokoh Ferdinand de Saussure sebagai penganut paradigma .Aristoteles dan Charles S. Peirce sebagai penganut paradigma Plato. Mulai dari awal abad 19 sampai tahun 1960-an paradigma Aristoteles yang diikuti Saussure yang berpendapat bahwa bahasa adalah sistem tanda yang arbitrer digunakan dalam memecahkan masalah-masalah linguistik. Tercatat beberapa nama ahli linguistik seperti Bloomfield dan Chomsky yang dalam pemikirannya menunjukkan pengaruh Saussure dan paradigma Aristoteles. Menjelang pertengahan tahun 60-an dominasi paradigma Aristoteles mulai digoyahkan oleh paradigma Plato melalui artikel R. Jakobson "Quest for the Essence of Language" (1967) yang diilhami oleh Peirce. Beberapa nama ahli linguistik seperti T. Givon, J. Haiman, dan W. Croft tercatat sebagai penganut paradigma Plato.

IV. Cakupan dan Kemaknawian Ilmu Bahasa

Secara umum, bidang ilmu bahasa dibedakan atas linguistik murni dan linguistik terapan. Bidang linguistik murni mencakup fonetik, fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Sedangkan bidang linguistik terapan mencakup pengajaran bahasa, penerjemahan, leksikografi, dan lain-lain. Beberapa bidang tersebut dijelaskan dalam sub-bab berikut ini.

4. 1 Fonetik

Fonetik mengacu pada artikulasi bunyi bahasa. Para ahli fonetik telah berhasil menentukan cara artikulasi dari berbagai bunyi bahasa dan membuat abjad fonetik internasional sehingga memudahkan seseorang untuk mempelajari dan mengucapkan bunyi yang tidak ada dalam bahasa ibunya. Misalnya dalam bahasa Inggris ada perbedaan yang nyata antara bunyi tin dan thin, dan antara they dan day, sedangkan dalam bahasa Indonesia tidak. Dengan mempelajari fonetik, orang Indonesia akan dapat mengucapkan kedua bunyi tersebut dengan tepat.

Abjad fonetik internasional, yang didukung oleh laboratorium fonetik, departemen linguistik, UCLA, penting dipelajari oleh semua pemimpin, khususnya pemimpin negara. Dengan kemampuan membaca abjad fonetik secara tepat, seseorang dapat memberikan pidato dalam ratusan bahasa. Misalnya, jika seorang pemimpin di Indonesia mengadakan kunjungan ke Cina, ia cukup meminta staf-nya untuk menerjemahkan pidatonya ke bahasa Cina dan menulisnya dengan abjad fonetik, sehingga ia dapat memberikan pidato dalam bahasa Cina dengan ucapan yang tepat. Salah seorang pemimpin yang telah memanfaatkan abjad fonetik internasional adalah Paus Yohanes Paulus II. Ke negara manapun beliau berkunjung, beliau selalu memberikan khotbah dengan menggunakan bahasa setempat. Apakah hal tersebut berarti bahwa beliau memahami semua bahasa di dunia? Belum tentu, namun cukup belajar fonetik saja untuk mampu mengucapkan bunyi ratusan bahasa dengan tepat.

4. 2 Fonologi

Fonologi mengacu pada sistem bunyi bahasa. Misalnya dalam bahasa Inggris, ada gugus konsonan yang secara alami sulit diucapkan oleh penutur asli bahasa Inggris karena tidak sesuai dengan sistem fonologis bahasa Inggris, namun gugus konsonan tersebut mungkin dapat dengan mudah diucapkan oleh penutur asli bahasa lain yang sistem fonologisnya terdapat gugus konsonan tersebut. Contoh sederhana adalah pengucapan gugus ‘ng’ pada awal kata, hanya berterima dalam sistem fonologis bahasa Indonesia, namun tidak berterima dalam sistem fonologis bahasa Inggris. Kemaknawian utama dari pengetahuan akan sistem fonologi ini adalah dalam pemberian nama untuk suatu produk, khususnya yang akan dipasarkan di dunia internasional. Nama produk tersebut tentunya akan lebih baik jika disesuaikan dengan sistem fonologis bahasa Inggris, sebagai bahasa internasional.

4. 3 Morfologi

Morfologi lebih banyak mengacu pada analisis unsur-unsur pembentuk kata. Sebagai perbandingan sederhana, seorang ahli farmasi (atau kimia?) perlu memahami zat apa yang dapat bercampur dengan suatu zat tertentu untuk menghasilkan obat flu yang efektif; sama halnya seorang ahli linguistik bahasa Inggris perlu memahami imbuhan apa yang dapat direkatkan dengan suatu kata tertentu untuk menghasilkan kata yang benar. Misalnya akhiran -­en dapat direkatkan dengan kata sifat dark untuk membentuk kata kerja darken, namun akhiran -­en tidak dapat direkatkan dengan kata sifat green untuk membentuk kata kerja. Alasannya tentu hanya dapat dijelaskan oleh ahli bahasa, sedangkan pengguna bahasa boleh saja langsung menggunakan kata tersebut. Sama halnya, alasan ketentuan pencampuran zat-zat kimia hanya diketahui oleh ahli farmasi, sedangkan pengguna obat boleh saja langsung menggunakan obat flu tersebut, tanpa harus mengetahui proses pembuatannya.

4. 4 Sintaksis

Analisis sintaksis mengacu pada analisis frasa dan kalimat. Salah satu kemaknawiannya adalah perannya dalam perumusan peraturan perundang-undangan. Beberapa teori analisis sintaksis dapat menunjukkan apakah suatu kalimat atau frasa dalam suatu peraturan perundang-undangan bersifat ambigu (bermakna ganda) atau tidak. Jika bermakna ganda, tentunya perlu ada penyesuaian tertentu sehingga peraturan perundang-undangan tersebut tidak disalahartikan baik secara sengaja maupun tidak sengaja.

4. 5 Semantik

Kajian semantik membahas mengenai makna bahasa. Analisis makna dalam hal ini mulai dari suku kata sampai kalimat. Analisis semantik mampu menunjukkan bahwa dalam bahasa Inggris, setiap kata yang memiliki suku kata ‘pl’ memiliki arti sesuatu yang datar sehingga tidak cocok untuk nama produk/benda yang cekung. Ahli semantik juga dapat membuktikan suku kata apa yang cenderung memiliki makna yang negatif, sehingga suku kata tersebut seharusnya tidak digunakan sebagai nama produk asuransi. Sama halnya dengan seorang dokter yang mengetahui antibiotik apa saja yang sesuai untuk seorang pasien dan mana yang tidak sesuai.

4. 6 Pengajaran Bahasa

Ahli bahasa adalah guru dan/atau pelatih bagi para guru bahasa. Ahli bahasa dapat menentukan secara ilmiah kata-kata apa saja yang perlu diajarkan bagi pelajar bahasa tingkat dasar. Para pelajar hanya langsung mempelajari kata-kata tersebut tanpa harus mengetahui bagaimana kata-kata tersebut disusun. Misalnya kata-kata dalam buku-buku Basic English. Para pelajar (dan guru bahasa Inggris dasar) tidak harus mengetahui bahwa yang dimaksud Basic adalah B(ritish), A(merican), S(cientific), I(nternational), C(ommercial), yang pada awalnya diolah pada tahun 1930an oleh ahli linguistik C. K. Ogden. Pada masa awal tersebut, Basic English terdiri atas 850 kata utama.

Selanjutnya, pada tahun 1953, Michael West menyusun General Service List yang berisikan dua kelompok kata utama (masing-masing terdiri atas 1000 kata) yang diperlukan oleh pelajar untuk dapat berbicara dalam bahasa Inggris. Daftar tersebut terus dikembangkan oleh berbagai universitas ternama yang memiliki jurusan linguistik. Pada tahun 1998, Coxhead dari Victoria University or Wellington, berhasil menyelesaikan suatu proyek kosakata akademik yang dilakukan di semua fakultas di universitas tersebut dan menghasilkan Academic Wordlist, yaitu daftar kata-kata yang wajib diketahui oleh mahasiswa dalam membaca buku teks berbahasa Inggris, menulis laporan dalam bahasa Inggris, dan tujuannya lainnya yang bersifat akademik.

Proses penelitian hingga menjadi materi pelajaran atau buku bahasa Inggris yang bermanfaat hanya diketahui oleh ahli bahasa yang terkait, sedangkan pelajar bahasa dapat langung mempelajari dan memperoleh manfaatnya. Sama halnya dalam ilmu kedokteran, proses penelitian hingga menjadi obat yang bermanfaat hanya diketahui oleh dokter, sedangkan pasien dapat langsung menggunakannya dan memperoleh manfaatnya.

4. 7 Leksikografi

Leksikografi adalah bidang ilmu bahasa yang mengkaji cara pembuatan kamus. Sebagian besar (atau bahkan semua) sarjana memiliki kamus, namun mereka belum tentu tahu bahwa penulisan kamus yang baik harus melalui berbagai proses.

Dua nama besar yang mengawali penyusunan kamus adalah Samuel Johnson (1709-1784) dan Noah Webster (1758-1843). Johnson, ahli bahasa dari Inggris, membuat Dictionary of the English Language pada tahun 1755, yang terdiri atas dua volume. Di Amerika, Webster pertama kali membuat kamus An American Dictionary of the English Language pada tahun 1828, yang juga terdiri atas dua volume. Selanjutnya, pada tahun 1884 diterbitkan Oxford English Dictionary yang terdiri atas 12 volume.

Saat ini, kamus umum yang cukup luas digunakan adalah Oxford Advanced Learner’s Dictionary. Mengapa kamus Oxford? Beberapa orang mungkin secara sederhana akan menjawab karena kamus tersebut lengkap dan cukup mudah dimengerti. Tidak banyak yang tahu bahwa (setelah tahun 1995) kamus tersebut ditulis berdasarkan hasil analisis British National Corpus yang melibatkan cukup banyak ahli bahasa dan menghabiskan dana universitas dan dana negara yang jumlahnya cukup besar. Secara umum, definisi yang diberikan dalam kamus tersebut seharusnya dapat mudah dipahami oleh pelajar karena semua entri dalam kamus tersebut hanya didefinisikan oleh sekelompok kosa kata inti. Bagaimana kosa-kata inti tersebut disusun? Tentu hanya ahli bahasa yang dapat menjelaskannya, sedangkan para sarjana dan pelajar dapat langsung saja menikmati dan menggunakan berbagai kamus Oxford yang ada dipasaran.

V. Penutup

Penelitian bahasa sudah dimulai sejak abad ke 6 SM, bahkan perpustakaan besar yang menjadi pusat penelitian bahasa dan kesusastraan sudah dibangun sejak awal abad 3 SM di kota Alexandria. Kamus bahasa Inggris, Dictionary of the English Language, yang terdiri atas dua volume, pertama kali diterbitkan pada tahun 1755; dan pada tahun 1884 telah diterbitkan Oxford English Dictionary yang terdiri atas 12 volume. Antara 1820-1870 para ahli linguistik berhasil membangun hubungan sistematis di antara bahasa-bahasa Roman berdasarkan struktur fonologis dan morfologisnya.

Salah satu buku awal yang menjelaskan mengenai ilmu bahasa adalah buku An Introduction to Linguistic Science yang ditulis oleh Bloomfield pada tahun 1914. Jurnal ilmiah internasional ilmu bahasa, yang berjudul International Journal of American Linguistics, pertama kali diterbitkan pada tahun 1917.

Ilmu bahasa terus berkembang dan semakin memainkan peran penting dalam dunia ilmu pengetahuan. Hal ini dibuktikan dengan semakin majunya program pascasarjana bidang linguistik di berbagai universitas terkemuka (UCLA, MIT, Oxford, dll). Buku-buku karya ahli bahasa pun semakin mendapat perhatian. Salah satu buktinya adalah buku The Comprehensive Grammar of the English Langauge, yang terdiri atas 1778 halaman, yang acara peluncurannya di buka oleh Margareth Thatcher, pada tahun 1985. Respon yang luar biasa terhadap buku tersebut membuatnya dicetak sebanyak tiga kali dalam tahun yang sama. Buku tata bahasa yang terbaru, The Cambridge Grammar of the English Language, tahun 2002, yang terdiri atas 1842 halaman, ditulis oleh para ahli bahasa yang tergabung dalam tim peneliti internasional dari lima negara.

Pustaka Acuan

Robins, R.H. 1990. A Short History of Linguistics. London: Longman.

Fromkin, Victoria & Robert Rodman. 1998. An Introduction to Language (6th Edition). Orlando: Harcourt Brace College Publishers.

Hornby, A.S. 1995. Oxford Advanced Learner’s Dictionary (5th edition). Oxford: Oxford University Press.

Matthews, Peter. 1997. The Concise Oxford Dictionary of Linguistics. Oxford: Oxford University Press.