Seri Ramadhan #9
Pertanyaan:
Bagi masyarakat indonesia yang diturki, ketika hidup di turki banyak
dijumpai aneka mazhab. Misalnya cara shalat, kebiasaan berdzikir habis
shalat, shalat sunnah bersama-sama sehabis shalat fardlu baru berdzikir.
Bagaimana menyikapi perbedaan mazhab ustadz?
Jawab :
Di Turki, madzhab yang dipegang oleh mayoritas masyarakatnya adalah
madzhab Hanafi, seperti juga di Mesir. Berbeda dengan di Indonesia yang
secara umum bermadzhab Syafi’i, atau di Saudi Arabia yang bermadzhab
Hanbali, atau di negara-negara Arab di Afrika Utara yang bermadzhab
Maliki seperti Tunisia, Aljazair, dan Maroko.
Itu adalah empat madzhab yang termahsyur, walaupun ada 5 madzhab lain
yang juga besar. Masing-masing madzhab itu berbeda dalam beberapa cara
ibadah. Mengapa? Padahal Rasul kita satu, Qur’an kita satu. Mengapa
mereka semua tidak menurut saja dengan cara ibadah Rasulullah? Jika
semuanya berteguh dengan cara-cara ibadah Rasulullah, harusnya tidak
akan berbeda pendapat kan? Lalu untuk apa ada madzhab yang berbeda-beda?
Apakah madzhab-madzhab itu keberadaannya hanya untuk memecah belah umat
saja? Semua persoalan ini tidak akan terfahami kecuali jika kembali ke
pokok ceritanya.
Semua dari Qur’an dan Rasul yang satu
Al-Qur’an turun dalan bahasa Arab. Salah satu hikmahnya, karena
bahasa Arab adalah bahasa yang paling kokoh dan perbendaharaan katanya
paling luas. Misalnya, untuk sebuah kata ‘cerdas’ saja ada 4000
sinonimnya, untuk ‘singa’ ada 500 kata yang bisa dipakai, apalagi untuk
ungkapan-ungkapan sehari-hari. Dengan kekokohan bahasa ini, ia dipilih
Allah sebagai bahasa untuk memediatori pesan-pesan-Nya. Dan para sahabat
Rasulullah adalah manusia-manusia yang paling menguasai samudera bahasa
Arab ini, hingga rahasia-rahasia sastranya. Sehingga generasi pertama
muslim, adalah generasi yang sangat memahami Qur’an dalam bahasa Arab,
ini faktor pertama.
Kedua, mereka hidup bersama Rasulullah, sehingga mereka mendapatkan
langsung tafsiran dan instruksi semua perintah Qur’an. Itulah yang
disebut Sunnah, atau sering disebut Hadist. Yaitu semua yang berkaitan
dengan arahan Rasulullah untuk mempraktikan Qur’an.
Kedekatan generasi pertama dengan bahasa Qur’an dan penjelasan Rasul
[Sunnah], membuat mereka mudah memahami inti ajaran Islam. Sehingga
misalnya, ketika mereka mendapatkan sebuah ayat seperti ‘‘kutiba ‘alaikumushhiyâm‘’ secara bahasa artinya, ‘’telah dituliskan untuk kalian puasa’’,
mereka faham bahwa status ayat itu adalah wajib atau ‘puasa wajib bagi
kamu’, ditambah lagi dengan contoh langung Rasulullah yang mereka
saksikan oleh mata kepala sendiri. Qur’an dan Sunnah mencukupi hidup
mereka. Tidak ada yang namanya ilmu Fiqh, atau Akidah, atau ilmu-ilmu
Islam yang kita kenal sekarang, karena semua itu built-in dalam diri
mereka. Bukan karena mereka tidak butuh, tapi karena mereka sudah faham
secara otomatis melalui teks-teks Islam [Qur’an-Sunnah]
Kebutuhan terhadap Madzhab
Dengan berlalu waktu, kemampuan linguistik untuk memahami sumber asli
itu makin berkurang, bagi anak-cucu generasi sahabat itu. Sehingga
mereka tidak lagi mampu memahami teks-teks Islam [Qur’an-Sunnah] secara
langsung. Misalnya, jika mereka membaca ayat ‘’wa anfiqu fî sabîlillâh’’ [bernafkahlah di jalan Allah], tidak
semua masyarakat muslim tahu status ayat ini, apakah bernafkah itu
wajib, atau sunnah, atau mubah [boleh]? Jika wajib, kapan wajibnya?
Berapa?
Oleh karena itulah mereka merasa membutuhkan sebuah perangkat. Dan
perangkat itu namanya Ilmu Fiqh, secara ringkas artinya ilmu tentang
detail hukum-hukum ibadah, apakah itu wajib, sunnah, mubah, makruh, atau
haram.
Tapi tidak semua mampu merumuskan ilmu fiqh untuk seluruh Ibadah
dalam Islam. Karena ia membutuhkan kepakaran dalam ilmu bahasa arab,
logika, sejarah, hadist, dll. Maka tidak banyak yang mampu merumuskan
ilmu itu.
Yang paling mahsyur dalam menuliskan ilmu fiqh secara kokoh ada
empat, yaitu Imam Malik, imam Hanafi, imam Syafi’i, dan Imam Hanbali.
Keempat imam inilah yang hingga saat ini banyak diikuti madzhabnya.
Bukan karena hanya mereka yang mempunyai sepaket ilmu fiqh, tapi karena
merekalah yang mempunyai metodologi dan pembahasan fiqh paling
komprehensif.
Sejak adanya keempat imam madzhab itu di abad ke 2 hijriyyah, umat
Islam awam lebih mudah mempelajari tata cara ibadah. Karena mereka hanya
tinggal mengikuti arahan-arahan yang dijelaskan Sang Imam. Dan
arahan-arahan itu jelas berdalilkan hadist-hadist Rasulullah dan
bertanggungjawab. Berbeda dengan para pembelajar khusus, yang mempunyai
kemampuan penelaahan. Mereka tidak terlalu butuh untuk mengikuti
arahan-arahan keempat imam itu, karena mereka mempunyai perangkat untuk
mengkaji sendiri.
Pertanyaannya, mengapa para Imam Madzhab itu bisa berbeda? Padahal misalnya Imam Syafii berguru ke Imam Malik selama 9 tahun?
Madzhab Pasti Berbeda
Perbedaan itu ada dalam metodologi pengkajian mereka. Metodologi itu
disebut ilmu Ushul Fiqh. Misalnya, ayat tentang Salat. Rasulullah
menjelaskan tata cara salat sepanjang hidupnya, berkali-kali, dibanyak
kesempatan, di banyak situasi. Sehingga penjelasan salat itu bervariasi.
Hadist-hadist yang berhubungan dengan salat atau ibadah secara umum
itu waris-terwariskan dengan teliti hingga sampai ke zaman para imam
madzhab, bahkan sampai ke zaman kita.
Secara ringkas, masing-masing imam dalam madzhabnya itu menjelaskan
tata cara salat sesuai dengan hadist-hadist itu. Tapi karena
hadist-hasit itu banyak, perbedaan ada disini. Hadist-hadist yang
dijadikan metodologi pembahasan Imam Malik mungkin berbeda dengan hadist
yang diambil Syafi’i, berbeda juga dengan yang diambil Hanafi dan
Hanbali. Disinilah letak perbedaannya. Baik itu dalam urusan dzikir
pasca salat, puasa, haji, qurban, mandi, tidur, makan, peradilan,
politik, ekonomi.
Perbedaan itu ada dalam landasan dalil yang diambil oleh para Imam
Madzhab. Tapi pada dasarnya semua pandangan setiap imam itu mempunyai
dalil, terlepas jika dalil-dalil itu kuat, logis, atau lemah, tidak
akurat, itu lain soal. Tapi saat pembuatan ilmu fiqh itu, keempat imam
madzhab telah berjuang untuk merangkum ajaran Islam sesuai metodologi
pengkajiannya masing-masing.
Relevansi Madzhab di Abad 21
Ada sebuah pertanyaan yang menggelitik, apakah tata cara ibadah Islam
yang agung yang luas ini hanya terbatas dan terangkum dalam keempat
madzhab itu?
Tentu tidak. Karena ada madzhab-madhzab lain, misalnya madzhab
Adz-Dzhâhiriyyah di Andalus Spayol. Tapi secara umum, keempat madzhab
itulah yang paling mampu menjawab semua persoalan umat sepanjang zaman.
Saat ini umat Islam secara umum masih membutuhkan madzhab-madzhab
itu. Karena kemampuan memahami sumber-sumber Islam secara langsung tidak
lagi dimiliki oleh umat. Misalnya, seorang pengusaha yang tidak
mempunyai akses dan kemampuan mengkaji literatur-literatur Islam bahasa
Arab, bagaimana dia mencari penjelasan untuk menjalankan ekonominya
sesuai cara Rasul? Apakah ia mencari terjemahan hadist-hadist secara
acak, lalu dari berbagai keterangan hadist yang berbeda itu, ia memilih
yang paling mudah. Apapun hadistnya, ia mencari hadist yang paling
ringan dan cocok dengan keinginannnya. Ini tidak boleh. Karena artinya
ia menjadikan Islam mengikuti seleranya, bukan mencari arahan yang
terbaik lalu mengikutinya.
Sehingga bagi masyarakat umum, sebaiknya mengikuti salah satu madzhab
dan konsisten dengannya. Dan disini tidak termasuk kedalam kategori
taklid buta, karena madzhab-madhzab yang ada mempunyai landasan-landasan
syar’i dalam setiap pembahasannya. Dari sinilah difahami mengapa bagi
komunitas atau masyarakat negara tertentu memegang satu madzhab dan
berbeda dengan masyarakat di daerah lain.
Dari pandangan ini, maka tidak usah aneh, jika melihat tata cara
ibadah di negara lain berbeda dengan Indonesia yang mayoritasnya
bermadzhab Syafi’i. Karena mungkin saja, berbedaan itu bersumber dari
madzhad mereka yang berbeda, sepereti Madzhab Hanafi di Turki. Yang
diperlukan hanyalah memahami, belajar menerima perbedaan, belajar
mengerti sudut pandang ibadah dari madzhab lain yang semuanya bersumber
dari Rasulullah. Tidak berarti semuanya benar, karena kebenaran itu
hanya satu, tapi bukan manusia yang menentukan tatacara mana yang paling
benar karena memang manusia tidak akan pernah tahu, hanya Allah Yang
Mengetahui mana yang paling benar.
Sikap umat Islam hanyalah berusaha mencari pandangan yang dirasa
paling dekat dengan ibadah Rasulullah. Jika dikalkulasi dari keempat
madzhab yang ada, masih terlalu banyak persamaan tatacara ibadah
dibanding perbendaannya. Terutama perbedaan-perbedaan itu bukan dalam
hal-hal yang pokok, seperti tauhid, atau dakwah. Perbedaan-perbedaan itu
biasanya ada dalam persoalan cabang yang detail seperti bacaan dzikir
yang berbeda-beda versi sesuai hadist yang dirujuk, atau bacaan salat
sebelum al-Fatihah. Bahkan jika salah satu madzhab salah mengambil dalil
dalam salah satu teknik ibadah, itupun bukan persoalan besar di akhirat
Insya Allah, karena Rasulullah menjelaskan jika pemilihan dalil
[ijtihad] itu salah karena dalil itu tidak terlalu relevan misalnya maka
ia mendapat satu pahala, dan jika benar ia mendapat dua pahala.
Kemungkinan tidak bermadzhab
Bagi sebagian kalangan yang mempunyai kemampuan mengkaji
literatur-literatur asli Islam secara sistematis, sebaiknya tidak
mencukupkan dirinya dengan mengikuti salah satu madzhab saja, tapi
mengkaji setiap detail persoalan ibadah, dan mencari pandangan yang
paling akurat dengan perangkat ilmu yang ia miliki. Dengan begitu, ia
lebih yakin, bahwa ibadah-ibadah yang ia lakukan tidak sekedar mengikuti
kesimpulan yang diambil 13 abad yang lalu oleh para Imam madzhab, tapi
karena ia mengkaji secara ilmiah dalam forum ilmiah, dalil mana yang
terbaik. Oleh karena itulah Hasan al-Banna mengatakan dalam Kumpulan
Risalahnya ‘’Setiap muslim yang belum mencapai kemampuan telaah
terhadap dalil-dalil hukum furu’ (cabang), hendaklah mengikuti pemimpin
agama. Meskipun demikian, alangkah baiknya jika -bersamaan dengan sikap
mengikutnya ini- ia berusaha semampu yang ia lakukan untuk mempelajari
dalil-dalilnya. Hendaknya ia menerima setiap masukan yang disertai
dengan dalil selama ia percaya dengan kapasitas orang yang memberi
masukan itu. Dan hendaknya ia menyempurnakan kekurangannya dalam hal
ilmu pengetahuan Jika ia termasuk orang pandai, hingga mencapai derajat
penelaah…..perbedaan pendapat dalam masalah fiqih furu’ (cabang)
hendaknya tidak menjadi faktor pemecah belah dalam agama, tidak
menyebabkan permusuhan dan tidak juga kebencian. Setiap mujtahid [yang
melakukan ijtihad] mendapatkan pahalanya. Sementara itu, tidak ada
larangan melakukan studi ilmiah yang jujur terhadap persoalan khilafiyah
dalam naungan kasih sayang dan saling membantu karena Allah untuk
menuju kepada kebenaran. Semua itu tanpa melahirkan sikap egois dan fanatik’’.
Saint-Etienne, 18 Maret 2012
Muhammad Elvandi, Lc.
0 komentar:
Posting Komentar