“ Piil pesenggiri
itu tak lain adalah lambang kehormatan masyarakat adat Lampung yang harus
dijiwai, dan dipertahankan sesuai dengan gelar yang disandang, Piil Pesenggiri
itu ada empat dan merupakan keutuhan dari unsur Juluk Adek (Gelar adat), Nemui
Nyimah (Menjaga Hubungan Kekeluargaan/Silaturahmi), Negah Nyappur (Suka bergaul), dan Sakai Sambaiyan (Tolong Menolong dan Gototng Royong). Orang Lampung
akan disebut memiliki Piil apabila mereka sudah memenuhi keempat unsur
ini, karena keempat unsur tersebut merupakan satu kesatuan/ pedoman
bermasyarakat.” Terang Nandita
“Jadilah orang jawa
yang njawani, falsafah jawa itu banyak benarnya, diantaranya “urip iku urup” hidup itu nyala, bias
kasih manfaat untuk orang disekitar kita, “memayu
hayuning bawana, ambrasta dur hangkara” hidup di dunia ini harus
mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan, bias berantas sifat
angkara murka, serakah dan tamak, “ngluruk
tanpa bala, menang tanpa ngarasorake, sekti tanpa aji-aji, sugih tanpa bandha” berjuang
tanpa perlu membawa massa, menang tanpa merendahkan, berwibawa tanpa
mengandalkan kekuasaan, kekuatan, kekayaan, keturunan dan kaya tanpa didasari
kebendaan. “datan serik lamun ketaman,
datan susah lamun kelangan” jangan gampang sakit hati manakala musibah
menempa diri, jangan sedih manakala kehilangan sesuatu. “aja kuminter mundak keblinger, aja cidra mundak cilaka” jangan merasa
paling pandai agar tidak salah arah, jangan suka berbuat curang agar tidak
celaka. “aja milik barang kang melok, aja
mangro munda kendo” jangan tergiur oleh hal-hal yang tampak mewah, cantik,
indah, jangan berfikir mendua agar tidak kendor niat dan semangat.” Terang
Bambang.
Begitulah
Bambang dan Nandita mendidik Melda, mereka menyatukan dua unsur yang baik
menjadi sesuatu yang lebih baik. Melda tumbuh menjadi gadis cantik yang pintar
dan santun, Bambang dan Nandita sangat menyayanginya, terlebih karena Melda
adalah satu-satunya anak mereka.
***
Adzhan subuh
berkumandang, Bambang bersiap ke surau, namun langkahnya tampak begitu
bersemangat, ini adalah hari-hari yang ditunggunya. Khusyuk do’a ia panjatkan
paska sholat, komat kamit membaca kalimat sakti yang mampu merubah hidup,
bahkan nasib sekalipun. Segera bergegas ia dari masjid menunggu loper Koran di
pojok pasar, saking semangatnya mas-mas loper Koran belum juga menunukkan
batang hidungnya, namun selah ada sesuatu yang amat penting Bambang rela
menunggu untuk beberapa menit.
“pagi sekali pak ?
pengumuman SNMPTN ya ?” sapa si mas-mas penjual Koran.
“iya mas, ditunggu-tunggu kok baru nongol ?” Tanya
Bambang.
“antri pak, dari
percetakaannya, hari ini cetak lebih banyak, dan jatah penjualan lebih banyak.”
Jelas si mas penjual Koran.
“yasudah, satu mas
!” potong Bambang tak sabar, seolah tidak peduli dengan penderitaan si mamas
loper Koran.
“Lampung post ?
Radar ? atau Tribun pak ?” Tanya si penjual.
“Lampost saja mas
!” jawab Bambang.
“Dua ribu saja
pak,” sahut si penjual sambil menghulurkan Koran.
Semakin tak sabar,
Bambang membaca korannya di tempat, dibukanya lembar demi lembar, dengan teliti
dicarinya nama pitri kesayangan, lama, dan semakin lama hingga akhirnya,
“Alhamdulillah…
lulus !” ujar Bambang, tanpa tersadar ia masih diperhatikan oleh mas penjual
Koran.
“Anaknya pak ?”
sahut penjual Koran.
“Iya mas, putrid
satu-satunya, sudah lama saya bermimpi anak saya bias sekolah !” jelas Bambang.
“wahhh…. Selamat
ya pak ! diterima dimana pak ?” Tanya penjual Koran dengan isyarat yang amat
sangat ingin tahu.
“Kedokteran UGM,..
saya pulang dulu ya mas, sudah ditunggu anak istri dirumah,” jelas Bambang
dengan nada bahagia.
“iya pak, sekali
lagi selamat ya pak” ucap si penjual Koran.
“sama-sama mas”
jawab Bambang singkat dan dengan langkah gontai menuju Yamaha Vega R yang ia
parkir tak jauh dari sana.
Betapa bahagianya
Nandita mendengar kabar itu, terlebih melda yang telah belajar keras sejak awal
kelas tiga sampai berat badannya turun 5 kg. Terbayang sudah kampus berkelas
dan bisa dibilang kampus favorit di negerinya itu, “tak lama lagi, almamater
coklat susu itu akan melekat dibadan” ujar Melda dalam hati.
***
Pagi itu perasaan
Nandita campur aduk saat menghantarkan keberangkatan Melda dan Bambang ke jogja
untuk mempersiapkan perkuliahan Melda. Antara bangga anaknya bias kuliah di
salah satu kampus terbaik negeri ini yang telah banyak melahirkan orang besar,
namun ia juga berat hati berpisah dengan putrid semata wayangnya. Tapi ia yakin
melda adalh anak yang mandiri dan bisa menghadapi segala sesuatunya nanti.
Ia yakin tidak
salah mendidik Melda, ia tak pernah memanjakan Melda, karena baginya memanjakan
anak sama saja meracuni anak secara perlahan, apalagi Melda adalah anak
tunggal, kepada siapa lagi ia akan berbagi beban ketika orang tuanya tiada. Nantida
membayangkan beberapa tahun lagi Melda akan pulang dengan jas putih kebesaran
para dokter, dan menjadi dokter PTT di puskesmas. Alangkah bangganya saya,
pikir Nandita.
***
“hei, gue Melda !
boleh kenalan ?” sapa Melda dengan cerianya.
“hai, gua Bunga !
boleh dong ! lu dari mana ?” Bungapun balas bertanya.
“Lampung, elu ?
anak kedokteran juga kan ?” Tanya Melda
“Gua dari
Semarang, yupz ! kita bakal satu kelas.” Jawab Bunga.
Sejak saat itu
mereka menjadi sahabat karib, masa-masa orientasi siwa baru mereka lalui
bersama, kampus UGM ini luar biasa ! seniornya cerdas-cerdas dan pintar membawa
diri. Nuansa jawa begitu kental disini, dan jangan salah, disini didominasi
anak-anak dari berbagai daerah, bukan asli Jogja, ad ayang dari Sulawesi,
Kalimantan, Sumatra, keberagaman begitu terasa.
Hari terakhir masa
orientasi kami diajak demo, Melda terbengong-bengong, karena bagi Melda demo
itu cuma gawean anak-anak Unila yang kurang kerjaan. Tapi panitian orientasi
ini begitu cerdas membakar kegelisahan kita. Ya sudahlah, yang penting seru.
Mereka melakukan long march di UGM dan
memprotes kebijakan portal kampus yang menjadikan kampus menjadi lebih
eksklusif.
“eh, da, liat
kakak itu geh, ganteng gak ?” ucap Bunga.
“yang mana ?”
Tanya Melda.
“Itu, yang paling
depan, pake kaos merah, pake kacamata, ganteng gak ?” jelas Bunga.
“oh, kak Dedi…”
jawab Melda santai.
“hah ???? kok lu
tau si Da ?” Tanya Bunga.
“Itukan kakak
tingkat kita Bunga…. Gak gaul banget si kamu, kabarnya doi juga cumlaude lho
IPKnya” Jelas Melda.
“kok lu tau
sedetail itu ?” Bungapun curiga.
“ya iyalah… kak
Dedi gitu lho ! siapa sie yang gak naksir.” Jawab Melda.
“apaaa ??? jadi lu
duluin gua ?” Tanya Bunga sambil berlagak marah.
“ma’af ya.. kamu
kurang cepet sih, malahan dia bakal jadi asisten kita untuk tutorial sebaya,”
Terang Melda.
“Baiklah… kali ini
akan kuberikan pada kawan baikku ini, tapi nanti kalau ada barang bagus lagi,
jangan coba-coba, langkahi mayatku dulu !” jawab Bunga berlaga.
Ha… ha… ha…
terdengar tawa mereka berdua.
***
Langit telah
menampakkan mega merah penuh pesonanya. Mungkin mega keindahan ada disuatu
pantai dengan panorama sunset’nya, tapi bagi Melda itu semua hanya angan,
karena ia masih terduduk diruang tutorial bersama Dedi. Tak apalah kehilangan
moment sunset untuk selamanya, kegantengan kakak tingkat satu ini sudah
mewakili segalanya, gumam Melda.
Dari tadi Dedi
menjelaskan dengan serius, namun tatapan Melda terlampau kosong dibuai agannya.
“hey.. kamu yang
disana ! sudah mengerti ?” Tanya sosok di depan tadi.
Dengan tergesa
Meda terbangun dari mimpi sorenya dan kembali ke dimensi alam nyata. “Ah… belum
kak, bisa dijelasin reaksi kimia yang terakhir ?” jawab Melda. Hufft… untung
aja gua gak begok-begok amat di mata kuliah kimia medic ini, pikir Melda.
“baguslah kalau
masih memperhatikan ! reaksi itu bla… bla… bla… “ Dedi kembali menjelaskan.
Melda kembali pada
dimensi mimpinya, kali ini lebih indah dengan sountract lagu ala Maudy Ayunda, Tiba-tiba cinta datang kepadaku…
Saat ku mulai mencari cinta….
Tiba-tiba cinta datang kepadaku…
Ku harap dia rasakan yang sama…
***
Tutorial demi
tutorial telah berlalu, Melda semakin terpesona denga kecerdasan dan ketampanan
Dedi, tidak hanya itu, Dedi juga penuh perhatian. Pernah suatu sore, hari hujan
selepas tutorial, Melda belum beranjak dari gedung kedokteran menuju hujan
reda, saat itu tiba-tiba muncul Dedi dengan paying ungunya. Melihat melda tak
berpayung, ia memberikan payungnya pada Melda dan ia berlari begitu saja
dibawah hujan.
Pernah juga ditoko
buku, saat itu Melda benar-benar dibuat malu di kasir, dompetnya ketinggalan di
kos, saat ia kelabakan akan membayar buku dengan ada, ada Dedi disana, dan Ia
meminjamkan uang untuk melda.
Pernah juga
sekali, dua, kali, tiga kali, saat Melda sedang makan siang di kantin bersama
teman-teman yang lain. Dedi datang dan turut masuk dalam obrolan dengan
teman-temannya. Melda berfikir bahwa Dedi juga merasakan apa yang ia rasakan,
tapi sudahlah, lupakan.
Padahal disana,
diruang tutorial, saat mata Melda mencari korban curi-curi pandang, ada satu
mata yang juga sedang curi-curi pandang, dan itu adalah mata Dedi.
***
Tanpa terasa
hamper empat tahun Melda mengenyam pendidikan di kampus Gajah Mada, sebentar
lagi ia akan diwisuda, suara angin disamping perpustakaan membuatnya
menerawang, mengingat masa dimana ia awal-awal masuk kampus dulu. Masa-masa ia
jatuh cinta dengan seseorang. Tapi entah pangeran hatinya itu sekaranga ada
dimana, seharusya ia sudah menjadi dokter sekarang, atau setidaknya sedang
menmpuh S2. Selama empat tahum Melda menyimpan rasa ini dalam diam.
Sudahlah, esok
ayah dan Ibu akan datang, dan akhirnya aku mendapat gelar S.Ked. Pasti mereka
sangat bahagia menyaksikan semua ini, apalagi hamper bisa dipastikan, Melda
menyandang lulusan terbaik Fakultas.
***
“wahh…. Ayah
bangga dengan anak ayah !” ujar Bambang.
Haru biru hari
wisuda begitu terasa, terbayar sudah begadang siang malam. Tutorial setiap
waktu, praktikum, laporan. Luar biasa ! dan tiba-tiba sebuah SMS masuk.. tringgg
!
From : 08527975643
Congratz ya !
Nomor baru, tanpa
pikir panjang Melda langsung menjawab.
To : 08527975643
Thank’a a bunch !
Tak berapa lama
langsung dibalas.
From : 08527975643
Memang tau ini siapa ? J
Melda menjawab apa
adanya.
To : 08527975643
Enggak.
Dan dibalas.
From : 08527975643
Dedi J
J
Sontak jantung
Melda berdegub kencang, baru saja kemarin ia memikirkannya, dimana ia gerangan.
Irama rindu, bercampur irama bahagia bak instrumental yang begitu rumit, ia
langsung tari nafas, dan mencoba tenang sejenak untuk membalas SMS.
To : 08527975643
Waahhh.. kak Dedi kemana aja, lama tak
bersua ? Tumben tiba-tiba menghubungi.?
Triiinnnnngggg !!!
From : 08527975643
Hehe.. kemarin ngambil spesialis. Iya nie,
ada dua hal yang mau disampaikan sama Melda.
Dag ! Dig ! Dug !
Deg !...
To : 08527975643
Oh, apakah dua hal itu ?
Tringggg….!!!!
Triiingggg…!!!
From : 08527975643
Yang pertama, selamat wisuda !.
Perasaan Melda
semakin tak karuan.
To : 08527975643
Yang kedua ???
Tringggg….!!!!
Triiingggg…!!! Perlahan Melda membuka,
From : 08527975643
Will you marry me ?
What ???? langit
seakan runtuh, bumi seolah amblas, Melda shock sekaligus bahagia. Entah
bagaimana menceritakannya.
***
Lampung semakin
gonjang-ganjing, isu kesukuan semakin memanas, paska meledaknya kerusuhan besar
di Lampung Selatan antara Etnis Lampung dan Bali, kini merebak perselisihan di
Lampung Tengah antara etnis Jawa dan Lampung. Hal ini mengancam posisi Nandita
dan Bambang, apalagi orang tua Nandita tergolong tetua di Lampung, dan Bambang
juga kental dengan kejawaannya.
Pengalaman
kegagalan rumah tangga Bambang sebelumnya membuat ia lebih dewasa dalam
menyikapi masalah ini. Perlahan semua mulai mereda. Melihat permasalahan yang
mulai dingin, Meldapunmemberankan diri bercerita kepada orang tuanya, karena ia
tak bisa menunggu lebih lama lagi, setelah empat tahun lebih menjaga hati, ia
ingin semua berakhir di pelaminan.
Luar biasa !
betapa terharunya Bambang mendengar cerita Melda, gadis kecilnya yang cantik,
lincah dan pintar sekarang sudah beranjak dewasa.
“Baiklah, suruh ia
silaturahmi kerumah, ayah ingin mengenalnya lebih jauh…” perintah Bambang.
***
Hari minggu yang cerah, tepat satu minggu setelah
pembicaraan Bambang dengan Melda. Dedi bertolak dari Jogja ke Lampung untuk
menjemput sang putri dari kerajaan orang tuanya. Sesampai di Lampung Dedi dan
dua orang temannya disambut hangat oleh Bambang dan Nandita.
Obrolanpun mulai
dibangun, dari yang ringan hingga mulai menjurus ke masalah bibit, bobot dan
bebet.
“Mohon ma’af, nama
ayah dan ibu Dedi siapa ya ?” Tanya Bambang.
“Ibu saya Endang ,
ayah saya Bagyo..!” jawab Dedi dengan santun.
Bagai disambar
petir Bambang langsung berkeringat dingin. Tapi ia masih berusaha berprasangka
baik bahwa Dedi bukanlah anak hasil pernikahannya dengan Endang.
Selidik demi
selidik, itu adalah Endang, Dedi, dan Bagyo yang sama. Bambang tak habis pikir
betapa kecilnya dunia ini. Bagaimana kedua anaknya bisa saling jatuh cinta ?
Bagaimana mencegah semua ini ?
Ia ingat lagi
masa-masa ketika ia hendak jujur mengenalkan Nandita pada Dedi dan Nandita
keguguran sehingga ia mengurungkan niatnya. Andai dulu itu jadi, mungkin
silaturahmi antara dua anak ini akan terbangun dan mereka tidak akan bertemu
secara tragis seperti ini.
***
Malam itu Nandita
diam seribu bahasa mendengar kenyataan pahit yang diceritakan oleh Bambang.
Ingin marah, tapi nasi telah menjadi bubur, dan Bambang juga tidak sepenuhnya
salah. Ingin diam, tapi ada sesuatu yang salah disini. Apa itu ? entah, hati
dan pikiran saling berebut untuk tidak mengejawantahkan.
“jadi… Dedi itu
anakmu ?” Tanya Nandita pelan.
“iya… “
Dan semuanya
menjadi hening. Malam. Pekat. Gelap.
***
0 komentar:
Posting Komentar