Suasana pasar Bringharjo
masih melekat kuat dibenak, ada kerinduan besar akan sebuah tanah kelahiran.
Ibu-ibu yang ramah, batik-batik melambai, logat jawa bak nyanyian merdu di pagi
hari. Benar kata orang, seindah-indahnya di negeri orang masih lebih indah di
negeri sendiri. Jogja dengan segala pesonanya, alunan gamelan nan ramai,
becak-becak bak simbol perlawanan ‘kawula alit’
terhadap ‘kawula elit’ yang bisa dibilang jauh dari peduli.
Ketidakpedulian itulah yang menghantarkanku menjadi pesakitan, membuat Endang
melakukan perlawanan terhadap diriku, pergi kembali ke pangkuan orang tuanya,
dan aku sungguh tak berdaya mencegah perpisahan itu. Tak sanggup aku, setiap
sisi kota Jogja bak prasasti perjuangan hidupku bersamanya. Sungguh, saat itu aku
begitu yakin sama sekali tak akan merindukan kota tua ini. Tapi salah, anak
rantau tetaplah rantau. Namun pepatah jawa tetaplah menjadi filosofi yang harus
saya junjung tinggi. Dimana bumi dipijak, disana langit dijunjung.
Inilah lukisan
hidupku, antara gradasi warna-warni cita, cinta dan asa dibawah kanvas langit.
Bersamanya terhampar dua pulau yang bertetangga, Jawa dan Sumatra, yang kalau
orang-orang tua sering menyebutnya sebagai Sumantera. Terhampar pula sebuah
selat yang proses pembentukannya cukup fenomenal, gunung api krakatau yang
debunya pernah menghujani dunia. Dongeng-dongeng inilah yang kelak semakin
mengakrabkan anak cucu kita dengan masa lalu. Mesin waktu yang mampu
mengejawantahkan imajinasi masa lalu nenek moyang mereka. Dongeng lintas pulau,
dari Jawa hingga Sumatera, Kisah cinta dua kota, Jogja adalah masa laluku dan
Lampung adalah masa kiniku.
Merekahlah mawar baru
dalam episode drama kehidupan seorang Bambang, Endang telah menjadi mawar yang
pot’nya telah kukembalikan pada yang menanam, ia akan terus merekah bersama
kiriman air hujan dari langit. Dan kini mawar baru harus kujaga. Sepanjang
waktu, dengan segenap hatiku. Walau perbedaan warna dirinya dan diriku lebih
kontras dari merah dan putih, namun aku yakin, bibit primordialisme itu mampu
kuredam dengan cinta dan do’a. Dengan ikatan suci yang diajarkan oleh manusia
suci bernama “Muhammad”. Ikatan suci ini akan menyatukan merah dan putih
menjadi “merah-putih” yang merdeka, merdeka bersama menghadapi masa depannya.
Kelak aku dan Nandita
akan menjadi symbol perlawanan terhadap primordialisme, Mengeja resah bersua rindu, menanti api membakar dahsyat.
Suara resah tanda rindu, menanti ide membakar semangat. Kisah cinta multicultural
seharusnya bias lebih fenomenal dibanding Romeo dan Juliet. Asli Indonesia,
produk masalah negeri sendiri, Lutan kisah… menuai rindu. Inilah kisah cintaku,
dan biduk perahu siap berlayar.
“Mas…”
suara Nandita membuyarkan lamunanku terkait masa lalu.
“makan
dulu, saya sudah buatkan masakan kesukaanmu, sayur asem, ikan asin, dan sambel
terasi… ada gudeg juga, sesekali aku ingin mengobati rindumu dengan kampung
halaman…” terangnya.
Sungguh
aku bersyukur memiliki mawar seanggun Nandita.
“mas.. tadi ada surat dari adikmu di jogja...” ucap
Nandita
“oh ya ? apa kabar Jogja, nanti setelah makan aku baca”
jawabku.
“mas, kapan aku dikenalkan dengan keluarga Jogja ? baru
sekali aku bertemu mereka, pas pernikahan kita saja, aku tak ingin anak kita
nanti tak mengenal keluarga ayahnya.” Jelas Nandita.
Aku bingung menjawab pertanyaan Nandita, bukan aku tak
mengijinkannya pulang ke Jogja, namun luka masa laluku masih belum lekang oleh
waktu. Aku juga tak mampu membayangkan bagaimana mengenalkan Nandita dengan
anakku disana. Bagaimana reaksinya ? aku tak rela jika masa-masa indah ini harus diusik lagi.
“suatu hari aku asti menunjukkanmu betapa indahnya Jogja,
sabar ya..” jawabku sekenanya. Segera kuselesaikan makanku dan meraih sepucuk
surat di meja tamu. Setidaknya u akan sedikit mengobati rinduku dengan keluarga
disana.
Assalamualaikum
waraohmatullahi wabarakatuh..
Pripun kabar
sameyan disana mas, semoga sampeyan dan istri senantiasa dianugrahi kesehatan
dan rizki yang cukup, kami disini mendo’akan supaya mas selalu bahagia dan
segera dianugerhi momongan.
Musim apa
disana mas? Sudah panen ? Disini masih banyak walang sangit, tanaman padi
banyak diserang walang sangit. Pasar juga mulai rame, sekarang pasarnya sudah
ndak seperti dulu lagi, lebih besar dan rapi, kalau musim libur tiba, banyak
pelancong datang, dagangan jadi ramai dan kami dapat untung yang lumayan.
Saya menulis
surat ini karena Ibu terus menanyakan kabar mas, kesehatan ibu sedang tidak
baik akhir-akhir ini. Sudah tidak sekuat dulu ke pasar. Ibu sering menanyakanmu
mas, kapan pulang ke Jogja, ajaklah istrimu kemari, kenalkan pada keluarga
besar, supaya kelak keturnanmu ndak lupa sama leluhurnya. Sekalian menjenguk
Ibu dan Bapak, singgahlah barang satu atau dua minggu.
Endang
minggu lalu kemari, ajak anakmu ketemu kakek-neneknya, bujangmu sudah besar
mas, sudah banyak hafalan surat-surat pendek dan pandai nyanyi tik-tik bunyi
hujan. Makin besar wajahnya makin miri denganmu. Searang Endang sudah diangkat
jadi pegawai negeri di SD N.1, ia ucakan selamat atas pernikahanmu, sekaligus
mengabari kami kalau bulan depan akan menikah lagi, dengan Bagyo, laki-laki
pilihan orang tuanya.
Oh ya mas,
gimana kabar kak Nandita ? sehatkah ? samaian salamrinduku adanya, kaan-kaan
akup engen diajari masak masakan lampung.
Sudah dulu
ya mas.. ditunggu kabar dari Lampung segera.
Wassalamualaikum
warohmatulahiwabarokatuh...
“ada kabar apa mas ?” pertanyaan Nandita memecah
kesunyian.
“ibu kangen denganmu, dan meminta kita pulang.” Jawabku.
“tuh kan mas, gayung bersambut, bulan depan kita berangat
ke Jogja, mumpung ladang bisa ditinggal.” Desak Nandita.
“’iya, kutulis kabar ke Jogja dulu, kalau kita akan
kesana bulan depan.” Terangku.
Aku bimbang luar biasa, aku rindu Jogja dan keluarga,
istriku juga harus mengenal kehidupan disana, tapi bayang-bayang masalalu masih
belum hilang, walau Nandita sudah hadir dalam hatiku, namun Endang masih
memiiki porsi tersendiri. Dan aku harus berjuang keras melupaknnya, apalagi
kondisiku sudah berumah tangga dan ia juga akan segera membangun mahligai yang
baru.
Assalamu’alaikum
warohmatulahiwabarokatuh,
Alamdulillah
disini baru tanam, harga kopi lada juga sedang tinggi-tingginya, mas juga
selalu berdoa supaya rumah ini semakin ramai sama kehadiran anak-anak. Kita
berdo’a saja, semoga segera merizkikan.
Akhir-akhir
ini Nandita juga sering mengajak mas ke Jogja, pengen akrab dengan kelaurga
Jogja katanya, dan kebetulan kami baru
saja tanam, jadi ladang bisa ditinggal, jadi kami berniat pulang bulan depan.
Ndak usah dikabrakan ke baak ibu dulu,
biar ndak diare-arep.
Mas juga
berniat mengenalkan Nandita sama Dedi,biar bagaimanaun ia darah daging mas, dan
Nandita adalah ibunya Dedi. Mendengar Endang segera menikah mas jadi lebih
lega, semoga is bisa lebih baagia kelak.
Salam takzim
untuk Ibu Bapak, jaga kesehatan, insyaallah bulan depan mas pulang.
Wassalamu’alauikum...
***
Sirine kapal berdegung kencang, mengisyaratkan kesedihan
meninggalkan bumi ruwa jurai sekaligus kebahagian akan segera jmpa dengan pulau
jawa. Sudah tiga tahun aku tidak pulang, apa kabar Jogja sekarang, sudah banyak
berubahkah? Atau masih seperti dulu ? Ahh... kurasa segalanya menjadi asing
bagiku. Aku sendiri tak mengerti rasaku, seharusnya aku senang karena akan
menengok kampung halaman, tapi dada ni berdegup begitu kencang.
Ombak-ombak mencoba bernyanyi mengibur gundah hati, aku
bisa... aku harus bisa melupakan Endang dan bersikap biasa saja. Sejenak
kulirik Nandita, ia tampak bahagia karena akan berjumpa dengan orang-orang
baru. Andai saja aku mampu jujur, mungkin aku tidak terlalu terbebani seperti
sekarang. Aku baik-baik saja, dan semua baik-baik saja, kubayangkan wajah ibu
yang begitu bahagia melihat kedatnganku pulang. Ya Rabb.. permudahlah....
“kamu
mabuk laut ?” tanyaku.
“entahlah,
tiba-tiba aku pusing sekali !” jawab Nandita.
Sungguh
ia terlihat sangat pucat, aku jadi khawatir terjadi apa-apa dengannya, ia
memang baru kali pertama ia bepergian jauh. Aku fikir dia mabuk kendaraan, tapi
tadi aku sudah menyuruhnya minum antimo.
“tidurlah…
sebentar lagi kapalnya sandar, kita istirahat dulu sekeluar dari kapal nanti.”
Perintahku.
Nandita
berjuang keras tertidur, keringat dingin bercucuran. Aku jadi merasa bersalah.
***
“Ya
Allah kalian datang, kenapa tidak member kabar dulu ?” ibuku begitu sumringah
melihat kedatangan kami. SAejenak kulihat adikku tersenyum di pojok ruang tamu,
karena ia merasa paling tau terkait kabar kedatangan kami.
“Siapkan
dulu kamar untuk masmu !” perintah ibu kepada adikku.
Ia tak
menjawab apa-apa, hanya lenggat-lenggut sambil meringsek menuju kamar depan.
Tak berapa lama ia keluar lagi. “sudah siap mas.”
“Sudah
sana, istirahat dulu, pasti capek udah jalan dari jauh, nanti biar adikmu
siapkan makanan, bersih-bersih dan selonjor-selonjor saja dulu” perintah ibuku.
Kami
berdua memasuki kamar, kulihat mawarku yang cantik merebahkan dirinya. Wajahnya
tampak pucat, aku begitu kasihan melihatnya. Namun aku bersyukur, setidaknya
dengan dia mabuk aku jadi sibuk memperhatikan dirinya dan melupakan
kegelisahanku. Sejenak aku berfikir memutar otak, bagaimana akan menyampaikan
padanya bahwa Dedi adalah anakku. Ia mengetahui kondisi dudaku, tapi aku tidak
pernah bercerita bahwa Dedi masih sering berkunjung kerumah Kakek Neneknya
disini.
***
Malioboro
begitu banyak berubah, UGM juga sudah membangun beberapa gedung baru. Begitu
juga denganku, sudah menjadi sosok yang baru, dengan keluarga baruku. Sesekali
aku menyempatkan diri berkeliling jogja bersama istriku, mengenalkan padanya
beberapa tempat di Jogja, pagi hari kami ke keraton, sorenya ke parang tritis,
ia begitu bahagia.
Namun
hari-hari selanjutnya tidak berjalan semulus rencana, ibu mulai complain dengan
beberapa kebiasaan Nandita. Mungkin karena beda budaya, jadi harus ada
kefahaman yang tinggi.
“Mbok
ya istrimu itu diajari unggah ungguh, diajari kromo inggil, masa’ ya ndak bias,
kurang sopan kalau ngomong sama orang tua dengan bahasa Indonesia” protes
ibuku.
“Ya,
Nan kan masih belajar bu… lama kelamaan juga lancar, Bambang disana juga masih
belajar Bahasa Lampung “ ucapku menenagkan.
“Sejatinya
ibu itu lebih sreg sama Endang, anaknya santun, sama orang tua punya unggah-ungguh,
ramah, dan pinter bawa orang seneng.” Ibuku melengkapi protesnya.
“Nandita
juga pekerja keras lho bu, masakannya enak lagi, ia bias masak masakan jawa lho
bu… besok biar Nan masak untuk ibu ya.” Ujarku merayu ibu.
***
Malam
itu begitu hening, bintang-bintang ramai menyemarakkan keadaan, suara jangkrik
sawah bersahutan, ditambah nyanyian kodonk sehabis hujan, begitu menyejukkan
dan menenagkan. Belum juga aku bercerita terkait Dedi ke Nandita, sekarang
sudah ada konflik baru antara ibu dan Nandita.
“Nan,
mas kangen dengan masakanmu lho….” Ujarku membuka suasana.
“Iya
tah mas, memang mas mau dimasakkan apa ? gudeg ? atau sayur asem ? “jawabnya
dengan tenang.
“Semuanya…
besok pagi masak ya ? biar ibu juga tau kalau menantunya bisa masak !” rayuku.
“Iya,
besok Nan masak, Nan juga bosen duduk-duduk aja disini” jawabnya mengiyakan.
Dalam
hati aku bersyukur, Nandita bisa dirayu secepat itu tanpa curiga, semoga besok
perasaan Ibu ke Nandita semakin membaik dan aku bisa memberanikan diri untuk
menceritakan siapa Dedi ke Nandita.
***
Esok
paginya Nandita bangun pagi-pagi dan langsung menyiapkan sarapan untuk kami,
dibantu oleh adikku ia berkecibu didapur selama kurang lebih satu setengah jam.
“enak
kan bu masakan menantu ibu yang cantik ini ?” ujarku sambil melirik ibu.
Ibu
hanya tersenyum, “Ibu ndak nyangka, kamu pinter masak, masakan jawa” puji Ibu
Huh…
Lega, ujarku dalam hati, selesai makan Nandita langsung kedapur untuk mencuci
piring dan Grumpyang…!!! Suara piring pecah yang tercantuh ke lantai. Aku refleks
langsung lari kedapur dan kulihat Nandita tergeletak di lantai, pingsan.
“ada
apa nang ? ibuku berteriak dari ruang tamu.
“Nandita
pingsan bu !” Jawabku apa adanya.
“Ya,
Allah… angkat ke kamar !” perintah ibuku, “Nduk…. Nduk…!” ibuku memanggil
adikku. “Panggil bidan Lana, mb Nan pingsan !” Ibuku lanjut memerintah.
***
Aku
berjalan mondar-mandir di ruang tamu menunggu kedatangan bidan Lana, sesekali
kulirik ke kamar, terlihat ibuku berusaha keras membangunkan Nandita dari
pingsannya dengan mengoleskan mingak angin di sekujur tubuhnya.
“permisi”
ada suarayang mengagetkanku dari luar.
“monggo-monggo
bu, sudah ditunggu !” jawabku dengan tergesa setelah melihat kedatangan bidan
Lana.
Beberapa
saat aku mengintip kearah kamar, Nandita belum sadar juga. Bu bidan terlihat
memeriksa dengan teliti, kututup hordeng, kulirik jam, menunjukkan pukul 09.00
pagi. Ada apa dengannya ? ia memang terlihat tidak enak badan akhir-akhir ini.
“punten
mas,” suara bidan Lana membuyarkan lamunanku.
“bagaimana
bu ?” jawabku tergesa.
“Istri
mas keguguran, harus di kiret dan rawat inap di klinik, untuk kebaikannya “
jelasnya.
Aku
bagaikan disambar petir di pagi hari, “bagaimana baiknya saja bu” jawabku
lemas.
***
Dia
sudah mulai tersadar, sejenak kudekati dirinya dan kutatap lekat-lekat wajah
pucat itu, ia seperti menahan sakit yang amat sangat setelah kiret. Sepertinya
aku akan mengurungkan niatku untuk mengenalkan Nan pada Dedi melihat kondisinya
yang tidak begitu baik.
Satu
persatu kerabat menjenguknya “ yoalah nduk.. nduk… baru smapai, belum jadi main
kerumah kok ya malah jadi seperti ini, seng sabar yo nduk…” ucap bulek-bulekku.
Sepertinya
aku juga harus menunda waktu kepulangan, sampai kondisi Nan benar-benar fit.
Aku khawatir terjadi apa-apa lagi dengannya. Bidan Lana juga menjelaskan
padaku, jika setelah keguguran biasanya sedikit lebih lama untuk hamil lagi.
Sebenarnya aku juga bingung, sejak kapan Nan hamil, dan bagaimana bisa kami
tidak menyadarinya ? Apakah sejak ia muntah-muntah di kapal itu ?
***
Banyak
hal tidak jadi saya lakukan di Jogja, tidak jadi mengenalkan Nan pada Dedi, dan
tidak jadi menghadiri pernikahan Endang. Ibu dan adikku juga tidak membahas
terkait hal itu didepan Nan, mungkin menimbang kondisi fisik dan psikisnya yang
harus dijaga. Sesaat aku teringat ladang di rumah, aku harus berkirim kabar ke
Lampung dan meminta Uncu untuk menengoknya.
Assalamu’alaikum..
Mohon ma’af Uncu, Abang harus
berkirim kabar yang tak enak dari Jawa,
Gusti keguguran di sini, tapi kondisinya sudah lebih baik, hanya memerlukan
istirahat selama beberapa hari. Abang minta tolong Uncu untuk tengok ladang
abang. Ikam mak dapok jadi mulang ghua minggu lagi. Gusti harus istirahat lebih
lama.
Terimakasih banyak, jangan cerita
sama mak sama bapak, Gusti sudah lebih baik, nanti mereka panik.
Wassalamu’alaikum..
Begitu
surat singkat itu selesai kutulis, kuminta adikku untuk mengeposkannya ke
Lampung, semoga semua baik-baik saja.
***
Benar-benar
diluar dugaan, suratku ke Uncu terbaca oleh Mak dan Bapak, mereka membalas
surat itu dan marah-marah padaku, bagaimana bisa istri hamil tidak tau, apalagi
Nan adalah anak tertua dari saudara tua dengan gelar Gusti. Kalau terjadi
apa-apa dengannya, itu akan membuat kelaurga besar lebih terpukul. Sepertinya
mereka berdua benar-benar marah, aku jadi takut kembali pulang.
Sebelum
keguguran Nan berkonflik dengan ibuku, dan kini aku berkonflik dengan
keluarganya. Berharap komunikasinya akan membaik nanti. Cukup melegakan,
kondisi Nan juga semakin membaik, ibuku cukup telaten merawat menantu
satu-satunya ini, Bulek-bulek juga sering meluangkan waktu untuk menengok Nan
dirumah.
Aku
dan Nan tak bisa singgah lebih lama lagi, kami harus segera pulang ke Lampung
dan menjelaskan ke keluarga Lampung.
Stasiun
kereta sore itu mengantarkan kami meninggalkan pulau Jawa, ibuku tampak
khawatir melepas kepergian kami “hati-hati di jalan”. Dan ibuku juga sempat
berbisik “jaga Nan baik-baik”.
***
Sampai
di Lampung, kami sudah ditunggu oleh keluarga besar, aku ketakutan kalau mereka
akan menghakimiku, namun Nan memastikan semuanya akan baik-baik saja. Dan
ternyata mereka tak semarah yang saya bayangkan, dan saya terheran-heran
mengapa mereka bisa seperti itu. Aku benar-benar tak menyangka.
Malam
harinya aku menceritakan keherananku kepadan Nan, dan Nan hanya berbisik pelan
“karena aku sedang mengandung anakmu..” sontak aku kaget ! “apa ???? kamu hamil
lagi ?” dan Nan hanya tersenyum.
Hari-hari
menjadi lebih bersemangat bagiku, karena ada motivator baru dalam hidup. Aku
akan segera memiliki seorang keturuanan lagi. Tanpa sadar aku semakin lupa sama
Dedi. Dan tidak lagi terbebani oleh kisah masa lalu.
***
Purnama
merekah dipuncak langit, menjadi simbol
kebahagiaan puncakku setelah menanti selama Sembilan bulan. Akhirnya
putri kami yang cantik jelita lahir, secantik purnama, kami memberinya nama
Melda. Semoga kelak Melda tumbuh menjadi gadis cantik yang sholehah dan
bermanfaat. Untuk mengantisipasi semuanya kami mengenalkan Melda pada keluarga
Jogja dengan keanggunan budaya jawa dan juga mengakrabkannya dengan Adat
Istiadat Lampung yang telah dijunjung ibunya selama berpuluh tahun.
Berharap
kelak anak ini tumbuh menjadi sosok yang dewasa menghadapi perbedaan. Sosok
yang mampu memandang keberagaman sebagai kelebihan. Bukan sesuatu yang membuat
kita terpecah karena primordialisme yang kuat. Aku ingin prinsip itu melekat
pada Melda, anak pertamaku yang lahir di bumi transmigrasi dengan beragam suku,
Lampung, Jawa, Bali, Padang. Inilah kekayaan nusantara yang sesungguhnya.
Understanding para generasi muda, terkesan sederhana, tapi inilah kunci utama
yang membuat kami dapat hidup damai dan saling berdampingan, membuat negeri ini
aman dan surge bagi semua orang, negeri yang indah dan jauh dari konflik. Dan satu lagi, aku masih bercita-cita
menyekolahkan anakku di Gajah Mada.
***
0 komentar:
Posting Komentar