Tampilkan postingan dengan label ekonomi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ekonomi. Tampilkan semua postingan

Minggu, 19 Mei 2013


Pada Republika.co.id edisi 30 Maret 2013 diberitakan dari keseluruhan 2.379 desa yang ada di Lampung, 486 desa masih dalam kondisi tertinggal. Itu artinya sekitar 20% dari keseluruhan wilayah di Lampung masih membutuhkan perhatian khusus dari berbagai pihak. Selain itu, berdasarkan indeks pembangunan ketenagakerjaan Provinsi Lampung Tahun 2011, jumlah penganggur terbuka adalah 239.980 orang dengan jumlah penganggur terbuka tamatan SD-SMTA mencapai 177.772 orang.

Data yang tersaji diatas bisa kita lihat melalui dua sudut pandang. Sudut pandang masalah dimana Provinsi Lampung memiliki 20% daerah tertinggal dan ribuan pengangguran, atau sudut pandang potensi dimana kita masih memiliki sumber daya alam dan sumber daya manusia yang belum dieksplorasi dengan baik. Perubahan sudut pandang tersebut memberikan pengaruh besar dalam desain program yang akan diimplementasikan di lapangan, yakni merubah obyek kemiskinan yang menunggu perhatian dari pemerintah menjadi subjek yang mampu merubah kondisinya sendiri.

Dalam hal ini, upaya percepatan pembangunan yang terbaik adalah dengan melibatkan banyak pihak. Sebagaimana percepatan pembangunan yang pernah dilakukan pada program Repelita I dan Repelita II pada era orde baru yang melibatkan pemerintah, militer dan masyarakat. Saat ini ada satu potensi yang bisa kita berdayakan dengan baik dengan memegang prinsip simbiosis mutualisme, yakni dunia pendidikan. Dunia pendidikan memiliki ribuan tenaga ahli dan ratusan ribu pelajar yang membutuhkan media belajar yang lebih riil, sementara di lain pihak masyarakat membutuhkan sentuhan tangan ahli. Sehingga dengan sebuah kebijakan yang tepat untuk keduanya akan melahirkan penyelesaian masalah yang murah dan berkelanjutan.

Mengembalikan Harapan Pendidikan

Semangat awal setiap orang tua mengirimkan putra-putri mereka ke sekolah adalah karena adanya
keinginan untuk merubah hidup. Perubahan yang diharapkan beragam, mulai dari yang tidak tau akan ilmu pengetahuan menjadi tau, dari yang tidak memiliki kemampuan melakukan sutu hal menjadi mampu, hingga dari yang tidak peka terhadap masalah menjadi peka, bisa menggunakan ilmu pengetahuan untuk menganalisanya, dan mampu menyelesaikannya dengan keahlian yang dimiliki. Ketiga hal tersebut dalam ilmu pendidikan biasa disebut dengan istilah kognitif, afektif, dan psikomotor.

Dalam bahasa yang lebih sederhana, setiap orang tua mengharapkan adanya upaya pembebasan dari masalah yang sedang mereka alami. Dari miskin menjadi sejahtera, dari bodoh menjadi pintar, dari lahan kosong menjadi lahan pertanian, dari seekor ayam menjadi peternakan,dll. Namun pada kenyataanya, banyak dari harapan itu harus kandas di tengah jalan, bahkan kelulusan anak-anak dari sekolah menjadi masalah baru yang harus dipecahkan. Pengangguran menjadi masalah baru yang pada  akhirnya membentuk opini masyarakat bahwa pendidikan itu tidak penting, toh yang sudah sekolah tinggi-tinggi pada akhirnya juga bingung pekerjaan.

Muatan Lokal Bisa Menjadi Penunjang

Kurikulum sekolah di Indonesia telah disiapkan untuk mengajarkan beberapa pelajaran tertentu seperti Matematika, Bahasa Indonesia, dan beberapa pelajaran lain yang sifatnya pokok. Namun, diluar itu ada suatu porsi yang dikembalikan pada kebijakan daerah yang disebut dengan muatan lokal. Penentuan pelajaran muatan lokal disesuaikan dengan keterbutuhan di setiap daerah, ada beberapa sekolah yang memberikan muatan lokal pertanian, seni budaya, elektro, atau bahasa asing, yang semua itu kembali disesuaikan dengan kearifan lokal daerah.

Menjawab permasalahan provinsi Lampung akan jumlah 20% desa tertinggal, tingginya angka pengangguran yang menantikan lapangan pekerjaan, dan banyaknya sumber daya alam yang belum dikelola dengan baik, muatan lokal kewirausahaan sosial mampu menjadi jawaban dengan merubah sudut pandang pelajar di sekolah dari obyek kemiskinan menjadi subyek kemiskinan.

Jawaban atas pertanyaan mengapa harus kewirausahaan sosial, bukan pertanian, elektro atau muatan lokal lain yang memberi ketrampilan khusus adalah karena kewirausahaan sosial mengajarkan kepada anak didik untuk menciptakan lapangan penkerjaan sekaligus menyelesaikan permasalahan sosial yang terjadi. Dilain pihak, mata pelajaran ini menumbuhkan rasa peka di hati para pelajar. Sebagai contoh, di daerah Pringsewu banyak ditemukan petani singkong yang hidup dibawah garis kemiskinan, maka melalui pelajaran kewirausahaan sosial, guru mengarahkan para siswa untuk membina para warga membuat kelanting, dikemas dengan baik, dan dipasarkan di kantin-kantin sekolah ataupun perkantoran dengan bekal ilmu ekonomi yang telah di dapat disekolah. 

Dari pelajaran ini siswa diajarkan beberapa hal, pertama siswa diajarkan untuk peka dengan kondisi sosial yang ada disekitarnya, kedua siswa memiliki laboratorium langsung untuk mengaplikasikan ilmu yang di dapat dari sekolah, ketiga siswa mendapat wadah internalisasi minat, bakat, dan hobi, dan keempat siswa memiliki keahlian softskill untuk berwirausaha, sehingga ketika ia tidak dapat melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, para pelajar ini sudah memiliki ketrampilan untuk survive di dalam kehidupan.

Membangun Dari Sekolah


Sekolah dengan ribuan tenaga pendidik dan jutaan anak muda bisa menjadi suatu aset besar di dalam perubahan, untuk itu pemerintah hanya perlu menentukan sebuah kebijakan strategis yang mudah dilaksanakan dan memberikan dampak perubahan besar. Pertama, sebut saja jumlah SMA yang ada di Lampung, terdapat lebih dari 494 SMA dengan 88.981 siswa/tahun. Jumlah ini dapat memberikan dampak yang besar dalam mengurangi pengangguran seandainya saja satu orang dapat menolong tiga orang lainnya yang tidak memiliki pekerjaan di Lampung.

Kedua, anak muda cenderung responsif terhadap perkembangan, dalam artian mereka memiliki kemampuan menyelesaikan masalah dengan cara-cara kontemporer yang kreatif dan relatif lebih fresh. Golongan anak muda ini mampu diarahkan untuk menyelesaikan masalah sesuai dengan hobi, minat, bakat, dan keilmuan yang telah mereka miliki.

Ketiga, anak muda merupakan kelompok rentan yang harus mendapatkan penyikapan dengan baik. Puluhan ribu anak SMA ini akan menjadi calon pengangguran baru setelah lulus jika tidak dipersiapkan dengan baik. Namun, jika sekelompok anak muda ini mampu kita rubah posisinya dari objek menjadi objek, maka secara tidak langsung kita telah menyelamatkan mereka dari ancaman pengangguran sekaligus menyelesaikan maslaah pengangguran yang sudah ada.

Keempat, anak muda merupakan future generation yang akan menggantikan generasi tua di masa datang. Sudah saatnya anak muda ini dibekali dengan kemampuan yang mumpuni dan kepekaan sosial yang tinggi, sehingga kehidupan di masa mendatang menjadi kehidupan yang jauh lebih ramah dan bersahabat bagi semua orang dibanding hari ini.

Kelima, kewirausahaan merupakan muatan lokal yang mudah diajarkan, karena para guru hanya perlu memandu siswa untuk mengenal dirinya, mengenal lingkungan, mengenal pola kewirausahaan sosial, merancang ide kreatif, dan pendampingan implementasi. Materi kewirausahaan sosial cenderung lebih aplikatif dan sederhana, tidak sekomplek seperti mengajar elektro, pertanian, atau seni budaya, namun lebih seperti training capacity building dan pendampingan implementasi.

Sebuah ide pembangunan untuk pengentasan kemiskinan di Lampung tidak harus selalu dimulai dari infrastruktur, mengundang investor asing, dan membangun pabrik-pabrik besar yang bisa mengolah sumber daya alam sekaligus menyerap ribuan tenaga kerja. Ide pembangunan bisa dimulai dari bangku sekolah, dengan memanfaatkan sumber daya terdidik. Terlebih lagi, produk yang dihasilkan dari program ini adalah usaha mikro dimana kita sama-sama tau bahwa sektor mikro memiliki ketahanan terhadap krisis dengan lebih baik. Namun, yang paling utama dan mendasar adalah kita mampu mencegah lahirnya calon-calon pengangguran baru sekaligus menyelesaikan masalah pengangguran yang terimplikasi pada kemiskinan dan lambatnya pembangunan 20% desa tertinggal di Lampung.


Selasa, 27 Maret 2012


ckal bakal BLCN nie....



share... share.... share....


hunting foto di lembah hijau lho....




suasana diskusi live di TVRI Lampung

and this is the story about....
masih kuingat kala itu, sekitar bulan desember, aku bermimpi untuk memiliki suatu komunitas yang fokus pada masalah pendidikan. tiba-tiba di suatu siang, saat menanti dosen mata kuliah literatur HP saya berdering, "candra, ini yudha ISC..." dan bla... bla... bla... ternyata beliau menawarkan saya untuk mengelola peringatan sumpah pemuda di Lampung., dan tiba-tiba saya terfikirkan untuk mengubah acara yang biasanya sebuah seremonial menjadi sesuatu yang berkelanjutan...
pada konsep awal, saya terfikir untuk membuat sebuah workshop pemuda yang mengundang pemuda dari penjuru daerah lampung, mengundang anies baswedan dan membahas gerakan akar rumput pada bidang pendidikan,. saya juga mendapat beberapa masukan dari pengajar muda yang kebetulan saat itu menginap di kontrakan saya..., ktika mencoba untuk mengontak beberapa kakak tingkat saya untuk membantu pada sesi FGD, sejauh yang saya kontak sibuk pada hari itu (semoga sibuk beneran, bukan sebuah penolakan halus...) , saya juga sempat menghubungi organisasi-organisasi paguyuban daerah... namun responpun kurang... disaat seperti itu, ada kabar dari teman-teman ISC untuk menyeragamkan pola peringatan, yaitu diskusi live di TV... dan untuk pemateri., langsung ditunjuk oleh kemenpora..
belum lama dari itu, teman saya menikah dengan seorang fasilitator industri kreatif di Lampung, dan disaat saya sedang mencari stasiun TV, saya bertemu dengan beliau di acara ESo festival di unila, kami berbincang singkat dan esoknya kami menuju TVRI lampung untuk negosiasi masalah live discussion... saya acung jempol pada beliau, negosiasinya handal., dan idenya kreatif... terkait majalah gratis, dll. Namun saat itu saya tidak berfikir cepat untuk menjadikan beliau sebagai pemateri, dan mengarahkan diskusinya untuk mengerucut pada "peran pemuda dalam membangun daerah melalui ekonomi kreatif", saya mendapatkan ide ini H-1, dan walaupun sudah saya bujuk-bujuk, beliau tetap tidak mau... dan berjalanlah diskusi hari itu., bersama bang darma (akademisi), mas pidi (menpora) dan para generasi muda dari lampung.... berlangsung selama satu jam...
paska acara di TV kami berniat menerbitkan majalah gratis yang bernama RADIKAL (remaja terdidik lampung) ... namun krn sesuatu dan lain hal... yang saya males membahasnya hal itu terhambat... namun terimakasih ya Allah., teringat juga ketika menjelang hari H dana belum turun... terimakasih untuk anggota dewan tubabar yang telah membantu, juga seorang tokoh muda ICMI., thanks a lot...

obrolan-obrolan singkat antara, saya, bang hendry, dan bang darmapun berlanjut.. dan ternyata bang hendry sudah lama memiliki konsep bernama BLCN.. setelah beberapa kali ngobrol di KPN, alhasil legallah sebuah lembaga bernama BLCN pada bulan desember 2011...

prinsip bola salju memang efektif, saya belajar banyak terkait pendidikan soft skill, e-learning, design, pemetaan potensi daerah, kolaborasi... thanksss..... dunia barupun menghampiri diriku., tak lama dari itu, kami meengisi di MKKS Lampung Tengah terkait e-learning... TVRIpun menawari kami u satu space acara khusus., begitu juga tegar TV.. sempat menawari kami untuk terlibat pada acara ulang tahun tegar TV maret ini... pihak polinelapun begitu welcome untuk berkolaborasi dengan kami, untuk pembuatan rumah produksi, beberapa link di menpora dan dinas pendidikanpun siap membantu… pada training kewirausahaan pertama di polinela, pesertanya mencapai ratusan, ini fantastis..... dan belum berhenti di sini., sempat ada tawaran featuring dengan gapoktan, dll woww... tapi lagi dan lagi saya kembali tidak cerdas...
diunila kami juga membangun sebuah embrio... sempat diskusi beberapa kali di belakang rektorat, terkait industri kreatif... sempat mencoba usaha kuliner beberapa kali dan gagal... hingga bergabunglah ogas, aris... n the ganknya.... mereka cukup semangat hingga menelurkan RF production dan sagoo... terus lanjutkan kawand...

sabtu kemarin kami pergi ke lembah hijau.... belajar ambil gambar, tapi sebenarnya hanya saya yang belajar, karena yang lainnya sudah handal.. menyenangkan... ada semangat baru., teman-teman baru... dan akupun kembali bermimpi untuk berbuat banyak... eh., tidak... melakukan hal sederhana yang memberikan inspirasi besar... di rumah sederhana bernama BLCN...
dan hari ini aku bersyukur.., atas penolakan-penolakan ketika saya meminta bantuan menyelenggarakan acara dulu... karena penolakan itu membimbingku hingga kesini, pada semangat baru, harapan baru... dan dunia baru yang sederhana namun bermakna... Thanks God.... suatu hal yang tidak pernah aku sangka sebelumnya, dan hari ini aku ingin belajar untuk merawat rumah ini… walaupun masih belajar., dan sering salah., waluapun semangat naik turun, namun petunjuk dari Allah untuk saya bisa sampai disini tak dapat diabaikan sama sekali…
"tuliskan mimpimu dengan pinsil, dan berikan penghapusnya pada Allah... biarkan ia menghapus bagian yang salah dan menggantinya dengan sesuatu yang lebih indah"

Jumat, 13 Januari 2012





Berawal dari gebrakan di Inggris, ekonomi atau industri kreatif kini banyak diadopsi negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Dengan komposisi jumlah penduduk usia muda sekitar 43 persen (sekitar 103 juta orang), Indonesia memiliki basis sumber daya manusia cukup banyak bagi pengembangan ekonomi kreatif.
Industri kreatif memang lahir dari generasi muda. Awalnya dimotori oleh Tony Blair pada tahun 1990. Saat itu ia tengah menjadi calon perdana menteri Inggris. Era 1990-an, kota-kota di Inggris mengalami penurunan produktivitas karena beralihnya pusat-pusat industri dan manufaktur ke negara-negara berkembang.
Negara berkembang menjadi pilihan karena menawarkan bahan baku, harga produksi dan jasa yang lebih murah. Menanggapi kondisi itu, Tony Blair dan New Labour Party mendirikan National Endowment for Science and the Art (NESTA) yang bertujuan untuk mendanai pengembangan bakat-bakat muda di Inggris.
Setelah menang dalam pemilihan umum 1997, Blair yang menjadi PM Inggris membentuk Creative Industries Task Force. Tujuannya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kontribusi industri kreatif terhadap perekonomian Inggris. Lembaga tersebut berada di bawah Department of Culture, Media and Sports (DCMS). Pada tahun 1998, DCMS memublikasikan hasil pemetaan industri kreatif Inggris yang pertama kalinya.
Di Indonesia, industri kreatif didefinisikan sebagai industri yang berasal dari pemanfaatan kreativitas, keterampilan, serta bakat individu. Pemanfaatan untuk menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan dengan menghasilkan dan mengeksploitasi daya kreasi serta daya cipta individu tersebut. Fokus pemerintah terhadap industri kreatif baru dimulai tahun 2006.
Ada 14 subsektor industri kreatif, yakni periklanan; arsitektur; pasar barang seni; kerajinan; desain; fesyen; video, film dan fotografi; permainan interaktif; musik; seni pertunjukan; penerbitan dan percetakan; layanan komputer dan peranti lunak; televisi dan radio; serta riset dan pengembangan. Pertumbuhan ekspor industri kreatif tahun 2006-2009 tercatat 2,9 persen.
Dengan ditunjuknya Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Pariwisata, untuk mengawal ekonomi kreatif, kalangan pelaku industri pun berharap banyak. Pertama, soal kendala pembajakan karya. Rendahnya daya beli masyarakat membuat pembajakan atas karya-karya kreatif kian marak. Akibatnya, ide-ide kreatif sering kali pupus yang pada akhirnya menyebabkan degradasi kreativitas.
Kedua, soal kendala pembiayaan. Masih belum diakuinya aktivitas ekonomi kreatif oleh perbankan membuat mereka tidak didukung bank. Minimnya modal memangkas kreativitas karena mereka hanya bekerja berdasarkan pesanan saja, bukan dari gagasan sendiri.
Ketiga, peningkatan kemampuan sumber daya manusia. Pendidikan di bidang industri kreatif masih sangat kurang. Padahal, kontribusi industri kreatif dalam perekonomian nasional terus naik. Peningkatan itu tentunya membutuhkan tenaga-tenaga kreatif, inovatif, dan andal. Tidak akan mungkin tenaga-tenaga kreatif ini terbentuk tanpa adanya jenjang pendidikan di bidang industri kreatif.