Beberapa bulan yang lewat
saya melalui sebuah priceless moment di dalam proses pembentukan diri menjadi
seorang pendidik. Pengalaman magang di desa yang jauh tertinggal membuat saya
berfikir betapa sederhananya sebagian orang memandang hidup. Sebatas tumbuh
dewasa, sekolah hingga SMA, merawat kebon karet atau kerja keluar negeri,
membangun rumah, punya kendaraan dan semuanya selesai.
Namun sayangnya dunia luar
tidak berfikir sesederhana itu, sebut saja pola pergaulan anak muda sana,
mungkin sama sekali tidak mereka sadari, namun ada segolongan yang memetik
keuntungan dari keluguan dan kesederhanaan itu. Menjadi korban dari marketisasi
“cinta” dan segala aksesoris pelengkapnya seperti alcohol, drug, freesex, dsb.
Aneh memang, untuk
mendapat kebutuhan hidup saja sulit, bahkan hanya ada satu mobil angkutan yang
kerjanya setiap hari pergi ke pasar untuk membeli kebutuhan hidup orang-orang
sana. Namun bagaimana bisa barang-barang terlarang tersebut mendapat akses
dengan sangat mudah.
Kegeraman ini memuncak
setelah saya kembali ke Bandar Lampung dan memperhatikan pergaulan mereka di social
media. Bahasan tidak jauh-jauh dari pacar, galau, patah hati, bahkan saya tak
bisa menahan untuk berkomentar ketika mereka masuk ke dalam bahasan “virginity”,
kontan saya langsung menulis komentar “lihatlah dunia luar, banyak hal menarik
yang bisa kita jelajahi….”
Tetiba angan saya melayang
ke kedua adik saya yang sedang menjalani usia remaja, setiap obrolan mereka
tidak jauh-jauh dihiasi dengan angan masa depan, hal-hal yang mereka sukai,
teknologi, aktivitas organisasi atau berita-berita baru. Berita paling
menyakitkan yang saya dengar adalah mereka ingin meraih mimpi-mimpi namun harus
menantang keterbatasan.
Kembali angan ini menari
mengingat sederetan profil anak muda yang tergabung sebagai jawara lifeboy,
nutrifood leadership award, ashoka young changemaker, global changemaker, AFS, sebagian
dari mereka berfikir merubah dunia. Ada apa dengan anak-anak ini ? Mungkin
mereka perlu melihat dunia luar agar pandangan hidupnya tidak seputar pacar,
freesex, alcohol dan menjadi korban “pasar zaman”. Sebuah tempurung yang
menutupi mereka harus dibuka, agar memiliki wawasan lebih luas dan melihat
gemerlap dunia.
Namun sesaat saya
tersadar, atas dasar apa saya mengklaim mereka terkungkung dalam sebuah kotak
tempurung, bisa jadi justru saya yang sebenarnya terkungkung dalam tempurung
dunia saya. Imajinasi langsung membuat visualisasi yang kreatif, bahwa ada
banyak tempurung wawasan, pemikiran, dan sudut pandang di dunia ini,
masing-masing dari tempurung itu memberi dunia bagi orang-orang yang hidup
dibawahnya. Bisa saja ! kalau memang yang sebenarnya terjadi di dunia seperti
itu, biarlah saya, keluarga, saudara, dan sahabat-sahabat saya hidup di
tempurung kami.
Tempurung kami tidak
mengajari kami tunduk pada “pasar zaman” yang menjajakan jajanan bernama cinta,
walau kampanye besar-besaran telah dilakukan melalui film, lagu, stereotype, fashion.
Namun di tempurung ini kami menyadari bahwa cinta tidak memilih, namun dipilih
oleh Sang Pencipta untuk ditemukan dengan pasangannya, yang akan bersama
melangkah untuk memperjuangkan dunia yang lebih baik. Mencoba membenahi dari
berbagai aspek, ideology, pendidikan, teknologi, dll.
Di hari-hari lain mungkin
kami perlu berwisata ke tempurung-tempurung lain guna melihat perkembangan
mereka, membuka pikiran untuk hal-hal baru yang membawa kebaikan. Kami bisa
membawakan oleh-oleh berupa pemikiran baru yang membawa kemaslahatan untuk
penduduk tempurung kami, namun tidak sekali-kali untuk hal-hal yang lebih primitive.
Disini, kami memiliki dasar yang pasti dan terukur, yang tak akan pernah lekang
dimakan zaman, dan sebut itu …… “agama”.
0 komentar:
Posting Komentar