Namaku hijab, aku buruh pada tuanku sepanjang waktu, dari pagi hingga pagi lagi. Hampir 24 jam aku menghabiskan waktu dengan tuan-tuanku, menjaganya dari serangan mata – mata kaum Adam yang membara. Terkadang aku mendapat masa libur untuk beberapa saat, menyenangkan memang, ketika kau bisa merebahkan diri sejenak dan berendam bersama dengan busa sabun, setelahnya kita bebas berjemur dibawah sinar matahari seharian, dihangatkan oleh setrikaan dan disemprot parfum agar tidak digigit ngengat.
Aku menyayangi tuanku, karena ia menghargai keberadaanku, membuatku menjadi bernilai, menjadi prajurit penjaga Al-Maidah 54. Tak jarang ketika aku menemani tuanku ke kampus atau ruang kerja aku bertemu dengan buruh-buruh serupa denganku, mereka memiliki corak yang lebih ramai dan warna yang mencolok. Aku heran kadang, apa yang mereka lakukan, alih-alih melindungi, tapi buruh ini justru semakin menarik perhatian lelaki. Sekilas aku melirik pada tuan mereka, satu stel pembungkus badan yang ketat dan menunjukkan eksotisme lekukan tubuh perempuan. Rambut digelung keatas bak punuk unta yang bergoyang-goyang, seorang buruh memang perlu memilih tuan.
Malam itu tuanku belum juga pulang. Sang mentari telah kembali ke peraduan, aku tak lagi bermandi sinarnya namun menggigil melawan suhu malam yang mencekam. Kemana tuanku ? apakah ia sibuk dikantornya ? atau ada kuliah malam ? Tiba-tiba seorang bapak berpakian kumal menghampiriku, merenggutku dari tiang jemuran, aku ingin menjerit dan meronta, tapi tangannya mengenggam erat tak terelakkan. Aku pasrah.
Dibawanya aku ke gubuk tua di pinggir rel kereta. Sejenak sesungging senyum mengembang dari sudut bibir “Ayah membawakan jilbab untukmu !”. Sesosok anak usia belasan, melompat kegirangan ! diraihnya diriku, dibawanya kedepan kaca buram dan dikenakannya aku dengan berbagai gaya. Sejak hari itu, aku memiliki tuan yang baru.
Tuan baruku begitu sayang padaku, tidak seperti sebelumnya, aku jarang sekali mendapat libur, hanya ada tiga hijab yang buruh padanya, dan yang satupun sudah usang. Setiap aku selesai bermandi busa sabun dan berjemur, langsung esoknya aku kembali bekerja padanya. Taka da lagi parfum, hanya seonggok kapur barus putih yang tak sempat aku berkenalan dengannya.  Siang ini aku lelah sekali menghalau sinar matahari, aku ingin segera sampai di rumah dan berendam di ember busa sabun, tapi mataku tertuju pada satu sosok semampai, oh…. Aku ingin berlari dan memeluknya, aku merindukannya… tuanku… tuanku yang dulu.. tapi, tunggu dulu… kemana perginya gamis yang selalu menjadi patner kerjaku ? sudah pensiunkah dia ? aku tak habis pikir, karena ia kini mengenakan budak-budak barunya… blue jins dan blouse ketat, tiba-tiba kau merasa usang dan tidak percaya diri.

Aku ingin menjerit dalam lautan kerinduan, aku merindukan tuan lamaku, jauh sejak aku diangkut secara paksa dari tiang jemuran. Tapi kini aku bekerja dengan tuan baruku dengan permulaan yang berkecamuk. Ah, aku tak tau lagi, aku hanya berbisik, Hijab’pun bertuan…