Jumat, 31 Mei 2013


Hai ! perkenalkan nama saya Candra, saya memiliki ketertarikan yang tinggi terhadap aktivitas sosial, mungkin karena saya gerah melihat betapa berantakannya tempat hidup manusia yang disebut bumi ini. Semua berjalan dengan seenak hati, biasa anak muda menyebutnya “loe-loe gua-gua”.

Coba bayangkan, disaat Jakarta diterjang banjir rop, kita cuek-cuek saja menggunakan tisue setiap hari. Padahal jutaan pohon harus di tebang perharinya untuk memenuhi kebutuhan manusia akan tissue. Please imagine ! Kalau kita sedikit saja memiliki empati untuk mengganti tissue dengan sapu tangan, setidaknya jutaan pohon tidak jadi di tebang, suhu bumi tetap dingin, es tidak mencair, dan masyarakat Jakarta tidak perlu bersahabat dengan banjir.

Kepekaan-kepekaan kecil inilah yang saya dapatkan dari berbagai aktivitas sosial saya. Namun, sama seperti yang lain, saya tidak begitu saja serta merta menjadi peka tanpa sebuah penyebab yang pasti. Cerita saya ini berawal ketika saya duduk di bangku SMA.

Sosok tinggi kurus itu bernama Anna Amalia, pembawaannya bersemangat, kreatif, dan supel. Ia lahir dari keluarga yang biasa saja, benar-benar biasa, namun semangatnya sama sekali tidak biasa. Saat itu kami memiliki kebiasaan untuk saling meminjam buku, dan tiba-tiba ia punya ide untuk membuka perpustakaan kecil di garasi rumahnya, kami mengumpulkan seluruh buku yang kami punya, menyebarkan pamflet kepada teman-teman di sekolah dan memulai usaha peminjaman buku.

Perpustakaan kecil ini bernama Ad-Nina. Karenanya semakin banyak teman-teman kami yang mulai rutin membaca. Kala itu kami memberi tarif tiga ratus rupiah untuk tiga hari peminjaman dan gratis untuk baca di tempat, cukup murah bukan ? Biaya itu kami gunakan untuk membeli sampul plastik dan buku baru, secara bergantian kami piket jaga dari Senin hingga Sabtu.  Uniknya, garasi rumah Anna terletak tepat di depan Tempat Pembuangan Akhir sampah, dan itu sedikit memudahkan bagi kami untuk menuliskan alamat di pamflet. Semua berjalan lancar sampai suatu hari Anna dan keluarganya harus pindah kontrakan, berakhirlah aktivitas kami mengelola perpustakaan.

Sedih melupakan Ad-Nina begitu saja, namun lebih sedih lagi ketika saya mendengar curahan hati Anna, saat itu ia ingin sekali membantu orang tuanya untuk membayar kontrakan. Mereka sudah harus pindah dan belum ada biaya untuk menyewa kontrakan baru. Namun bukan Anna ketika menyerah begitu saja, ia mengajak saya untuk usaha pembuatan pin dan mendistribusikannya ke sekolah-sekolah, saat itu saya faham betul itu mustahil menghasilkan uang dalam jumlah besar, namun saya tak ingin mematahkan semangatnya, hingga luar biasanya ia menang lomba karya tulis dan mendapatkan hadiah yang cukup besar. Perjuangannya membuat karya tulis juga tidak mudah, harus menumpang kesana-kemari untuk mengetik makalahnya, sampai-sampai kami harus menginap di rumah salah seorang guru.

Menjelang kelulusan SMA adalah masa penuh tekanan, karena kami harus menghadapi ujian nasional dan mempersiapkan diri untuk ujian masuk perguruan tinggi yang soal tesnya bikin kepala serasa mau pecah. Saat itu Anna datang dan berkata, “ada apa dengan orang-orang di sekitar saya ? Bapak Ibu Guru, Ayah, Ibu, Kakak, semua bilang saya tidak mungkin kuliah, tidak ada biaya untuk itu, saya saja yakin bahwa saya bisa, hanya perlu dukungan semangat ! Itu saja !”. Kalau saya jadi Anna mungkin sudah menyerah, namun ia masih sempat bercita-cita menjadi menteri pendidikan dan menghapuskan UN.

Saat itu saya paham betul bagaimana kami merantau ke kota untuk bimbel, Anna mendapat tiket bimbel dari salah seorang teman dan tinggal di kos yang berbeda dengan saya. Sembari menepis keraguan, ia mendaftar beasiswa untuk masuk perguruan tinggi, hal paling mengharukan yang saya ingat adalah dimana ia hanya perlu seribu rupiah untuk makan setiap harinya.

Itulah puncaknya, saya menangis dan kontan memeluknya ! Ia mendapat beasiswa dari dikti untuk masuk perguruan tinggi. Tidak lama dari itu ia diterima SPMB di UPI. Sesekali ia menelfon saya dan menceritakan aktifitasnya disana, situasi kuliah baru, organisasi baru, sembari menjaga toko.

Sepertinya Tuhan benar-benar menyayanginya. Tidak lama dari itu, ia jatuh sakit, pertama dokter bilang itu komplikasi, antara magh, jantung, dan paru-paru, namun setelah dilakukan pemeriksaan lebih lanjut ia positif terkena kangker darah. Speachless saya tak mengerti harus menghiburnya seperti apa ! malah ia yang balik menghibur saya, bilang saya harus rajin belajar karena sebentar lagi UAS, bercerita tentang teman-teman di Bandung, dan tanpa sengaja saya baca konsep di Hpnya yang bertuliskan keyakinannya bahwa ia bisa sembuh melawan kangker.


Luar biasa emosi saya siang itu, melihat bagaimana layanan kesehatan memperlakukannya di penghujung usia. Saya tidak menemui nama Anna di RS, namun Jayanti, nama dari pemilik askes yang ia pinjam. Ia dicampur di bangsal dengan penderita paru-paru, benar-benar aneh ! Laporan kesehatan yang menyatakan ia terkena kangker darah tidak bisa dipakai karena namanya berbeda, perlakuan dokter juga hanya apa adanya. Beberapa hari setelahnya Anna benar-benar meninggalkan kami untuk selama-lamanya.

Semenjak saat itu saya merasa betapa hidup ini membutuhkan empati. Empati untuk anak-anak yang membutuhkan tempat tinggal, empati untuk memberikan kesempatan mengenyam pendidikan, empati untuk memberikan pelayanan kesehatan dengan baik, mungkin berat bagi orang-orang kecil untuk mengenyam pendidikan tinggi, mendapat layanan kesehatan yang memadai, namun kalau setiap kita memiliki empati untuk saling berbagi, setidaknya semua masalah itu bisa dilalui dengan lebih ringan.

Perkenalan saya dengannya memang singkat, namun meninggalkan kesan yang mendalam,  bagaimana kami sama-sama mengelola Ad-Nina, bagaimana ia bersikeras meraih mimpinya. Semangat itu bernama Anna ! sejak saat itu saya belajar untuk lebih peka dengan orang lain, sejak saat itu saya menyadari ada hal-hal kecil yang bisa saya lakukan dan memberi dampak besar, sekedar mengurangi penggunaan tissue, donor darah, hingga belajar advokasi dan sosial empowerment untuk membantu Anna-Anna lain dimasa depan.

Bagaimana caramu melawan ketika pada akhirnya kau menyadari bahwa pahlawan yang kau pilih hanyalah sosok-sosok tersesat yang tidak megenal dirinya ? Gerbong-gerbong kereta telah jauh meninggalkan stasiun dan kudapati dirimu sendiri diantara zombi-zombi yang sedang lapar. Seperti lembar buku, ia akan terus maju dan masalalu adalah episode sejarah bagimu.

Dalam kilah bahwa persahabatan Soekarno dan Hatta dalam membangun bangsa inipun mengalami pasang surut, aku bertanya, kemana perginya mata ? karena aku buta, akan semangat yang tak urung pudar, jiwa yang menjaga dirinya, dan ketidaksempurnaan yang terus berbenah. Dalam cerita dimana kita tak saling bersua, kudapati dirimu terluka dalam cita yang terbungkus asa.

Semua telah terlambat saat kau dapati malaikatmu tak bersayap. Ribuan mil terhampar untuk kau tapaki dengan setiap langkah dan keikhlasan hati. Songsong cerita baru esok hari, karena aku yakin pada akhirnya kita akan sama-sama kembali kepangkuan Ilahi.

Hari-hari dimana saya bersyukur berada di tengah keluarga yang sungguh luar biasa. Dari mereka saya belajar menjadi manusia besar, bukan perkara jabatan, harta, namun tentang menjadi khalifah di muka bumi ini. Impianku untuk memiliki hidup yang sederhana, dan melakukan sesuatu dengan sederhana semakin mendapatkan kesepakatan dari berbagai pihak. 

Semakin terenyuh saya mendengar opini salah seorang ibu dari teman saya yang saya kenal sebagai sosok yang tidak biasa. Sungguh seperti itulah para orang tua dari generasi luar biasa membesarkan kami.

"sudahlah.... jangan terlalu idealis dengan skripsimu !, kalau mau idealis nanti saja kalau sudah S3...!" setidaknya saya tidak begitu nyaman dengan kata-kata itu dan lebih nyaman dengan "berikanlah yang terbaik dengan skripsimu, setidaknya ketika kelak engkau bisa melanjutkan sekolah ini menjadi awal yang baik, dan jika engkau tidak bisa melanjutkan, ini menjadi karya tulis terbaikmu." saya lebih nyaman dengan itu.

Aku sadar betul dunia ini dikendalikan oleh segelintir orang, dan aku hanya pion-pion kecil yang terhitung, namun aku yakin Sang Pencipta tidak melihat dari sana. Jauh dari cita-cita yang melambung, aku hanya ingin belajar dengan maksimal untuk pada akhirnya memulia sekolahku sendiri, walau hanya degan 5 orang murid. 

Dan Allah sunggguh luar biasa dengan mengirimkan orang-orang baik disekitar saya, yang membantu dengan sungguh-sungguh. Yang kembali membangkitkan semangat untuk menuntut ilmu. Ya, aku ingin kesana, Harvard Graduate School of Education, International Education Policy. Tidak terlalu berambisi. Hanya ingin melihat bagaimana segelintir orang yang mengatur dunia itu bekerja, sehingga aku tau apa yang bisa aku lakukan untuk sekolah kecilku nanti, walau hanya bersiswa 5 orang saja.

Sekali lagi tidak terlalu berambisi, karena sesungguhnya aku telah mengantongi kebijakan terbaik, yakni Islam, hanya ingin membandingkan saja. Dan disana saya bisa mendapat gambaran tentang dunia versi peradaban masa kini.

Apa ? desain project samai jam 5 pagi ? Plakkkkk !!! sebagai anak muda muslim yang sedang dijajah aku tak pernah bekerja sekeras itu. Mungkin sebenarnya ini bukan bentuk penjajahan, namun aku yang menyerahkan diri menjadi budak.

Pada akhirnya semua bermuara pada satu hal, yakni semangat perubahan. Sungguh orang-orang itu bekerja keras, lalu ada apa denganmu ? ketika sudah mendapat dukungan penuh dari orang-orang terdekat ! just break a leg and change !



Minggu, 19 Mei 2013


Pada Republika.co.id edisi 30 Maret 2013 diberitakan dari keseluruhan 2.379 desa yang ada di Lampung, 486 desa masih dalam kondisi tertinggal. Itu artinya sekitar 20% dari keseluruhan wilayah di Lampung masih membutuhkan perhatian khusus dari berbagai pihak. Selain itu, berdasarkan indeks pembangunan ketenagakerjaan Provinsi Lampung Tahun 2011, jumlah penganggur terbuka adalah 239.980 orang dengan jumlah penganggur terbuka tamatan SD-SMTA mencapai 177.772 orang.

Data yang tersaji diatas bisa kita lihat melalui dua sudut pandang. Sudut pandang masalah dimana Provinsi Lampung memiliki 20% daerah tertinggal dan ribuan pengangguran, atau sudut pandang potensi dimana kita masih memiliki sumber daya alam dan sumber daya manusia yang belum dieksplorasi dengan baik. Perubahan sudut pandang tersebut memberikan pengaruh besar dalam desain program yang akan diimplementasikan di lapangan, yakni merubah obyek kemiskinan yang menunggu perhatian dari pemerintah menjadi subjek yang mampu merubah kondisinya sendiri.

Dalam hal ini, upaya percepatan pembangunan yang terbaik adalah dengan melibatkan banyak pihak. Sebagaimana percepatan pembangunan yang pernah dilakukan pada program Repelita I dan Repelita II pada era orde baru yang melibatkan pemerintah, militer dan masyarakat. Saat ini ada satu potensi yang bisa kita berdayakan dengan baik dengan memegang prinsip simbiosis mutualisme, yakni dunia pendidikan. Dunia pendidikan memiliki ribuan tenaga ahli dan ratusan ribu pelajar yang membutuhkan media belajar yang lebih riil, sementara di lain pihak masyarakat membutuhkan sentuhan tangan ahli. Sehingga dengan sebuah kebijakan yang tepat untuk keduanya akan melahirkan penyelesaian masalah yang murah dan berkelanjutan.

Mengembalikan Harapan Pendidikan

Semangat awal setiap orang tua mengirimkan putra-putri mereka ke sekolah adalah karena adanya
keinginan untuk merubah hidup. Perubahan yang diharapkan beragam, mulai dari yang tidak tau akan ilmu pengetahuan menjadi tau, dari yang tidak memiliki kemampuan melakukan sutu hal menjadi mampu, hingga dari yang tidak peka terhadap masalah menjadi peka, bisa menggunakan ilmu pengetahuan untuk menganalisanya, dan mampu menyelesaikannya dengan keahlian yang dimiliki. Ketiga hal tersebut dalam ilmu pendidikan biasa disebut dengan istilah kognitif, afektif, dan psikomotor.

Dalam bahasa yang lebih sederhana, setiap orang tua mengharapkan adanya upaya pembebasan dari masalah yang sedang mereka alami. Dari miskin menjadi sejahtera, dari bodoh menjadi pintar, dari lahan kosong menjadi lahan pertanian, dari seekor ayam menjadi peternakan,dll. Namun pada kenyataanya, banyak dari harapan itu harus kandas di tengah jalan, bahkan kelulusan anak-anak dari sekolah menjadi masalah baru yang harus dipecahkan. Pengangguran menjadi masalah baru yang pada  akhirnya membentuk opini masyarakat bahwa pendidikan itu tidak penting, toh yang sudah sekolah tinggi-tinggi pada akhirnya juga bingung pekerjaan.

Muatan Lokal Bisa Menjadi Penunjang

Kurikulum sekolah di Indonesia telah disiapkan untuk mengajarkan beberapa pelajaran tertentu seperti Matematika, Bahasa Indonesia, dan beberapa pelajaran lain yang sifatnya pokok. Namun, diluar itu ada suatu porsi yang dikembalikan pada kebijakan daerah yang disebut dengan muatan lokal. Penentuan pelajaran muatan lokal disesuaikan dengan keterbutuhan di setiap daerah, ada beberapa sekolah yang memberikan muatan lokal pertanian, seni budaya, elektro, atau bahasa asing, yang semua itu kembali disesuaikan dengan kearifan lokal daerah.

Menjawab permasalahan provinsi Lampung akan jumlah 20% desa tertinggal, tingginya angka pengangguran yang menantikan lapangan pekerjaan, dan banyaknya sumber daya alam yang belum dikelola dengan baik, muatan lokal kewirausahaan sosial mampu menjadi jawaban dengan merubah sudut pandang pelajar di sekolah dari obyek kemiskinan menjadi subyek kemiskinan.

Jawaban atas pertanyaan mengapa harus kewirausahaan sosial, bukan pertanian, elektro atau muatan lokal lain yang memberi ketrampilan khusus adalah karena kewirausahaan sosial mengajarkan kepada anak didik untuk menciptakan lapangan penkerjaan sekaligus menyelesaikan permasalahan sosial yang terjadi. Dilain pihak, mata pelajaran ini menumbuhkan rasa peka di hati para pelajar. Sebagai contoh, di daerah Pringsewu banyak ditemukan petani singkong yang hidup dibawah garis kemiskinan, maka melalui pelajaran kewirausahaan sosial, guru mengarahkan para siswa untuk membina para warga membuat kelanting, dikemas dengan baik, dan dipasarkan di kantin-kantin sekolah ataupun perkantoran dengan bekal ilmu ekonomi yang telah di dapat disekolah. 

Dari pelajaran ini siswa diajarkan beberapa hal, pertama siswa diajarkan untuk peka dengan kondisi sosial yang ada disekitarnya, kedua siswa memiliki laboratorium langsung untuk mengaplikasikan ilmu yang di dapat dari sekolah, ketiga siswa mendapat wadah internalisasi minat, bakat, dan hobi, dan keempat siswa memiliki keahlian softskill untuk berwirausaha, sehingga ketika ia tidak dapat melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, para pelajar ini sudah memiliki ketrampilan untuk survive di dalam kehidupan.

Membangun Dari Sekolah


Sekolah dengan ribuan tenaga pendidik dan jutaan anak muda bisa menjadi suatu aset besar di dalam perubahan, untuk itu pemerintah hanya perlu menentukan sebuah kebijakan strategis yang mudah dilaksanakan dan memberikan dampak perubahan besar. Pertama, sebut saja jumlah SMA yang ada di Lampung, terdapat lebih dari 494 SMA dengan 88.981 siswa/tahun. Jumlah ini dapat memberikan dampak yang besar dalam mengurangi pengangguran seandainya saja satu orang dapat menolong tiga orang lainnya yang tidak memiliki pekerjaan di Lampung.

Kedua, anak muda cenderung responsif terhadap perkembangan, dalam artian mereka memiliki kemampuan menyelesaikan masalah dengan cara-cara kontemporer yang kreatif dan relatif lebih fresh. Golongan anak muda ini mampu diarahkan untuk menyelesaikan masalah sesuai dengan hobi, minat, bakat, dan keilmuan yang telah mereka miliki.

Ketiga, anak muda merupakan kelompok rentan yang harus mendapatkan penyikapan dengan baik. Puluhan ribu anak SMA ini akan menjadi calon pengangguran baru setelah lulus jika tidak dipersiapkan dengan baik. Namun, jika sekelompok anak muda ini mampu kita rubah posisinya dari objek menjadi objek, maka secara tidak langsung kita telah menyelamatkan mereka dari ancaman pengangguran sekaligus menyelesaikan maslaah pengangguran yang sudah ada.

Keempat, anak muda merupakan future generation yang akan menggantikan generasi tua di masa datang. Sudah saatnya anak muda ini dibekali dengan kemampuan yang mumpuni dan kepekaan sosial yang tinggi, sehingga kehidupan di masa mendatang menjadi kehidupan yang jauh lebih ramah dan bersahabat bagi semua orang dibanding hari ini.

Kelima, kewirausahaan merupakan muatan lokal yang mudah diajarkan, karena para guru hanya perlu memandu siswa untuk mengenal dirinya, mengenal lingkungan, mengenal pola kewirausahaan sosial, merancang ide kreatif, dan pendampingan implementasi. Materi kewirausahaan sosial cenderung lebih aplikatif dan sederhana, tidak sekomplek seperti mengajar elektro, pertanian, atau seni budaya, namun lebih seperti training capacity building dan pendampingan implementasi.

Sebuah ide pembangunan untuk pengentasan kemiskinan di Lampung tidak harus selalu dimulai dari infrastruktur, mengundang investor asing, dan membangun pabrik-pabrik besar yang bisa mengolah sumber daya alam sekaligus menyerap ribuan tenaga kerja. Ide pembangunan bisa dimulai dari bangku sekolah, dengan memanfaatkan sumber daya terdidik. Terlebih lagi, produk yang dihasilkan dari program ini adalah usaha mikro dimana kita sama-sama tau bahwa sektor mikro memiliki ketahanan terhadap krisis dengan lebih baik. Namun, yang paling utama dan mendasar adalah kita mampu mencegah lahirnya calon-calon pengangguran baru sekaligus menyelesaikan masalah pengangguran yang terimplikasi pada kemiskinan dan lambatnya pembangunan 20% desa tertinggal di Lampung.



Pendidikan adalah salah satu proses yang paling mendasar dalam kehidupan manusia. Pendidikan memberikan kemampuan dasar untuk mampu mengembangkan diri dan mengejar kehidupan yang lebih baik. Pendidikan juga berperan dalam pembentukan struktur perilaku dan pemikiran seseorang. Oleh sebab itu, tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan adalah kunci menuju pertumbuhan nasional dan keberlanjutan masa depan. Tanpa warga negara yang berpendidikan baik, negara akan menghadapi kesulitan di berbagai aspek kehidupan.

Sektor pendidikan mengalami beberapa perkembangan dalam satu tahun terkahir, diantaranya pembebasan uang pangkal perguruan tinggi, peningkatan anggaran pendidikan hingga 20% baik dari APBN maupun APBD hingga peluncuran program bidik misi bagi sebagian mahasiswa baru. Perbaikan ini menunjukkan bahwa secara perlahan pemerintah semakin memperluas akses pendidikan kepada seluruh lapisan masyarakat sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD bahwa pendidikan adalah hak segala bangsa.
Dalam rangka usaha menuju perbaikan pendidikan yang lebih menyeluruh, sekiranya kita juga mampu memberikan evaluasi program selama satu tahun terakhir yang perlu diperbaiki guna mendapatkan suatu sistim pendidikan terbaik, diantaranya :

Anggaran 20 % dan Upaya Pemberantasan Korupsi Pendidikan

Komitmen negara dalam menyelenggarakan pendidikan bagi seluruh warga negara terlihat dari keseriusannya menganggarkan APBN dan APBD untuk pendidikan, melalui pendanaan yang serius akses pendidikan untuk semua warga negara akan semakin baik. Fasilitas yang memadai, pembangunan sekolah hingga ke pelosok, pemerataan guru, hingga murahnya biaya pendidikan semakin memudahkan akses pendidikan bagi rakyat kecil di Indonesia. Satu hal yang perlu di garis bawahi adalah ketegasan Mahkamah Konstitusi dalam mengawal anggaran pendidikan 20% di berbagai daerah, karena itu semua adalah amanat dari konstitusi sehingga daerah yang belum menganggarkan anggaran pendidikan paling minimal 20% perlu mendapatkan tindak lanjut.

Terkait dari besarnya anggaran yang sudah diusahakan oleh pemerintah, upaya pemberantasan korupsi di bidang pendidikan perlu mendapatkan perhatian khusus. Penyaluaran dana BOS, pemenangan tender proyek yang ditengarai sebagai sebab huru-hara pada pelaksanaan UN,  penyaluaran beasiswa, dana pembangunan infrastruktur seperti gedung sekolah, rumah sakit pendidikan, dll perlu mendapatkan pengawalan yang ketat guna menghindari penyelewengan besar-besaran, karena pada akhirnya sebesar apapun dana yang dianggarkan tidak akan berpengaruh selama korupsi di bidang pendidikan masih dibiarkan.

Peninjauan Kembali UU PT

Paska disahkannya UU PT pada 13 Juli 2013 lalu, setidaknya ada dua poin utama yang perlu dievaluasi, yakni otomisasi keuangan dan internasionalisasi. Dimana dua garis besar penolakan tersebut dikhawatirkan dapat menyebabkan beberapa hal. Pertama, melambungnya biaya pendidikan tinggi yang harus ditanggung masyarakat karena otonomi yang kebablasan dan lepasnya tanggung jawab pemerintah. Kedua, Perguruan tinggi tidak hanya berfokus mencerdaskan anak bangsa, tetapi juga mencari uang untuk memenuhi kebutuhan biaya operasionalnya. Ketiga, pendidikan hanya diorientasikan untuk memenuhi kebutuhan pasar akan kuli terdidik. Keempat, perguruan Tinggi Asing akan berdiri di Indonesia dan mengancam nilai-nilai ke-Indonesiaan

Evaluasi Kurikulum 2013

Belum genap 10 tahun Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK/2004) dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP/2006) diterapkan, pemerintah melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) membuat kurikulum baru yang diberi nama Kurikulum 2013. Sejak 29 November 2012 lalu Kemendikbud telah mengumumkan draft resmi Kurikulum 2013.
   
Kemendikbud menjelaskan bahwa kurikulum 2013 ini menjawab permasalahan atas KTSP, namun problem sebenarnya ada pada Kemenduikbud itu sendiri yang tidak berpihak pada semangat perubahan paradigma pendidikan yang berorientasi pada keunggulan proses. Itulah yang kemudian merusak idealisme pelaksanaan kurikulum. Ada tiga hal yang merusak idealisme kurikulum di Indonesia. Pertama, Kemendikbud tidak melakukan riset evaluasi komprehensif atas pelaksanaan kurikulum sebelumnya. Kedua, Kemendikbud tidak menyiapkan guru terlebih dahulu secara sungguh-sungguh untuk mampu menterjemahkan kurikulum baru secara benar. Ketiga, Kemendikbud merusak seluruh semangat kreativitas guru untuk mengembangkan proses pembelajaran karena di kejar target Ujian Nasional yang cenderung cognitive oriented. Karena itu, perubahan kurikulum 2013 dirasa telah dilakukan tanpa melalui suatu proses riset yang komprehensif terkait kondisi di lapangan. Kalau ketiga akar masalah tersebut belum terjawab dengan baik, apapun kurikulumnya, tidak akan ada perubahan yang signifikan pada kualitas pendidikan kita. 

Ketiga hal diatas merupakan sejarah besar dalam dunia pendidikan yang terjadi selama satu tahun terakhir. Perbaikan yang mengacu pada spirit undang-undang dasar diharapkan mampu memenuhi kebutuhan pendidikan negara dalam rangka mewujudkan Indonesia yang berakhlak, maju, dan sejahtera.

Sebuah pekerjaan rumah yang besar bagi kita semua guna kembali mengulas apakah sistim yang hari ini ada, baik peraturan perundang-undangan maupun kurikulum sudah sejalan dengan spirit Ki Hajar Dewantara yang memerdekakan fisik, jiwa, dan ruhani manusia dalam konsep pendidikannya, atau justru sebaliknya, dimana kita beramai-ramai terjebak memperingati hardiknas secara seremonial  namun menginjak-nginjak nilai yang seharusnya kita junjung bersama. Pendidikan hanya bisa diakses oleh golongan menengah keatas dan siswa hanya diperlakukan untuk menjadi kuli terdidik, tentu hal tersebut sama-sama tidak kita inginkan, karena sesungguhnya pendidikan adalah hak segala bangsa dan merupakan upaya sadar untuk memanusiakan manusia.

Kamis, 02 Mei 2013


Kata-kata fiks mulai familiar di telinga saya semenjak ada kelas drama. Saat itu kami janjian untuk latihan, tapi datang satu pergi satu, akhirnya kita menyimpulkan "fiks gue bete hari ini !" (dalam konteks bercanda) sejak saat itu kata fiks menjadi akrab menjadi salah satu diksi kita, para mahasiswa english department '10.

Fiks ! hardiknas kali ini saya tidak akan membahas hal-hal yang besar seperti warisan pendidikan belanda yang menjadikan manusia sebagai komoditi perbudakan atau pendidikan perspektif Ki Hajar. Namun, saya akan bercerita pengalaman saya di hari ini yang sedikitbanyak menjadi penyebab segala permasalahan yang terjadi di dunia pendidikan hari ini.

Tepat di hari ini, 2 mei, kami mahasiswa pendidikan bahasa inggris merasakan PHP dari tiga orang dosen dengan tiga mata kuliah yang berbeda, sebenarnya ini terjadi beberapa kali, hanya saja hari lebih bermakna karena fiks tanggal 2 mei.

Permasalahan pertama adalah kami ini calon guru, apa yang terjadi pada kami akan memberikan dampak pada generasi selanjutnya, jika pada hari ini kami di didik dengan mental seperti ini, sampai kapapun, dengan kurikulum apapun, dunia pendidikan akan tetap kocar-kacir.

Permasalahan kedua, mengapa bapak-ibu dosen yang saya cintai ini tidak berfikir akan kepentingan pribadi kami dengan PHP setiap janjian waktu kuliah, lalu berubah, kami mengerti mereka memiliki kesibukan, namun apa mereka peduli dengan kesibukan kami ? yang mungkin kita bisa melakukan hal lain dengan lebih bermanfaat seandainya ontime dan disiplin dengan waktu perkuliahan.

Permasalahan ketiga, saya sendiripun menjadi bingung apa yang sebenarnya saya lakukan di kampus selama hampir lima tahun ini, seandainya semua itu dipadatkan, mungkin cukup menjadi satu semester saja...

Well, fiks ! tak perlu muluk-muluklah, mari lakukan hal-hal yang menjadi tanggung jawab kita dengan baik, biarpun itu hal kecil, ia akan memberikan dampak yang besar, seperti sebuah butterfly effect yang tidak kita sadari bahwa jika pada hari ini kita tidak tertib dengan komitmen perkuliahan, di hari depan akan ada kesuraman dunia pendidikan.

Ma'afkan saya menulis ini... selamat hardiknas !