Pada Republika.co.id edisi 30 Maret 2013 diberitakan dari keseluruhan 2.379 desa yang ada di Lampung, 486 desa masih dalam kondisi tertinggal. Itu artinya sekitar 20% dari keseluruhan wilayah di Lampung masih membutuhkan perhatian khusus dari berbagai pihak. Selain itu, berdasarkan indeks pembangunan ketenagakerjaan Provinsi Lampung Tahun 2011, jumlah penganggur terbuka adalah 239.980 orang dengan jumlah penganggur terbuka tamatan SD-SMTA mencapai 177.772 orang.

Data yang tersaji diatas bisa kita lihat melalui dua sudut pandang. Sudut pandang masalah dimana Provinsi Lampung memiliki 20% daerah tertinggal dan ribuan pengangguran, atau sudut pandang potensi dimana kita masih memiliki sumber daya alam dan sumber daya manusia yang belum dieksplorasi dengan baik. Perubahan sudut pandang tersebut memberikan pengaruh besar dalam desain program yang akan diimplementasikan di lapangan, yakni merubah obyek kemiskinan yang menunggu perhatian dari pemerintah menjadi subjek yang mampu merubah kondisinya sendiri.

Dalam hal ini, upaya percepatan pembangunan yang terbaik adalah dengan melibatkan banyak pihak. Sebagaimana percepatan pembangunan yang pernah dilakukan pada program Repelita I dan Repelita II pada era orde baru yang melibatkan pemerintah, militer dan masyarakat. Saat ini ada satu potensi yang bisa kita berdayakan dengan baik dengan memegang prinsip simbiosis mutualisme, yakni dunia pendidikan. Dunia pendidikan memiliki ribuan tenaga ahli dan ratusan ribu pelajar yang membutuhkan media belajar yang lebih riil, sementara di lain pihak masyarakat membutuhkan sentuhan tangan ahli. Sehingga dengan sebuah kebijakan yang tepat untuk keduanya akan melahirkan penyelesaian masalah yang murah dan berkelanjutan.

Mengembalikan Harapan Pendidikan

Semangat awal setiap orang tua mengirimkan putra-putri mereka ke sekolah adalah karena adanya
keinginan untuk merubah hidup. Perubahan yang diharapkan beragam, mulai dari yang tidak tau akan ilmu pengetahuan menjadi tau, dari yang tidak memiliki kemampuan melakukan sutu hal menjadi mampu, hingga dari yang tidak peka terhadap masalah menjadi peka, bisa menggunakan ilmu pengetahuan untuk menganalisanya, dan mampu menyelesaikannya dengan keahlian yang dimiliki. Ketiga hal tersebut dalam ilmu pendidikan biasa disebut dengan istilah kognitif, afektif, dan psikomotor.

Dalam bahasa yang lebih sederhana, setiap orang tua mengharapkan adanya upaya pembebasan dari masalah yang sedang mereka alami. Dari miskin menjadi sejahtera, dari bodoh menjadi pintar, dari lahan kosong menjadi lahan pertanian, dari seekor ayam menjadi peternakan,dll. Namun pada kenyataanya, banyak dari harapan itu harus kandas di tengah jalan, bahkan kelulusan anak-anak dari sekolah menjadi masalah baru yang harus dipecahkan. Pengangguran menjadi masalah baru yang pada  akhirnya membentuk opini masyarakat bahwa pendidikan itu tidak penting, toh yang sudah sekolah tinggi-tinggi pada akhirnya juga bingung pekerjaan.

Muatan Lokal Bisa Menjadi Penunjang

Kurikulum sekolah di Indonesia telah disiapkan untuk mengajarkan beberapa pelajaran tertentu seperti Matematika, Bahasa Indonesia, dan beberapa pelajaran lain yang sifatnya pokok. Namun, diluar itu ada suatu porsi yang dikembalikan pada kebijakan daerah yang disebut dengan muatan lokal. Penentuan pelajaran muatan lokal disesuaikan dengan keterbutuhan di setiap daerah, ada beberapa sekolah yang memberikan muatan lokal pertanian, seni budaya, elektro, atau bahasa asing, yang semua itu kembali disesuaikan dengan kearifan lokal daerah.

Menjawab permasalahan provinsi Lampung akan jumlah 20% desa tertinggal, tingginya angka pengangguran yang menantikan lapangan pekerjaan, dan banyaknya sumber daya alam yang belum dikelola dengan baik, muatan lokal kewirausahaan sosial mampu menjadi jawaban dengan merubah sudut pandang pelajar di sekolah dari obyek kemiskinan menjadi subyek kemiskinan.

Jawaban atas pertanyaan mengapa harus kewirausahaan sosial, bukan pertanian, elektro atau muatan lokal lain yang memberi ketrampilan khusus adalah karena kewirausahaan sosial mengajarkan kepada anak didik untuk menciptakan lapangan penkerjaan sekaligus menyelesaikan permasalahan sosial yang terjadi. Dilain pihak, mata pelajaran ini menumbuhkan rasa peka di hati para pelajar. Sebagai contoh, di daerah Pringsewu banyak ditemukan petani singkong yang hidup dibawah garis kemiskinan, maka melalui pelajaran kewirausahaan sosial, guru mengarahkan para siswa untuk membina para warga membuat kelanting, dikemas dengan baik, dan dipasarkan di kantin-kantin sekolah ataupun perkantoran dengan bekal ilmu ekonomi yang telah di dapat disekolah. 

Dari pelajaran ini siswa diajarkan beberapa hal, pertama siswa diajarkan untuk peka dengan kondisi sosial yang ada disekitarnya, kedua siswa memiliki laboratorium langsung untuk mengaplikasikan ilmu yang di dapat dari sekolah, ketiga siswa mendapat wadah internalisasi minat, bakat, dan hobi, dan keempat siswa memiliki keahlian softskill untuk berwirausaha, sehingga ketika ia tidak dapat melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, para pelajar ini sudah memiliki ketrampilan untuk survive di dalam kehidupan.

Membangun Dari Sekolah


Sekolah dengan ribuan tenaga pendidik dan jutaan anak muda bisa menjadi suatu aset besar di dalam perubahan, untuk itu pemerintah hanya perlu menentukan sebuah kebijakan strategis yang mudah dilaksanakan dan memberikan dampak perubahan besar. Pertama, sebut saja jumlah SMA yang ada di Lampung, terdapat lebih dari 494 SMA dengan 88.981 siswa/tahun. Jumlah ini dapat memberikan dampak yang besar dalam mengurangi pengangguran seandainya saja satu orang dapat menolong tiga orang lainnya yang tidak memiliki pekerjaan di Lampung.

Kedua, anak muda cenderung responsif terhadap perkembangan, dalam artian mereka memiliki kemampuan menyelesaikan masalah dengan cara-cara kontemporer yang kreatif dan relatif lebih fresh. Golongan anak muda ini mampu diarahkan untuk menyelesaikan masalah sesuai dengan hobi, minat, bakat, dan keilmuan yang telah mereka miliki.

Ketiga, anak muda merupakan kelompok rentan yang harus mendapatkan penyikapan dengan baik. Puluhan ribu anak SMA ini akan menjadi calon pengangguran baru setelah lulus jika tidak dipersiapkan dengan baik. Namun, jika sekelompok anak muda ini mampu kita rubah posisinya dari objek menjadi objek, maka secara tidak langsung kita telah menyelamatkan mereka dari ancaman pengangguran sekaligus menyelesaikan maslaah pengangguran yang sudah ada.

Keempat, anak muda merupakan future generation yang akan menggantikan generasi tua di masa datang. Sudah saatnya anak muda ini dibekali dengan kemampuan yang mumpuni dan kepekaan sosial yang tinggi, sehingga kehidupan di masa mendatang menjadi kehidupan yang jauh lebih ramah dan bersahabat bagi semua orang dibanding hari ini.

Kelima, kewirausahaan merupakan muatan lokal yang mudah diajarkan, karena para guru hanya perlu memandu siswa untuk mengenal dirinya, mengenal lingkungan, mengenal pola kewirausahaan sosial, merancang ide kreatif, dan pendampingan implementasi. Materi kewirausahaan sosial cenderung lebih aplikatif dan sederhana, tidak sekomplek seperti mengajar elektro, pertanian, atau seni budaya, namun lebih seperti training capacity building dan pendampingan implementasi.

Sebuah ide pembangunan untuk pengentasan kemiskinan di Lampung tidak harus selalu dimulai dari infrastruktur, mengundang investor asing, dan membangun pabrik-pabrik besar yang bisa mengolah sumber daya alam sekaligus menyerap ribuan tenaga kerja. Ide pembangunan bisa dimulai dari bangku sekolah, dengan memanfaatkan sumber daya terdidik. Terlebih lagi, produk yang dihasilkan dari program ini adalah usaha mikro dimana kita sama-sama tau bahwa sektor mikro memiliki ketahanan terhadap krisis dengan lebih baik. Namun, yang paling utama dan mendasar adalah kita mampu mencegah lahirnya calon-calon pengangguran baru sekaligus menyelesaikan masalah pengangguran yang terimplikasi pada kemiskinan dan lambatnya pembangunan 20% desa tertinggal di Lampung.