Jumat, 04 September 2015



Ada satu sosok, yang ketika ia hadir kau akan memaksa dirimu untuk tertawa, selelah dan sepenat apapun itu. Walau kau sedang terburu-buru, penuh tekanan dari tempat kerja, dikejar tugas kuliah, membagi waktu setengah mati untuk mengembangkan diri dan mencintai keluargamu. Ada yang hadirnya tak mampu kau tolak walau hanya sekedar membahas topik tak jelas, kesana kemari. Ada sosok yang pada akhirnya sangat kau khawatirkan kala ia sakit. Ada sosok yang menjadi alasan utama mengapa engkau menangis. Ada sosok yang ketika kau melihatnya penuh pikiran, maka pikiranmu akan semakin penuh. Ada sosok yang lebih kau harapkan ridhonya dari apapun, adalah ia yang selalu kau sebut dalam do'a lima waktumu. Ada sosok yang telah mengorbankan segalanya untukku; dan itulah ibu.





Selasa, 18 Agustus 2015


Untuk sampai pada titik ini, bertahan sejauh ini, berusaha untuk tumbuh dengan sebaik mungkin, bukanlah perkara mudah dan sederhana. Satu hal yang pasti, aku tidaklah sendiri. Tanpa campur tangan sosok-sosok yang tulus nan baik hati, apalah daya, hari ini mungkin tidak akan ada, ya... mungkin ada, tapi tidak seperti ini. Hingga aku begitu yakin akan betapa Agungnya Sang Penguasa jagad raya. Selalu ada kejutan manis yang tertuduga, dan seringkali menjumpai shock terapi tanpa peduli diri ini siap atau tidak. Selamat datang dua lima, usia yang benar-benar dewasa untuk bergabung pada gelanggang dunia. 

Untuk Orang Tua

Aku haru, bersyukur, bangga, lahir dari ayah dan ibu yang luar biasa. Semakin dewasa aku semakin menyadari bahwa hidup adalah pilihan, kaya atau miskin, baik atau jahat, tulus atau modus, semua kembali ke kita. Aku bangga punya ayah yang luar biasa, darinya aku melihat nilai kehidupan yang sesungguhnya, darinya aku melihat kebermanfaatan dan ruh pemberdayaan, darinya aku melihat keberanian dan perhitungan resiko, darinya aku melihat kemuliaan dan kesederhanaan, darinya aku melihat kecerdasan dan kelurusan. Aku bangga Utama Group pernah ada, aku belajar kala ia porak poranda, jiwa pemberdayaan itu mengalir pekat di darah ini hingga tanpa kusadari membawaku sampai ke Seattle. Entah kapan, tapi aku yakin saat itu pasti ada, saat semangat itu mampu kuterjemahkan dalam sebuah wahana nyata. Aku bangga akan ketulusanmu mengabdi pada yayasan, sungguh aku lebih memilih hidup seperti ini dibanding makmur namun hanya untuk keluarga sendiri. 

Dari sosok seorang ibu aku melihat wujud rasa syukur yang paling nyata, aku melihat kasih sayang dan perjuangan. Aku mengerti beratnya menggadaikan cita-cita, aku mengerti rasanya tidur paling akhir dan terjaga paling awal, aku mengerti bahwa menterjemahkan hal yang menurut masyarakat biasa saja menjadi hal yang sangat istimewa itu tantangan. Tapi demi anak-anakmu kau memilih itu. Sebulan saja aku menjaga penuh Ibram, rasanya semua hal sudah porak-poranda. Kamu menjaga kami, menjagaku sampai usia dua puluh lima. Tak terbayang lagi rasa khawatir apa yag pernah memenuhi pikiranmu, debar-debar jantung yang pernah menghantui, keletihan yang menghinggapi, air mata yang kau sembunyikan. Semoga Allah berikan tempat terbaik, benar-benar tempat yang paling baik. 

Untuk Adik-Adik

Bangganya aku menyaksikan kalian tumbuh. Mudah tumbuh pada lingkungan yang mudah, tapi kita bahu membahu, saling berbagi, saling mengalah, untuk maju bersama-sama. Keterbatasan takkan membuatku menyerah, apalagi menyaksikan kalian menyerah. Kita tak harus menyerah dan tak ada pilihan untuk menyerah. Impikan saja masa depan terbaik kita, melangkah saja, biarkan Tuhan yang mengatur sisanya. 

Aku tahu rasanya pahit, aku tahu rasanya berbeda dari teman-teman seusia. Tapi aku yakin hukum sebab dan akibat itu berlaku. Hari ini kita belajar dan bekerja keras, kelak kita menuai manfaat dan keberkahan dari apa yang kita perjuangkan hari ini. Dengan cara kita, kesederhanaan tidak akan menjadikan kita hina, kita harus bisa bangkit dari keterinjakan. Yang terpenting kita harus ingat rasanya tertindas, sehingga tidak akan balik menindas. 

Untuk Sahabat Sahabat Terbaik

Entah apa jadinya aku tanpa para pahlawan di jalan sunyi ini, yang tiba-tiba hadir disaat yang tepat, memberi semangat untuk sama-sama tumbuh dan belajar. Membangun impian akan masa depan. Tertawa, bertengkar, mengisi masa muda dengan cerita yang luar biasa. "Kalianlah malaikat tanpa sayap yang Tuhan kirimkan sebagai jawaban atas do'a-do'aku". Terimakasih untuk setiap dorongan moril dan materiil yang tak terhitung. Terimakasih telah menyisakan ruang dihati untuk kusinggahi. Semoga persahabatan kita sampai disurga, sulit untuk diuraikan satu per satu. Tanpa kalian aku hanya butiran debu. 

Saatnya...

Saatnya masuk ke dunia profesional, bekerja lebih serius lagi, mengembangkan pendidikan, merintis firma dengan lebih giat...

Saatnya memimpikan kebermanfaatan yang lebih besar, menjadi seorang katalis, berjuang tanpa nama dan bergerak tanpa kata... aku bermimpi suatu hari nanti, Indonesia akan menggunakan ide yang keluar dari buah pikiran diri ini... 

Saatnya memandang hidup dari sudut pandang nilai dan merdeka dari intervensi sosial yang belum tentu benar adanya. Berteman juga bentuk kecerdasan yang sebanding dengan piala olimpiade matematika atau omset 100 juta perbulan...

Saatnya tumbuh menjadi orang dewasa dan mengambil resiko sebagai orang dewasa, melakukan yang terbaik yang bisa dilakukan... 

Saatnya mengkohkan perjuangan meraih mimpi dan menerima kehadiran orang lain dalam hidup... be a patner in crime forever...  


Selamat datang dua lima... "adakalanya kesederhanaan menjadi mewah dirasa, dan adakalanya kemewahaan menjadi hambar pada akhirnya... jadilah pribadi yang istimewa itu dan tundukkan hatimu, sesungguhnya yang ber hak untuk sombong adalah ia Yang Menciptakan Segalanya"



Kamis, 23 Juli 2015


Bagi anda yang mengawali dunia kampus dengan aktif di berbagai organisasi, sudah barang tentu tidak akan asing dengan istilah ‘setiap zaman melahirkan pemimpin’, karena kalimat tersebut cenderung diulang, puluhan, ratusan, bahkan ribuan kali di berbagai tempat. Yap ! Setiap zaman memang memiliki pemimpinnya sendiri. Sebut saja diera awal pergerakan kemerdekaan Indonesia dimana kita punya Cokroaminoto, diera perjuangan kemerdekaan yang melahirkan sosok Soekarno dan Hatta, diera pembangunan dengan gagasan Soeharto dan Habibie, dan puluhan contoh lain.

Hal tersebut juga berlaku dalam konstelasi sejarah dunia. Amerika serikat memiliki sosok George Washington yang mendeklarasikan kemerdekaan negara luas yang hari ini menjadi adikuasa tersebut, dari dunia islam hadir Muhammad Al Fatih yang memenangkan konstantinopel dan membebaskan rakyat pada masa itu dari pemerintahan yang korup, masyarakat kulit hitam punya Martin Luther King yang memperjuangkan kesetaraan ras hingga hari ini Barack Obama bisa berdiri gagah di podium kepresidenan seraya berkata “kita bisa !”.

Tempo hari ketika saya menyusun materi untuk workshop kepemimpinan bagi exchange participant AIESEC Unila saya mencoba mencari jawaban atas satu pertanyaan sederhana “hal terbesar apa yang paling mendukung sosok-sosok luar biasa tersebut menjadi seorang pemimpin ?” apakah latar belakang pendidikan ? keluarga ? teman sepergaulan ? dan jawabannya sungguh mengagumkan, kondisi yang tidak normal lah yang menjadikan mereka sebagai pemimpin yang besar di zamannya.

Ketidakidealan kondisi yang seseorang alami mampu memancing individu tersebut untuk tumbuh berbeda dan menjadi solusi bagi zamannya, atau secara tidak langsung sebuah zaman telah melahirkan pemimpinnya melalui sebuah proses yang alamiah. Sebut saja Martin Luther King yang memperjuangkan kesetaraan bagi ras kulit hitam dan menghapuskan perlakuan tidak manusiwi yang kelompok tersebut rasakan, Mark Zuckeberg menjadi pemimpin inspiratif karena mencetuskan sebuah platform yang memudahkan setiap individu dalam berkomunikasi pada era modern ini, juga Mahatma Gandhi di India, Hellen Keller bagi kaum difable, dan Soekarno untuk Indonesia.

Namun jika anda kritis, sebuah pertanyaan susulan akan muncul, ‘dari ratusan bahkan ribuan orang yang hidup di era tersebut mengapa hanya segelintir orang yang kemudian muncul sebagai tokoh pendobrak ?’. Menurut hemat pribadi saya ada dua hal yang membuat mereka kemudian menjadi ‘anomali’ atau ‘berbeda’, yakni ‘kepekaan’ dan ‘ketulusan’.  

Kepekaan dan ketulusanlah yang membedakan mereka dari ribuan bahkan jutaan orang yang hidup pada masa itu. Jika Martin Luther King bersikap biasa saja melihat fakta ketidakadilan yang dialami oleh ras kulit hitam dan berhitung untung rugi dalam perjuangannya, maka bisa jadi sejarah hari ini akan berbeda. Begitu juga Mark Zuckeberg yang merintis facebook dengan penuh rintangan, jika ia tidak peka membaca kebutuhan zaman dan berhitung dalam perintisan platform tersebut di awal waktu, maka ia sudah akan menyerah dari jauh hari karena khawatir bangkrut dan segudang ketakutan dari resiko lain. 

Orang-orang tersebut tidak terlahir untuk menjadi individualis, mereka peka terhadap permasalahan di sekitarnya dan berusaha melakukan yang terbaik tanpa sebuah perhitungan keuntungan pribadi yang rumit. Mereka menikmati perjuangannya, mensyukuri ketidaknormalan kondisi yang dialami, mencari-cari masalah, dan berusaha melakukan perubahan yang terbaik, itu saja !

Pendidikan dan Pemimpin Sintetis

Pada akhirnya sayapun tergelitik dengan jalan pikiran saya sendiri. Lalu bagaimana dengan saya hari ini ? bisa dibilang saya hidup dalam kondisi yang nyaman dan tidak mengalami kondisi sulit yang seekstrim mereka ? --atau bisa jadi karena ketidakpekaan saya menangkap masalah-- karena diakui atau tidak, ketidak adaan tekanan tersebut seringkali membuat kita terdiam di zona nyaman dan tidak berbuat apa-apa.

Biar bagaimanapun alam mendidik dengan baik dan begitu alami. Namun seiring dengan perkembangan zaman, manusia mencoba merubah proses tersebut menjadi produk sintesis bernama kurikulum, merekayasa sebuah kondisi dimana seseorang bisa belajar dengan baik, mendekati kondisi sempurna yag disediakan langsung oleh alam.

Pada akhirnya sekolah-sekolah bersaing membuat sebuah kurikulum unggul, organisasi-oraganisasi hadir dengan tawaran proses pengembangan diri yang beragam guna mendidik sekelompok pemimpin bagi masa depan. Bukan pemimpin formal yang hanya duduk pada kursi pemerintahan, bukan pemimpin dalam wujud kata benda, namun lebih pada pemimpin dalam wujud kata sifat yang dimiliki oleh siapa saja; dokter, guru, arsitek, dll. Sehingga pemimpin tersebut mampu menghadirkan solusi bagi permasalahan zamannya melalui kepakaran masing-masing.

Pola Pendidikan Indonesian Future Leaders dan Beberapa Organisasi Lain

Kembali melihat pada masa lalu, dimana saya pernah belajar di beberapa tempat yang berbeda, baik sekolah, pondok pesantren, komunitas, organisasi, dll, ada satu tempat dimana saya merasakan sebuah proses pendekatan yang sedikit berbeda dalam mendidik saya menjadi seorang pemimpin. Tempat ini juga mengemas sebuah workshop pembelajaran dengan sederhana sehingga saya mudah memahami.

Tempat itu adalah Indonesian Future Leaders, dimana saya bergabung pada tahun 2013, yakni saat saya menjadi pendiri di salah satu chapternya. Disini, jauh sebelum saya berdiskusi tentang teori kepemimpinan atau contoh pemimpin ideal saya justru dihadirkan pada sebuah workshop online via youtube yang mengajak kita untuk keluar dan menganalisa permasalahan apa yang ada di sekitar kita, dimana selanjutnya kita diarahkan untuk membuat sebuah proyek sosial yang mampu menyelesaikan permasalahan tersebut. Proses tersebut dimaksudkan untuk mengasah kepekaan, dan selanjutnya secara tidak sengaja, dengan sendirinya saya belajar mengatur tim, memaksimalkan sumber daya yang ada, juga memaknai ketulusan melalui konsep kesukarelawanan di setiap proyek sosialnya.

Sebuah proses sintesis yang mendekati alami sepanjang perjalanan saya belajar kepemimpinan di berbagai organisasi. Walau saya akui ada beberapa organisasi yang juga berbicara keresahan masyarakat, namun ia masih banyak berwacana pada sebuah ruang definisi yang abstrak dan cenderung sulit diterjemahkan oleh anggotanya –atau bisa jadi saya yang gagal paham--.

Lalu mana yang lebih unggul dari keduanya ? saya tidak bisa memutuskan, Indonesian Future Leaders memiliki kurikulum dengan pendekatan yang lebih alami, namun jika individu tidak terpancing untuk berfikir dan mencari lebih dalam bisa jadi mereka tidak akan sampai pada sebuah nilai yang berusaha disampaikan. Sebaliknya, organisasi yang memulai pendekatan dari lokus teori dan memancing keresahan bisa jadi hanya melahirkan sosok yang pandai berwacana melangit dan sulit menterjemahkan ide ke bumi.


Pada akhirnya keputusan untuk belajar secara utuh dan mengikuti sebuah proses hingga selesai menjadi pilihan yang paling penting ketika kita belajar, dimanapun itu.  Tidak perlu bingung untuk memilih belajar dimana, tapi belajarlah dengan baik. Karena sejarah di zaman manapun tidak pernanh mencatat orang yang setengah-setengah, dan sekali lagi, semua ini hanyalah sebuah perenungan dari pemikiran premature saya pribadi, mohon ma’af atas warna-warni keluguan disetiap detilnya.


Kamis, 14 Mei 2015


Secangkir kopi selalu memiliki kisahnya sendiri, seperti sore ini, ia memecah sunyi diantara kita yang berbulan-bulan tak bersua karena benua tak lagi sama. Kini aku paham mengapa starbuck bisa begitu mendunia, karena pada secangkir kopi itu tidak hanya tersimpan rasa, tapi juga asa dan cerita. Sementara hujan, mengayun merdu dengan melodi alam yang tak putus, seperti do’a yang selalu kupanjatkan untukmu atas semua kebaikan dan kenangan. Aku bebas menjadi diri sendiri kala senang dan marah, kala sedih dan pura-pura baik saja, pada Tuhanku aku jujur tentang warna hati yang tak selamanya dihiasi gradasi warna-warna indah, tapi pekat malam yang merindukan temaram cahaya lilin, dan kamu… mengajakku untuk menyalakanya, jauh di dasar hatiku.

Tak banyak yang mendengarkanku kala aku berkicau tentang Cordoba, Andalusia, juga celotahan dengan bahasa berat dan setengah-setengah, tapi secangkir kopi selalu punya tempat untuk siapa saja. Ia tidak pernah berkomentar tentang judul buku yang aku baca, dari novel ringan karya Andrea Hirata hingga Muqaddimah Ibnu Khaldun, dengan setia dia diam tapi ada, menemani dialektika baru yang tiba-tiba muncul kala lembar demi lembar terbuka. Juga ketika aku tiba-tiba mengagumi Al-azhar, Leiden, hingga Harvard, otakku tak dapat terbendung lagi untuk menumpahkan deret kata hasil olah imaji tetang dapur intelektual pada zaman yang berbeda, dia hanya tersenyum tenang dicangkirnya dan mengerdipkan mata pada gula pasir yang manis.

Ada kalanya aku penasaran pada Hunger Game, The Maze Runner, ataupun judul film lain yang tak sepopulis Fast Furious 7, dia sama sekali tak keberatan akan itu. Hanya ada jalan cerita dan aku di ruang teater, dan dia bercengkrama hangat di genggaman tangan bersama coklat yang membuatnya dikenal orang dengan sebutan moccacino.

Disebuah kota bersejarah yang melahirkan industri-industri besar dunia aku mencium aroma di setiap sudut kota, aroma yang akrab dengan keseharianku, dengan waktu-waktu terbaik yang pernah aku nikmati. Kutabambahkan beberapa sendok krim berwarna putih salju agar rasa pahit itu memudar, lalu aku duduk ditemani seacangkir kopi seharga $2  pada sebuah kafe kecil di lantai dasar sebuah bangunan yang kokoh, menunggu rekan kerja yang akan bersama membunuh hari yang berat, jam demi jam yang terasa cepat karena harus berjumpa dengan banyak kolega membicarakan bisnis dan juga kemanusiaan, hari dimana aku hanya sempat makan siang dengan sepotong sandwich karena dunia begitu cepat berputar dan menyisakan hanya dua pilihan, berhenti merajuk atau tertinggal.

Ini begitu sulit, dan aku ingin secangkir kopi saja yang menanyakannya, tapi ia tidak lebih dari benda mati yang menjadi saksi sejarah perjalanan penuh warna. Bersediakah kau menghabiskan cangkir demi cangkir kopimu bersamaku disepanjang hari yang tersisa hingga ajal menjemput ? Kita bisa berdisusi apa saja, di sudut-sudut Eropa hingga Asia, medengarkanku berkisah tentang jalan cerita di beberapa novel, menghabiskan waktu menyaksikan pemutaran film, sampai saat dimana sesekali kita berdebat panjang, saling diam, dan  terpaksa mengalah. Aku yang terlalu sederhana, tak tau tentang hari depan yang kau impikan, namun jika engkau bersedia, kau bisa ceritakan padaku dan izinkan aku membantumu meraihnya, memastikan bahwa penerusmu akan tumbuh dengan baik-baik saja, dan saling menguatkan dalam merajut keabadian di JannahNya. Jangan tertawa, karena aku tidak sedang bercanda. 




To whom it may concern;



I am writing this letter regarding Deni Burhasan application is sending your institutions. Absolutely, I understand your strange feeling on the first time you hear his name, but you will be more surprised after you start a conversation with him and discuss something.  When this world is full of narrow minded people who live in their own perspective and point of view or even love to put their self in their own box, Deni tries to hear other people arguments, thoughts, and jokes. That is showing clearly in my memories theater a moment at a night before Parlemen Muda Roadshow in Lampung. I  laid down in Hetty’s room to kill my fatigue after had three hours journey from my campus internship when suddenly Aris is calling me to join in a great discussion about democracy, government, prosperity, and youth movement. That was the first time i share idea with Deni and finally we entered in a long analytical discussion which successfully made us sleep at 3 am with a bunch of inspiration from each of us, I mean Deni, other friends, and me.

Entering a global community is a big problem for Indonesian youth, at least because of three reasons; (1) They cannot speak English which caused a big burden for them to communicate with foreigner, (2) They do not have enough background knowledge to talk about; it makes most of them insecure to have international friendship, and (3) They do not know any platform to go. Deni broke the limit by registered himself as a part of AIESEC although he knew clearly that he cannot speak English. Facilitate by google translate and supported by a strong eagerness, he started to speak and… voila ! nowadays, he is successfully become AIESEC ambassador and flight all over Indonesia to promote this exchange platform. Wait, do not stop here, he has a bunch of international friends in all over the world. It proven when he joined world international model united nations in Belgium and visited several countries in Europe, he successfully fight for ‘zero euro’ life because of friendship values (I am sorry to mention it). At least from this case you may see that Deni has a strong believe on what he dream about and persistent on the way how he fights to grab it.
   
Let me tell you the next chapter sir or madam… GoGoCampus is our dream for start up. This social enterprise aims to increase better access and better quality for higher education in Indonesia. A long day before, it’s name is Bedah Kampus, we changed the name for better branding because we wanted to propose $25K to the US embassy and successfully rejected in final assessment. Keep up your mind, this is not about how big GoGoCampus is, but a group of youth who want to turn on “hope button” in privilege societies. Deni, a group of friends and I conducted a school roadshow in East Lampung and Tanggamus, this is a long distance to go for promoting higher education access for senior High school students. Ones, we went by bus and the rest we went by motor cycle, we stayed for a night in a village, and arranged our tight schedule. Everything we did unpaid, even he should pay bus fee and others need by himself, Isn’t those voluntary activity look easy ? Yes ! if in your perspective; Deni comes from a rich family or at least middle income. But the fact is totally different (you may ask to him by yourself, because it is totally his right to tell about). The strong point that you should understand; he is the right candidate for the future leader. It is not because he is a part of Indonesian Future Leaders youth-led NGO, but in the perspective of helping other and creates an impact. We may find a big number of people who difficult to share something even they are available, but Deni break the limit and spare their time, energy, and money to help others. Can you imagine the condition when he has a better resource than ? I can guarantee that he gives bigger impact !

Sir and madam, an open minded people will learn faster than the close one, a persistent person will bring a dream into reality, and a respectful man is someone who we imagine to born in this world and make the worst condition become friendlier. Those three strong arguments should be your consideration to give Deni a chance to come in your institution. Talking about Deni is not only talking about himself, but also “a hope” for hundreds children. It means, when you give a chance for Deni you also successfully give a chance to transform this nation from zero to hero, that is why i could not find a reason why you should turn this perfect candidate down.



Warm regards


Candra




[ Have a good preparation for your 22nd year Deni, may Allah gives your age full of barakah, because give a surprise on the day or late after is too mainstream J  so, keep humble, grow faster and be a better person more than on what I write in this letter…. And as usual, sorry for a messy grammar :P ]