Sabtu, 23 Februari 2013


Dunia tercipta lengkap dengan negasinya, ada hidup ada mati, ada merah ada putih, ada kanan ada kiri, ada sosialisme ada kapitalisme, ada hitam ada putih, ada timur ada barat. Banyak hal yang berlawanan, saking banyaknya semua kata itu dihimpun dalam satu kamus antonim.

Mungkin aku, kamu, kita, kami, kalian, atau mereka juga terjebak dalam negasi masing-masing. Satu hal yang lebih dari sekedar perbedaan, satu hal yang ditakdirkan bersebrangan, membutuhkan diplomat ulung untuk mencapai suatu nota kesepahaman. Karena sepertinya moderat sejati itu tidak pernah ada. Sama seperti hak asasi manusia yang klise. Aku percaya tidak ada kebebasan yang benar-benar bebas, walau itu dibingkai dalam piagam hak asasi sekalipun, karena kebebasannmu bisa jadi menganggu kebebasanku.

Dunia diciptakan lengkap dengan porsi dan jua aturannya, Dialah yang menciptakan dunia yang mampu menciptakan aturan sejati. Dialah Maha Adil yang tak diragukan lagi.

Sosok kecil itu bernama manusia, luasnya dunia menyediakan ekosistem yang berbeda antara yang satu dan yang lainnya.  Sosok pemikir itu bernama manusia, ia terus bergerak menemukan makna diri, menciptakan tata kehidupan yang terbaik, bereksperimen dengan apa yang disebut pemikiran. Dari hari ke hari, hingga abad ke abad dunia terus berputar dengan sejarahnya, sebagai akibat dari pemikiran kreatif insan manusia.

Dalam petualangan menciptakan tatanan dunia itu mereka terus mencari, sebagian sampai pada Yang hakiki dan sebagian lagi terhenti. Pada suatu hari aku berkesimpulan, bukankah lebih indah ketika kita mempelajari pesan langit yang dikirim untuk makhluk bumi ?

Kesimpulan kecil bernama “tau diri” mengajakku berfikir bijak. Mengajarkanku menjadi diri sendiri yang terbebas dari nafsu ketenaran, kekuasaan, dan cinta insan manusia. Kesimpulan kecil bernama “tau diri” menjadi benteng atas rasa lemah dan lelah. Kesimpulan kecil bernama “tau diri” membuatku mengenal siapa diri ini dan siapa Yang Menciptakan diri ini. Karena padaNyalah aku berserah untuk hidup dan matiku.

Jumat, 22 Februari 2013



Pada tahun 2013 ini saya hanya memiliki satu resolusi, yaitu mengembangkan komunitas belajar “Speak Up” menjadi 25 titik. Jauh sebelum itu, saya menganggap ini seperti project sosial, dan bukan sebuah kursus bahasa inggris yang profit oriented. Just teaching for a better living ! Help them to find the key how to go to the global world. Entah mengapa atau apa yang terjadi, pergeseran itu terjadi secara perlahan, kami mengelolanya seperti sebuah bisnis, sampai akhirnya ada yang mengajak bekerjasama dan betapa bahagianya saya, karena kestrategisan lokasi baru tersebut.

Hari demi hari saya disibukkan oleh hal lain, karena merasa cabang baru sudah memiliki penanggungjawabnya sendiri saya pun tidak campur tangan lagi. Hingga ada suatu kejadian yang membuat saya harus take over dan ketika saya mencoba take over dan mempersiapkan segala sesuatunya dengan sempurna, pihak mitra menggagalkan kerjasama.

Saya sempat terdiam sejenak ketika menerima kabar tersebut. Ada apa ini ? Saya yang biasa akan semakin keras ketika disepelekan berbisik, “mungkin beliau tidak akan pernah melihat saya lagi, kecuali suatu hari nanti di TV”. Namun beberapa menit setelah perenungan, saya menjadi teringat bagaimana sejarahnya dulu semua ini terbentuk, dari obrolan tentang kegiatan aktivisme, kemudian diajak menghidupkan aktivitas di komplek dan perlahan berubah menjadi “speak up” dengan konsep kursus bahasa inggris.

Ada sesuatu yang hilang... kemana konsep “teaching for a better living” saya ? Astaghfirullah... bahkan saya sempat menyesal putusnya kerjasama ini karena terancam hilangnya pundi-pundi pemasukan. Padahal seharusnya ketika saya masih berpijak pada konsep awal, semua itu “nothing to lose” bagi diri saya pribadi, hanya saya harus mengeveluasi dan memperbaikinya untuk pergerakan ke depan.
 

Tentang Belajar Menjadi Pemimpin Yang Sesungguhnya

Dulu ketika masih duduk di bangku SMA, saya tergabung dalam beberapa organisasi. Berbeda dengan SMA lain, guru kami memberikan kebebasan full untuk bertindak, merencanakan, melaksanakan, mengevaluasi, dan menyelesaikan masalah. Jatuh bangunnya sungguh terasa, namun itu menjadi tempaan tersendiri yang menjadikan kita pribadi yang kuat dan siap bertarung di dunia yang terjal.

Setibanya di kampus saya melanjutkan karier organisasi saya, tahun-tahun pertama, all is well karena saya masih masuk kedalam organisasi hobi. Kemudian saya mulai tertantang untuk mencicipi organisasi lain. Pada suatu hari saya sadar ada sebuah invisible hand yang mengatur saya. Terkadang kami yang ada di organisasi ini memang tampil sebagai seorang pemimpin, namun bukan “the real leader” karena sesungguhnya “the real leader” adalah seseorang dibelakangnya. Dari sini saya lupa rasanya spekulasi untuk mengambil keputusan penuh dengan resiko penuh dan tanggung jawab penuh. Perlahan saya rindu dengan pelajaran masa-masa SMA yang lebih berjiwa muda dan menantang, dengan segudang hikmah yang menjadikan kita sosok yang matang.

I Ever Face The Worse !

Sedih memang melihat kondisi yang seperti ini. Ditinggalkan mitra, beberapa pengurus, itu menjadi teguran tersendiri untuk saya dan sayalah yang harus bertanggung jawab penuh atasnya tanpa menuntut siapapun. Ada sebab ada akibat.

Dahulu kala, ketika saya memimpin sebuah English Club saya pernah mengalami kondisi yang lebih buruk dari ini. Pihak sekolah yang kurang apresiasi, pendanaan, kapasitas anggota, hingga kurangnya mentor. Satu-satunya yang kami punya adalah pembina yang baik hati dengan dedikasinya yang penuh. Namun tak disangka, beliau pindah tugas dan betapa bercucurannya air mata saya kala itu. Kala itu beberapa tim kerja saya mengatakan “EC berakhir tanpa beliau”. Namun dengan berbekal keyakinan nothing to lose “toh ketika saya berhasil itu menjadi sejarah baik saya di SMA, dan ketika saya gagal, itu hanya masa lalu dimana saya akan segera meninggalkan SMA ini”. Berpijak pada prinsip itu saya berkata pada teman-teman “EC masih punya kita dan tidak akan berkahir di tangan kita”.

Ketika cobaan datang, itulah saat Allah ingin meningkatkan derajat kita. Tahun itu kami berhasil meletakkan pondasy untuk event bahasa inggris di kabupaten yang semakin besar saja di tahun-tahun depan dan Insyaallah masih eksis sampai sekarang, bahkan menjadi icon SMA dengan jangkauan yang lebih luas. Dulu, kami hanya menjadi EC pelengkap di Lampung, namun dengan kerja keras kami berhasil menjadi EC nomer satu dengan menyabet beberapa gelar juara umum.

Yahhh... i ever face the worse ! so, hari ini, saya bisa membangun speak up dengan ide-ide gila saya, toh apapun yang terjadi nanti, sukses, hancur berantakan atau semakin besar, nothing to lose untuk saya. Bissmillah.. You ever face the worse baby !

Rabu, 13 Februari 2013



Hoi... valentine is back ? serius ? demi apa ? demi hari kasih sayang doooooonnnggg !!!! Trus diluar 14 Februari bukan hari kasih sayang gituu ? Sungguh kalau aku boleh memilih aku tak mau 365 hari diganti hanya dalam satu hari, karena aku memiliki persediaan cinta yang begitu melimpah kalau hanya dihabiskan dalam satu hari. Aku memiliki persediaan untuk sepanjang tahun, bahkan sampai tahun depan dan depannya lagi.

Surely ! logika dan rasaku tak mampu menjangkaunya. Hari kasih sayang ? tapi masih banyak anak-anak tanpa harapan masa depan, ibu-ibu yang pergi mengais nasi ke negeri tetangga, mimpi mereka dibatasi, bahkan hidup disibukkan oleh urusan bertahan, jangankan merasakan perayaan hari kasih sayang, bermimpipun mereka dilarang.

Hari kasih sayang ? Rasa sayang mana yang dirayakan ? mari kita cari ada berapakah rumah sakit yang siap menerima pasien tanpa bayaran ? Apakah rasa kasih sayang itu hanya sebatas selebrasi. Kemana batinmu pergi ketika kau harus menyaksikan mereka kehilangan hak pengobatan, bahkan ketika mereka menahan sesak berjuang antara hidup dan mati.

Coklat ! Mawar ! Boneka ! Jalan-jalan ! mari kita jumlahkan pengeluaran yang dikeluarkan untuk selebrasi hari ini, cukup untuk membangun lapak-lapak baru bagi pedagang kaki lima yang kemarin digusur dan harus mendengar anak-istri mereka menangis dirumah. Tidakkah indah jika kita bersama membuat mereka tertata rapi, memberi sedikit harapan untuk sekedar memberi jaminan anti tangis kelaparan untuk anak istrinya.

Hari ini aku tau apa itu apatis, bodohnya aku dulu bahwa apatis adalah orang-orang sepertiku yang tak suka aksi di jalanan. Hari ini tertohok aku melihat sebuah selebrasi kosong tanpa makna hasil dari permainan issue pemilik industri cinta. Seapatis apa dirimu sehingga rela cintamu dikomoditaskan ?

Begitu sempit kasih sayang didefinisikan dalam bingkai hari valentine, begitu murah engkau mengekspresikannya, begitu singkat waktumu menikmatinya. Padahal Ia, Sang Maha Cinta memberimu cinta yang lebih agung, yang jauh lebih mewah dari selebrasi yang hanya diramaikan dengan boneka, bunga, coklat, dan beberapa patah rayuan. Padahal ia Sang Maha Cinta memberimu hari yang penuh dengan cinta sampai kiamat nanti.

Tidakkah merasa rugi atas selebrasi kosong yang hanya sehari. Tidakkah engkau kesal kepada pemilik industri yang hanya peduli dengan keuntungan materi. Sudahlah ! tak perlu berdebat, karena cinta yang agung tak perlu diperdebatkan lagi akan eksistensinya, forever and ever.......!

Biarkan saja,
Alam meramalkan cuaca !
Siapa ?
Ya !
Aku tau manusia melakukannya.

Terserah,
Apa definisiku,
Akupun tak punya definisi,
Tak berniat,
Jua tak layak mendefinisikan,

Praduga ???
Biarkan waktu membawa pada dimensi....
Oh, tidak
Belum tentu sampai sana

Lalu ?
Ya sudah !
Aku jengah.
Hmmmm
Enggan.
Negeri ini bagaikan tetesan keindahan surga yang dianugerahkan oleh Tuhan kepada penduduk bumi. Dari Sabang hingga Merauke dengan bentang alam yang tiada duanya, ribuan gugus pulau, bermandikan cahaya matahari sepanjang tahun. Dibalik tanah dan airnya tersimpan kekayaan Tuhan yang siap menunjang proses kehidupan bagi umat manusia di atasnya. Sungguh miris, jika Indonesia dengan emas, timah, dan minyak bumi yang melimpah masih menyisakan anak-anak putus sekolah. Sungguh ironi, di negeri subur permai ini masih mengisahkan cerita kelaparan.

Sementara disana, dari negeri paman sam, atau tanah Jerman, kisah kesuksesan putra bangsa tak dapat dimunafikkan. Lagi-lagi Tuhan melengkapi anugerah surganya, dengan menghadirkan putra-putri bangsa yang cerdas ceria. Namun disayangkan, ibarat jutaan anugerah itu adalah lidi, hingga saat ini belum ada sosok pemimpin yang mampu menyatukannya menjadi sebuah sapu yang berguna.

Sebagai generasi muda yang tumbuh diaatas tanah ini, dan minum air dari bumi pertiwi. Saya merasa haru, melihat tingkah laku para pemimpin negeri. Gonjang-ganjing perebutan kursi 2014 lebih menarik ketimbang duduk satu meja memusyawarahkan nasib bersama. Satu persatu partai politik lenyap dari hingar bingar idealisme, keterlibatan bendahara umum partai demokrat dalam kasus hambalang, politisi PAN yang mendekati lingkaran obat terlarang, hingga diaulatnya presiden PKS sebagai tersangka proyek impor daging sapi, menjadi sederet kisah yang menyisakan luka bagi para pemupuk harapan di negeri ini.

Pada hingar-bingar reformasi 1998, semua orang berbicara tentang multipartai, dan mereka percaya bahwa partai mampu menjadi wadah pengkaderan pemimpin yang efektif. Namun fakta telah berbicara, bahwa kekuasaan telah membutakan mata. Pada siapa lagi dosa sejarah ini akan ditangguhkan ? tentu saja pada generasi muda yang akan segera tumbuh dewasa dan menggantikan posisi mereka, para generasi tua.

Melihat fakta ini, tiada pilihan lain anak muda harus mendapatkan perlakuan yang benar agar kelak mampu menjadi pemimpin yang besar. Menjadi pemimpin yang memiliki global capacity, sehingga bisa menerbangkan pesawat bernama Indonesia pada langit globalisasi. Juga menjadi pemimpin dengan grassroot understanding yang tidak diragukan, sehingga mereka tak lagi sibuk memikirkan hingar bingar politik praktis, mereka mampu membaca keterbutuhan masyarakat, mereka yang memiliki karakter untuk duduk bersama demi sebuah visi perbaikan.

Negeri ini memiliki wadah bernama institusi pendidikan, mulai dari Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, hingga Perguruan Tinggi. Tak dapat dimunafikkan, didalamnya berhimpun jutaan anak muda generasi penerus bangsa dengan potensi yang berlimpah. Jika hari ini mereka bersama berkomitmen untuk menciptakan pemimpin masa depan yang sama-sama kita impikan, maka berpeganglah pada optimisme bahwa negeri ini akan segera sembuh dari sakitnya. Namun jika institusi pendidikan hanya menjadi arena politik lain, jauh dari nuansa keilmuan yang ilmiah, menjadi kendaraan korupsi untuk kantong-kantong elit, mari sama-sama kita ucapkan wassalam pada kesembuahan yang sama-sama kita impikan.

Dahulu kala, pada masa Orede Baru, media tumbuh dalam kondisi terkekang. Namun kini ketika kebebasan itu diberikan, perlahan semua menjadi kebablasan. Stasiun TV, majalah, koran dan media lain berlomba-lomba para ranah komersil yang menghasilkan kapital. Seakan mereka lupa, bahwa apa yang mereka siarkan, cerita yang mereka tulis, menjadi konsumsi tunas-tunas baru bernama generasi muda. Masihkah kita bersama mengharap kesembuhan negeri ini, jika setiap hari anak muda disuguhi cemilan tak sehat dari insan media ?.

Insan dunia mengenal bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang ramah, namun itu dulu, cerita yang tersisa dari kakek dan nenek kita. Masyarakat kita adalah masyarakat yang angkuh. Saat ferari mewah berhenti di lampu merah, saat yang sama anak-anak kecil dengan lagu sendu menghimpun receh. Saat krisis negara distabilkan oleh pedagang kecil, maka makmur akan segera datang dengan pentungan yang menghampiri mereka dengan dalih ketertiban, keindahan dan kenyamanan. Orang tua yang dulu sempat bercengkrama dengan anak-anak mereka, sekarang disibukkan oleh tuntutan karier dan obsesi menghimpun uang. Kini seenaknya setiap anggota masyarakat menghujat tingkah laku buruk pemimpin mereka beramai-ramai, seolah mereka adalah hakim yang tersertifikasi oleh Tuhan. Padahal mereka lupa, jika perilaku masyarakat yang angkuh berpengaruh besar terhadap pembentukan mental kita. Bagaimana generasi kita tumbuh peka dalam gelanggang keangkuhan ? Bagaimana pemimpin kita mampu berjiwa besar ketika masyarakat memfasilitasi pembetukan karakter mereka dengan penuh keculasan.

Negeri kita yang bernama Indonesia, berada dalam kondisi yang setengah isi dan setengah kosong, tinggal bagaimana kita akan menyikapinya, apakah dipenuhi dengan air atau justru dibuang semuanya. Pada akhirnya, cara kita memandang arah kemana negeri ini akan berjalan menjadi awal dari sebuah perbaikan. Mari kita sudahi drama kejenuhan di negeri ini, merevolusi sudut pandang bahwa alat pencetak pemimpin tidaklah sesederhana partai politik atau institusi tertentu. Bangsa ini adalah kumpulan dari jutaan umat manusia, sehingga sudah sepatutnya kelahiran seorang pemimpin juga dilahirkan oleh jutaan manusia, semua terlibat dalam proses pembentukannya, institusi pendidikan, masyarakat, hingga media massa. Mari bersama kita ciptakan ladang yang baik untuk memanen pemimpin yang baik, pemimpin kita semua, yang kita ciptakan bersama, untuk menjadi pengikat bagi jutaan umat manusia, berjalan menuju visi kebangsaan yang besar.  Menjadi Indonesia baru yang maju dan mempesona.

Pertama kali saya mengenalnya bernama friendster. Sebuah media sosial yang menghubungkan antara saya dan senior SMA yang sudah diperguruan tinggi. Saya tahan duduk di warnet berjam-jam hanya untuk mendesain template atau sekedar upload foto ke dalamnya. Padahal harga warnet di Pringsewu kala itu cukup mahal, yaitu 4000 rupiah per jamnya dengan kecepatan yang super lelet.

Tidak lama dari itu, saya mengenal dunia kampus dengan huru-haranya, semakin menyenangkan bisa upload foto-foto yang bernuansa “hore - hore” dengan teman-teman, bisa dibilang “alay”, ke akun yang bernama friendster ini. Menjadi kepuasan tersendiri ketika ada teman yang membuka akun kita dan berkomentar. Namun cerita cinta saya dengan friendster tidak berlangsung lama, pertengahan tahun 2008, disaat teman-teman dikampus saya masih gandrung dengan Friendster, saya mulai beralih ke Facebook. Facebook menjadi jejaring sosial yang lebih menarik perhatian saya, karena ada fasilitas chatting secara langsung, ditambah waktu itu saya bisa ngobrol dengan bebas dengan senior saya yang masih diluar negeri, dimana sebelumnya saya harus berkomunikasi menggunakan e-mail.

Lambat laun Facebook menjadi jejaring sosial yang hits di kampus saya, anak-anak muda berbondong-bondong migrasi dari Friendster, mereka bisa bebas update status, share foto, saling mengomentari, dsb. Fasilitas ini bak gayung bersambut dengan alam perasaan anak muda yang lebih ingin eksis, huru-hara bersama teman-teman dan membutuhkan ruang untuk mencurahkan isi hati. Sehingga bukan hal yang aneh jika dalam beberapa bulan virus “galau” menjangkiti berbagai pengguna facebook. Termasuk saya salah satunya.

Awalnya saya menyangkal dan berjuang keras untuk tidak galau di Facebook, namun godaan zaman membuat saya luluh juga. Perlahan dan tak pasti, saya mulai menumpahkan keluh kesah, kebahagiaan, cerita, dan kerinduan saya di Facebook. Hingga pada akhirnya warnet menjadi sahabat dekat dikala lelah dengan perkuliahan dan aktivitas lain. Saya bisa menghabiskan puluhan ribu untuk duduk di warnet dan bermain Facebook.

Hingga pada suatu malam, melalui Facebook, saya bertemu dengan profil sesosok yang saya kenal komunitasnya. Beliau adalah pemenang ajang Duta Muda ASEAN yang saat itu saya juga mendaftar namun tidak lolos seleksi berkas. Satu hal yang menarik dari sosok ini adalah kepeduliannya. Biasanya, teman-teman saya yang prestasinya sudah kesana-kemari akan semakin fokus dengan dirinya dan lupa akan dunia sekitar, namun beliau berbeda.

Kebiasaan anak muda jika penasaran dengan seseorang adalah mengikuti setiap aktivitasnya di jejaring sosial alias “kepo”. Dari ke”kepo”an saya ini akhirnya saya tau bahwa beliau telah menginisiasi banyak perubahan sosial dan itu beliau galakkan melalui media sosial seperti Facebook, Twitter, You Tube, Blog, dsb. Beperapa project yang pernah beliau jalankan adalah Sea Change, School of Volunteers, Ayo Berbagi, Children Behind Us, Fireflies, dan termasuk Parlemen Muda Indonesia yang saat itu sedang membuka pendaftaran untuk kandidat wakil provinsi. Semua itu adalah proyek-proyek sosial yang ia lakukan bersama teman-teman karena mereka resah melihat kondisi sekitar, ada yang fokus pada isu pangan, anak, pendidikan, kesehatan, hingga lingkungan.

Merasa penasaran dan tertarik dengan Visi dan Misinya, sayapun mendaftar ajang Parlemen Muda Indonesia. Pendaftarannya saya lakukan melalui website, komunikasi dengan panitia melalui e-mail dan grup facebook, kemudian saya berkampanye menggunakan blog, youtube, fans page, dan media sosial lain. Hingga akhirnya, saya melewati sesi wawancara melalui twitter. Padahal saat itu saya belum terlalu familiar dengan media sosial lain selain Facebook dan Friendster, namun secara tidak langsung saya harus berlatih menggunakannya, dan tanpa disengaja saya menggunakannya untuk hal-hal yang positif.

Setelah saya dinyatakan lolos sebagai wakil provinsi, saya terbang ke Jakarta dan mengikuti rangkaian acara seperti konferensi Meet the Leaders, Sidang Parlemen Muda, advokasi ke beberapa lembaga negara, dan tentunya ada sebuah sesi Capacity Building yang didalamnya saya diajarkan berkampanye dengan menggunakan media sosial. Saat itu saya sempat terdiam karena pada sesi Meet the Leaders kami diberikan fasilitas bertanya hanya menggunakn twitter, namun saya belum begitu mahir menggunakannya, mendengar istilah hastackpun baru kali itu. Dari sinilah saya mencoba akrab dengan berbagai media sosial lain, dan inspiratifnya, nyaris para pembicara yang hadir menjadi pengisi acara, menggunakan media sosial untuk menunjang gerakan sosial yang mereka buat. Sebut saja sebuah platform online bernama Inspire Cast yang digawangioleh artis cantik Marshanda, kampanye teman-teman Indonesia Mengajar, kampanye Koperasi Kasih Indonesia, Ashoka Young Changemaker, TEDx, Unesco Youth Desk, juga beberapa gerakan sosial yang memiliki cabang di daerah seperti Koalisi Pemuda Hijau dan Indonesian Future Leadersyang memilih media sosial sebagai sarana kampanye dan komunikasi mereka. Sebuah pilihan cerdas, karena selain murah, juga tidak terbatas oleh jarak, baik di dalam maupun diluar negeri.

Itulah titik awal saya melihat peluang lain dari media sosial, selain saya memiliki ruang untuk berbagi curahan hati, ingin eksis, juga berjumpa dengan banyak teman dengan mudahnya, saya bisa memanfaatkan kesempatan itu dengan lebih baik lagi untuk terinspirasi dan menginspirasi atau bahkan berkolaborasi dengan banyak orang dan komunitas. Lagi-lagi ke”kepo”an saya dengan komunitas-komunittas yang baru saya kenal ini menghantarkan saya dengan gerakan-gerakan yang lebih besar seperti Indonesia Young Changemakers, Indonesia Berkebun, Wirausaha Muda Mandiri, Hult Challange, Global Chagemaker, dll. Hingga saya melihat sebuah peluang emas dengan menyatukan antara tiga unsur, yaitu eksistensi anak muda, media sosial, dan perubahan sosial.

Rupanya bukan hanya saya yang berfikir demikian, huru-hara pilkada Jakarta juga ramai menggunakan media sosial, seperti Facebook dengan aplikasi game Jakarta Baru, twitter dengan akun @triomacan yang begitu aktif melakukan provokasi, blog salah satu artis yang produktif mendukung pasangan independent, Youtube yang menampilkan video klip kreatif versi kampanye, dll. Media sosial menjadi media kampanye yang murah dan lebih efektif, karena spanduk, TV, radio, dll hanya mampu menjadi media kampanye satu arah, namun media sosial mampu menjadi media kampanye dua arah dan memungkinkan pasangan calon untuk berdialog lebih dengan masyarakat. Uniknya fenomena ini juga terjadi di Amerika Serikat dalam kampanye presiden yang terakhir. Luar biasa, dari sebuah tindakan-tindakan kecil seperti update status, berkicau di twitter, upload foto, share video, bisa membawa dampak yang besar untuk masyarakat.

Masih juga terngiang dalam ingatan saya, fenomena Arab Spring yang belum begitu lama, revolusi Mesir dan gejolak negara-negara Timur Tengah akhir-akhir ini juga bermula dari media sosial. Mereka menggunakan media sosial untuk kampanye dan konsolidasi. Sudah tentu, provokasi dapat berjalan dengan sangat cepat dan murah dalam hitungan detik hingga akhirnya Mursi hadir sebagai sosok pemimpin baru di Mesir.

Semua itu menjadi kisah sederhana yang begitu bermakna dalam hidup saya. Sebuah hikmah yang luar biasa, dari kebiasaan eksis, galau dan kepo di Facebook yang kemudian mengenalkan saya dengan sebuah perubahan sosial dari tataran lingkungan sekitar, daerah, nasional, hingga isu-isu terkini di dunia internasional. Saya membayangkan, seandainya saja ada banyak sosok seperti Duta Muda ASEAN yang menginspirasi lewat media sosialnya mungkin akan semakin banyak orang-orang yang terbuka matanya seperti saya. Berani memulai untuk melakukan aktivitas sosial dan melakukan perubahan kecil di lingkunagn saya. Seandainya saya hari ini juga berani memulai untuk membagi cerita aktivitas sosial saya di facebook, twitter atau blog, maka saya akan menginspirasi orang lain, dan orang lain akan menginspirasi yang lainnya, dan yang lainnya akan menginspirasi yang lain lagi hingga jumlah yang tidak terhingga. Luar biasa ! Sebuah inspirasi maha dasyat, murah, cepat dan mudah.

Teringat sebuah pepatah yang mengatakan bahwa sebuah perubahan besar dimulai dari satu langkah sederhana. Sosok Duta Muda ASEAN itu tidak pernah berfikir dampak dari status yang ia update, cerita yang ia bagi di blog, tweet yang ia ketik, dan hal-hal sederhana lain yang ia lakukan mampu merubah hidup dan pandangan orang lain, begitupun pilkada Jakarta, pemilu Amerika, dan revolusi Mesir yang begitu besar, jika kita sederhanakan, semua itu tidak lain dipengaruhi oleh tindakan-tindakan sederhana di media sosial kita. Jadi, tunggu apa lagi ? Yuk rubah kegalauan menjadi sebuah revolusi besar !

*) essay ini saya ikut sertakan di lomba essay natural unila dan berhasil masuk sebagai urutan ke-8, sebuah semangat baru untuk menulis lagi.
I want to start this post by remember a great girl whose grows as a great woman in the wolrd. Are you remember her ? Yes ! “Hellen Keller”. She is blind and dave ! No choice for her to speak or not, to hear or not, and to see or not. She can not hear, speak and see. How flat her world until optimistic show them if she is still have skin and tongue. She can touch and feel. God give us five, and God give her two. And with those two she does something dazling to the world. My first question, is Hellen Keller is Hellen keller if she is not blind and dave ?.

Second name is Bill Gates ! He droup out from university, but he believes on his self that he can do something. And nowdays, digital era spreads faster because of microsoft. My second question, will we use our computer easily if Bill Gates have a same way of thingking with another university students ?
Third one, a lot of people say James Watt is a stupid and a sickness children. No high school, no university, being a shop keeper and make a revolution in industrial world ! Factory changing ! Transportations changing ! and the world grow. Will we need longer time to feel the high technology in industrial if James Watt is not a hard worker ?

The great history of a great people not only come from foreign country. Soekarno and Hatta, declarator of our republic have a big chance to have a better life with their family, life happily in a prosperousity. But my question, will Indonesia become independent in 17th August 1945 if both of them never decide to leave all of the chance to be happy ?
 
Every heroes, every great-great-and great person has their own story which make them different with another. They have different way of thinking, they have optimistic, they hardworker, they have the real vision which make them move and move, try and try, do and do, and never stop.

When the first time i come to this university, i met with a lot of great youth. They speak from their heart, they do something for a long term, they know which one is good or not, they devide which one is honest and a big lier. Untill i choose to be lonely, because this is better than i should support them to catch in the formal life. Graduate faster, get a master degree, has a good carier. I am not jelous for that, but i am so sad, because i loose brighter friends, i loose the young heroes.

Nowdays, i am thousand times wrost than before because i force for the same thing. I force for my graduation, i force for my carier, and i loose the vision of my life. I forget is the only reason why i should come to the university for bachelor and mater degree is for a knowledge. I forget if the only reason for me to teaching is create a better living.

I feel that my tears fall down, i am not want to die as a ussual person, born-grow-school-graduate-married-be a mother-and die. I want to know the way how to make a small changing, i want to know the way how to make people smile, i want to know the way how to make children grow well. I have my own dream, and i should believe on that. 

I want to born as one of a great person in the world, i want to grow as a small heroe, i want to go to school for a great knowledge, i want teach for a better living, i want to be a mother for a great children, i want to be a wife for a great husband, and i want to die with different with another. So, if i want a different thing with most of people want, should i step my feet on the same way with    them ?

I know it is hard and several people say i am to idealistic. But this is my life where i have freedom to dream about my self. Where i have the same right and have my own resposibility. I have two eyes, two ears, one nose, two hands, and one tongue. I also have a freedom to have a different thinking. I have so much energy to start my work earlier and stop in the middle of night.

I decide to believe in my own dream, i decide to step my feet on the hard way, i will go to MIT and Harvard with a dazzling way, i should not require what they want, but they will require what i want. I am not want to be a bloody civil servant, but i want to build my own school. I just need my eyes to look longer than another, my ear to hear more than another, my feet to step longer, my hand to work faster, my heart to be more patient, my brain to be harder, and my lip to pray more and more because i know i have Allah Whose can do everything that people can not do. So, with all of those reason sould i stop to get what i dream about ?