Negeri ini bagaikan tetesan keindahan surga yang dianugerahkan oleh Tuhan kepada penduduk bumi. Dari Sabang hingga Merauke dengan bentang alam yang tiada duanya, ribuan gugus pulau, bermandikan cahaya matahari sepanjang tahun. Dibalik tanah dan airnya tersimpan kekayaan Tuhan yang siap menunjang proses kehidupan bagi umat manusia di atasnya. Sungguh miris, jika Indonesia dengan emas, timah, dan minyak bumi yang melimpah masih menyisakan anak-anak putus sekolah. Sungguh ironi, di negeri subur permai ini masih mengisahkan cerita kelaparan.

Sementara disana, dari negeri paman sam, atau tanah Jerman, kisah kesuksesan putra bangsa tak dapat dimunafikkan. Lagi-lagi Tuhan melengkapi anugerah surganya, dengan menghadirkan putra-putri bangsa yang cerdas ceria. Namun disayangkan, ibarat jutaan anugerah itu adalah lidi, hingga saat ini belum ada sosok pemimpin yang mampu menyatukannya menjadi sebuah sapu yang berguna.

Sebagai generasi muda yang tumbuh diaatas tanah ini, dan minum air dari bumi pertiwi. Saya merasa haru, melihat tingkah laku para pemimpin negeri. Gonjang-ganjing perebutan kursi 2014 lebih menarik ketimbang duduk satu meja memusyawarahkan nasib bersama. Satu persatu partai politik lenyap dari hingar bingar idealisme, keterlibatan bendahara umum partai demokrat dalam kasus hambalang, politisi PAN yang mendekati lingkaran obat terlarang, hingga diaulatnya presiden PKS sebagai tersangka proyek impor daging sapi, menjadi sederet kisah yang menyisakan luka bagi para pemupuk harapan di negeri ini.

Pada hingar-bingar reformasi 1998, semua orang berbicara tentang multipartai, dan mereka percaya bahwa partai mampu menjadi wadah pengkaderan pemimpin yang efektif. Namun fakta telah berbicara, bahwa kekuasaan telah membutakan mata. Pada siapa lagi dosa sejarah ini akan ditangguhkan ? tentu saja pada generasi muda yang akan segera tumbuh dewasa dan menggantikan posisi mereka, para generasi tua.

Melihat fakta ini, tiada pilihan lain anak muda harus mendapatkan perlakuan yang benar agar kelak mampu menjadi pemimpin yang besar. Menjadi pemimpin yang memiliki global capacity, sehingga bisa menerbangkan pesawat bernama Indonesia pada langit globalisasi. Juga menjadi pemimpin dengan grassroot understanding yang tidak diragukan, sehingga mereka tak lagi sibuk memikirkan hingar bingar politik praktis, mereka mampu membaca keterbutuhan masyarakat, mereka yang memiliki karakter untuk duduk bersama demi sebuah visi perbaikan.

Negeri ini memiliki wadah bernama institusi pendidikan, mulai dari Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, hingga Perguruan Tinggi. Tak dapat dimunafikkan, didalamnya berhimpun jutaan anak muda generasi penerus bangsa dengan potensi yang berlimpah. Jika hari ini mereka bersama berkomitmen untuk menciptakan pemimpin masa depan yang sama-sama kita impikan, maka berpeganglah pada optimisme bahwa negeri ini akan segera sembuh dari sakitnya. Namun jika institusi pendidikan hanya menjadi arena politik lain, jauh dari nuansa keilmuan yang ilmiah, menjadi kendaraan korupsi untuk kantong-kantong elit, mari sama-sama kita ucapkan wassalam pada kesembuahan yang sama-sama kita impikan.

Dahulu kala, pada masa Orede Baru, media tumbuh dalam kondisi terkekang. Namun kini ketika kebebasan itu diberikan, perlahan semua menjadi kebablasan. Stasiun TV, majalah, koran dan media lain berlomba-lomba para ranah komersil yang menghasilkan kapital. Seakan mereka lupa, bahwa apa yang mereka siarkan, cerita yang mereka tulis, menjadi konsumsi tunas-tunas baru bernama generasi muda. Masihkah kita bersama mengharap kesembuhan negeri ini, jika setiap hari anak muda disuguhi cemilan tak sehat dari insan media ?.

Insan dunia mengenal bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang ramah, namun itu dulu, cerita yang tersisa dari kakek dan nenek kita. Masyarakat kita adalah masyarakat yang angkuh. Saat ferari mewah berhenti di lampu merah, saat yang sama anak-anak kecil dengan lagu sendu menghimpun receh. Saat krisis negara distabilkan oleh pedagang kecil, maka makmur akan segera datang dengan pentungan yang menghampiri mereka dengan dalih ketertiban, keindahan dan kenyamanan. Orang tua yang dulu sempat bercengkrama dengan anak-anak mereka, sekarang disibukkan oleh tuntutan karier dan obsesi menghimpun uang. Kini seenaknya setiap anggota masyarakat menghujat tingkah laku buruk pemimpin mereka beramai-ramai, seolah mereka adalah hakim yang tersertifikasi oleh Tuhan. Padahal mereka lupa, jika perilaku masyarakat yang angkuh berpengaruh besar terhadap pembentukan mental kita. Bagaimana generasi kita tumbuh peka dalam gelanggang keangkuhan ? Bagaimana pemimpin kita mampu berjiwa besar ketika masyarakat memfasilitasi pembetukan karakter mereka dengan penuh keculasan.

Negeri kita yang bernama Indonesia, berada dalam kondisi yang setengah isi dan setengah kosong, tinggal bagaimana kita akan menyikapinya, apakah dipenuhi dengan air atau justru dibuang semuanya. Pada akhirnya, cara kita memandang arah kemana negeri ini akan berjalan menjadi awal dari sebuah perbaikan. Mari kita sudahi drama kejenuhan di negeri ini, merevolusi sudut pandang bahwa alat pencetak pemimpin tidaklah sesederhana partai politik atau institusi tertentu. Bangsa ini adalah kumpulan dari jutaan umat manusia, sehingga sudah sepatutnya kelahiran seorang pemimpin juga dilahirkan oleh jutaan manusia, semua terlibat dalam proses pembentukannya, institusi pendidikan, masyarakat, hingga media massa. Mari bersama kita ciptakan ladang yang baik untuk memanen pemimpin yang baik, pemimpin kita semua, yang kita ciptakan bersama, untuk menjadi pengikat bagi jutaan umat manusia, berjalan menuju visi kebangsaan yang besar.  Menjadi Indonesia baru yang maju dan mempesona.