Pertama kali saya mengenalnya bernama friendster. Sebuah media sosial yang menghubungkan antara saya dan senior SMA yang sudah diperguruan tinggi. Saya tahan duduk di warnet berjam-jam hanya untuk mendesain template atau sekedar upload foto ke dalamnya. Padahal harga warnet di Pringsewu kala itu cukup mahal, yaitu 4000 rupiah per jamnya dengan kecepatan yang super lelet.

Tidak lama dari itu, saya mengenal dunia kampus dengan huru-haranya, semakin menyenangkan bisa upload foto-foto yang bernuansa “hore - hore” dengan teman-teman, bisa dibilang “alay”, ke akun yang bernama friendster ini. Menjadi kepuasan tersendiri ketika ada teman yang membuka akun kita dan berkomentar. Namun cerita cinta saya dengan friendster tidak berlangsung lama, pertengahan tahun 2008, disaat teman-teman dikampus saya masih gandrung dengan Friendster, saya mulai beralih ke Facebook. Facebook menjadi jejaring sosial yang lebih menarik perhatian saya, karena ada fasilitas chatting secara langsung, ditambah waktu itu saya bisa ngobrol dengan bebas dengan senior saya yang masih diluar negeri, dimana sebelumnya saya harus berkomunikasi menggunakan e-mail.

Lambat laun Facebook menjadi jejaring sosial yang hits di kampus saya, anak-anak muda berbondong-bondong migrasi dari Friendster, mereka bisa bebas update status, share foto, saling mengomentari, dsb. Fasilitas ini bak gayung bersambut dengan alam perasaan anak muda yang lebih ingin eksis, huru-hara bersama teman-teman dan membutuhkan ruang untuk mencurahkan isi hati. Sehingga bukan hal yang aneh jika dalam beberapa bulan virus “galau” menjangkiti berbagai pengguna facebook. Termasuk saya salah satunya.

Awalnya saya menyangkal dan berjuang keras untuk tidak galau di Facebook, namun godaan zaman membuat saya luluh juga. Perlahan dan tak pasti, saya mulai menumpahkan keluh kesah, kebahagiaan, cerita, dan kerinduan saya di Facebook. Hingga pada akhirnya warnet menjadi sahabat dekat dikala lelah dengan perkuliahan dan aktivitas lain. Saya bisa menghabiskan puluhan ribu untuk duduk di warnet dan bermain Facebook.

Hingga pada suatu malam, melalui Facebook, saya bertemu dengan profil sesosok yang saya kenal komunitasnya. Beliau adalah pemenang ajang Duta Muda ASEAN yang saat itu saya juga mendaftar namun tidak lolos seleksi berkas. Satu hal yang menarik dari sosok ini adalah kepeduliannya. Biasanya, teman-teman saya yang prestasinya sudah kesana-kemari akan semakin fokus dengan dirinya dan lupa akan dunia sekitar, namun beliau berbeda.

Kebiasaan anak muda jika penasaran dengan seseorang adalah mengikuti setiap aktivitasnya di jejaring sosial alias “kepo”. Dari ke”kepo”an saya ini akhirnya saya tau bahwa beliau telah menginisiasi banyak perubahan sosial dan itu beliau galakkan melalui media sosial seperti Facebook, Twitter, You Tube, Blog, dsb. Beperapa project yang pernah beliau jalankan adalah Sea Change, School of Volunteers, Ayo Berbagi, Children Behind Us, Fireflies, dan termasuk Parlemen Muda Indonesia yang saat itu sedang membuka pendaftaran untuk kandidat wakil provinsi. Semua itu adalah proyek-proyek sosial yang ia lakukan bersama teman-teman karena mereka resah melihat kondisi sekitar, ada yang fokus pada isu pangan, anak, pendidikan, kesehatan, hingga lingkungan.

Merasa penasaran dan tertarik dengan Visi dan Misinya, sayapun mendaftar ajang Parlemen Muda Indonesia. Pendaftarannya saya lakukan melalui website, komunikasi dengan panitia melalui e-mail dan grup facebook, kemudian saya berkampanye menggunakan blog, youtube, fans page, dan media sosial lain. Hingga akhirnya, saya melewati sesi wawancara melalui twitter. Padahal saat itu saya belum terlalu familiar dengan media sosial lain selain Facebook dan Friendster, namun secara tidak langsung saya harus berlatih menggunakannya, dan tanpa disengaja saya menggunakannya untuk hal-hal yang positif.

Setelah saya dinyatakan lolos sebagai wakil provinsi, saya terbang ke Jakarta dan mengikuti rangkaian acara seperti konferensi Meet the Leaders, Sidang Parlemen Muda, advokasi ke beberapa lembaga negara, dan tentunya ada sebuah sesi Capacity Building yang didalamnya saya diajarkan berkampanye dengan menggunakan media sosial. Saat itu saya sempat terdiam karena pada sesi Meet the Leaders kami diberikan fasilitas bertanya hanya menggunakn twitter, namun saya belum begitu mahir menggunakannya, mendengar istilah hastackpun baru kali itu. Dari sinilah saya mencoba akrab dengan berbagai media sosial lain, dan inspiratifnya, nyaris para pembicara yang hadir menjadi pengisi acara, menggunakan media sosial untuk menunjang gerakan sosial yang mereka buat. Sebut saja sebuah platform online bernama Inspire Cast yang digawangioleh artis cantik Marshanda, kampanye teman-teman Indonesia Mengajar, kampanye Koperasi Kasih Indonesia, Ashoka Young Changemaker, TEDx, Unesco Youth Desk, juga beberapa gerakan sosial yang memiliki cabang di daerah seperti Koalisi Pemuda Hijau dan Indonesian Future Leadersyang memilih media sosial sebagai sarana kampanye dan komunikasi mereka. Sebuah pilihan cerdas, karena selain murah, juga tidak terbatas oleh jarak, baik di dalam maupun diluar negeri.

Itulah titik awal saya melihat peluang lain dari media sosial, selain saya memiliki ruang untuk berbagi curahan hati, ingin eksis, juga berjumpa dengan banyak teman dengan mudahnya, saya bisa memanfaatkan kesempatan itu dengan lebih baik lagi untuk terinspirasi dan menginspirasi atau bahkan berkolaborasi dengan banyak orang dan komunitas. Lagi-lagi ke”kepo”an saya dengan komunitas-komunittas yang baru saya kenal ini menghantarkan saya dengan gerakan-gerakan yang lebih besar seperti Indonesia Young Changemakers, Indonesia Berkebun, Wirausaha Muda Mandiri, Hult Challange, Global Chagemaker, dll. Hingga saya melihat sebuah peluang emas dengan menyatukan antara tiga unsur, yaitu eksistensi anak muda, media sosial, dan perubahan sosial.

Rupanya bukan hanya saya yang berfikir demikian, huru-hara pilkada Jakarta juga ramai menggunakan media sosial, seperti Facebook dengan aplikasi game Jakarta Baru, twitter dengan akun @triomacan yang begitu aktif melakukan provokasi, blog salah satu artis yang produktif mendukung pasangan independent, Youtube yang menampilkan video klip kreatif versi kampanye, dll. Media sosial menjadi media kampanye yang murah dan lebih efektif, karena spanduk, TV, radio, dll hanya mampu menjadi media kampanye satu arah, namun media sosial mampu menjadi media kampanye dua arah dan memungkinkan pasangan calon untuk berdialog lebih dengan masyarakat. Uniknya fenomena ini juga terjadi di Amerika Serikat dalam kampanye presiden yang terakhir. Luar biasa, dari sebuah tindakan-tindakan kecil seperti update status, berkicau di twitter, upload foto, share video, bisa membawa dampak yang besar untuk masyarakat.

Masih juga terngiang dalam ingatan saya, fenomena Arab Spring yang belum begitu lama, revolusi Mesir dan gejolak negara-negara Timur Tengah akhir-akhir ini juga bermula dari media sosial. Mereka menggunakan media sosial untuk kampanye dan konsolidasi. Sudah tentu, provokasi dapat berjalan dengan sangat cepat dan murah dalam hitungan detik hingga akhirnya Mursi hadir sebagai sosok pemimpin baru di Mesir.

Semua itu menjadi kisah sederhana yang begitu bermakna dalam hidup saya. Sebuah hikmah yang luar biasa, dari kebiasaan eksis, galau dan kepo di Facebook yang kemudian mengenalkan saya dengan sebuah perubahan sosial dari tataran lingkungan sekitar, daerah, nasional, hingga isu-isu terkini di dunia internasional. Saya membayangkan, seandainya saja ada banyak sosok seperti Duta Muda ASEAN yang menginspirasi lewat media sosialnya mungkin akan semakin banyak orang-orang yang terbuka matanya seperti saya. Berani memulai untuk melakukan aktivitas sosial dan melakukan perubahan kecil di lingkunagn saya. Seandainya saya hari ini juga berani memulai untuk membagi cerita aktivitas sosial saya di facebook, twitter atau blog, maka saya akan menginspirasi orang lain, dan orang lain akan menginspirasi yang lainnya, dan yang lainnya akan menginspirasi yang lain lagi hingga jumlah yang tidak terhingga. Luar biasa ! Sebuah inspirasi maha dasyat, murah, cepat dan mudah.

Teringat sebuah pepatah yang mengatakan bahwa sebuah perubahan besar dimulai dari satu langkah sederhana. Sosok Duta Muda ASEAN itu tidak pernah berfikir dampak dari status yang ia update, cerita yang ia bagi di blog, tweet yang ia ketik, dan hal-hal sederhana lain yang ia lakukan mampu merubah hidup dan pandangan orang lain, begitupun pilkada Jakarta, pemilu Amerika, dan revolusi Mesir yang begitu besar, jika kita sederhanakan, semua itu tidak lain dipengaruhi oleh tindakan-tindakan sederhana di media sosial kita. Jadi, tunggu apa lagi ? Yuk rubah kegalauan menjadi sebuah revolusi besar !

*) essay ini saya ikut sertakan di lomba essay natural unila dan berhasil masuk sebagai urutan ke-8, sebuah semangat baru untuk menulis lagi.