Kamis, 14 Mei 2015


Secangkir kopi selalu memiliki kisahnya sendiri, seperti sore ini, ia memecah sunyi diantara kita yang berbulan-bulan tak bersua karena benua tak lagi sama. Kini aku paham mengapa starbuck bisa begitu mendunia, karena pada secangkir kopi itu tidak hanya tersimpan rasa, tapi juga asa dan cerita. Sementara hujan, mengayun merdu dengan melodi alam yang tak putus, seperti do’a yang selalu kupanjatkan untukmu atas semua kebaikan dan kenangan. Aku bebas menjadi diri sendiri kala senang dan marah, kala sedih dan pura-pura baik saja, pada Tuhanku aku jujur tentang warna hati yang tak selamanya dihiasi gradasi warna-warna indah, tapi pekat malam yang merindukan temaram cahaya lilin, dan kamu… mengajakku untuk menyalakanya, jauh di dasar hatiku.

Tak banyak yang mendengarkanku kala aku berkicau tentang Cordoba, Andalusia, juga celotahan dengan bahasa berat dan setengah-setengah, tapi secangkir kopi selalu punya tempat untuk siapa saja. Ia tidak pernah berkomentar tentang judul buku yang aku baca, dari novel ringan karya Andrea Hirata hingga Muqaddimah Ibnu Khaldun, dengan setia dia diam tapi ada, menemani dialektika baru yang tiba-tiba muncul kala lembar demi lembar terbuka. Juga ketika aku tiba-tiba mengagumi Al-azhar, Leiden, hingga Harvard, otakku tak dapat terbendung lagi untuk menumpahkan deret kata hasil olah imaji tetang dapur intelektual pada zaman yang berbeda, dia hanya tersenyum tenang dicangkirnya dan mengerdipkan mata pada gula pasir yang manis.

Ada kalanya aku penasaran pada Hunger Game, The Maze Runner, ataupun judul film lain yang tak sepopulis Fast Furious 7, dia sama sekali tak keberatan akan itu. Hanya ada jalan cerita dan aku di ruang teater, dan dia bercengkrama hangat di genggaman tangan bersama coklat yang membuatnya dikenal orang dengan sebutan moccacino.

Disebuah kota bersejarah yang melahirkan industri-industri besar dunia aku mencium aroma di setiap sudut kota, aroma yang akrab dengan keseharianku, dengan waktu-waktu terbaik yang pernah aku nikmati. Kutabambahkan beberapa sendok krim berwarna putih salju agar rasa pahit itu memudar, lalu aku duduk ditemani seacangkir kopi seharga $2  pada sebuah kafe kecil di lantai dasar sebuah bangunan yang kokoh, menunggu rekan kerja yang akan bersama membunuh hari yang berat, jam demi jam yang terasa cepat karena harus berjumpa dengan banyak kolega membicarakan bisnis dan juga kemanusiaan, hari dimana aku hanya sempat makan siang dengan sepotong sandwich karena dunia begitu cepat berputar dan menyisakan hanya dua pilihan, berhenti merajuk atau tertinggal.

Ini begitu sulit, dan aku ingin secangkir kopi saja yang menanyakannya, tapi ia tidak lebih dari benda mati yang menjadi saksi sejarah perjalanan penuh warna. Bersediakah kau menghabiskan cangkir demi cangkir kopimu bersamaku disepanjang hari yang tersisa hingga ajal menjemput ? Kita bisa berdisusi apa saja, di sudut-sudut Eropa hingga Asia, medengarkanku berkisah tentang jalan cerita di beberapa novel, menghabiskan waktu menyaksikan pemutaran film, sampai saat dimana sesekali kita berdebat panjang, saling diam, dan  terpaksa mengalah. Aku yang terlalu sederhana, tak tau tentang hari depan yang kau impikan, namun jika engkau bersedia, kau bisa ceritakan padaku dan izinkan aku membantumu meraihnya, memastikan bahwa penerusmu akan tumbuh dengan baik-baik saja, dan saling menguatkan dalam merajut keabadian di JannahNya. Jangan tertawa, karena aku tidak sedang bercanda. 




To whom it may concern;



I am writing this letter regarding Deni Burhasan application is sending your institutions. Absolutely, I understand your strange feeling on the first time you hear his name, but you will be more surprised after you start a conversation with him and discuss something.  When this world is full of narrow minded people who live in their own perspective and point of view or even love to put their self in their own box, Deni tries to hear other people arguments, thoughts, and jokes. That is showing clearly in my memories theater a moment at a night before Parlemen Muda Roadshow in Lampung. I  laid down in Hetty’s room to kill my fatigue after had three hours journey from my campus internship when suddenly Aris is calling me to join in a great discussion about democracy, government, prosperity, and youth movement. That was the first time i share idea with Deni and finally we entered in a long analytical discussion which successfully made us sleep at 3 am with a bunch of inspiration from each of us, I mean Deni, other friends, and me.

Entering a global community is a big problem for Indonesian youth, at least because of three reasons; (1) They cannot speak English which caused a big burden for them to communicate with foreigner, (2) They do not have enough background knowledge to talk about; it makes most of them insecure to have international friendship, and (3) They do not know any platform to go. Deni broke the limit by registered himself as a part of AIESEC although he knew clearly that he cannot speak English. Facilitate by google translate and supported by a strong eagerness, he started to speak and… voila ! nowadays, he is successfully become AIESEC ambassador and flight all over Indonesia to promote this exchange platform. Wait, do not stop here, he has a bunch of international friends in all over the world. It proven when he joined world international model united nations in Belgium and visited several countries in Europe, he successfully fight for ‘zero euro’ life because of friendship values (I am sorry to mention it). At least from this case you may see that Deni has a strong believe on what he dream about and persistent on the way how he fights to grab it.
   
Let me tell you the next chapter sir or madam… GoGoCampus is our dream for start up. This social enterprise aims to increase better access and better quality for higher education in Indonesia. A long day before, it’s name is Bedah Kampus, we changed the name for better branding because we wanted to propose $25K to the US embassy and successfully rejected in final assessment. Keep up your mind, this is not about how big GoGoCampus is, but a group of youth who want to turn on “hope button” in privilege societies. Deni, a group of friends and I conducted a school roadshow in East Lampung and Tanggamus, this is a long distance to go for promoting higher education access for senior High school students. Ones, we went by bus and the rest we went by motor cycle, we stayed for a night in a village, and arranged our tight schedule. Everything we did unpaid, even he should pay bus fee and others need by himself, Isn’t those voluntary activity look easy ? Yes ! if in your perspective; Deni comes from a rich family or at least middle income. But the fact is totally different (you may ask to him by yourself, because it is totally his right to tell about). The strong point that you should understand; he is the right candidate for the future leader. It is not because he is a part of Indonesian Future Leaders youth-led NGO, but in the perspective of helping other and creates an impact. We may find a big number of people who difficult to share something even they are available, but Deni break the limit and spare their time, energy, and money to help others. Can you imagine the condition when he has a better resource than ? I can guarantee that he gives bigger impact !

Sir and madam, an open minded people will learn faster than the close one, a persistent person will bring a dream into reality, and a respectful man is someone who we imagine to born in this world and make the worst condition become friendlier. Those three strong arguments should be your consideration to give Deni a chance to come in your institution. Talking about Deni is not only talking about himself, but also “a hope” for hundreds children. It means, when you give a chance for Deni you also successfully give a chance to transform this nation from zero to hero, that is why i could not find a reason why you should turn this perfect candidate down.



Warm regards


Candra




[ Have a good preparation for your 22nd year Deni, may Allah gives your age full of barakah, because give a surprise on the day or late after is too mainstream J  so, keep humble, grow faster and be a better person more than on what I write in this letter…. And as usual, sorry for a messy grammar :P ]