Secangkir kopi selalu memiliki kisahnya sendiri, seperti sore ini, ia memecah sunyi diantara kita yang berbulan-bulan tak bersua karena benua tak lagi sama. Kini aku paham mengapa starbuck bisa begitu mendunia, karena pada secangkir kopi itu tidak hanya tersimpan rasa, tapi juga asa dan cerita. Sementara hujan, mengayun merdu dengan melodi alam yang tak putus, seperti do’a yang selalu kupanjatkan untukmu atas semua kebaikan dan kenangan. Aku bebas menjadi diri sendiri kala senang dan marah, kala sedih dan pura-pura baik saja, pada Tuhanku aku jujur tentang warna hati yang tak selamanya dihiasi gradasi warna-warna indah, tapi pekat malam yang merindukan temaram cahaya lilin, dan kamu… mengajakku untuk menyalakanya, jauh di dasar hatiku.

Tak banyak yang mendengarkanku kala aku berkicau tentang Cordoba, Andalusia, juga celotahan dengan bahasa berat dan setengah-setengah, tapi secangkir kopi selalu punya tempat untuk siapa saja. Ia tidak pernah berkomentar tentang judul buku yang aku baca, dari novel ringan karya Andrea Hirata hingga Muqaddimah Ibnu Khaldun, dengan setia dia diam tapi ada, menemani dialektika baru yang tiba-tiba muncul kala lembar demi lembar terbuka. Juga ketika aku tiba-tiba mengagumi Al-azhar, Leiden, hingga Harvard, otakku tak dapat terbendung lagi untuk menumpahkan deret kata hasil olah imaji tetang dapur intelektual pada zaman yang berbeda, dia hanya tersenyum tenang dicangkirnya dan mengerdipkan mata pada gula pasir yang manis.

Ada kalanya aku penasaran pada Hunger Game, The Maze Runner, ataupun judul film lain yang tak sepopulis Fast Furious 7, dia sama sekali tak keberatan akan itu. Hanya ada jalan cerita dan aku di ruang teater, dan dia bercengkrama hangat di genggaman tangan bersama coklat yang membuatnya dikenal orang dengan sebutan moccacino.

Disebuah kota bersejarah yang melahirkan industri-industri besar dunia aku mencium aroma di setiap sudut kota, aroma yang akrab dengan keseharianku, dengan waktu-waktu terbaik yang pernah aku nikmati. Kutabambahkan beberapa sendok krim berwarna putih salju agar rasa pahit itu memudar, lalu aku duduk ditemani seacangkir kopi seharga $2  pada sebuah kafe kecil di lantai dasar sebuah bangunan yang kokoh, menunggu rekan kerja yang akan bersama membunuh hari yang berat, jam demi jam yang terasa cepat karena harus berjumpa dengan banyak kolega membicarakan bisnis dan juga kemanusiaan, hari dimana aku hanya sempat makan siang dengan sepotong sandwich karena dunia begitu cepat berputar dan menyisakan hanya dua pilihan, berhenti merajuk atau tertinggal.

Ini begitu sulit, dan aku ingin secangkir kopi saja yang menanyakannya, tapi ia tidak lebih dari benda mati yang menjadi saksi sejarah perjalanan penuh warna. Bersediakah kau menghabiskan cangkir demi cangkir kopimu bersamaku disepanjang hari yang tersisa hingga ajal menjemput ? Kita bisa berdisusi apa saja, di sudut-sudut Eropa hingga Asia, medengarkanku berkisah tentang jalan cerita di beberapa novel, menghabiskan waktu menyaksikan pemutaran film, sampai saat dimana sesekali kita berdebat panjang, saling diam, dan  terpaksa mengalah. Aku yang terlalu sederhana, tak tau tentang hari depan yang kau impikan, namun jika engkau bersedia, kau bisa ceritakan padaku dan izinkan aku membantumu meraihnya, memastikan bahwa penerusmu akan tumbuh dengan baik-baik saja, dan saling menguatkan dalam merajut keabadian di JannahNya. Jangan tertawa, karena aku tidak sedang bercanda.