Hai ! perkenalkan nama saya Candra, saya memiliki ketertarikan yang tinggi terhadap aktivitas sosial, mungkin karena saya gerah melihat betapa berantakannya tempat hidup manusia yang disebut bumi ini. Semua berjalan dengan seenak hati, biasa anak muda menyebutnya “loe-loe gua-gua”.

Coba bayangkan, disaat Jakarta diterjang banjir rop, kita cuek-cuek saja menggunakan tisue setiap hari. Padahal jutaan pohon harus di tebang perharinya untuk memenuhi kebutuhan manusia akan tissue. Please imagine ! Kalau kita sedikit saja memiliki empati untuk mengganti tissue dengan sapu tangan, setidaknya jutaan pohon tidak jadi di tebang, suhu bumi tetap dingin, es tidak mencair, dan masyarakat Jakarta tidak perlu bersahabat dengan banjir.

Kepekaan-kepekaan kecil inilah yang saya dapatkan dari berbagai aktivitas sosial saya. Namun, sama seperti yang lain, saya tidak begitu saja serta merta menjadi peka tanpa sebuah penyebab yang pasti. Cerita saya ini berawal ketika saya duduk di bangku SMA.

Sosok tinggi kurus itu bernama Anna Amalia, pembawaannya bersemangat, kreatif, dan supel. Ia lahir dari keluarga yang biasa saja, benar-benar biasa, namun semangatnya sama sekali tidak biasa. Saat itu kami memiliki kebiasaan untuk saling meminjam buku, dan tiba-tiba ia punya ide untuk membuka perpustakaan kecil di garasi rumahnya, kami mengumpulkan seluruh buku yang kami punya, menyebarkan pamflet kepada teman-teman di sekolah dan memulai usaha peminjaman buku.

Perpustakaan kecil ini bernama Ad-Nina. Karenanya semakin banyak teman-teman kami yang mulai rutin membaca. Kala itu kami memberi tarif tiga ratus rupiah untuk tiga hari peminjaman dan gratis untuk baca di tempat, cukup murah bukan ? Biaya itu kami gunakan untuk membeli sampul plastik dan buku baru, secara bergantian kami piket jaga dari Senin hingga Sabtu.  Uniknya, garasi rumah Anna terletak tepat di depan Tempat Pembuangan Akhir sampah, dan itu sedikit memudahkan bagi kami untuk menuliskan alamat di pamflet. Semua berjalan lancar sampai suatu hari Anna dan keluarganya harus pindah kontrakan, berakhirlah aktivitas kami mengelola perpustakaan.

Sedih melupakan Ad-Nina begitu saja, namun lebih sedih lagi ketika saya mendengar curahan hati Anna, saat itu ia ingin sekali membantu orang tuanya untuk membayar kontrakan. Mereka sudah harus pindah dan belum ada biaya untuk menyewa kontrakan baru. Namun bukan Anna ketika menyerah begitu saja, ia mengajak saya untuk usaha pembuatan pin dan mendistribusikannya ke sekolah-sekolah, saat itu saya faham betul itu mustahil menghasilkan uang dalam jumlah besar, namun saya tak ingin mematahkan semangatnya, hingga luar biasanya ia menang lomba karya tulis dan mendapatkan hadiah yang cukup besar. Perjuangannya membuat karya tulis juga tidak mudah, harus menumpang kesana-kemari untuk mengetik makalahnya, sampai-sampai kami harus menginap di rumah salah seorang guru.

Menjelang kelulusan SMA adalah masa penuh tekanan, karena kami harus menghadapi ujian nasional dan mempersiapkan diri untuk ujian masuk perguruan tinggi yang soal tesnya bikin kepala serasa mau pecah. Saat itu Anna datang dan berkata, “ada apa dengan orang-orang di sekitar saya ? Bapak Ibu Guru, Ayah, Ibu, Kakak, semua bilang saya tidak mungkin kuliah, tidak ada biaya untuk itu, saya saja yakin bahwa saya bisa, hanya perlu dukungan semangat ! Itu saja !”. Kalau saya jadi Anna mungkin sudah menyerah, namun ia masih sempat bercita-cita menjadi menteri pendidikan dan menghapuskan UN.

Saat itu saya paham betul bagaimana kami merantau ke kota untuk bimbel, Anna mendapat tiket bimbel dari salah seorang teman dan tinggal di kos yang berbeda dengan saya. Sembari menepis keraguan, ia mendaftar beasiswa untuk masuk perguruan tinggi, hal paling mengharukan yang saya ingat adalah dimana ia hanya perlu seribu rupiah untuk makan setiap harinya.

Itulah puncaknya, saya menangis dan kontan memeluknya ! Ia mendapat beasiswa dari dikti untuk masuk perguruan tinggi. Tidak lama dari itu ia diterima SPMB di UPI. Sesekali ia menelfon saya dan menceritakan aktifitasnya disana, situasi kuliah baru, organisasi baru, sembari menjaga toko.

Sepertinya Tuhan benar-benar menyayanginya. Tidak lama dari itu, ia jatuh sakit, pertama dokter bilang itu komplikasi, antara magh, jantung, dan paru-paru, namun setelah dilakukan pemeriksaan lebih lanjut ia positif terkena kangker darah. Speachless saya tak mengerti harus menghiburnya seperti apa ! malah ia yang balik menghibur saya, bilang saya harus rajin belajar karena sebentar lagi UAS, bercerita tentang teman-teman di Bandung, dan tanpa sengaja saya baca konsep di Hpnya yang bertuliskan keyakinannya bahwa ia bisa sembuh melawan kangker.


Luar biasa emosi saya siang itu, melihat bagaimana layanan kesehatan memperlakukannya di penghujung usia. Saya tidak menemui nama Anna di RS, namun Jayanti, nama dari pemilik askes yang ia pinjam. Ia dicampur di bangsal dengan penderita paru-paru, benar-benar aneh ! Laporan kesehatan yang menyatakan ia terkena kangker darah tidak bisa dipakai karena namanya berbeda, perlakuan dokter juga hanya apa adanya. Beberapa hari setelahnya Anna benar-benar meninggalkan kami untuk selama-lamanya.

Semenjak saat itu saya merasa betapa hidup ini membutuhkan empati. Empati untuk anak-anak yang membutuhkan tempat tinggal, empati untuk memberikan kesempatan mengenyam pendidikan, empati untuk memberikan pelayanan kesehatan dengan baik, mungkin berat bagi orang-orang kecil untuk mengenyam pendidikan tinggi, mendapat layanan kesehatan yang memadai, namun kalau setiap kita memiliki empati untuk saling berbagi, setidaknya semua masalah itu bisa dilalui dengan lebih ringan.

Perkenalan saya dengannya memang singkat, namun meninggalkan kesan yang mendalam,  bagaimana kami sama-sama mengelola Ad-Nina, bagaimana ia bersikeras meraih mimpinya. Semangat itu bernama Anna ! sejak saat itu saya belajar untuk lebih peka dengan orang lain, sejak saat itu saya menyadari ada hal-hal kecil yang bisa saya lakukan dan memberi dampak besar, sekedar mengurangi penggunaan tissue, donor darah, hingga belajar advokasi dan sosial empowerment untuk membantu Anna-Anna lain dimasa depan.