Pada tahun 2010 silam, kota Bandar lampung memilih pemimpin barunya, saya teringat ketika itu, saya diajak oleh senior-senior saya untuk menggarap sebuah diskusi terkait komitmen calon walikota Bandar lampung terhadap dunia pendidikan. Hampir dipastikan seluruh calon mampu berdialektika dengan begitu indahnya. Mengatakan bahwa pendidikan adalah factor yang sangat penting dalam suatu pemerintahan, karena pendidikan mampu menciptakan masyarakat yang cerdas yang mampu mencari jalan
keluar dari masalahnya. Diskusi tersebut dihadiri oleh ratusan guru honorer yang menaruh jutaan harapan untuk diangkat menjadi guru tetap, banyak yang megadu bahwa gaji mereka terlampau kecil, menagih janji kapan diangkat sebagai pegawai negeri ? dan lain sebagainya. Diakhir diskusi, ada penandatangana sebuah kontrak, salah satunya adalah komitmen walikota untuk menganggarkan 20% anggaran untuk pendidikan diluar gaji guru. Hari itu masih teringat jelas oleh saya bahwa semua calon menandatangani dengan nada pongah.

Hari ini saya mengingat sebuah realitas, ketika melihat anak-anak kecil penjaja asongan dilingkungan kampus, sesekali saya ngobrol dengan mereka, kenapa tidak ada sekolah? Dan dengan pasti jawaban mereka hamper sama, tidak ada biaya mb, dan sayapun penasaran, lho… bukannya ada dana bos??? Merekapun menjawab lagi, dana bos tidak untuk seragam dan pungutan-pungutan lain mb., hmm ada apa ini.

Akuntabilitas

Mulai tahun 2009, pemerintah menganggarkan dana pendidikan 20,1% dari APBN (sekitar 224,4 triliun). Ini perlu disambut baik, meskipun angka 20,1% belum tentu cukup untuk membiayai seluruh kebutuhan pendidikan Indonesia.

Contohnya untuk gaji guru. Presiden SBY dalam pidato nota RAPBN 2009 (15/08) berjanji akan memberikan gaji Rp 2 juta perbulan. Padahal jumlah guru di Indonesia (swasta/negeri) sekitar 2,7 orang. Berarti dalam satu bulan pemerintah harus mengeluarkan dana Rp 54 miliar, dan dalam satu tahun Rp 64,8 triliun. Ini belum menghitung gaji guru agama (jumlahnya ratusan ribu) dan biaya pelatihan guru. Guru negeri/swasta yang belum memenuhi kualifikasi atau tidak layak mengajar, menurut data Balitbang Depdiknas, untuk jenjang SD 49,3%, SMP 36%, SMA 33%, dan SMK 43%. Karena itu pelatihan guru mutlak diperlukan, dan pemerintah harus membiayainya. Padahal angaran untuk gaji guru, sebagaimana dilansir beberapa surat kabar, hanya Rp 89,5 triliun (tidak termasuk pengajuan dana tambahan Rp 14,4 triliun).

Besarnya dana pendidikan juga harus dibarengi akuntabilitas dan transparansi. Transparansi dan akuntabilitas dana Depdiknas masih lemah. Tahun 2007, dari sekitar Rp 44 triliun realisasi penggunaan anggaran, hanya separuh yang dibelanjakan untuk kegiatan pendidikan, selebihnya habis dipakai kegiatan birokrasi. Anggaran 20,1% seharusnya diprioritaskan untuk pengembangan SDM, bukan cuma fisik atau seremonial saja.

Persoalan pendidikan juga tidak melulu berkaitan dengan dana, melainkan juga kebijakan pendidikan, perkembangan anak, peningkatan kualitas dan kesejahteraan guru, relevansi kurikulum dan sistem pengajaran, pemerataan akses pendidikan, pengelolaan manajemen pendidikan, orientasi pendidikan, tingginya angka buta huruf orang dewasa (sekitar 60%) dan tingginya angka putus sekolah (menurut data UNESCO sekitar 64,8% penduduk usia 15 tahun ke atas).

Sekolah dan Guru Swasta


Pendidikan adalah prioritas utama pembangunan Indonesia. Tanpa SDM bermutu, Negara kita tidak punya masa depan. Prioritas pertama pembangunan Indonesia adalah pendidikan, kedua pendidikan, dan ketiga juga pendidikan.

Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 tidak membedakan sekolah swasta dengan sekolah negeri, atau sekolah umum dengan sekolah agama (madrasah dll.), karena keduanya sama-sama membangun bangsa. Dengan anggaran 20,1% pun, Negara mustahil mampu memberikan pendidikan yang berkualitas, merata, dan memadai bagi seluruh anak bangsa. Untungnya masih ada sekolah dan guru swasta, yang banyak membantu pemerintah mendidik anak bangsa.

Sayangnya, perhatian pemerintah terhadap sekolah dan guru swasta sangat minim. Padahal sekolah swasta, khususnya lembaga pendidikan Islam, jauh tertinggal dibandingkan sekolah negeri. Data tahun 2007, Madrasah Ibtida’iyyah 93% milik swasta, dan SD 94% milik pemerintah.

Pemerintah wajib memberi perhatian kepada sekolah dan guru swasta, karena mereka juga aset bangsa. Hak atas pendidikan bukan hanya milik sekolah negeri, tapi juga sekolah swasta, termasuk madrasah dan pesantren.

Apresiasi kepada sekolah dan guru swasta juga bisa datang dari kalangan pengusaha dan perbankan. Pengusaha bisa memberikan santunan rutin bulanan atau menjadi donatur tetap sebuah lembaga pendidikan. Kalangan perbankan bisa memberi kredit lunak kepemilikan rumah maupun kendaraan, atau bahkan memberi kredit dengan bunga nol persen kepada para guru. Hal ini akan mudah terealisasi bila ada perhatian dan dorongan dari pemerintah