“Aku ingin agar mahasiswa-mahasiswa ini menyadari bahwa mereka adalah “the happy selected few” yang dapat kuliah dan karena itu mereka harus juga menyadari dan melibatkan diri dalam perjuangan bangsanya.” (Soe Hok Gie, Cacatan Seorang Demonstran)
Setiap momentum perubahan di berbagai belahan dunia selalu menempatkan mahasiswa sebagai sumber energi, pelaku dan pendukung utama. Sebut saja, Revolusi Rusia tahun 1905 dan 1917, Revolusi Jerman 1918-1923, Revolusi Spanyol 1936, Revolusi Hongaria 1919 dan 1956, Revolusi China 1925-1927, Revolusi Aljazair 1954, Revolusi Turki 1960, Revolusi Korea Selatan 1960, Revolusi Yunani 1965, Revolusi Portugal 1974, hingga Revolusi Islam Iran 1979, semuanya melibatkan partisipasi aktif mahasiswa, baik sebagai penggagas, perekayasa, aktor atau sekadar penyokongnya.
Begitu pula momentum kebangkitan di Indonesia, seperti kelahiran Budi Utomo 20 Mei 1908 sebagai fundamen pertama kebangkitan nasional, Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, kemunculan Orde Baru 1966, serta Reformasi Mei 1998, semuanya dimotori oleh mahasiswa. Fakta sejarah inilah yang menjadikan mahasiswa sering dijuluki sebagai agent of change.
Menjadi mahasiswa adalah sebuah tanggungjawab. Kepada rakyat dan jatidiri mahasiswalah tanggungjawab itu dipertaruhkan. “Bukan mengatakan yang benar kepada kekuasaan.” (Edward W. Said, Peran Intelektual, 1998.) Paling tidak, posisi mahasiswa dan intelektual nantinya menjadi bagian penting dari perubahan peradaban yang “benar” (kata benar dimaksudkan menjadi kelompok kritis perubahan yang melawan bentuk-bentuk otoritas). Identitas mahasiswa, jika boleh digampangkan adalah jiwa perlawanan dan alternatif (lain daripada yang lain). Sebuah identitas yang sebenarnya patut dipertanyakan kepada pemiliknya, apakah jiwa perlawanan, kritis, pemberontakan, kritis terhadap kekuasaan dan kemapanan sudah tumbuh dan menjadi jiwa dan nurani mahasiswa? Jangan-jangan mereka hanya menjadi budak dan mesin-mesin pemikir langgengnya kekuasaan.
Ketika mengetahui kawan-kawannya berkhianat dan berselingkuh dengan kekuasaan, Hok Gie pernah mengatakan, “Pejuang sejati itu adalah pejuang yang kesepian.” (Soe Hok Gie, Cacatan Seorang Demonstran, 1997). Hok Gie mungkin salah ketika menyebut telah lahir “Generasi Kemerdekaan Indonesia” setelah perjuangan melawan kolonialisme berakhir tahun 1945. Suatu lapisan baru intelektual (mahasiswa), kata Hok Gie, seterusnya akan menghadapi kekuasaan dan bentuk-bentuk pembungkaman baru, yang tanpa kita akui, banyak intelektual telah berkubang dalam lumpur yang telah mengkhianati nilai keintelektualannya. Sekali lagi, mungkin tanpa kita sadari dan akui sebagai mahasiswa (intelektual atau kelas menengah terpelajar). Mahasiswa adalah kelompok yang mampu untuk benar-benar mengarahkan perubahan sesuai dengan keinginan rakyat. Mahasiswa seharusnya mampu membongkar semua maksud-maksud besar hegemoni yang terus dilancarkan kelompok kekuasaan.
Hegemoni, meminjam istilah Antonio Gramsci, seorang marxis Italia, mengatakan bahwa proses hegemoni terjadi apabila cara hidup, cara berfikir dan pandangan pemikiran masyarakat bawah terutama kaum proletariat telah meniru dan menerima cara berfikir dan gaya hidup dari kelompok elite yang mendominasi dan mengakses mereka. Dengan kata lain, jika ideologi dari golongan yang mendominasi telah diambil alih secara sukarela oleh yang didominasi (Roger Simon, Gagasan-gagasan Politik Gramsci, 1999)

Reposisi Gerakan

Gerakan mahasiswa untuk perubahan senantiasa mengidentifikasikan diri sebagai gerakan moral (moral force). Sebuah istilah yang justru akan menjebak gerakan mahasiswa pada kemandekan (stagnasi) proses perubahan sendiri. Perubahan sesungguhnya adalah proses berkelanjutan, bukan proses pemanfaatan momentum belaka (termasuk untuk revolusi sekalipun), karena masyarakat akan sangat lebih membutuhkan perubahan yang terarah dan riil membawa perubahan sosial padanya.
Pengalaman 66, 74 dan 98 menunjukkan ‘kegagalan’ perubahan itu sendiri. Ketika generasi 66 menjadi lambang status quo pada Orde Baru, dan ketika generasi 74 pun terhenti dan terdiam. Mereka akhirnya terperangkap pada jebakan-jebakan politik yang menjadikan mereka sebagai kendaraan politik kekuasaan belaka. Termasuk 98 yang kini pun ‘agak’ terdiam dan membiarkan proses reformasi tergagalkan….
Reposisi peran mahasiswa dalam proses perubahan adalah tema terbesar gerakan mahasiswa sekarang. Bahwa mahasiswa bukan lagi sekedar pendorong proses perubahan, tetapi pelaku perubahan itu sendiri. Keterbatasan wacana dan intelektual masyarakat Indonesia menunjukkan bahwa mereka masih sangat membutuhkan pendampingan mahasiswa di dalamnya.
Tuntutan besar tersebut yang akan menambah kerja (atau meletakkan pada porsinya) mahasiswa ke depan. Pengulangan sejarah 66 dan 74 bukanlah pilihan yang baik. Tuntutan itu ter-representasikan dalam bentuk pendidikan politik berkelanjutan (bukan sekedar pembentukan opini massa), dalam bentuk pembangunan kesadaran yang terstruktur, dalam bentuk langkah-langkah riil di masyarakat, dan pemenuhan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Hal yang akan membutuhkan analisis mendalam kondisi sosial masyarakat dan kerja sama yang rapi.
Sebagai pelaku perubahan, maka mahasiswa secara individu maupun kolektif (organis), harus menempatkan diri dalam arus besar perubahan secara bijak. Basis kompetensi keilmuan menjadi suatu yang signifikan untuk membangun masyarakat. “Ketika penurunan Soeharto adalah praktikumnya mahasiswa sospol. Ketika krisis moneter adalah praktikumnya mahasiswa ekonomi. Sekarang saatnyalah mahasiswa teknik bergerak berpraktikum,” demikian kata seorang kawan saya yang mahasiswa Teknik. Distribusi peran gerakan mahasiswa ke seluruh lini masyarakat merupakan keniscayaan ketika perubahan masyarakat sudah melalui proses transisi demokrasi.

Memahami Perubahan

Menurut Edward Said dan Ali Syari’ati, untuk mengukur apakah seseorang itu masuk kategori intelektual atau bukan dengan mudah dapat dilihat pada peran dan kesadarannya untuk menyampaikan sebuah kebenaran. Tujuan intelektualitas menurut Edward Said adalah meningkatkan kebebasan dan pengetahuan manusia. Ia hendaknya tidak menerima sebuah kebenaran sebagai sebuah kepastian yang tidak perlu dikritisi dan ditafsir ulang.
Uraian di atas dapat mengumpulkan beberapa hal yang harus dipahami oleh gerakan mahasiswa dalam membawa proses perubahan masyarakat (dan pemberdayaan masyarakat) :
C Pilihan proses perubahan akan sangat tergantung pada kondisi sosiologis masyarakat, sehingga analisis mendalam berbagai aspek sosiologis dan historis masyarakat akan mempermudan perubahan, dan meminimalkan penentangan masyarakat sendiri. Penentangan masyarakat ternyata salah satu faktor penggagalan perubahan
C Perubahan adalah proses berkelanjutan, bukan sekedar pemanfaatan momentum belaka. Pendidikan dan pemberdayaan masyarakat adalah bagaian dari proses perubahan. Dan bahwa momentum dapat diciptakan.
C Pendidikan masyarakat membutuhkan kerja-kerja terstruktur bukan kerja insidental yang reaktif. Pendidikan masyarakat bukan sekedar pembentukan opini tetapi juga kerja-kerja riil yang manfaatnya diterima secara langsung oleh masyarakat.
C Hambatan intern adalah masalah gerakan mahasiswa dan bukanlah jatah masyarakat untuk menerima ekses kondisi tersebut. Jadi pecahin dong…., tetapi proses pendidikan tetap berlanjut.
C Analisa historis kisah gerakan untuk perubahan adalah referensi gerakan perubahan yang cukup penting.
Menegakkan dan meneguhkan idealisme memang sebuah langkah yang sangat berat di saat atmosfer pragmatisme menjadi udara yang kita hirup setiap saat. Untuk itu, gerakan mahasiswa sebagai bagian dari “kaum idealis” harus terus berdiri dan menantang segala tirani—baik yang nyata maupun abstrak.
Hambatan jelas selalu menghadang. Terpecahnya gerakan mahasiswa karena tiadanya musuh bersama (common enemy) dan egoisme ideologi, terbatasnya stamina mahasiswa, kegagalan penransferan gerak (bukan lagi sekedar ideologi) dan lain-lain (juga adanya ‘provokator’). Sebuah kondisi empuk bagi negara (dan elit politik) untuk mengendarai gerakan mahasiswa. Seluruh hambatan itu harus disadari sebagai sebuah evaluasi internal. Sehingga, tidak ada yang terjadi di seluruh pelosok republik ini selain perubahan menuju hal yang positif—demokratis, egaliter dan berkeadilan.
***