Namanya Ibu Mety, waka kurikulum di tempat saya KKN. Sedikit saya tahu latar belakang beliau, namun ketika ingin mengenal lebih jauh ada saja halangannya, ketika saya hendak bertandang ke rumahnya, beliau masih di luar kota, selanjutnya kami sibuk dengan urusan masing-masing.

Saya sempat khawatir ketika berkomunikasi dengan beliau, terkadang pembawaan tegas itu sedikit bergeser kearah kaku. Terlebih ketika kami meminta libur lebih dulu dari waktu sekolah, hingga pada akhirnya saya melobi langsung kepada Kepala Sekolah.

Akhirnya kedekatan diantara kami terbangun ketika persiapan bedah kampus, beliau menjadi teman sharing dan penghubung terhadap sekolah, sampai pagi-pagi beliau saya repotkan dengan telfon saya yang meminta buru-buru untuk segera ke sekolah karena bapak Kepala Sekolah tidak ada.

Satu kata yang saya ingat dari beliau adalah, ketika menyarankan kami untuk fokus pada anak-anaknya saja dulu, baru ke orang tua, karena beliau khawatir kami kecewa melihat respon orang tua, “kalau kami sie sudah biasa ujarnya”. Tak sedikitpun ada raut muka jengkel dari wajah beliau.

Tak lama dari itu, saya mendengar kisah beliau dari Bu Dwi (guru matematika), bahwa suaminya seorang pelaut, beliau disini sendiri bersama anaknya yang masih kecil, dulu suatu hari beliau pernah terlibat konflik dengan beberapa oknum, disaat yang sama beliau juga keguguran, sesaat terbayang ketegaran seorang wanita. Selesai bercerita tentang Ibu Mety, saya dan Bu Dwi berbincang tentang bapak kepala sekolah yang memilih untuk kembali menjadi guru ketimbang menjadi kepala sekolah disana. Hmmm... yah inilah realitas, ada yang memilih untuk mengurai benang kusut, dan ada yang memilih untuk damai.

Malam itu malam terakhir kami di Toto Mulyo, kami bertandang ke rumah beberapa pamong desa, tangis saya tak bisa di bendung ketika memasuki rumah Pak Sekertaris Desa yang begitu banyak membantu dan menjadi bapak untuk kami bersebelas. Selanjutnya berlanjut ke rumah Ibu Ririn, dari sana saya terfikir untuk ke rumah Ibu Mety, namun saya khawatir ketika hendak mengajak teman-teman kesana karena kami lupa menyiapkan bingkisan untuk Bu Mety. Hingga pada akhirnya Bu Ririn menyarankan juga kami untuk kesana, setelah perdebatan ndak apa-apa ndak bawa buah tangan kami berangkat, saya yakin tidak apa-apa, karena Bu Mety cukup tangguh dan idealis dimata saya.

Kesan pertama ketika kami memasuki rumahnya terasa sepi, tertangkap mata bocah kecil berusia 2 tahunan dengan senyum manis. Luar biasa perempuan tegar ini. Memandangnya menyambut kami, mengakrabkan kami dengan anak semata wayangnya, mendengar wejangannya “guru itu bukan sekedar profesi yang merindukan gaji, namun membutuhkan dedikasi, kalau hanya berharap gaji, cari saja pekerjaan lain, karena tanpa dedikasi semuanya akan berat, apalagi untuk seorang perempuan, yang ditempatkan di daerah, timbang dulu benar-benar. Saya rasa tujuan kampus menempatkan KKN disini adalah untuk mengasah dedikasi, seperti Indonesia Mengajar yang ditempatkan di pelosok”.

Sesaat saya menunduk dan pura-pura baik-baik saja, mengingat segala hal tentang Bu Mety, saya menangis 
kala itu dirumahnya. Subhanallah... masih ada manusia seperti ini, harus bertahan hidup berteman bayinya di daerah baru, menghadapi konflik sosial, dan tetap ikhlas dan damai menjalani segala sesuai, gerak yang ligat, wajah yang ceria, seolah menutupi semuanya.

Makin kagum saya ketika mendengar cerita Mb Riza, salah seorang teman saya yang di pamongi oleh beliau. Saya dikasih uang sama Bu Mety, karena kata Bu Mety saya yang ngajar 2 bulan ini. Luar biasaaaa...! disaat guru lain menarik keuntungan dengan adanya anak KKN, beliau mengerti apa yang harus pada porsinya.

Bu Mety menjadi pelajaran berharga, hingga ketika sampai di Bandar Lampung saya sempatkan memberi kabar kepada beliau “Alhamdulillah sudah sampai di Bandar Lampung”. Dan beliau membalas “teruslah berkreatifitas dan ikhlas dalam menjalani semuanya...” Jleb... semoga segala apa yang Ibu kerjakan hari ini mampu menjadi amal jariyah yang menjadi pemberat timbangan menuju jannahNya. Dan semoga ada orang-orang yang memiliki kapasitas untuk memperjuangkan beliau dibukakan hatinya. Sungguh engkaulah pahlawan tanpa tanda jasa.