Beberapa tahun yang lalu saya dibuat miris oleh pelayanan kesehatan sebuah RS di Lampung yang notabene RS terbesar kala itu. Masih teringat dimana saat itu teman saya terkena kangker darah dan divonis di RS Hasan Sadikin Bandung, karena saat itu dirasa pihak dokter Hasan sadikin sudah menyerah, maka teman saya dipulangkan ke Lampung dengan saran menjalani pengobatan herbal. Namun beberapa hari di Lampung, teman saya merasakan sakit yang amat sangat, dan akibatnya dilarikan ke salah satu RS di pringsewu, karena beberapa hari tidak juga menemui diagnose yang tepat, maka dirujuklah ke salah satu rumah sakit di Bandar Lampung. Satu hal yang sangat miris, teman saya divonis sakit paru-paru dan dicampur dibangsal dengan penderita paru-paru lain. Saya pun terbelalak dan bertanya kepada pihak keluarga, mengapa tidak memberikan berkas yang dari Hasan Sadikin ?? dan saat itu saya beru tersadar bahwa nama teman say bukan lagi anna amalia, namun sudah berganti jayanti, karena ia berobat dengan askes pinjaman.
***
Teringat juga kisah seorang teman ketika menunggui saudaranya dibangsal salah satu RS di Lampung juga. Saat itu, ketika sang perawat masuk hendak mengecek pasien, si perawat salah periksa, karena yang tidur di ranjang RS bukanlah si pasien, namun ibu si pasien yang sudah cukup tua, dan si pasien tidur diatas tikar dilantai, mungkin karena si pasien tidak tega dengan ibunya. Lain cerita dengan pasien disebelahnya, masih dibangsal yang sama, pasien dan anaknya yang masih kecil sama-sama duduk dilantai. Begitu juga ketika wabah DBD menyerang dan salah satu teman saya terjangkit, dimana posisi rumah sakit saat itu sudah penuh, namun teman saya tetap saja diterima dan dirawat di lorong RS.
***
Kejadian-kejadian sederhana itu cukup menggelitik nurani saya, kenapa jaminan kesehatan untuk orang miskin begitu rendah, dan lebih tepat lagi dikatakan bahwa “orang miskin dilarang sakit”. Hingga beberapa bulan lalu, teman-teman saya yang ada di Badan Eksekuti Mahasiswa Universitas sibuk dengan kegiatan survey masyarakat tidak mampunya, dan sesaat terlontar pertanyaan, mengapa harus BEM-U yang mensurvei ? dan jawaban konyol yang saat itu hadir adalah BPS provinsi Lampung tidak akurat dalam melakukan surveinya, tanda Tanya keduapun muncul kala itu, mengapa wali kota Bandar Lampung justru melakukan survey ulang dengan biaya ulang dan menggunakan para mahasiswa ? mengapa tidak menegur BPS saja jika terbukti BPS yang tidak professional ?? dan semua itu terjawab, ketika masa pembagian jamkesda tiba, ada foto sang walikota di kartu jamkesda (jaminan kesehatan daerah) itu. Dan masyaallah mengapa segala sesuatu syarat dengan muatan politik, dan kebutuhan untuk menang ditahun depan? Tidakkah hati mereka sedikit tergugah melihat pasien-pasien yang terkapar, atau prosentase kesehatan ibu dan anak yang relative kecil?
***
Ada lagi satu kisah yang bisa pembaca jadikan kesimpulan dari pengalaman-pengalaman saya diatas, saat saya soan ke dinas kesehatan Bandar Lampung dan berbincang dengan kepala bidang kesehatan masyarakat. Saat itu beliau memaparkan bahwa kebijakan kita sungguh unik, dimana kebijakan kesehatan yang seharusnya mengalah ke pola preventif, justru menuju kearah penanggulangan. Yang tentu saja itu memakan biaya yang lebih besar. Kita cenderung menunggu DBD mewabah diabanding mencegahnya, dll.
***
Kisah-kisah sederhana diatas mampu mewakili kita untuk meneropong secara penuh jaminan kesehatan dan kemudahan memperoleh akses kesehatan dilampung, kisah pertama dan kedua menjadi sudut pandang orang kecil, kisah ketiga menjadi sudut pandang pengambil kebijakan yang dekat dengan nilai politis, apalagi akhir-akhir ini terdengar kabar bahwa kartu jamkesda tersebut tidak mampu digunakan, dan kisah terakhir adalah pengakuan dari pelaksana kebijakan. Lalu bagaiman dengan Lampungku ? saya yakin akan lebih baik ketika pemudanya masih memiliki kepedulian untuk itu. Terus berjuang !