29 Maret 2012

pukul 20 : 41

Saya tergelitik untuk menulis ini ketika membaca status salah seorang teman saya yang merupakan seorang aktivis salah satu gerakan mahasiswa yang kurang lebih berbunyi “saat para orang tua menghawatirkan anak-anaknya., mereka justru menghawatirkan nasib bangsanya”. Hhmmm… jemari tangan sayapun gatal untuk memberi komentar “agaknya perlu ada acara meet n understanding dengan para orang tua”.


Sungguh, hal ini menjadi sangat menarik untuk dibahas, ada apa dengan mereka? Apakah mereka terlalu khawatir dengan anak-anak mereka, atau tidak adanya kefahaman yang sama antara orang tua dan anak… sebut saja ibu saya, dulunya adalah seorang anggota gerakan mahasiswa dari salah satu ormas islam, rasanya janggal jika beliau tidak mengerti tentang carut marutnya negeri ini, namun berulangkali ketika saya memancing untuk bercerita tentang kondisi negeri ini, hanya akan sampai pada kesimpulan, kami rindu masa pemerintahan soeharto ? apakah ibuku tidak mengenal new world order ? tidak juga… saya pernah menemukan sebuah buku yang berjudul rezim soeharto dirumah… dan beliau mampu memaparkan pelanggaran-prlanggaran HAM yang dilakukan oleh soeharto.., dan butuh kesangsian besar kalau ibuku tak membacanya… ketika suatu malam beliau menelefon dan bertanya sedang apa? Kala itu saya jawab… sedang membaca zionisme pancasila.. ibukupun langsung menyahut.., itu buku bagus., isinya bla… bla… bla… dan kuingat juga kala itu, ketika aku sibuk bertanya tentang harokah pada seorang saudaraku… ibuku menjelaskan dengan gamblang sambil memberikan titipan buku dari saudaraku itu.., dan esoknya ketika pulang, kami berdiskusi tentang isi buku itu, dan beliau jauh lebih fasih dariku… itulah ibuku, yang pernah kubujuk untuk membuka taman baca di rumah, dan ketika ia mengiyakan… tidak kufollow’up-I hingga saat ini., duluu… kala aku masih SMP.., ibuku rela telfon rohis SMA supaya aku bisa gabung BBQ d SMA itu… ibuku juga pernah mengingatkanku untuk sholat malam dan puasa tengah bulan… ibuku mengajariku memakai jilbab dari aku unyu-unyu… ibuku memberiku majalah “aku anak sholeh” yg jujur… cukup berat untuk anak usia TK nol besar atau SD kelas satu.. ibuku menemaniku wisuda Al-qur’an kala aku kelas 2 SD… ibuku yang selalu memprotes sistim pendidikan… ibuku yang selalu memprotes pejabat pemerintahan….



Lain dengan ayahku, ia tahan melihatku menangis tersedu-sedu karena aku dipaksa memakai jilbab… bukan karena kala itu aku tak tahu dalilnya, namun aku tak siap dengan kondisi sosiologis pergaulanku. Beliau orang yang ideologis.., tegas., dan lugas… mengajarkan islam dengan kefahaman, rasionalisasi, bukan dengan rayuan… “kalau kamu masih mau jadi anak ayah… berislamlah dengan kaffah… kalau tidak, ndk usah berislam… krn ayah ndk pernah bangga punya anak yang merusak citra islam.. udah tau jilbab itu wajib “ please dong boy…. Guys… girl… gw masih eS eM Pe kelas dua kala itu. Ayahku juga berkali-kali memaksaku ikut PII (pelajar islam Indonesia), “ada lho temen bulekmu di PII yg masih SMP, tampak dewasa dan cerdas…” ayahku… beberapa kali terlibat di parpol… beberapa kali terlibat sebagai panitia pemungutan suara… ayahku yang berfikir untuk memanajemen desa dengan baik… dan ayahku yang mengajariku untuk menjadi muslim yang berdaya saing… “tunjukin dong… kl jilbaber juga prestatif dan kontributif”


Semua latar belakang itu, tadinya kufikir menjadi kemudahan bagiku untuk mereka mengerti ketika aku harus sering-sering melakukan kajian kebijakan pemerintah… tapi sekalinya saya nongol di TV local., sudahlah… itu bahaya… intel dimana-mana… pakde kamu dulu… bla.. bla… bla… tadinya kufikir.. semua latar belakang itu menjadi kemudahanku untuk menjadi sosok yang mampu membawa perbaikan untuk negeri ini… sedikit merelakan waktuku dan mimpiku untuk idealis.. membaginya dengan cita-cita ummat… tapi kau tetaplah orang tua yang khawatir dengan masa depan anakmu., yang khawatir IPKq melorot… yang masih menginginkanku hidup damai dan nyaman… menikah dengan laki-laki mapan, terjamin… mendapat pekerjaan yang layak… dan segala kekahwatiran-kekhawatiran lain… kini aku mengerti, betapa lebih sulitnya kawand-kawandku dengan latar belakang keluarga yang bisa dibilang tdk peduli dgn pemerintah… aku saja begini..


Ibu… izinkaku pulang terlambat waktu…. Ingin kutaklukkan malam dengan jalan pikiranku…

Mungkin aku masih terlalu muda, sehingga kau khawatir aku dipermainkan oleh partai politik., mungkin aku terlalu lugu dan polos… sehingga ayah terlalu khawatir untuk aku terlena dengan permainan dunia.

Tapi disudut hatiku aku yakin, ini hanya masalah semangat tua dan muda, walau sebenarnya kita memiliki kegelisahan yang sama. Rasa sayang kalian padaku membangun tembok kekhawatiran yang luar biasa tinggi dan lebar… walau sebenarnya aku juga sadar.. kalian merindukan negeri yang damai untuk cucu-cucumu tumbuh kelak… rasa sayangmu, membuatmu membatasi tembok perdamaian hanya pada keluarga ini… tapi jiwa mudaku berkata… aku ingin berbagi untuk penjuru negeri.. untuk saudaraku di seluruh dunia…


dan ingatkah engkau…

dari mana ketertarikanku ini tumbuh melekat menjadi cita-cita dan penyemangat pada setiap langkah ?? sejak TK, kau mengajarkanku untuk kritis pada sistim pendidikan di negeri ini??? Ingatkah itu… aku tak secerdas anak-anak lain yang membanggakan orang tuanya dengan menjadi ahli medis… tapi izinkanku menjadi ahli lain yang bermanfaat untuk ummat ini.


# teriring rindu yang amat sangat, tapi benteng diantara kita takkan memudar tanpa pembuktian.