Nama saya Candra, mahasiswa tingkat tiga pendidikan bahasa inggris, Universitas Lampung. Ini kisahku hari ini, mungkin begitu sentimentil, karena saya sedang sakit hati, dan setelah saya menangis akhirnya saya berkesimpulan, inilah titik balik saya !

Dulu dikala kecil saya sering juara kelas, tapi dirumah saya terkenal lelet dan cengeng ketika memiliki masalah, tak jarang jika orang tua saya berkata ‘kamu itu pinter tapi bodoh !’ kalimat itu begitu melekat bagi saya dalam angan dan cara saya memandang hidup. Sampai ketika saya melihat adik ibu saya yang kuliahnya brilian namun hidupnya terkadang merepotkan, juga para sarjana di kampung saya yang pada akhirnya merepotkan. Akhirnya saya sampai pada suatu kesimpulan bahwa ada yang salah dengan pendidikan ini, mereka itu orang-orang yang cerdas di kampus, tapi bodoh dalam hidup, seharusnya tidak begitu, bukankah sekolah itu mengajarkan mereka ilmu sehingga menjadi insan yang lebih terdidik ? 
  
Saat kuliah di bahasa inggris saya sering memiliki ide-ide liar dalam mengerjakan tugas, salah satunya ketika ada tugas semantic, saya mengaitkan antara logika bahasa dan bahasa berita, namun yang diinginkan oleh dosen saya tidak begitu, kami hanya diminta membahas hal-hal dasar seperti metonimi, saat itu gagasan saya yang jauh dari sempurna itu mendapat nilai C. saya berfikir, untuk apa kita mempelajari ilmu, jika ujungnya hanya untuk memenuhi file otak ? bukankah sudah sewajarnya ia dibelanjakan menjadi gagasan yang nantinya eksis dalam masyarakat. 

Merasa lelah tidak terakomodir dalam kampus, saya mencoba mencari dari luar. Akhirnya saya mengenal sosok-sosok inspiratif seperti goris mustaqim, ridwan kamil, sandiago uno, erie sadewo, iman usman, anies baswedan, dll, orang-orang yang mampu menterjemahkan ilmu kedalam dimensi kebermanfaatan dan perubahan. 

Apa hubungannya dengan dendam saya hari ini ? beberapa waktu yang lalu saya lolos seleksi 2 event, Indonesia model united nation dan global youth cultural summit. Mungkin sebagian orang menganggap IMUN sebagai perlombaan belaka, tapi itu menjadi ajang bagi saya untuk bertukar gagasan dengan para diplomat muda mengenai isu MDG yang nantinya akan saya combine dengan project social saya di lampung untuk dibawa kedalam ajang GYCS yang mengikutsertakan 400 pemuda dari seluruh dunia itu. Tidak biasanya saya berharap pendanaan dari kampus, namun karena teman saya mengajak untuk mengajukan proposal, maka saya mencoba, toh apa yang saya cita-citakan ini beririsan dengan tri darma perguruan tinggi, mengapa tidak berkolaborasi saja ?

Hari dimana saya berkomunikasi dengan prodi saya dilempar ke jurusan dan fakultas, ketika difakultas saya dilempar ke universitas. Di universitas saya dijanjikan akan dibantu dengan nominal tertentu dan diberi note untuk kembali ke fakultas, difakultas akhirnya saya mendapat nominal tertentu dan dari universitas mendapat nominal separuh dari yang dijanjikan. Saya kecewa berat. Sebagai anak muda yang belajar di kampus ini saya ingin dihargai sekali saja, saya ingin diajarkan bagaimana mengembangkan gagasan, saya ingin terfasilitasi dan berkolaborasi dengan kampus untuk menginspirasi masyarakat Lampung. 

Namun kembali kampus tidak bisa disalahkan, karena saya juga tidak berkomunikasi terkait gagasan saya seutuhnya, karena menyadari hal itu maka saya berjanji dalam dua bulan untuk menyelesaikan master plan yang akan saya bawa ke GYCS dan pada akhirnya akan saya copy untuk beberapa orang strategis di Universitas Lampung. Dengan sebuah pesan tersirat ‘izinkan saya memiliki gagasan dan menjadi ridwan kamil baru, anies baswedan baru, dan sosok-sosok lain yang mampu menterjemahkan bahasa ilmu kedalam dimensi perubahan.   

Tidakkah indah ketika kita tidak harus mewarnai bunga dengan warna merah, atau sekedar menggambar air mancur ketika diperintah menggambar monas, atau ketika ditanya kenapa matahari menyala kita menjawab karena banyak lampunya. Saya memang tidak sesempurana bapak-bapak yang sudah duduk disana, namun proses belajar dan menghargai gagasan adalah asset terbesar dalam dunia pendidikan. Toh, kita juga tidak pernah tau kalau pada akhirnya anak yang menjawab matahari menyala karena banyak lampunya bisa menciptakan matahari buatan untuk menjemur hasil pertanian di hari depan nanti. Stay strong !