Mungkin ada kalanya diantara kita berfikir bahwa sebenarnya apa yang menjadi benar dan salah di dunia sekarang ini adalah konsensus mayoritas manusia menganggapnya apa. Contoh saja, seorang pelajar yang tidak lulus ujian nasional karena tidak mengikuti prosedur contek mencotek di sekolahnya, sudah bisa dipastikan teman-teman dan guru-gurunya akan menyalahkan tindakan bodohnya itu dan berdalih “ini kan demi kebaikanmu juga, kalau sudah begini bagaimana ? Bukankah mengulang sekolah satu tahun lagi lebih buruk? Belum lagi citra sekolah dan peluang kepercayaan perguruan tinggi ke sekolah”. Pengalaman di atas pernah terjadi pada salah seorang teman dekat saya, dan sebenarnya saya bingung, siapa yang sebenarnya salah ? karena menurut saya teman saya itu tidak salah sama sekali. Ia hanya mengaplikasikan sebuah pelajaran yang ia dapat dari TK, yaitu kejujuran dan tanggung jawab, ia jujur akan siapa dirinya dan bertanggung jawab atas nilai dirinya sendiri. Namun karena apa yang ia lakukan itu tidak umum di logika manusia yang menganggap tidak lulus UN itu adalah aib, maka orang-orang memandangnya salah.

Titik Ekstrim di Dalam Statistik Dianggap Tidak Ada
 

Hari ini saya mendapat sebuah pelajaran baru dari mata kuliah research, dan ada hal yang cukup menggelitik bagi saya untuk menuliskan ini. Kurva di dalam data statistik berpendapat bahwa jumlah orang bodoh di dunia ini ada 3 % , rata-rata 30 %, dan cerdas 3 %, penghubung diantara ketiganya sekitar 20%. Satu hal yang unik, statistik tidak menerima kondisi ekstrim yang langka dan hanya terjadi pada segelintir orang. Mari saya sederhanakan penjelasannya. Misal saja dalam sebuah ujian matematika, yang mendapat nilai 4 sebanyak 10 orang dan mendapat nilai 8 sebanyak 7 orang, sementara nilai rata-rata ujian tersebut adalah 6 dan 60% siswa berada pada titik rata-rata ini maka kurva berupa gunung dengan puncak di tengah mampu menggambarkannya, namun jika ternyata ada satu orang anak yang mendapat 100, maka satu anak itu tidak akan digambarkan di dalam kurva dan diperhitungkan oleh analisis statistik karena dianggap sebagai sebuah fenomena ekstrim dan langka terjadi.

Mendengar penjelasan dari dosen saya, ada dua nama yang melintas, yaitu Nabi Muhammad dan Einstein. Mari kita bahas Einstein terlebih dahulu, karena ia lebih mudah diterima logika manusia.

Ada dua jenis ekstrimis di dunia ini yang tidak mampu diterima oleh statistik, yaitu orang yang benar-benar idiot dan orang yang benar-benar jenius. Orang-orang yang berada dalam rentang kurva statistik cenderung sombong dang mengangap dua golongan ekstrim ini bodoh. Itulah yang berlaku pada Einstein, gurunya menganggap pertanyaan-pertanyaan yang ia ajukan itu tidak lebih dari pertanyaan idiot. Hingga akhirnya einstein menjadi sosok fenomenal pada akhirnya. Kisah ini mengajarkan kita untuk tidak memberikan justifikasi bagi orang ekstrim begitu saja, karena logika kita yang tidak sampai padanya, jadi tidak sepatutnya kita mengukur sesuatu tanpa alat ukur.

Sosok kedua adalah Nabi Muhammad, diaman pada awal ia menyampaikan ajaran islam dianggap gila, anda tau mengapa ? karena Islam adalah ajaran untuk sebuah sisitim kehidupan yang terlampau sempurna untuk diterima logika manusia. Produk dari Sang Maha yang beyond of the logic. Jika anda penasaran, bisa mempelajarinya dan mohon ma’af saya tidak bisa membahas secara detail karena tidak akan cukup untuk dituliskan disini.

Demokrasi : Suara Rakyat Suara Tuhan

Mengingat ajaran Mostesque yaitu dari, oleh, dan untuk rakyat membuat saya berfokus pada sistim pemerintahan yang sedang in di Indonesia dan Amerika yang hari ini cukup menjadi kiblat peradaban dunia. Spirit di balik demokrasi adalah “rakyat” sekali lagi “rakyat”, dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Itulah mengapa dalam mekanisme pengambilan keputusannya dilakukan voting, dan suara mayoritas akan menang.

Pelaku voting adalah rakyat itu sendiri, kumpulan manusia dimuka bumi yang sebelumnya kita analisis menggunakan kurva statistik. Hasil dari voting tersebut adalah suara mayoritas, sehingga suara mayoritas menjadi suara kebenaran, suara mayoraitas menjadi suara Tuhan, dan singkat cerita suara rakyat suara Tuhan. Yang menjadi masalah adalah di dalam kurva statistik, kemungkinan yang menduduki puncak kurva/populasi terbanyak, adalah sesuatu yang bisa diterima oleh akal manusia yang terbatas, sesuatu yang diterima dan disepakati mayoritas orang, bukan sesuatu yang berlandaskan pada kebenaran haqiqi. Apalagi bagi mereka yang menganut ajaran keTuhanan, akan cenderung sulit diterima kebenarannya, karena logika keTuhanan itu jauh diatas logika manusia.




Kebenaran Alqur’an Yang Haqiqi

Hal ini menarik, ketika saya menulis terkait Al-qur’an, karena kita akan kembali pada sosok bernama Muhammad SAW yang menerima setiap katanya dari Allah SWT. Awal perjalanan dakwah sang Nabi kerap dibilang sebagai orang gila, bagaimana tidak, mari kita bahas sebuah contoh yang sederhana, pada masa itu ilmu pengetahuan mengatakan bahwa bumi ini datar dan langit adalah atap yang disangga oleh gunung-gunung di ujung batas dunia. Namun hari itu Sang Nabi berkata “langit dan bumi dahulunya adalah sesuatu yang padu, kemudian Allah memisahkannya dalam tujuh masa”. Bagaimana Sang Nabi tidak dianggap gila, karena hari itu ilmu pengetahuan manusia belum ada pada titik tersebut. Baru beberapa tahun setelahnya Galileo-Galilei menemukan teleskop dan mengatakan bahwa bumi bulat, dan terus berkembang hingga dicetuskan teori big bang.

Fenomena ini mengajarkan kita dua hal, 1. Muhammad SAW adalah sesosok yang ekstrim dan berada diluar kurva statistik, dan 2. Apa yang disamapaikannya beberapa tahun silam, yang membuatnya dijuluki gila, bukanlah sesuatu yang salah karena pada akhirnya terbukti kebenarannya. Asumsi bahwa langit adalah atap yang disangga oleh gunungpun patah dan menjadi salah pada masa sekarang.

Jika pada awal paragraf saya berfikir bahwa kebenaran itu adalah suatu konsensus, pada akhir paragraf ini saya berkesimpulan bahwa kebenaran itu adalah suatu yang mutlak, dan konsensus bisa berubah. Saya juga menyadari bahwa ada pesan-pesan Tuhan di dalam Al-qur’an yang mampu menjadi alat ukur benar dan salah kita, menjadi petunjuk bagi sekalian alam. Memang ia sulit dipahami, namun akan menjadi mukjizat bagi ia yang berfikir. Wa’allahualam bi shawab.