*edisi : life is hard but no choice to give up

Sudah dua hari ini Ria luar biasa kesal dengan teman satu kontrakannya, setidaknya akibat tiga hal, ya ! tiga hal yang menyebabkan Ria benar-benar kesal dengan Chika. Pertama, Chika datang sebagai penduduk kontrakan di tengah tahun dengan diantar keluarganya, dengan tiba-tiba langsung mensabotase alat masak, waktu memasak tanpa permisi apalagi kompromi. Belum selesai keanehan yang pertama esok harinya Chika memulai usaha piscok dengan memonopoli kompor dan dapur secara habis-habisan hingga penduduk satu kontrakan kelaparan. 

Kedua, alahal kulihal produksi piscok, sampah-sampah kulit pisang dan percikan minyak yang membuat lantai licin benar-benar membuat kesal, bukannya merasa tidak enak dengan yang lain justru keluar kalimat "mb... uang sampah bulan ini mb yang bayar ya ?" apa ??? rasanya aku ingin berteriak, memang kemarin-kemarin siapa yang bayar ??? wajar jika perusahaan besar berusaha sedemikian rupa untuk tidak mengeluarkan CSRnya, usaha kecilpun begini.

Ketiga kalinya ketika kompor rusak dan Chika hanya diam saja, baiklah... dan ternyata setelah dibetulkan, tanpa ba bi bu, bertanya habis berapa dan urunan berapa Chika kembali masak disana. Sudahlah... Tapi ??? mungkin berfikiran bahwa Chika adalah cucu kesayangan dari bapak kos, maka TV di ruang tengah ia bawa masuk ke dalam kamar. Terang kami dongkol setengah mati, apalagi dua hari kemuadian keluar kalimat "mb... listrik bulan ini mb yang bayar ya ????" aku tak tahan lagi ! aku mau pindah !

Siang ini Ria enggan pulang ke kontrakan setelah semua kejadian itu, ia memilih duduk di kampus menunggu jadwal kuliah selanjutnya. Baru beberapa saat ia menghabiskan bekal makannya datanglah seorang bapak tua dengan suara tidak parau tapi tidak juga merdu, tidak lantang namun tidak juga lemah, "es krim.... es krim... " setiap orang yang ada disitu nyaris tidak peduli. Ria berusaha keras memalingkan pendengaran dan penglihatannya. Tidak tega. Namun rasa penasaran kadang hadir dan memerintahkan otot leher untuk menengok, ah... bapak itu sedang duduk bersandar di tiang dengan sepeda tua yang diparkir sembari berteriak "es krim.... es krim...." Rasanya ingin segera beranjak pergi, tapi uang yang dimilikinyapun pas-pasan, belum lagi dia harus berbagi dengan adiknya.

Beberapa waktu kemudian bapak tua itu mengayuh sepeda tuanya, dengan tabah, tanpa kesedihan, ia menjadi simbol optimisme hidup. Ria tersadar, bahwa dari usianya bisa jadi bapak itu hidup di zaman perjuangan kemerdekaan, membela tanah ini dari penjajah, dan kini ketika semua sudah merdeka, tak ada satu anak mudapun yang peduli padanya. Ria nyaris menangis dan mengejar bapak tua yang sudah semakin jauh, tapi apa daya, ego untuk menyimpan uang demi keberlangsungan hidup di kosan lebih kuat ! Mungkin kini Ria sudah menjadi anak muda yang lebih tidak tau diri dari Chika.

Manusia modern hidup dalam keegoisan yang mendalam. Tekanan hidup yang mendalam membuat setiap individu semakin fokus terhadap dirinya sendiri, kejar setoran, pergi pagi pulang petang, setumpuk kerjaan, belum bayaran sekolah, kebutuhan untuk makan, tempat tinggal, hingga tagihan hutang. Setiap individu berjuang mati-matian, kaki di kepala, kepala di kaki entah kelak bagaimana lagi.