Angin muson bertiup kencang menandakan perubahan musim, dua era yang begitu berbeda yang juga memberikan kesibukan berbeda bagi para petani, khususnya para transmigran yang sebagian besar menanam kopi, lada, juga kakau. Para petani akan sibuk menjaga ladang kala musim kemarau tiba, khawatir kalau-kalau gesekan antar dahan menghasilkan api yang dapat membakar ladang-ladang mereka, tidak sekali dua kali hal itu terjadi, sampai-sampai pemerintah menurunkan puluhan pesawat pemadam kebakaran. Lain cerita ketika musim penghujan datang, petani sawah terancam gagal panen karena banjir bandang di persawahan. Dua buah kisah yang membutuhkan antisipasi dari jauh-jauh hari.  

Perubahan musim itu mengisyaratkan pula perubahan warna hidup di keluarga Melda, bak guci yang jatuh dari meja, hatinya hancur berantakan paska ayahnya melarang Melda berhubungan dengan Dedi. Terkadang Melda bisa mengerti ayahnya, tapi terkadang ia teringat bagaimana ia telah menunggu Dedi selama empat tahun, dan itu bukan waktu yang bisa dibilang sebentar.

***

Dengan perlahan hubungan Nandita dan Bambang membaik, komunikasi diantara mereka sudah mulai terbuka, Nandita sepakat untuk membantu Bambang menceritakan yang sebenarnya ke Melda secara perlahan. Karena sampai sekarang Melda masih benar-benar  tidak bisa menerima, apa yang salah dengan Dedi ? dia santun, baik, pintar, sholeh, ya.. paket lengkap yang jarang didapatkan. Pernah suatu hari Melda membuka percakapan dengan Bambang.

“Yah, seberapa sulitkah membina perbedaan dalam suatu rumah tangga ?” tanya Melda

“Itu hal yang cukup berat.” Jawab Bambang dengan dingin.

“Tapi bukankah ayah dan ibu bisa mealuinya ? kenapa ayah tidak percaya dengan saya ?” selidik Melda.
“Sudahlah, masih banyak laki-laki lain di luar sana” nada menjawab dengan nada tinggi.

“Tapi......” sanggah Melda.


“Kau mau melawan orang tuamu ? “ dan bla bla bla percakapan itu semakin memanas dan berakhir dengan hubungan yang buruk antara ayah dan anak.

Hal ini menyisakan sebuah alasan yang tidak masuk akal bagi Melda, apa yang salah, semua alasan itu tidak rasional, pikir melda. Perlahan demi perlahan Melda mulai  tidak memperhatikan dirinya, badannya semakin hari semakin kurus dan begitu menyedihkan.

***

“ono opo tho le ??” tanya Endang.

“Oh, ndak da apa-apa bu, hanya sedikit kepikiran pinangan kemarin.” Jawab Dedi

“ lha mbok ibu itu dicritain lengkapnya bagaimana, lha katamu Melda juga tresno karo awakmu ?” tanya Endang.

“Inggih bu, tapi bapaknya ndak setuju, Melda sudah berusaha meyakinkan, tapi orang tuanya masih kekeh.” Jawab Dedi.

“Lha, apa ad ayang salah pas kamu mengutarakan maksudmu kemarin kesana ?” tanya Endang.

“Ndak bu, semuanya baik-baik saja.” Jawab Dedi menegaskan.

“Mungkin karena Melda masih punya kakak yang belum menikah, atau ada alasan lain ?” tanya Endang lagi.

“Melda ayah tunggal bu, ayahnya namanya Bambang, Ibunya Nandita, mereka keluarga campuran bu, ayah Melda Jawa, dan ibunya Lampung, menurut alasan yang disampaikan ke Melda, saya akan sulit bu menikah dengan muli Lampung, tapi itu benar-benar tidak masuk akal.” Terang Dedi.

Endang merasakan sesuatu yang aneh, ia teringat pada kejadian beberapa hari sebelum ia menikah, waktu itu Bambang pulang ke Jogja dangan istrinya, kalau tidak salah namanya Nandita, ia juga hampir menjenguk Nandita di rumah sakit yang waktu itu sedang terkena musibah, ia masih teringat jelas peristiwa keguguran itu. Tapi apakah mungkin yang dimaksud Dedi adalah Bambang, mntan suaminya, sekaligus ayah kandung Dedi ?

“bu.... ibu... ibu kenapa ?” suara Dedi membuyarkan lamunan Endang.

“Oh, ndak papa nak..” jawab Endang.

***

Jangkrik sudah mulai mengisyarakan kesinyian malam, simfony alam yang tiada duanya ini menambah suasana mencekam dirumah Melda, terlebih rumah itu hanya tinggal dua orang perempuan, karena Bambang sedang ke gunung menjaga ladang, hari-hari jelang panen begini rentan pencurian.

“Nak, sudah tidur ?” Nandita mengetuk kamar Melda.

Masih diam seribu bahasa, belum ada jawaban, “Nak, boleh ibu masuk ?” Nandita mengetuk untuk kedua kalinya. Tak juga ada sahutan dan Nandita mencoba untuk masuk, perlahan ia membuka selot pintu dan melihat Melda sedang terdiam dipojok tempat tidur. Betapa sedih Nandita melihat keadaan putri semata wayangnya itu, badannya kurus kering dan tak terurus.

Perlahan ia mendekati Melda, membelai rambutnya, dan mencoba membuka obrolan “kpan mulai koas nak ?”

Melda tak kunjung menjawab, sepertinya Nandita mengerti apa yang ia inginkan. Dan mulailah berkata “Apakah ayahmu sudah bisa berkompromi ?”

Dan sukses, akli ini Nandita di respon, Melda menggelengkan kepala.
“Dulu waktu kau kecil, kau sering bertanya pada ibu, kenapa kau tak punya kakak, dan meminta ibu melahirkan adik bayi lagi supaya bisa menjadi kakakmu, ha ha ha ... itu benar-benar lucu, bagaimana bisa melahirkan seorang kakak tapi adiknya sudah lahir duluan.” Nandita menerawang masa lalu.

Melda masih terdiam.

Nandita melanjutkan pembahasannya kembali “kini ibu akan benar-benar memberimu kakak....”

Melda merasa bingung dan bertanya “maksud ibu ?”

“Iya nak, Dedi itu kakak kandungmu....” Nandita berkata perlahan.

Melda semakin bingung “kakak kandung ????”

“Iya, sebelum menikah dengan ibu, ayahmu sudah pernah beristri, dan memiliki seorang anak laki-laki, anak itu adalah Dedi, yang kemarin melamarmu, itulah mengapa ayahmu melarang keras “ Nandita menjelaskan.

“Ini mustahil !! dan mengapa saya tidak tahu dari dulu, dan mengapa ayah dan ibu menyembunyikan ini dari saya ??” Melda meradang.

“Ibu juga baru tau setelah Dedi kemari dan ayahmu bercerita...” jawab Nandita.

“Apa ??? bagaimana bisa ibu menerima semua ini ??? ayah telah membohongi ibu selama berpuluh tahun ? bagimana ibu bisa terima begitu saja ?” sanggah Melda.

“Tidak nak, ini bukan salah ayahmu, dulu ayahmu pernah hendak mengenalkan Ibu dengan dedi, namun saat itu ibu keguguran dan masuk rumah sakit, jadi ayahmu mengurungkan niatnya.” Jelas Nandita.

Melda diam membisu.

“Nak, Dedi itu kakakmu... jadi.......

Melda memotong “sudahlah bu, aku lelah, aku ingin istirahat..”

“Baiklah, “ jawab Nandita sembari meninggalkan kamar Melda, dan tiba-tiba,

“Bu, aku menyayangimu..” ucap Melda

“Ibu juga menyayangimu “ jawab Nandita lalu menghilang dibalik pintu.

***

Pagi itu Endang begitu shyok mendengar penjelasan dari dari adiknya Bambang, ia sekarang mengerti mengapa semua seperti ini. Karena pernikahan antara Melda dan Dedi adalah pernikahan sedarah, menurut agama mereka masih muhrim dan dilarang menikah. Cinta mereka adalah cinta terlarang.

Endang syhok dan terdiam seribu bahasa. Ia bingung bagaimana ia menceritakan ini ke Dedi. Mungkin ia bisa jadi sangat syok, bagaimana pula tanggapan suaminya nanti. Endang benar-benar mempersiapkan diri dengan segala kemungkinan yang akan terjadi.

***

Wahai langit .... 
Tanyakan pada-Nya Mengapa Dia menciptakan sekeping hati ini .... 
Begitu rapuh dan mudah terluka .... 
Saat dihadapkan dengan duri-duri cinta Begitu kuat dan kokoh .... 
Saat berselimut cinta dan asa .... 
Mengapa Dia menciptakan rasa sayang dan rindu di dalam hati ini .... 
Mengisi kekosongan di dalamnya Menyisakan kegelisahan akan sosok sang kekasih Menimbulkan segudang tanya ....
Menghimpun berjuta asa .... 
Memberikan semangat juga meninggalkan kepedihan yang tak terkira .... 
Mengapa Dia menciptakan kegelisahan dalam jiwa .... 
Menghimpit bayangan .... 
Menyesakkan dada .... 
Tak berdaya melawan gejolak yang menerpa .... 
Wahai ilalang .... 
Pernahkan kau merasakan rasa yang begitu menyiksa ini ? Mengapa kau hanya diam ....
Katakan padaku .... 

***

Nandita menceritkan kepada Bambang bahwa ia telah memberi tahu yang sebenarnya kepada Melda, sama dengannya, Bambang begitu khawatir menunggu reaksi melda. Pagi ini jam sudah menunjukkan hampir setengah sebelas, namun Melda belum juga keluar kamar.

Nandita masih terdiam di ruang tamu, dan Bambang mondar-mandir karena bingung hendak berbuat apa. “kita tunggu saja sampai jam 12,” ujar Bambang.

Tak tik tok, jam berdetak dengan sangat lambat. Adzan dzuhur sudah selesai berkumandang dari beberapa waktu yang lewat, Nandita selesai menunaikan shalt dzuhur, Bambang melepas peci dan sarungnya, Nandita berjalan kearah kamar Melda. “nak, sudah dzuhur, ayo sholat dulu...” namun tetap tidak ada sahutan. “nak... ayolah, makan sesuatu, ibu sudah masakan makanan kesukaanmu” Nandita mencoba lagi namun tetap tidak ada sahutan.

Hari sudah hampir sore, Melda tak juga keluar, “pak.. kita dobrak saja !” usul Nandita. Bambang masih bimbang, namun ia juga tidak punya pilihan lain, rasa khawatir terhadap anak perempuan semata wayangnya membuat ia melangkah menuju kamar Melda. Dan Brakkk ! pintu belum juga terbuka, Bamabang mencoba seali lagi dan “Braaaaaaaaaakkkkk !!! “ pintu terbuka, “naaaaaaaaaaaaaakkkk !’ Nandita menjerit histeris melihat melda terbujur di lantai, matanya cekung dan mulutnya mengeluarkan busa. Bambang langsung menuju Melda dan memeriksa denyut nadinya, namun sia-sia, ia telah tiada.

***
Wahai ilalang .... 
Pernahkan kau merasakan rasa yang begitu menyiksa ini ? Mengapa kau hanya diam ....
Katakan padaku .... 
Sebuah kata yang bisa meredam gejolak jiwa ini .... 
Sesuatu yang dibutuhkan raga ini .... 
Sebagai pengobat rasa sakit yang tak terkendali ....
 Desiran angin membuat berisik dirimu .... 
Seolah ada sesuatu yang kau ucapkan padaku .... 
Aku tak tahu apa maksudmu .... 
Hanya menduga .... 
Bisikanmu mengatakan ada seseorang di balik bukit sana .... 
Menunggumu dengan setia .... 
Menghargai apa arti cinta ....
Hati terjatuh dan terluka ....
Merobek malam menoreh seribu duka .... 
Kukepakkan sayap - sayap patahku .... 
Mengikuti hembusan angin yang berlalu .... 
Menancapkan rindu .... 
Di sudut hati yang beku .... 
Dia retak, hancur bagai serpihan cermin .... 
Berserakan .... 
Sebelum hilang diterpa angin .... 
Sambil terduduk lemah Ku coba kembali mengais sisa hati .... 
Bercampur baur dengan debu .... 
Ingin ku rengkuh ....
Ku gapai kepingan di sudut hati .... 
Hanya bayangan yang ku dapat .... 
Ia menghilang saat mentari turun dari peraduannya .... 
Tak sanggup kukepakkan kembali sayap ini .... 
Ia telah patah .... 
Tertusuk duri yang tajam .... 
Hanya bisa meratap .... 
Meringis .... 
Mencoba menggapai sebuah pegangan .... 

***

Nandita tak dapat membendung air matanya, hingga perjalanan menuju pemakaman Melda ia masih merasakan mendung yang begitu pekat. Inilah cerita, yang berakhir dengan sangat tragis. Semuanya terasa begitu cepat berubah, secepat mengembalikan telapak tangan. Baru kemarin ia menghadiri wisuda Melda dan begitu bangga memilik anak seorang calon dokter, namun sekarnag semuanya kembali hampa. Harapan satu-satunya, dan permata satu-satuNya telah diambil kembali oleh sang pencipta. Usai sudah amanahnya untuk merawat Melda, tak ada yang bisa disalahkan, keadaan dan takdir yang telah mengarahkan semua ini.

Melda yang anggun, cerdas, santun, yang ia didik dengan penuh kasih, yang padanya ia tambatkan segala mimpi. I berharap Melda bisa menjadi ahli kandungan dan membantu ibu-ibu desa. Ia berharap bisa menimang cucu. Ia berharap meninggal lebih dulu dari Melda, ia berharap Melda berapa di sisinya kala menghembuskan nafas terakhir. Biarlah angan menjadi angan. Sebuah pelajaran berharga akan sebuah keikhlasan. Selamat jalan putriku.

***

Bambang berdiri lunglai dipemakaman, ia merasa bersalah luar biasa, seandainya ia tetap menjalin komunikasi dengan Dedi, anak-anaknya tidak akan menorehkan kisah tragis seperti ini. Kedua sayapnya telah benar-benar patah. Semua rasa sakit terhimpin dalam dada. Ia teringat bagaimana sedihnya berpisah dengan Endang dan Dedi. Dengan kenyataan Getir dan Pahit ia berpindah ke Lampung. Dan kini ketika kembali ia merasakan damai, sayap keduanya patah. Harapan dan kebahagiaannya telah berpulang ke sisi Yang Maha Agung.

Inilah filosofi hidup, harus selalu bersiap dengan berbagai keadaan, masa-masa pahit itu akan melahirkn kebahagiaan, dan kebahagiaan itu akan segera menghantarkan kita pada cobaan. Bukan seberapa Lama kita bahagia yang menentukan kita menjadi pemenang, Namun Bagaimana kita bisa melalui ujian ini dengan benar. Bisakah aku menumbuhkansayap ketiga ?  keempat ? kelima ? semoga.

***

Dedi serasa disambar petir di siang bolong mendengar kabar kematian Melda, semuanya terasa seperti sinetron pada hari itu ia mendengar pengakuan ibunya bahwa Melda adalah adik kandungnya, dan pada hari yang sama ia tau tak akan bertemu Melda selama-lamanya. Ingin segera ia mencapai pemakaman, mengucapkan selamat tinggal untuk terakhir kalinya, namun jarak antara Lampung dan Jogja bukanlah jarak yang bisa ia tempuh dengan berlari.

Dengan sabar ia terombang-ambing diselat sunda, berharap bisa menghadiri pemakaman kekasih yang hampir dinikahinya sekaligus adik kandungnya itu.

***

Endang menatap pemakaman dengan nanar, ia berdiri tak jauh dengan Dedi, sesaat ia melirik kearah Bagyo. Ia tak tau apa yang diarasakan kedua lelaki tersebut. Biar bagaimanapun kisah ini berawal dari percerainnya dengan Bambang, ia tak pernah berfikir bahwa kisah tragis antara dirinya dan Bambang akan menurun pada anak-anak mereka dikemudian hari. Andai waktu bisa diulang, sudahlah, nasi sudah menjadi bubur.

Satu persatu pelayat meninggalkan makam, hanya menyisakan kerabat dekat yang masih berlinang air mata, perlahan ku melihat Bambang menghampiri Dedi dan terdiam dalampandangan nanarnya, sesaat kulirik Bagyo yang juga sama-sama menyaksikan pemandangan nanar itu. Bambang terdiam seribu bahasa dan tak berkata apapun. Dedi masih diam hingga ia memeluk erat Bambang dan bermisik “ayahhh.......”, tangis Bambang semakin memecah suasana, perlahan ia berbisik “ma’afkan aku....”

***

“ iya kek ? ah..! kakek bohong...!” ucap seorang anak kecil dengan suara cerianya.

“lha kok bohong... benar dulu pas kakek pertama ke Lampung, ladang kakek itu masih hutan dan banyak harimaunya... kalau mengaum ... Haaaaaaaaauuuuuuuuuuuuummmmmmm...! uh, serem, tapi karena kakek baik jadi mereka tidak pernah menganggu kakek.” Jelas Bambang.

“berarti kalau Melda baik, hariamuanya gak jahat sama Melda juga ya kek ?” tanya anak kecil itu.

“Oh... tidak, orang baik itu banyak kawan, gampang minta tolong.., begitu juga sama hewan, kalau kita ndak nganggu, mereka juga ndak ganggu.” Jelas si kakek.

“Kalau gitu Melda mau jadi orang baik lah kek !.” jawab si cucu.

“o... harus itu, cucu kakek harus jadi anak yang pinter, baik, dan sholehah...” jawab Bambang.

“Wah... wah... cucu nenek serius sekali, lagi cerita apa nie ?” sapa Nandita sambil membawa sepiring pisang goreng.

“Ini nek, kata kakek, pas kakek dulu buka hutan banyak harimau yang mengaum Aaauuuuuuuuuuuummmmmmmmmmmm...!!!” terang si cucu sambil mempraktekan.

Hahaha.... mereka tertawa bersama. Hingga datanglah laki-laki muda berkemeja dan berkata, “Melda..! Ayo mandi dulu sana sama mama ! kalau ndak mandi nanti banyak kuman jahat !” panggil Dedi.

Melda kecil langsung berlalri menuju mamanya. Sore itu mereka kembali tersenyum, Bambang sudah menikah dengan rekan kerjanya sesama dokter di rumah sakit, dan dikaruniai seorang anak perempuan, mereka bersepakat untuk memberi nama “Melda”. Melda junior begitu lincah dan manis, menghadirkan sebuah kepolosan yang mengobati luka masa lalu Bambang. Setiap liburan, Dedi mengajaknya menjenguk kakek neneknya di Lampung. Semua silaturahim yang dulu terpisah jauh oleh selat sunda, kini tersambung lagi. Dan kembali Bambang memiliki sayap yang bisa ia gunakan untuk menjelajah hari-hari dalam kehidupan yang penuh warna hingga akhir hayatnya kelak.  

***