Dengan menekankan tugas Media Watch menjaga demokratisasi kebebasan pers, Wakil Pemimpin Umum/Penanggung Jawab Media Watch and Consumer Center (MWCC) Doddy Yudhista membuka diskusi bertajuk "Media Watch dan Urgensinya dalam Peningkatan Kualitas Kemerdekaan Pers" di The Habibie Center pada 15 Juli 2005. Diskusi yang dipandu oleh Afdal M. Putra itu menghadirkan Leo Batubara, Ketua Divisi Pengaduan Dewan Pers; Bambang Harymurti, Pemimpi Redaksi Majalah Tempo dan Koran Tempo; Agus Sudibyo dari ISAI, dan Prof. Muladi, Ketua Dewan Pengurus The Habibie Center. Media Watch THC, kata Yudhista, didirikan tahun 2000 bersamaan dengan peluncuran THC di bawah Media Development Center, dengan kedudukan independen.


 

Membahas kualitas kemerdekaan pers, Leo Batubara menekankan tentang kebebasan dari (freedom from) yakni kemerdekaan dari penindasan dan belenggu penguasa. Sedangkan  kebebasan untuk (freedom for) meliputi kemerdekaan untuk memaknai kebebasan pers antara lain dengan melaksanakan keempat fungsi pers yakni, 1. pendidikan, 2. informasi, 3. hiburan, dan 4. kontrol sosial. Batubara juga antara lain mengutip penelitian Reporter Sans Frontier yang berkedudukan di Paris betapa di masa pemerintahan Preside B.J. Habibie  pers Indonesia digolongkan terbebas di Asia tetapi di tahun 2004 terpuruk ke   posisi ke-117 dari 167 negara yang diteliti. Sebabnya tak lain karena adanya sekian media diancam denda bahkan pelakunya divonis penjara.

Lalu, siapa yang mengontrol pers? Menurut Batubara, hati nurani masing-masinglah pengendalinya. Lalu, kontrol eksternal, dilakukan masyarakat, media watch, organisasi pers, dewan pers, dan jalur hukum. Media watch, katanya, juga perlu diawaki personel yang memiliki pengetahuan dan kompetensi dalam hukum pers serta digaji secara profesional. Di tahun pertama, kedua dan ketiga reformasi ada 20-an media watch, tetapi makin  menyusut sehingga barangkali sekarang tinggal satu atau dua saja. Disayangkan, karena majunya pers sejalan dengan majunya media watch. Di Amerika, film makin maju karena tukang kritiknya banyak, yang siap membantai. "Kita punya tukang kritik, kalau tidak diberdayakan maka pers bisa berkembang keluar koridor," kata Batubara.

Bambang Harymurti memaparkan pentingnya pers yang bermutu untuk membantu masyarakat mengambil keputusan yang makin tinggi kualitasnya dalam menghadapi tantagan-tantangan. Tetapi kalau media penyedia informasi ini sampai dimanipulasi badan-badan tertentu, siapa yang menjadi watch-dog-nya. Inilah peran yang harus diambil oleh media watch. Karena setelah terbebas dari kendali pemerintah, pers menjadi sasaran kekuatan-kekuatan di luar pemerintahan, entah politik, bisnis, atau lainnya. Di Italia seorang konglomerat media bisa menjadi perdana menteri, demikian juga di Amerika Latin. "Ini tentu tak kita inginkan terjadi di Indonesia," kata Harymurti. Ia menekankan bahwa media watch itu "suatu keniscayaan, kalau kita ingin mempunyai media yang sehat."

 
 

Masyarakat perlu lebih awas. Masyarakat sudah  kritis tetapi media watch diperlukan, kata Harymurti,  "justru guna meningkatkan daya kritis itu, untuk memberikan semacam warning, begitu. Media watch juga perlu bagi lembaga konsumen, sebagai alat bantu dalam mengawasi produk-produk konsumsi.

Tantangan bagi media watch, kata Harymurti pula, adalah "bagaimana melakukan fungsinya sehingga media massa yang dipantaunya sehat." Sehat dalam berperan semaksimal mungkin untuk menumbuhkan masyarakat yang berpaham (informed) karena  media massanya memberikan informasi yang credible, akurat dan tepat waktu serta independen. Dengan demikian "proses demokratisasi yang tak pernah henti terus berjalan ke arah yang kita kehendaki."

Dalam pengamatannya, Agus Sudibyo mengatakan bahwa yang dilakukan media dari hari ke hari hanyalah memproduksi amunisi yang bisa digunakan  musuh-musuh pers untuk menghantam pers sendiri. "Sebenarnya kalau kita mau melihat, banyak fakta yang menunjukkan betapa pemerintah, TNI, tidak happy dengan kebebasan pers yang berlangsung sejak 1998. Yang mereka lakukan sebenarnya hanya mengais-ngais momentum, mengumpulkan alasan, bukti untuk mengatakan bahwa pers tidak bisa dibiarkan tumbuh sendiri, harus diatur lagi," kata Sudibyo.

Ini sebuah kondisi yang "menurut hemat saya harus menjadi alasan bahwa media watch itu sangat dibutuhkan." Di lain sisi, kenyataan juga menunjukkan bahwa setiap kali acara diadakan dalam kerangka kritik terhadap pers, tak ada wartawan yang datang. Jadi harus disiasati, misalnya dengan juga memberikan reward  bagi karya pers yang dinilai bagus. "Jadi," kata Sudibyo, "perlu ada reward and punishment."

Kemudian, apa fungsi media watch dalam kondisi seperti itu?  Yang pertama jelas membantu media untuk mengevaluasi dirinya sendiri. Ini penting sekali karena tidak banyak media yang serius mengembagkan divisi penelitian dan pengembangan. Kedua, memberi peringatan kepada publik untuk menyikapi media secara kritis dan jernih. Ketiga, memberi penyadaran kepada semua pihak untuk bersikap proporsional terhadap media. Misalnya, jangan mengkritik media dengan cara-cara premanistis. Mungkin mengkritik  dengan hasil penelitian, barangkali lebih perlu dikembangkan.

Muladi, sebagai ketua tim RUU KUHP nasional, memaparkan bahwa prinsip yang digunakan dalam bidang politik hukum adalah prinsip persamaan dalam hukum, dan "kami tidak melihat insan pers sebagai seseorang atau beberapa orang yang mempunyai privilege (hak istimewa) di dalam negara demokrasi. Yang kami tuntut dalam pidana itu bukan pers sebagai pembawa misi demokratiknya melainkan bagian dari tanggung jawab individualnya, yang mungkin tidak profesional." Yakni,  pers melakukan penipuan, manipulasi  atau malapraktik lainnya.  Jadi "mengapa harus takut pada UU Pidana kalau kita baik, professional. Jadi pidana hanya digunakan kalau memang sangat diperlukan. Contohnya pornografi, yang tidak dapat diatasi dengan hukum perdata."

Mass media penting, lebebasan pers juga penting. Tetapi orang jarang berdiskusi tentang mutu jurnalisme. Di Indonesia, mutu jurnalisme memerlukan pembenahan, dan ini terkait dengan prinsip profesionalisme. Begitu juga dengan tanggung jawab sosial, dan ketiga adalah ketaatan kepada kode etik. "Dalam ketiga hal itu kita masih miskin sehingga pembatasan-pebatasan itu saya kira masih diperlukan,"  kata Muladi. Ia menyayangkan penelitian Reporter Sans Frontiers yang tidak  mengikutsertakan pengukuran tentang mutu jurnalisme. 


Muladi juga meminta perhatian tentang orang-orang yang menjadi korban pemberitaan pers; mereka sangat menderita akibat stigmatisasi di masyarakat: selingkuh, korupsi dll. Jadi pers jangan  ingin bebas saja. Pers bebas memang bagian dari demokrasi, tetapi ada persyaratan-persyaratan yang harus diperhatikan; moralitas dari kepentingan yang lain, civil morality, potential victims atau bahkan pernah jadi korban malapraktik pers.

Jadi menurut hemat Muladi, parameter media watch adalah, UUD, acuan kepada instrumen internasional tentang HAM, dan kebebasan mengutarakan pendapat. Pertama, kalau pers melanggar hak orang lain; kedua, bertentangan dengan ketertiban masyarakat, moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum. Dalam sebuah diskusi internasional pernah dimaklumkan "Universal Declaration of Human Responsibility" (Deklarasi Universal tentang Tanggung Jawab Asasi Manusia) sebagai pasangan dari Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia). Ini akan diajukan ke Sidang Umum PBB oleh International Council yang anggotanya terdiri dari mantan-mantan presiden termasuk B.J. Habibie. (mkr)


dikutip dari : the habibie center