banyak orang mulai menuliskan kisahnya didalam hidup, banyak dari mereka berfikir untuk membuat peta dalam sebuah kehidupan, mulai dari memilih universitas yang terbaik hingga menggambarkan akan meninggalkan dunia ini dengan cara seperti apa. Cerita ini jauh berbeda dengan dulu ketika saya masih SMP dan belum mengenal yang namanya peta hidup. hingga kali pertama saya mengenalnya adalah saat SMA. Hal ini banyak mengubah cara hidup kami, kami lebih percaya pada mimpi, asal merancang setiap langkah dengan baik, maka kemungkinan besar akan tercapai, hingga pada akhirnya saya berjumpa dengan teman-teman yang luar biasa prestatif pada momment-momment tertentu. 

sejak saat itu saya mengenal seseorang yang hingga sekarang masih ada disekitar saya. hingga beberapa saat yang lalu saya iseng-iseng ngobrol dengannya dan ia mengeluarkan sebuah statement. 

memang sepertinya kita harus memilih, antara punya banyak teman dan ambisi untuk berprestasi., dulu aku punya ambisi untuk mengukir prestasi dengan baik, tapi jauh dari teman-teman, dan sekarang saya punya banyak teman, tapi prestasi jadi "menggalau" seperti ini.
 terang saja saya tidak sepakat dengan statement itu, anggap saja saya memiliki orang tua dengan kemampuan berfikir dan finansial yang terbatas, yang membantu saya bertahan hingga hari ini ya teman, dan dibalik apa yang saya raih hari ini ya teman-teman dibelakangnya. sebut saja ketika saya mengikuti perlombaan debat bahasa inggris di dalam sebuah tim, tentu saja, ketika performa saya kurang, itu akan ditutupi oleh teman-teman, ketika kami merancang sebuah event atau gerakan, tentu saja saya berbagi tugas dengan teman, dan ketika saya harus berkampanye untuk parlemenmuda indonesia, ya berkat teman-temanlah saya bisa mengumpulkan dukungan.. padahal saya orang yang sangat malu untuk berkampanye seperti itu.


 


and well... setelah lama kupikirkan, akhirnya aku berfikir kenapa teman saya berfikir demikian. hal ini terjadi karena setiap orang ingin enjadi fungsi yang sama, ingin merah popularitas dan keberhasilan dengan cara yang sama. saya pernah mendengar suatu quotations seperti ini :


jadilah tukang sapu jalanan yang luar biasa, sehingga seisi dunia menengok dan berkata, disini ada seorang tukang sapu yang mempesona.
dan ketika esoknya saya kembali bercengkrama dengan teman saya tadi, iapun sudah menemukan jawaban dari kemarahannya yang lalu 


jadi can, tidak semua harus memegang pedang, ada yang memegang panah, menunggang kuda, memegang tombak, sehingga menjadi suatu pasukan perang yang luar biasa.


dan akhirnya saya menghela nafas lega. itulah yang disebut dengan kolaborasi, tidak semua harus memegang pedang pada sebuah pertempuran, atau pada sebuah panggung ansamble, tidak semua memainkan nada yang sama, sehingga tercipta harmoni suara yang indah. 
 
dalam realitas yang sekarang, banyak yang ingin menjadi nomor satu, tidak terkecuali dalam hingar bingar suksesi kampus. pertempuran antara organisasi mahasiswa islam kerap terjadi. saya terkadang heran, apalah yang membuat mereka berbeda ? dalam hubungannya dengan  non-muslimpun islam mengajarkan musyarokah apalagi dengan sesama muslim ? menurut hemat saya, karena sejauh ini teman-teman berfikir pada fokus konflik, bukan pada fokus kerja. 

hal ini terbukti ketika saya mencoba melempar sebuah isu optimisme pada teman-teman, bagaimana kalo kita menggagas ini dan itu untuk masyarakat, rata-rata dari mereka tertarik dan pada akhirnya kami bekerjasama, pun sebaliknya, ketika ditengah-tengah ada kawand yang kembali pada fokus konflik dan hanya mengecam permasalahan, teman-temanpun menjadi jenuh dan mulai terpecah-pecah lagi. 

itulah mengapa cara nomor satu dalam sebuah manajemen konflik adalah kolaborasi, karena dalam kolaborasi tercipta sebuah semangat win-win solutions.