28 Agustus 1990

Ia lahir dengan cara yang biasa, memanggil bidan kerumah untuk menyambutnya hadir didunia, tidak mengenal rumah sakit, apalagi operasi sesar. Lahir dari ibu yang biasa-biasa saja, mahasiswa jurusan matematika tingkat akhir dari sebuah universitas swasta biasa di kota kecil yang biasa pula. Ayahnya juga hanya lulusan SMA biasa. Berprofesi sebagai buruh tukang dari rumah kerumah, serba biasa, satu-satunya hal yang terlihat luar biasa adalah namanya. “Raisa”, nama yang terbiasa dipakai oleh perempuan. Ia laki-laki, tapi ayahnya memberi nama ini, gubahan dari kata “rasa” dalam bahasa Indonesia, si pemberi nama berharap anak ini bisa memahami “rasa” dalam hidupnya kelak.

***

28 Agustus 1991

Ia tumbuh seperti anak-anak biasa, dibawah asuhan khas ibu-ibu di desa, belajar tengkurap, duduk, rambatan, berjalan, hingga berlari. Happy birthday !! satu tahun ia menjalani kehidupan normal yang biasa dilalui oleh bayi-bayi lainnya. Baru belajar berbicara seperti anak-anak lain, berceloteh, sesekali memegang pinsil dan melukis garis-garis yang begitu biasa bahkan seperti tak bermakna, ia hanya ingin menulis, tapi tak tau apa itu menulis. Ia mengenal buku, tapi tak tau apa itu buku, ia merobeknya, seperti yang dilakukan anak-anak kecil sebayanya.

***
28 Agustus 1994

Ia masuk TK ! Raisa Putra Wibawa sudah bersekolah, sama seperti anak lainnya, mengenal A hingga Z, dari 0 hingga 9, dari kepala pundak lutut kaki hingga kasih ibu kepada beta. Setiap jum’at pagi senam bersama dan siangnya makan snack-snack ringan yang sebelumnya dibuka dengan do’a Allahuma bariklana fiima rajaktana waqinaa adzabannar. Setelahnya ia pulang beramai-ramai dan bersama-sama dengan yang lainnya. Teman-teman sebayanya.

***

28 Agustus 1997

Ia tak lagi belajar sambil bernyanyi, ia tak lagi cengeng, berseragam merah hati dengan gagahnya, nilai matematikanya biasa-biasa saja, berkisar dari enam hingga tujuh, tak jua bertambah, terkadang ayahnya dibuat emosi kala mengajarinya, apalagi ketika diajak membaca, ia begitu malas, sering ia menceritakan gambar apa yang dilihatnya, bukan apa yang diceritakan oleh kata-kata yang terangkai disana. Ingin tumbuh menjadi anak sholeh seperti anak-anak lainnya, ayahnya memasukkannya ke TPA, tepat kemarin malam ia diwisuda, nilainya benar-benar biasa, tajwid, siroh, fiqh, do’a-do’a pukul rata pangkal enam, hanya beda tipis antara enam koma dua hingga enam koma tujuh. Ayahnya begitu sabar menanamkan aqidah, karena menurut sang ayah, itulah bekal terpenting untuk hidupnya kelak.

***
28 Agustus 2003

Kini ia sudah remaja, sama seperti orang tua lain, ayah dan ibunya berharap ia rajin belajar dan berprestasi, alangkah senangnya kedua orangtuanya ketika mengetahui ia terpilih mewakili olimpiade fisika disekolahnya, berharap pulang membawa medali emas. Tapi ternyata keliru, Raisa sama sekali biasa, ia terpilih karena ada kursi kosong dan tidak ada yang menempati, sebuah kebetulan belaka ! untuk sekedar numpang nama sebagai peserta olimpiade fisika tingkat SMP. Ha ha ha… Raisa masih belum berubah.. dia benar-benar biasa.. satu-satunya hal yang luar biasa adalah namanya yang anggun itu.

***


28 Agustus 2008

Ditengah hiruk pikuk pengumuman hasil UN SMA, ia tersenyum seperti biasanya, memasrahkan nasib, karena ia tau ia benar-benar tidak bisa Fisika, jika tidak lulus, berarti ia masih bisa bermain basket dilapangan sekolah, lari pagi bersama teman-teman satu kosan, dan bertemu dengan Pak Guwadi, guru SMA kesayangannya itu. Namun takdir Ilahi berkata lima koma lima, ia lulus dengan nilai Fisika lima koma lima dan masuk diperguruan tinggi didaerahnya yang dipandang biasa oleh teman-teman SMAnya. Ia berkuliah di FKIP yang konon katanya grade’nya tidak setinggi Kedokteran, Hubungan Internasional, atupun jurusan lain, ia berfikir begitu sederhana, juga memilih jalan hidup yang sederhana, ingin menjadi guru, mengajar di desa, memiliki rumah kecil dengan halaman luas dan setiap sore anak-anak dan remaja datang kesana untuk belajar sambil bermain dan bercengkrama diantara bunga-bunga yang mereka tanam dan rawat bersama-sama.

***

28 Agustus 2011

Lama dan orang tuanya sudah bertanya setiap ia pulang, kapan kamu lulus ??? teman-teman sebanyanya sudah lanjut S2 atau mendapat pekerjaan yang mapan dengan gaji yang menjanjikan. Beberapa diantaranya yang belum lulus juga memang sengaja membangun karier politik untuk kemudian melonjat menjadi anggota legislatif atau pejabat eksekutif. Dia benar-benar biasa, IPKnya pas-pasan, tanpa alasan padat organisasi atau kerja, sering diledek oleh teman-temannya sebagai koordinator PMDK alias persatuan mahasiswa dua koma. Organisasipun tak seberapa, beberapa kali tercatat sebagai staff Badan Eksekutif dan terakhir ia mundur dari keanggotannya sebagai anggota perwakilan mahasiswa. Ia memutuskan berhenti berdemo dan menjadi aktivis mahasiswa, sama sekali berbeda dengan presiden mahasiswa yang dikenal dan dielukan banyak orang, yang selalu menjadi sebuah icon perjuangan. Hanya sesekali ia bermain ke pinggir kota, bernyanyi dan bercerita bersama anak-anak disana. Tak sedikit yang menyayangkan perbuatannya itu, buang-buang waktu, bukan suatu aktivitas yang mengahasilkan pengakuan publik. Tidak jelas apa yang ia dapat, sibuk, namun tak ada hasil. Sama sekali tak kumengerti akan jalan pikirannya yang begitu biasa !



***

28 Agustus 2015

Bongkahan salju bulan Agustus di Kolumbia yang begitu putih membuatku tinggal dirumah lebih lama, cuacanya lebih hangat ! hari minggu biasanya kami habiskan untuk berkeliling atau berkunjung kerumah teman, tapi dinginnya cuaca membuat kami enggan keluar. Aku seharian dirumah, dan yang paling tidak mengenakkan aku ribut dengan suamiku dari pagi. Tak begitu penting apa masalahnya, hanya saja ia terlalu biasa, ketika melakukan kesalahanpun tidak bilang ma’af dan menganggap hal itu sederhana, tidak perlu diperumit. Aku diam seharian. Malam harinya aku berniat tidur cepat dan masih belum angkat bicara. Hingga aku menemukan sebuah kotak berbungkus kertas kado berwarna putih dan berpita hijau. Setelah kubuka ternyata berisi sebuah buku harian yang menceritakan hari-hari penuh warna bersama seorang istri yang ia jumpai lima bulan lalu. Aku membaca perlahan hingga tenggorokanku tercekat pada kalimat “hari ini kami bersama namun jauh, kami dekat namun tak ada tawa, kemarin aku menghapus tugas kuliahnnya secara tidak sengaja dan alhasil hari ini aku tak ditegur sampai sore ! padahal niat bercanda, mohon ma’af ya istrikuuu….” Kulihat didasar kotak ada sebuah CD berisi tugasku ! dasar garing !! gak romantis sama sekali. Norak ! benar-benar biasa dan kutinggal tidur begitu saja.
***

28 Agustus 2018

Tak ada lagi salju, tak ada lagi pertengkaran, kami kembali keIndonesia yang hangat dan ramah, rumah kami juga hangat karena ramai diwarnai oleh tawa anak-anak. Bukan hanya anak-anakku, tapi juga anak-anak tetangga dan anak-anak lainnya. Rumah kami kecil, halamannya luas, suamiku merintis yayasan sendiri dan menolak untuk berkiprah dikancah politik, beberapa kali diminta menjadi dosen di beberapa perguruan tinggi swasta ia juga menolak. Juga ketika ada yang menawarinya pindah ke Ibukota, ia memilih untuk hidup di daerah “Ada yang salah dengan pendidikan negeri ini, dan aku ingin melakukan perubahan sebelum aku mati” ujarnya padaku. Bisa diakui hidup kami biasa-biasa saja, saya juga tidak protes, karena itu sudah resiko dinikahi orang yang biasa-biasa saja. Ia sibuk mengurus yayasannya sendiri,  kecil-kecilan, mulai dari lembaga zakat, BMT, taman baca, komunitas anak muda, hingga pemberdayaan tetangga kanan-kiri. Kami memproduksi komoditas lokal. Mengembangkan sebuah konsep education tourism.

***

28 Agustus 2030

Tak pernah kubayangkan ini sama sekali, berdiri diantara pemimpin dunia, mewakili dunia islam, mengutarakan sebuah gagasan tentang pendidikan, sumber daya manusia, dan kesejahteraan. Bagaimana sebaiknya anak-anak usia dini dididik, bagaimana mengarahkan remaja, dan bagaimana masyarakat biasa bisa berdaya guna begitu maksimal dan saling mensejahterakan. Ini semua berbicara tentang counter proposal pendidikan yang salah. Ini berbicara tentang pendidikan yang membebaskan. Raisa benar-benar bisa merasakan “rasa”. Merasakan apa yang dirasakan masyarakat, dan merasakan apa yang sebaiknya dilakukan. Ia memilih jalan hidup yang biasa dan sederhana, sama sekali bukan siapa-siapa, karena ia hanya mensyukuri “potensi kecil dalam dirinya” dan melakukan kebermanfaatan atas apa yang ia punya. Seharusnya teman-teman yang dulu memiliki IPK lebih besar darinya, terlahir dari keluarga kaya, menjadi icon aktivis, mampu memberikan sumbangsih yang lebih besar dan menjadi sangat fantastis. Bukankah ketika mati semua hal terputus kecuali 3 hal, anak sholeh, amal jariyah, dan ilmu yang bermanfaat. Lalu apa yang sebaiknya dilakukan ? Menjadi istri seseorang yang “biasa” benar-benar menjadikanku seorang Ny. Assyifa Wibawa yang luar biasa. Thanks God !