Tempo waktu IFL mengadakan seminar penulisan essay dan motivation letter untuk apply beasiswa keluar negeri. Setelah jauh saya merenung, seminar ini tidak sedangkal judulnya. Mengapa ? mari kita mulai dari sebuah kalimat yang pernah diucapkan oleh teman saya "ternyata aktivis itu nggak bisa lepas dari aktivitas-aktivitas seperti itu ya ?" pernyataan itu terlontar kepada saya tepat setelah konsultasi regional Parlemen Muda, dan pada kesempatan ini saya jawab, "why ? siapa yang bangga disebut mantan aktivis ?".

Kebanyakan dari aktivis kampus sangat gahar ketika masih di Universitas, namun perlahan memudar ketika mengenal dunia nyata, mulai mengambang dalam mengenali siapa dirinya dan langkah kelajutan apa yang akan dia ambil, dari 100% pelaku, tidak lebih dari 30% yang konsisten dengan pilihannya. Bisa jadi karena tuntutan zaman atau tidak terfasilitasi untuk menjadi diri sendiri. 

Saya punya sekelompok saudara , 'yang sampai kapanpun akan tetap menjadi saudara', kami sama-sama bermimpi pada forum-forum yang hidup hingga pagi. Tentang masa depan, bukan masa depan sederhana, masa depan Lampung, masa depan Indonesia, dan masa depan Dunia. Bak pembuat kebijakan atau think thank Bank Dunia yang memiliki kendali besar kami semangat berdiskusi, belajar merumuskan hal-hal besar, bersama di masa muda, kami menari-nari di bumi impian.

Kembali ke seminar essay IFL, setidaknya ketika kita menulis essay kita akan melalui beberapa tahap, 1. Mengenal diri kita dan eksplore lebih dalam lagi terkait hal-hal yang sudah kita lakukan, 2. Mengenal isu di daerah kita dan mencari isu-isu tertentu yang kita benar-benar tertarik di dalamnya, 3. Merencanakan masa depan tentang kita akan membawa diri kemana, sekolah pada bidang apa, dengan jurusan apa, riset apa, setelahnya akan berkarya bagaimana, memecahkan isu yang seperti apa, dan mengalurkannya lagi dengan aktivitas-aktivitas yang sudah kita lakukan sebelumnya.  

Rangkaian dari tiga poin itulah yang akan menjadi daya jual bagi pemberi beasiswa, semakin tajam dan impactfull diri kita, semakin berkualitas kampus yang akan kita dapat. Lebih dari itu, saya menyadari poin inilah yang hilang dari aktivis kampus. Kebanyakan dari mereka masih sekuler dengan pilihannya. Punya passion di bidang apa, kuliah dibidang apa, dan melakukan kegiatan aktivisme di bidang apa. Belum lagi isitilah kuliah dan aktivisme harus imbang, keduanya tidak perlu keseimbangan, namun keduanya adalah suatu kesatuan. Untuk yang sudah terlambat, jangan khawatir, ketika kita merenung atas apa yang kita lakukan, pasti akan juga ditemukan garis merah, selama sejauh ini kita jujur pada nurani.

Dari IFL saya belajar banyak, sebelum kami merancang program, kami bercerita tentang mimpi dan passion masing-masing, sehingga kedepannya, project yang berhubungan dengan pendidikan akan diserahkan ke yang berpassion pendidikan, ataupun lingkungan akan diserahkan ke yang berpassion linkungan, sehingga memiliki dua keuntungan, 1. Membuat individu berkembang sesuai dengan jati dirinya, menambah pengalaman dan link untuk bidang yang ia sukai, dan 2. Organisasi mendapatkan loyalitas yang lebih dari anggota karena anggota merasa banyak berkembang di dalamnya. Bekal-bekal ini juga yang dapat dipakai anggota untuk menapaki jenjang karier selanjutnya seperti study master atau kerja. Misal, kampus atau perusahaan mana yang menolak orang yang ekspert di bidangnya, tidak berhenti di tataran kampus, namun juga sudah mulai belajar merealisasikan di dunia nyata, sedikit demi sedikit mencoba menyelesaikan permasalahan yang ada disekitar. 

Lebih dari itu, di IFL segalanya jadi mungkin, batas negara menjadi lebih dekat, seperti Opin, Hetty, Desi yang terancam bolak-balik ke luar negeri, kami memiliki bekal yang tidak jauh beda, secara finansial, dll namun mereka mengajari saya untuk terus bekerja keras dan 'never say never'. 

Teringat saudara saya, "Candra sudah benar-benar move on dari........" , jawabannya tidak ! saya merindukan semuanya, sangat ! dua tahun ini IFL menjadi lilin untuk saya menemukan kembali puing-puing mimpi saya, memberi sedikit penerangan ditengah kegelapan. Saat-saat dimana saya dipaksa berenang dilautan bebas, nyaris tenggelam oleh konflik, nyaris bingung hendak kemana dan bagaimana. Hingga kini saya bersykur atas apa adanya diri saya. Menyusun kembali mimpi agar semua angan ini tidak pudar dihantam ombak. 

Tentang sebuah kerinduan akan mimpi yang kita semua pernah bicarakan hingga pagi, mungkin kini sebagian kita telah berserakan di dunia kerja, di dunia lain, namun kerinduan bernama ukhuwah tidak akan pernah bisa dikhianati. Mimpi-mimpi besar itu tak akan kita biarkan pudar begitu saja bukan ? kegalauan, ketakuatan, rintangan, itulah yang saya rasakan, namun bersama kita pernah menaklukkan rasa kantuk, mungkin bersama juga kita bisa melawan kejamnya dunia dan menjaga mimpi-mimpi ini tetap hidup.

Kita tak punya kekuatan untuk mengingkari takdir yang Maha Kuasa, tak punya sedikitpun bocoran bahwa saya, kamu dia, kita atau mereka akan konsisten, namun kita juga tidak punya alasan untuk tidak mencoba, mengeratkan kembali impian bersama, mengambil langkah, saling menguatkan dan memulai dengan sesuatu yang sederhana. Mulai untuk berenang mengarungi dunia nyata, mengenggam impian, terus berenang, berenang dan berenang, hingga kaki terasa mau patah ! break a leg !