Oleh Kristian Adi Putra (Mahasiswa Pascasarjana Department of English Language and Linguistics, the University of Arizona, Amerika Serikat)




Dalam orasi ilmiah ketika pengukuhannya sebagai guru besar tetap Universitas Lampung (Unila), Prof. Ag. Bambang Setiyadi, M.A., Ph.D. mengatakan, pengajaran bahasa Inggris secara umum bisa dikatakan gagal. Hal ini disebabkan mayoritas lulusan SMA tidak mampu menggunakan bahasa Inggris untuk berkomunikasi.
KATA gagal dalam pernyataan ini sempat menimbulkan pro dan kontra, baik kalangan sesama akademisi di kampus, guru, maupun siswa-siswi lulusan SMA. Setiap pihak tentu mempunyai argumentasi masing-masing.
Pihak akademisi di kampus tidak mau dianggap menghasilkan lulusan yang tidak mampu mengajar siswa-siswi di sekolah sampai memiliki kompetensi bisa berkomunikasi secara lisan dan tulisan dalam Bahasa Inggris.
Guru bahasa Inggris merasa tidak mendapatkan apresiasi atas kerja kerasnya di sekolah, tidak berhasil, dan tak mau dikatakan tidak bisa mengajar. Sementara siswa-siswi juga berargumentasi kalau memang tuntutan pembelajaran sudah berbeda. Mereka tidak merasa perlu bisa berbicara bahasa Inggris untuk lulus dari SMA.
Dalam pengukuhan guru besar tetap Unila dari jurusan Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Unila yang selanjutnya, Prof. Dr. Patuan Raja, M.Pd. dan Prof. Dr. Cucu Sutarsyah, M.A., permasalahan ini kembali diangkat. Keduanya mengonfirmasi pernyataan Prof. Ag. Bambang Setiyadi, M.A., Ph.D. dan mengatakan kalau ujian nasional (UN) yang diamanatkan UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas Pasal 58 Ayat (2) turut berkontribusi pada kegagalan pengajaran bahasa Inggris.
UN menjebak guru untuk lebih memfokuskan diri pada kemampuan mengerjakan soal bacaan (reading comprehension). Hal ini menyebabkan guru tidak memedulikan kemampuan berbicara (speaking) siswa.
Permasalahan Proses Pembelajaran dan Indikator Keberhasilan
Bila dilihat lebih jauh, pernyataan ketiga guru besar Unila tersebut memang merefleksikan hasil pilihan pola pengajaran bahasa Inggris yang dipilih guru selama ini di SMP dan SMA. Selain itu, juga kekeliruan indikator keberhasilan pembelajaran yang selama ini dipakai. Secara umum, terdapat dua pola yang berbeda dalam pengajaran bahasa Inggris di Indonesia.
Pola pembelajaran yang pertama bertujuan membuat siswa bisa mengerjakan tes tertentu. Sementara, pola pembelajaran yang kedua bertujuan membikin siswa bisa berkomunikasi dalam bahasa Inggris.
Dalam konteks pendidikan informal, pola pembelajaran pertama umumnya bisa dilihat di lembaga bimbingan belajar seperti di Ganesha Operation (GO), Primagama, Nurul Fikri (NF), Medika Wiyata, dan Al-Qolam. Sementara, pola kedua bisa kita temui dalam proses kegiatan belajar-mengajar di lembaga kursus bahasa Inggris. Seperti EF English First, ILP, LBPP-LIA, Education Bridge, dan Intensive English Course.
Di lembaga bimbingan belajar, guru bahasa Inggris fokus membuat siswa bisa mengerjakan soal-soal seperti ujian nasional (UN) dan seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN). Materinya pun kemudian hanya sebatas mengerjakan soal tata bahasa (grammar) dan wacana (reading comprehension). Kegiatan belajar-mengajar juga disampaikan dalam bahasa Indonesia.
Hal ini tentu berbeda dengan lembaga kursus bahasa Inggris. Di EF dan LIA misalnya, tujuan pembelajaran pada umumnya didesain untuk membuat siswa bisa berbicara (speaking). Sehingga, penggunaan bahasa Indonesia di kelas pun sebisa mungkin dihindari. Memang, mereka juga mempunyai program bimbingan tes seperti TOEFL/TOEIC/IELTS. Tetapi tentu jauh berbeda dari UN dan SNMPTN. UN dan SNMPTN hanya menguji kemampuan memahami wacana dan tata bahasa. Sementara TOEFL/TOEIC/IELTS menguji semua kemampuan berbahasa; berbicara, mendengarkan, menulis, dan membaca.
Yang kemudian menjadi salah kaprah adalah guru di sekolah formal, dalam hal ini SMP dan SMA, meniru pola mengajar pada lembaga bimbingan belajar. Siswa lebih diarahkan mampu mengerjakan soal-soal reading dan grammar. Karena memang, soal-soal tersebut siswa temui di UN. Sementara kemampuan speaking dan writing, dianggap kurang sebegitu penting. Karena memang, tidak diujikan di UN dan hanya sebatas ujian praktik.
Padahal, idealnya cara mengajar yang ditiru guru di sekolah formal adalah cara mengajar di lembaga kursus bahasa Inggris. Sehingga tujuan pembelajaran bahasa, yang bertujuan membuat siswa bisa berkomunikasi dalam bahasa Inggris baik lisan maupun tulisan, dapat tercapai. Ini kemudian juga menyiratkan bahwa indikator kesuksesan siswa belajar bahasa Inggris di sekolah memang bertentangan dengan prinsip dasar pembelajaran bahasa.
Siswa yang mendapatkan nilai sempurna saat ujian praktik berbicara dan menulis dalam bahasa Inggris, tetapi memperoleh nilai yang tak memenuhi standar kelulusan UN, dianggap gagal. Sementara siswa yang mendapatkan nilai mencukupi standar UN, sementara nilainya rendah dalam ujian praktik berbicara dan menulis, dianggap lulus dan berhasil. Tentu bagi yang mengetahui, ini sesuatu hal yang miris.
Hal lain yang umumnya juga disalahinterpretasikan adalah kurikulum yang selama ini digunakan. Dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) mata pelajaran bahasa Inggris, yang memang mempunyai tendensi, disebut sebagai kurikulum berbasis teks (text based learning curriculum), guru mengasumsikan bahwa siswa harus mendapatkan porsi lebih banyak pada pemahaman wacana.
Apabila dicermati kembali, standar kompetensi yang diminta kurikulum mencakup empat kemampuan dasar berbahasa Inggris; listening, speaking, reading, dan writing. Pendekatan pembelajaran berbasis teks ini, menurut Paul Knight (2009), berasal dari konsep model systemic functional grammar yang juga sebenarnya mengarah kepada penggunaan bahasa dalam interaksi sosial.
Pendekatan pembelajaran menggunakan teks dimaksudkan agar siswa mampu memahami budaya. Di mana, bahasa itu digunakan agar siswa mendapatkan model pemakaian bahasa yang cukup (sufficient comprehensible input) yang bisa membantu proses pemerolehan bahasa (Halliday 1973). Hasil akhir yang diharapkan, tentu saja kemampuan menggunakan bahasa untuk berkomunikasi baik lisan maupun tulisan.
Kecenderungan salah interpretasi ini bisa terjadi karena banyak guru yang masih menganggap bahwa perangkat pembelajaran yang terdiri atas silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran dan materi evaluasi hanyalah berkas formalitas yang perlu disetorkan ke kepala sekolah.
Banyak bahkan kemudian yang menggunakan perangkat pembelajaran tahun-tahun sebelumnya atau memanfaatkan forum MGMP sebagai tempat berbagi perangkat pembelajaran. Sehingga, akan terdengar lucu apabila guru dalam satu kabupaten kemudian mempunyai perangkat pembelajaran yang sama. Sementara, fasilitas di sekolah di pusat kota dengan sekolah yang berada di desa sudah bisa dipastikan berbeda. Dengan demikian, perangkat pembelajaran yang digunakan idealnya juga berbeda.
Dengan anggapan perangkat pembelajaran sebagai berkas formalitas, maka yang terjadi kemudian adalah ketergantungan guru akan pemakaian buku teks dan lembar kerja siswa (LKS).
Tidak jarang bahkan, dalam kegiatan belajar-mengajar di kelas, pertemuan pertama yang dalam pemetaan pembelajaran idealnya mempelajari narrative text tetapi justru guru mengajarkan descriptive text. Hal ini bisa terjadi karena pembahasan pertama dalam buku teks adalah descriptive text dan bukan narrative text. Artinya, guru mengajar berdasar halaman dalam buku teks dan bukan berdasarkan apa yang mereka tuliskan dalam perangkat pembelajaran. Latihan yang diberikan kepada siswa pun kemudian juga berdasarkan latihan yang ada dalam buku teks dan juga LKS yang umumnya adalah soal wacana dan tata bahasa.
Apabila guru lalu mengajar hanya berdasarkan halaman di buku dan terfokus pada soal wacana dan tata bahasa, maka sudah bisa dipastikan murid tidak akan memiliki kesempatan untuk mempraktikkan penggunaan Bahasa Inggris dalam komunikasi.
Hasilnya, ketika lulus SMP dan SMA, siswa tidak mampu menggunakan bahasa Inggris secara aktif. Terlebih apabila materi dalam buku teks juga tidak sesuai dengan kemampuan siswa. Jadi memang harus di akui bahwa kesalahan pembelajaran model ini sudah terpola.
Tantangan Perbaikan
Prof. Ag. Bambang Setiyadi, Ph.D. mengatakan, kemampuan siswa berbicara umumnya juga bukan hasil pembelajaran di sekolah, tetapi pembelajaran di kursus bahasa Inggris yang diikuti siswa. Sudah barang tentu, pola pengajaran bahasa yang bertujuan untuk tes seperti di Ganesha Operation (GO), Primagama, Nurul Fikri (NF), Medika Wiyata, Al-Qolam, dll. tidak termasuk. Sementara, baik lembaga bimbingan belajar maupun kursus bahasa Inggris umumnya terdapat di pusat kota. Di Lampung, daerah yang bisa dikategorikan sudah dimasuki keduanya adalah Bandarlampung, Metro, Bandarjaya, Pringsewu dan Kotabumi.
Selebihnya, pihak pengelola kurang mau berspekulasi dengan alasan peminat yang kurang dan kesulitan mencari sumber daya manusia yang bersedia mengajar di sana. Melihat kenyataan itu, apabila guru sekolah di luar kota-kota yang ada bimbingan kursus bahasa seperti EF English First, ILP, LBPP-LIA, Education Bridge, Intensive English Course, dll. juga menerapkan pola pengajaran seperti di bimbingan belajar yang bertujuan tes, sudah bisa dipastikan bahwa persentase lulusan SMA yang tidak bisa berkomunikasi dalam Bahasa Inggris akan sangat tinggi.
Permasalahan di atas tentu adalah sebuah tantangan bagi semua pihak yang terlibat dalam pembelajaran Bahasa Inggris, terutama guru Bahasa Inggris. Guru Bahasa Inggris dituntut mampu merancang pembelajaran yang membuat siswa belajar dan menggunakan Bahasa Inggris untuk berkomunikasi.
Terkait dengan hal ini, Krashen (2000) dan Spolsky (1989) mengajukan konsep bahwa pembelajaran bahasa akan berhasil apabila didukung dengan adanya keterkaitan antara pemberian model bahasa yang cukup dan adanya lingkungan yang memungkinkan bahasa itu digunakan.
Artinya, pembelajaran kemampuan-kemampuan bahasa, seperti listening, speaking, reading dan writing, harus terintegrasi. Setelah siswa mendapatkan model penggunaan bahasa yang cukup dalam listening dan reading, siswa kemudian dilatih untuk speaking dan writing. Pemberian contoh yang cukup ini akan membantu proses pemerolehan bahasa karena siswa berada dalam keadaan kecemasan yang rendah (low anxiety) untuk memproduksi bahasa yang sedang dipelajarinya (Krashen, 2002).
Guru kemudian juga dituntut mampu memfasilitasi adanya lingkungan yang memungkinkan Bahasa Inggris digunakan. Hal ini bisa dilakukan guru dengan merancang desain pembelajaran yang melatih siswa berkomunikasi dalam Bahasa Inggris di dalam kelas dan tidak hanya terfokus pada wacana dan tata bahasa.
Asher (1994), misalkan, mengusulkan penggunaan metode Total Physical Response, model belajar memperagakan dengan gerakan badan, untuk mengajar Bahasa Inggris bagi pemula, contohnya di tingkat SD. Sementara Krashen dan Terell (1983) pada level siswa yang sama mengusulkan metode pembelajaran Natural Approach, model pembelajaran yang langsung menggunakan Bahasa Inggris dalam proses belajar.
Pada tingkat menengah, atau sama dengan tingkat SMP dan SMA, Krashen (1992) mengusulkan siswa diajar d    engan pemberian model penggunaan bahasa yang cukup (sufficient comprehensible input) melalui pembelajaran yang terfokus pada diskusi tema-tema tertentu (content-based  instruction). Hal ini akan membantu proses pemerolehan bahasa siswa di dalam kelas.
Perubahan di atas tentu tidaklah mudah dan memerlukan waktu serta penyesuaian-penyesuaian. Guru dituntut untuk terus bisa belajar dan memperbaiki proses pembelajaran yang dikelolanya. Hal ini bisa dilakukan melalui penelitian tindakan kelas (PTK), berdiskusi dengan sejawat, akademisi, siswa, buku-buku serta referensi di internet yang bisa memberikan wawasan terbaru mengenai strategi mengajar yang baik dan memungkinkan siswa berkembang sesuai dengan tujuan pembelajaran bahasa, yaitu menggunakan keterampilan (skill) berbahasa itu untuk berkomunikasi. Indikator pembelajaran kemudian idealnya juga diarahkan pada tujuan tersebut dan yang tidak lagi terbawa arus mengikuti metode mengajar persiapan menghadapi tes, dalam hal ini UN.
Memang diakui, meskipun pro dan kontra terhadap UN sudah terjadi hampir 8 tahun lebih belakangan ini, pemerintah tetap melaksanakan UN. Tetapi, dengan mempertimbangkan dampak yang dihasilkan dari penerapan kebijakan UN ini, terutama dalam pembelajaran Bahasa Inggris yang membuat siswa dan guru terjebak dalam pembelajaran wacana dan bukan berkomunikasi, maka UN memang perlu di evaluasi. Merangkum pernyataan Prof. Dr. Cucu Sutarsyah, M.A. (2012), UN memang bukanlah pembawa bencana tetapi seperti obat yang kita minum dan memiliki efek samping. Apabila UN dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas, maka kita sudah melihat sendiri bahwa dalam pelajaran Bahasa Inggris sebenarnya UN justru berkontribusi pada salah arah tujuan pembelajaran bahasa. Maka, sudah sepantasnyalah UN diganti dengan bentuk ujian yang lain yang mengukur kemampuan siswa sesuai dengan tujuan pembelajaran bahasa.