# tulisan ini saya buat tidak lain untuk menginspirasi para guru, dan semata hanya catatan pribadi seorang murid yang terinspirasi... sebelumnya saya enggan menulis ini, apalagi menceritakan aib saya, namun melihat kenyataan ini terjadi pada banyak mahasiswa, saya berharap pengajar lain juga memiliki students understanding yang sama....

Sore itu saya sempat sms seorang teman, "apa sebaiknya saya berhenti kuliah saja ?" sepertinya ini adalah puncak kejenuhan saya, saya merasa tidak mendapatkan sesuatu yang baru dari kehadiran saya di kampus setiap hari., diluaran sana orang hiruk pikuk membicarakan masalah pendidikan, namun saya sangat jenuh berkuliah di fakultas ini. semua seperti sebuah formalitas, mendengarkan ceramah, tugas, ujian, dan IPK. padahal diluaran sana ribuan anak menunggu untuk kita pikirkan, dan kita selesaikan, bagaimana mereka bisa sekolah gratis, bagaimana karakter mereka terbentuk, bagaimana matematika membangun logika mereka, kami hanya di push pada tataran teoritikal untuk mengejar angka mutu, lulus, menjadi pegawai negeri dan mengulang hal seremonial sampai akhir hayat. itulah alasan pertama kenapa saya ingin berhenti saja. 

Adapun alasan kedua adalah himpitan ekonomi, rasanya begitu berat untuk bertahan satu semesternya. Apalagi saya tergolong mahasiswa yang pas-pasan, bahkan pernah memiliki IP terkecil di angkatan saya, harus mengurus surat keterlambatan SPP setiap semesternya, bahkan tidak jarang saya berpasrah apakah hari ini makan atau tidak, sering saya tidak belajar ketika ujian, karena tidak bisa fotokopi materi, alhasil saya meminjam teman dan terang saja itu kurang maksimal. Saya letih harus berjuang pada dua sisi, di push oleh tugas2 kuliah yang menurut saya seremonial dan tidak membangun pemahaman, apalagi jika itu adalah tugas kelompok, jarang yang mau satu kelompok dengan saya, karena saya harus bekerja dan tidak memiliki waktu khusus untuk mengerjakan tugas.Dan yang paling menyakitkan adalah ketika dosen tidak mengeluarkan nilai hanya karena kesalahpahaman kecil seperti saya lupa absen.., mereka tidak mengerti bagaimana usaha saya dalam satu semesternya... walau saya tidak secerdas yang lain, namun itu sudah menjadi perjuangan tersendiri bagi saya... 

Alasan ketiga, saya semakin tidak percaya dengan pendidikan formal, sebut saja kualifikasi yang harus dimiliki mahasiswa FKIP, serta merta dengan lebih gamblang bisa saya dapatkan diluaran sana. Masalah kebijakan pendidikan, bagaimana mengelola sebuah lembaga, bisa saya dapatkan dari organisasi dan komunitas yang saya ikuti.., metode bagaimana mengajar bahasa, bisa saya dapat dari tempat saya bekerja... dan skill bahasa inggris bisa saya asah dari aktivitas diluaran., jadi untuk apa lagi saya kuliah ???

Ambisi sayapun hilang, asa lenyap, dan saya sudah tak bermimpi lagi untuk S2 keluar negeri, menjadi dosen dan mendidik para calon guru, mengideologisasi mereka sehingga negeri ini tidak lagi sakit, menjadi pengambil kebijakan pendidikan di negeri ini, dll. Sekarang,... Saya hanya ingin hidup bahagia, memiliki rumah kecil dengan halaman luas dengan beberapa gubuk terpancang dan disana anak-anak disekitar lingkungan rumah saya dapat bermain dengan senang, dibentuk karakternya dengan permainan rakyat, mengaji (mengkaji ajaran islam), dan belajar skill secara informal. Sudahlah saya kembangkan saja komunitas "Speak Up" yang sudah saya rintis. Bahkan ketika bibi saya bertanya,? "apa rencanamu setelah lulus ?" "ngembangin speak up" jawab saya.... "jangan setengah-setengah... kamu harus S2, masukkan itu dalam daftar hidupmu"... saya hanya terdiam dan pasrah... S1 saja belum tentu selesai...

***

Hari selasa menjadi hari yang berbeda, saya berjumpa dengan seorang dosen moralis dan saya bisa belajar darinya, satu-satunya ilmu baru dari kampus ini, satu-satunya ilmu yang tersisa di ingatan. biasanya saya ogah-ogahan bangun, enggan pergi ke kampus, namun sekarang saya seolah merindukan ilmu baru dan bertanya, apa yang akan saya dapat hari ini ??? setelah minggu sebelumnya saya mendapatkan materi tentang Approach, assumtion, ALM, dan silent way. 

Seperti biasa, dosen saya ini memulai mata kuliah dengan menyenangkan, kelas ini interaktif, ia tidak pernah memerintah mahasiswa utnuk memperhatikannya, namun semua fokus memperhatikan. Suasananya seperti sebuah training yang diisi oleh instruktur senior, kami belajar dari teman, dan amazing, saya dan teman-teman lain yang banyak terdiam ketika dosen lain mengajar, karena takut disalahkan, disini kami bisa berekspresi, bahkan Fajar berani praktik mengajar di depan... amazing !!! kami paham, tanpa catatan, tanpa LCD. diakhir beliau mengajar beliau bercerita tentang perjuangan beliau sekolah dan sedikit banyak mirip dengan yang saya alami dan ... deg..... 

"saya pernah tiga bulan tidak mendapat kiriman dari orang tua, dan saya bergantung dari pengajuan beasiswa, jika kala itu saya tidak mendapat beasiswa, say good bye to bangku kuliah... saat itu saya tidak ada bayangan akan jadi apa saya"... 

"jika hari ini saya bisa menjadi dosen, menjadi profesor, adalah hal yang tidak pernah saya impikan, itu adalah karena saya mampu melalui segala proses dengan sempurna"...  

"dua tahun pertama saya menjadi mahasiswa terbodoh, karena saya tidak pernah belajar bahasa inggris sebelumnya, belum lagi ditambah himpitan ekonomi..."  

"banyak hal saya sembunyikan dari cerita ini... jika saya ceritakan semua pilihannya adalah dua.. anda atau saya akan menangis....!"

Saya sudah meneteskan air mata dipojok kelas..  Pak... terima kasih telah menjadi sesuatu hal yang bisa saya temukan di masa perkuliahan saya. Bapak tidak hanya mendidik para calon guru, namun juga menyembuhkan dunia yang sedang sakit. Saya akan belajar untuk tidak mengeluh dan tidak menyerah, karena Tuhan sedang membentuk diri saya melalui skenario terbaiknya. Semoga kelak saya bisa menjadi seorang guru yang baik, yang tidak menjadikan murid semakin putus asa, namun menemukan inspirasi untuk berbuat...