Satu tahun lagi Indonesia akan menggelar pesta demokrasi besar-besaran, baik untuk DPD, DPR, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden. Huru-hara di media cetak maupun elektronik sudah mulai terdengar. Prosesi sakral yang akan menentukan nasib bangsa Indonesia dalam beberapa tahun mendatang. Sesuai dengan semangat demokrasi, yakni dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, pemilihan umum digelar untuk menyampaikan apa yang menjadi cita-cita rakyat terhadap negara. Tentang suara kesejahteraan, keadilan, akses pendidikan, pelayanan kesehatan, hingga perlindungan bagi setiap warga negara.

Bak gayung bersambut, munculah tokoh-tokoh yang siap menjadi wakil dari tiap-tiap golongan untuk memperjuangkan hak mereka. Berbondong-bondong berkampanye dengan bertabur visi agar terpilih menjadi pejabat negara yang memiliki wewenang untuk membuat peraturan dan melakukan pengaturan. Berbagai usaha dilakukan demi kantung-kantung suara yang banyak. Tidak jarang ada yang berani mengeluarkan jumlah kapital yang besar demi kelancaran menjadi wakil rakyat.

Mahalnya Ongkos Demokrasi

Ditengarai, ongkos demokrasi di Indonesia semakin meningkat dari waktu ke waktu. Wakil ketua DPR, Pramono Anung, dalam penelitian untuk disertasi doktoralnya mendapati fakta, untuk Pemilu paling sedikit caleg mengeluarkan mengeluarkan dana minimal Rp 600 juta. Ada juga yang menghabiskan dana hingga Rp 6 miliar. Biaya itu cenderung meningkat dari Pemilu ke Pemilu, sehingga untuk Pemilu 2014 mendatang biaya pencalegkan pasti menyentuh angka milyaran.

Untuk pilkada Jabar beberapa bulan lalu misal, dengan jumlah 5.953 desa, jika kampanye di tiap desa minimal Rp 25 juta maka tiap calon butuh dana minimal Rp. 148,8 miliar. Bahkan pasangan Sukarwo dan Saifullah dalam pilkada Jawa Timur pada tahun 2008 lalu, secara resmi menyatakan menghabiskan dana Rp. 1,3 triliun. Bila untuk pencalonan gubernur saja dihabiskan dana begitu besar, untuk pencalonan presiden tentu lebih besar lagi. Disebut-sebut paling sedikit sekitar Rp 1,5 triliun.

Sebuah angka yang sangat bombastis, bayangkan saja ketika semua dana itu digunakan untuk membiayai program-progam pertanian atau kesehatan, paling tidak ada sedikit perubahan dalam tata kehidupan masyarakat. Asal-usul dana kampanye dengan jumlah yang besar itu juga menimbulkan tanya bagi sebagian orang, karena tidak mungkin dana sebesar itu berasal dari kantong pribadi, kalaupun donasi dari beberapa pihak, rasanya aneh jika pada akhirnya tidak ada hubungan timbal balik dengan si donatur.

Perselingkuhan Dua Pembesar

Di Amerika Serikat, hampir 80% dana kampanye disumbang oleh para pengusaha. Di Indonesia menunjukkan indikasi yang tidak jauh berbeda, dimana hal itu dapat dilihat dari beberapa produk aturan pemerintah yang lebih pro terhadap pihak pemodal ketimbang masyarakat pada umumnya.   Hal itu tampak pada UU Migas, UU Minerba, UU Penanaman Modal, UU Pangan dan puluhan UU lainnya.

Kebijakan pemerintah (penguasa) yang lebih berpihak kepada pemodal, merupakan bentuk kompensasi atas modal yang diberikan. Seperti dalam kebijakan privatisasi migas, privatisasi pendidikan, kesehatan, pemberian izin yang mengabaikan amdal, pengabaian atas transportasi publik, dan sebaliknya terus memberikan insentif kepada perusahaan otomotif, juga beberapa proyek yang sudah diatur agar jatuh ke tangan pengusaha tertentu.

Perselingkuhan dua pembesar (penguasa dan pengusaha) yang terjadi di negeri ini telah menjadi simbiosis mutualisme antara keterbutuhan dominasi investor dan perolehan suara, akibatnya sumber daya alam Indonesia yang melimpah tidak kunjung dinikmati oleh rakyat karena telah dijual secara beramai-ramai. Hal ini tentu saja bertentangan dengan spirit awal demokrasi, yakni, dari, oleh, dan untuk rakyat.

Kembalikan Pada Rakyat

Semangat awal pelaksanaan pemilihan umum langsung adalah untuk mendengarkan aspirasi seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali. Namun pada akhirnya proses yang berjalan bukan merupakan proses penyampaian aspirasi dan nurani rakyat terhadap negara, dan hanya menjadi mainan beberpa pihak yang memiliki kemampuan dan kewenangan untuk meraih kemenangan. Begitu juga ketika si pemenang pemilu menjadi wakil rakyat atau pemimpin, sumber daya alam dan segala kekayaan di bumi nusantara yang seharusnya menjadi hak rakyat tidak sampai kepada yang berhak.

Praktik demokrasi yang menyimpang ini harus segera dibenahi dengan beberapa langkah. Pertama, short term vision untuk saat ini, yakni rakyat harus disadarkan bahwa tujuan dari pemilihan langsung adalah untuk menyampaikan aspirasi dari setiap individu, baik itu aspirasi tentang kesejahteraan, keadilan, keamanan, dan suara-suara hati rakyat lain. Sehingga rakyat paham betul bahwa setiap orang memiliki hak untuk memilih dan dipilih. Kesadaran inilah yang pada akhirnya mengurangi praktik money politik yang berakibat pada pembengkakan ongkos demokrasi dan besarnya peluang perselingkuhan antara pemodal dan penguasa.

Kedua, long term vision untuk beberapa tahun mendatang dimana organisasi kepemudaan yang selama ini menjadi wadah untuk mencetak pemimpin masa depan harus mampu memiliki visi perbaikan kedepan yang jelas. Sehingga generasi muda hari ini mampu menjadi pemimpin pengganti yang lebih baik dimasa depan. Menanamkan nilai idealisme yang tinggi, melatih kepekaan dalam membaca permasalahan yang ada di masyarakat, dan keahlian menjadi problem solver yang baik. Sudah seharunya kita meninggalkan praktik demokrasi yang tidak berjalan pada jalurnya dan menciptakan harapan-harapan baru melalui generasi muda.

Negeri yang sakit ini seperti sebuah gelas yang setengah isi dan setengah kosong. Namun saya memilih untuk yakin jika pada masanya nanti rakyat tidak akan lagi memandang pemimpin hanya dari jabatan publik, namun sebagai seorang social engineer yang peka terhadap keterbutuhan dan mampu menelurkan kebijakan strategis yang bisa memenuhi kebutuhan tersebut.