Aku duduk diantara ribuan potensi tidur yang meraung-raung untuk dibangunkan. Keras terdengar teriakan mereka untuk diberdayakan. Melawan hari dari pagi, mengejar matahari hingga senja melepasnya pergi menjadi bukti eksistensi semangat tinggi, bahkan hingga malam berslimut dingin dalam asa menanti pagi. 

Disini aku melihat mesin yang bergerak hingga aus dan karatan, menghabiskan berliter-liter bahan bakar tak terbarukan. Memperkerjakan ribuan pegawai dengan insentif yang menghisap pendapatan. Melolong kelelahan dan kehabisan waktu karena dikejar sang waktu yang tak mengenal ampun.

Disana, ada seorang petani yang mencangkul di sepetak sawah tak luas juga tak bermesin. Ketulusan dan kecerdasan membawanya pada panen raya, kebahagiaan dan kesejahteraan. Alunan angklung, gamelan, hingga kolintang menambah semarak masa panen dibawah damainya rembulan yang menaungi tawa bocah-bocah bercengkrama riang gembira.

Sungguh paradok ! lolongan penderitaan ditengah modal besar dan tawa kebahagiaan diantara kearifan lokal. Pemiskinan dan kemiskinan memiliki dua difinisi berbeda dengan dua bentuk penyikapan yang tak sama. Aku rindu pada ibuku yang bijak bersahaja : Indonesia.