Andrea Hirata, melalui beberapa karya sastranya, mengangkat kehidupan masyarakat Belitong yang lekat dengan aktivitas menjadi buruh pabrik di pulau penghasil timah terbesar di Indonesia.  Realitas sosial masyarakatnya tidak jauh dari kemiskinan, kurangnya akses pendidikan, dan penuh dengan simbol penjajahan abad baru di tanah yang telah dianugerahkan Tuhan dengan setumpuk kekayaan. Tidak hanya berlaku pada Belitong, sederetan kisah serupa terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia, mulai dari Freeport di ujung timur, hingga lahirnya gerakan Aceh merdeka di ujung Barat yang merupakan akibat dari ketidaksesuaian antara kehidupan rakyat dengan jumlah kekayaan yang dikandung bumi, karena faktanya, semua anugerah itu tidak mensejahterakan penduduk lokal.

Kisah serupa juga tidak luput dari kehidupan masyarakat peisisir Bandar Lampung, mata pencaharian sebagai nelayan tidak menjanjikan kesejahteraan, padahal lautan menyimpan berbagai potensi kekayaan. Tidak tanggung-tanggung, hal itu dibuktikan dengan banyaknya perusahaan-perusahaan yang terus bertumbuh di daerah sekitar. Namun sebaliknya, penduduk lokal hidup dalam rantai kemiskinan, kumuh, marjinal, tingkat pendidikan rendah, dan ketidakteraturan. Kondisi yang ironi ini sudah sewajarnya menjadi pekerjaan rumah yang patut kita pikirkan bersama, baik pemerintah, akademisi, tim-tim ahli, maupun masyarakat sebagai elemen dasar dari sebuah tata sosial.

Sudut Pandang Investasi

Sebuah bencana kelaparan ekstrim di Ethiopia tidak menyisakan tanda tanya yang begitu besar, dikarenakan faktor alam yang memang mendukung terjadinya hal tersebut, curah hujan sangat rendah, tanah yang tandus, dan sumber daya alam yang kurang memadai. Namun, beberapa kasus yang terjadi di Indonesia ini menyisakan kejanggalan yang belum terjawab. Belitong yang kaya akan timah, menyisakan para buruh tambang dengan kehidupan dibawah upah minimum rata-rata, Papua dengan emas yang melimpah, mengahadirkan sebuah fakta kelaparan ekstrim di Yahokimo, hingga penduduk pesisir Bandar Lampung yang hidup pada garis kemiskinan sementara pada lokasi yang sama berdiri gagah perusahaan asing yang membudidayakan kerang mutiara dan hasil laut lain.

Kenyataan pahit yang menjadi perwujudan lain dari bentuk penjajahan abad baru ini telah menggerogoti setiap lumbung kekayaan negeri. Pola investasi dalam mengelola sumber daya alam memerlukan sebuah evaluasi yang besar sehingga bisa membawa kebermanfaatan yang besar bagi masyarakat sekitar. Sehingga tidak ada lagi sebuah epik kelaparan di tanah surga bernama Indonesia.

Menurut Tri Mumpuni, dalam pidatonya di Indonesian Youth Cultural Summit di Bandung, ada tiga aktor penting dalam teori pembangunan, yakni masyarakat, pengusaha, dan pemerintah. Masyarakat ditakdirkan untuk lahir di suatu daerah dengan sumber daya lokal yang sudah selayaknya menjadi jaminan hidup. Dimana terjadi suatu asas kebermanfaatan diantara keduanya, masyarakat memperoleh kehidupan dari sumber daya lokal dan sebaliknya sumber daya lokal dijaga dan dirawat oleh masyarakat agar terus lestari.  Aktor kedua adalah pemerintah, dimana dengan kekuasannya pemerintah memiliki kewenangan untuk membuat peraturan dan melakukan pengaturan. Sudah sewajarnya jika pemerintahan berusaha membuat undang-undang yang pro rakyat dan melakukan peraturan yang baik dalam bentuk pelayanan publik. Aktor ketiga adalah pengusaha, pengusaha memiliki kemampuan finansial yang diperlukan untuk mengelola sumber daya di suatu wilayah sekaligus teknologi yang mumpuni untuk menunjang proses tersebut.

Ketiga aktor tersebut melahirkan dua buah sudut pandang pembangunan yang berbeda, yakni metode pembangunan top down dan buttom up. Dalam metode top down, kaedah investasi yang digunakan adalah bisnis komersial dimana pada akhirnya melahirkan dominasi investasi yang terus mengejar akumulasi kapital. Investasi dengan kaedah bisnis komersial menitikberatkan pada kaedah keuangan dan industri sehingga mengesampingkan rasa keadilan untuk penduduk lokal dan upaya keselarasan dengan alam. Pada metode pembangunan top down dengan investasi bisnis komersial memposisikan pemerintah dan pengusaha dalam posisi diatas dan masyarakat dalam posisi bawah sehingga lahirlah kebijakan Corporate Social Responsibilty sebagai bentuk tanggung jawab terhadap penduduk lokal. Berkaca pada kenyataan di Belitong dan Freeport, CSR tidak mampu memberikan rasa keadilan bagi penduduk lokal yang telah diambil sumber dayanya, justru semakin menguatkan posisi pemerintah dan pengusaha sebagai pihak penguasa yang memiliki rasa murah hati.

Sebaliknya, dalam metode pembangunan buttom up, kaedah investasi yang digunakan adalah bisnis sosial yang menjadikan masyarakat sebagai mitra. Investasi dengan kaedah bisnis sosial mengharuskan pemerintah memposisikan dirinya di posisi tengah antara pengusaha dan masyarakat, sehingga dalam menelurkan undang-undang dan melakukan pengaturan ia tidak menempatkan pemilik modal dan dirinya sebagai penguasa. Kolaborasi investasi pengusaha dan kemampuan masyarakat dalam mengelola sumber daya yang ada pada akhirnya menciptakan lapangan pekerjaan baru yang bertumpu pada rasa keadilan terhadap penduduk lokal, dimana pengusaha dan masyarakat dapat tumbuh secara bersamaan. Pemilik modal mendapatkan keuntungan, dilain pihak penduduk lokal menjadi terbantu untuk berkembang dengan mengelola sumber daya lokal yang memang ditakdirkan untuk mereka, lambat laun angka penghasilan meningkat dan derajat kemiskinan berkurang. Metode pembangunan buttom up ini pada akhirnya menyadarkan kita bahwa kemiskinan itu bukanlah akar masalah yang sesungguhnya ada di dalam masyarakat kita, namun hanya sebagai akibat dari dicabutnya sumber daya yang ada dari penduduk lokal.

Perselingkuhan Penguasa dan Pengusaha


Dalam perilaku bernegara, pejabat pemerintah cenderung melupakan kewajiban untuk melakukan pelayanan publik yang baik sehingga dalam setiap pemilihan umum, baik itu legislatif, pemilihan presiden, maupun kepala daerah, kecenderungan untuk dipilih kembali dan mengantongi lumbung suara dalam jumlah yang besar menjadi sulit. Hal ini yang kemudian menjadi alasan bagi banyak calon untuk mempersiapkan modal yang besar dalam setiap pemilihan umum, dalam rangka mengumpulkan lumbung suara.

Wakil ketua DPR, Pramono Anung, dalam penelitian untuk disertasi doktoralnya mendapati fakta, untuk Pemilu paling sedikit caleg mengeluarkan mengeluarkan dana minimal Rp 600 juta. Ada juga yang menghabiskan dana hingga Rp 6 miliar. Biaya itu cenderung meningkat dari Pemilu ke Pemilu, sehingga untuk Pemilu 2014 mendatang biaya pencalegkan pasti menyentuh angka milyaran.

Untuk pilkada Jabar beberapa bulan lalu misal, dengan jumlah 5.953 desa, jika kampanye di tiap desa minimal Rp 25 juta maka tiap calon butuh dana minimal Rp. 148,8 miliar. Bahkan pasangan Sukarwo dan Saifullah dalam pilkada Jawa Timur pada tahun 2008 lalu, secara resmi menyatakan menghabiskan dana Rp. 1,3 triliun. Bila untuk pencalonan gubernur saja dihabiskan dana begitu besar, untuk pencalonan presiden tentu lebih besar lagi. Disebut-sebut paling sedikit sekitar Rp 1,5 triliun.

Dana sebesar itu tentu tidak mungkin semuanya berasal dari kantong calon sendiri. Di AS, hampir 80% dana sebanyak itu disumbang oleh para pengusaha. Di Indonesia tidaklah jauh berbeda, dimana hal itu membawa implikasi yang berbahaya. Pertama, hukum dan peraturan produk wakil rakyat lebih mengutamakan kepentingan pemodal. Hal itu tampak pada UU Migas, UU Minerba, UU Penanaman Modal, UU Pangan dan puluhan UU lainnya. Kedua, kebijakan pemerintah (penguasa) lebih berpihak kepada pemodal, sebagai bentuk kompensasi atas modal yang diberikan. Akibatnya kebijakan pemerintah yang lebih berpihak kepada pemodal tampak dalam kebijakan privatisasi migas, privatisasi pendidikan, kesehatan, pemberian izin yang mengabaikan amdal, pengabaian atas transportasi publik, dan sebaliknya terus memberikan insentif kepada perusahaan otomotif, juga beberapa proyek yang sudah diatur agar jatuh ke tangan pengusaha tertentu.

Perselingkuhan penguasa dan pengusaha yang terjadi di negeri ini telah melahirkan duet maut antara keterbutuhan dominasi investor dan perolehan suara, akibatnya sumber daya lokal direnggut dan dipisah dari rakyat yang berujung pada gejala kemiskinan yang semakin mejaralela. Kemanfaatan atas sumber daya lokal hanya dirasakan oleh penguasa dan pengusaha, mereka memposisikan diri diatas dan dengan kuasanya pemerintah menekan rakyat untuk tunduk pada kepentingan pemodal.

Pemilukada Lampung dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat

Sebagai masyarakat Lampung yang notabene provinsi termiskin kedua di Indonesia dan segera menghadapi prosesi pemilihan kepala daerah, kedua hal tersebut perlu menjadi penekanan bagi setiap calon yang akan bertanding pada gelanggang pemilukada. Pertama, kita harus bijak dalam memilih figur pemimpin yang memiliki kebijakan pro rakyat, pro kearifan lokal dan pro pembangunan pedesaan sehingga tidak tunduk pada kepentingan pemodal yang menomorsatukan akumulasi kapital. Karena pemimpin yang pro pada ketiga hal tersebut diharapkan mampu melakukan pelayanan publik dengan baik, menggunakan wewenang dalam membuat peraturan dan melakukan pengaturan dengan sebaik-bainya, menempatkan diri sebagai penyambung antara pemodal dan masyarakat sehingga tercipta proses local empowerment yang memperhatikan rasa kebermanfaatan bersama, sesuai yang telah tertuang dalam pancasila kita “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Kedua, seluruh elemen yang terlibat dalam proses pemilihan kepala daerah harus berkomitmen untuk sama-sama melakukan suatu proses pencerdasan politik kepada masyarakat dengan menjunjung tinggi politik nilai sehingga tidak ada lagi perselingkuhan antara penguasa dan pengusaha yang pada akhirnya menelurkan kebijakan yang memiskinkan rakyat. Sebaliknya, rakyat, pemuda, dan mahasiswa harus sama-sama mengawal berjalannya pesta demokrasi dengan mengawasi terjadinya praktik money politik di pemilukada sehingga mengurangi kemungkinan perselingkuhan antara penguasa dan pengusaha. 

Ketiga, pemuda sebagai entitas terbesar di Lampung sudah sewajarnya membantu berjalannya kebijakan yang pro kearifan lokal dengan membantu berjalannya pembangunan yang pro rakyat, pro kearifan lokal, dan pro pembangunan pedesaan. Dengan segala keilmuan dan kreatfitasnya pemuda dapat melakukan upaya-upaya local empowerment sederhana. Upaya ini diharapkan mampu mencerdaskan masyarakat terkait kebijakan pemerintah yang pro terhadap mereka sekaligus menjadi inspirasi bagi calon pemimpin untuk mengelola masyarakat dengan metode pembangunan buttom up.  Secara tidak langsung, proses ini juga membantu mencetak generasi pemimpin masa depan yang memiliki global capacity dan grassroot understanding, sehingga kita memiliki pasokan calon pemimpin yang baik untuk masa depan.

Pada akhirnya kita sama-sama berharap, nasib saudara kita yang di Belitong, Papua, Aceh, dan daerah lain, tidak terulang di Provinsi tercinta ini. Karena sudah seharusnya sumber daya lokal menjadi hak bagi penduduk sekitar, dan sudah sewajarnya kita memiliki pemimpin yang melakukan pelayanan publik dengan baik, melahirkan kebijakan pro rakyat, memiliki metode pembangunan buttom up yang mendukung kolaborasi pemodal dan penduduk lokal sehingga tidak terjadi proses pemiskinan yang merupakan akibat dari pemisahan local resources dari penduduk sekitar.