Dulu ketika SD saya sangat becita-cita untuk bisa bersekolah disekolah favorit, alhasil saya belajar keras, dan sayapun begitu lowprofile karena merasa sebagai anak sekolahan yang berasal dari bawah gunung. Pasti akan sangat jauh secara kapasitas apabila berhadapan dengan anak-anak kota. Tantangan untuk memperluas jaringan membuat saya mengidam-idamkan untuk bersekolah di SMP favorite dan voila ! saya berhasil diterima di SMP terfavorit di daerah saya. 

Lepas SMP saya berharap, untuk bisa sekolah di SMA terfavorit di daerah saya, namun hal itu tidak terkabul, karena alasan ekonomi, dan jauh. Alhasil saya sekolah didaerah dan itu cukup lumayan sebenarnya, namun disinilah saya mengalami titik balik. 

Ketika beranjak kuliah, saya juga tidak berani berharap banyak untuk duduk di kampus favorit karena takut memberatkan orang tua secara ekonomi, alhasil saya malas-malasan. Dan diterimalah saya di salah satu perguruan tinggi negeri di daerah.

Beberapa tahun setelah saya menempuh pendidikan di daerah, saya diberi kesempatan untuk bertandang ke beberapa perguruan tinggi favorit. Sebenarnya ada rasa menyesal, dan yang paling terasa berbeda adalah budaya akademis. Hal ini membangun sebuah tanya didalam diri saya, apalagi saya duduk di kaprodi yang memiliki banyak dosen lulusan universitas bonafit dalam dan luar negeri. Mengapa budaya itu tidak bisa tertular kemari ?

Mengingat kembali sebuah novel karya Andrea Hirata yang bergenre pendidikan dan mengangkat cerita masalalu di tanah belitong. Ruang kelas yang kurang memadai, guru yang sukarela, ternyata begitu menyentuh dan mampu membentuk putra-pitri mereka dengan paripurna. 

Kembali pada kasus budaya akademis di kampus saya ? apakah karena fasilitas ? bisa iya dan bisa tidak. Namun kisah laskar pelangi mampu membantah kenyataan itu. Lalu apa yang harus dibangun pertama di kampus saya ? Berikut beberapa gagasan yang berhasil saya renungkan :

1.      
     Office hour, sebuah program bagi para seluruh dosen untuk ada di ruangannya dari jangka waktu tertentu, sehingga jika ada mahasiswa yang ingin menemui dosen tidak perlu menunggu dalam ketidakpastian. Hal ini menguragi tingkat putus asa mahasiswa yang sedang menyusun TA. Kelihatannya sepele, namun saya yakin akan berdmapak besar, karena meningkatkan frekuensi interaksi antara mahasiswa dan dosen sehingga semakin banyak cerita inspirasi yang tertransfer kepada mahasiswa.

2.   Academic advisor in circle, ide ini terinspirasi dari banyaknya mahasiswa yang acuh tak acuh dengan pembimbing akademiknya, dan dilain pihak banyak mahasiswa yang kongko-kongko di kampus.  Sehingga dengan begini mahasiswa memiliki waktu berkumpul dengan pembimbing akademiknya, dari mulai belajar terbimbing hingga sekedar curhat, dengan pola pertemuan satu minggu sekali. Pembimbing akademik tidak harus mendampingi setiap minggu, bisa jadi satu bulan sekali, dan bisa menggunakan sistim tutorial sebaya sesama teman untuk meeting per minggunya.

     One hundred rupiahs for refrence. Mahasiswa jarang ke perpus ? bukan karena mahasiswa tidak suka membaca, namun buku yang dipajang sudah terlampau tua dibanding usia mahasiswa, mungkin sudah seusia orang tua mereka. Jika jumlah mahasiswa di kampus saya ada 20.000 mahasiswa, jika perharinya mahasiswa mengumpulkan 100 rupiah, maka dalam satu hari akan terkumpul dua juta rupiah, dan dalam satu bulan akan terkumpul uang sebesar 60.000.000. Dan satu tahun sudah 720.000.000. Sebuah angka yang lumayan untuk menambah buku perpus, mungkin ide gila ini bisa dijalankan oleh teman-teman BEM, selain efektif juga menyentil pihak pengampu kebijakan. Apa sie makna seratus rupiah perhari jika dibandingkan dengan penantian sepanjang masa untuk melihat buku perpus bertambah.

And finally tulisan ini hanyalah imajinasi kreatif saya sambil menunggu dosen yang tak kunjung datang, jadi kalaupun ada yang aneh ya maklum aja lah yaaa...............