Beberapa hari yang lalu saya sempat dihubungi oleh salah seorang teman saya, lebih tepatnya beliau meminta bantuan kepada saya untuk membantu adik-adik pramukanya mengadakan aksi "Damai Lampungku". Adik-adik pramuka SMP 8 Bandar Lampung ini cukup lincah untuk anak seusianya. Sayapun cukup berdecak kagum dengan partisipasinya dalam menyuarakan perdamaian di bumi ruwa jurai paska konflik antar suku di beberapa tempat.

Sampai hari H saya dag dig dug luar biasa, lancarkah ??? dan alhamdulillah berjalan cukup lancar. Puluhan wartawan cukup aneh melihat peserta aksi yang masih kecil-kecil tanpa pendamping dari sekolah. Pak polisi yang biasaya garang dengan mahasiswa yang berdemopun kali ini terlihat begitu akrab. 

Aksi berlangsung selama kurang lebih satu jam di tugu adipura Bandar Lampung, beberapa anggota aksi memakai pakaian adat jawa, lampung, dan bali, sisanya membagi-bagi bunga yang terdapat stiker damai lampungku kepada para pengguna jalan.

Kisah saya dengan para adik-adik SMP 8 juga berakhir setelah aksi berakhir. Saya beraktivitas seperti biasa, namun tiba-tiba ada seseorang yang memberi kabar kepada saya bahwa adik-adik diundang oleh pak wali kota. Pikiran saya saat itu cukup optimis, yahhh.... mungkin akan dijadikan duta perdamaian. Namun sepertinya saya salah, setelah beberapa hari saya mendengar kabar lagi bahwa adik-adik terancam di-skors dari sekolah dan keputusannya ada pada dinas pendidikan kota Bandar Lampung. Terang saja saya cukup aneh, dan bertanya mengapa ? Alasannya adalah karena memalsukan tanda tangan dan stempel organisasi.

Sebuah alasan yang cukup aneh menurut saya, karena stempel dan tanda-tangan adalah masalah yang ada pada levelan ekstrakulikuler pramuka, mengapa bisa jadi mencuat sampai sejauh itu ??? Kalaupun pihak sekolah merasa tidak menerima permohonan izin dari siswa, apakah tidak sebaiknya diselesaikan pada level pembina osis ? 

Dan lagi-lagi terkait skorsing, jika kita mau mengkaji lebih lanjut, antara manfaat dan kesalahan yang itupun tidak disengaja dilakukan oleh adik-adik lebih banyak manfaatnya. Bukankah seharusnya pihak sekolah bangga karena anak didiknya respect terhadap kondisi lampung akhir ini, dan mereka cukup kreatif melakukan sumbangsih diplomasi dengan gaya mereka sendiri.

Meminjam istilah diplomasi ping-pong, yaitu diplomasi antara US dan China dengan mengirimkan para atlet US untuk berlatih ping-pong di China telah membuahkan sebuah perdamaian dunia. Begitu juga dengan Lampung, nota perdamaian, atau perjanjian apapun tidaklah bisa menjamin adanya perdamaian secara kultural. Sudah saatnya spirit persatuan itu dibangun dari generasinya mudanya, supaya dendam-dendam tentang ayah-ibu-dan adik-adik mereka yang terbunuh karena konflik tidak begitu menyisakan luka yang mendalam. Upaya-upaya diplomasi informal seperti latihan pramuka bersama, festival musik, budaya daerah, ekonomi kerakyatan, dll juga sudah seharusnya mulai dilirik. 

Akhir kata, yang tidak kalah penting adalah peranan pihak sekolah dalam membantu sisiwa-siswa mereka menginternalisasikan mata pelajaran kewarganegaraan. Mensuport acara-acara yang menjunjung nilai persatuan dan menanamkan sifat peka atau "respect" terhadap anak didik mengenai realitas sosial ditempat tinggal mereka. Bissmillah...