Pada masa-masa awal turunnya ayat-ayat Al Quran, penyebutan Allah menggunakan kata ganti Tuhanmu.
  • QS. Al ‘Alaq: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan.
  • QS. Al Qalam: Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah Yang Paling Mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya; dan Dia-lah Yang Paling Mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
  • QS. Al Muzzammil: Sebutlah nama Tuhanmu, dan beribadatlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan.
  • QS. Al Muddatstsir: Dan Tuhanmu, agungkanlah!
  • QS. Al A’laa: Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi.
  • QS. Al Fajr: Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum ‘Aad?
  • QS. Adh Dhuhaa: Tuhanmu tidak meninggalkan kamu dan tidak (pula) benci kepadamu.
  • QS. Al Insyirah: Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.
  • QS. Al Kautsar: Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah. 
  • QS. Al Fiil: Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara bergajah?
Dengan adanya penyebutan Tuhanmu tersebut, orang-orang musyrik menjadi bingung. Mereka bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Muhammad, kamu ini selalu menunjuk yang kamu sembah dengan kata Tuhanmu. Kenapa tidak dengan kata Allah? Coba jelaskan kepada kami seperti apa Tuhanmu itu. Tuhan kami adalah Tuhan yang punya anak-anak, bagaimana Tuhan kamu? Tuhan kami (berhala-berhala), terbuat dari emas dan tembaga, coba jelaskan kepada kami bagaimana Tuhan kamu?”

Setelah itu turunlah surat Al Ikhlas yang bertujuan untuk membantah semua kepercayaan yang keliru mengenai konsep Tuhan yang dimiliki oleh orang-orang musyrik.

“Katakanlah (Muhammad): Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada sesuatupun yang setara dengan Dia.”